MEMAHAMI KEBUDAYAAN DALAM KONTEKS KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA
2.1 Pengertian Kebudayaan
Penggunaan
istilah "kebudayaan" dapat dikatakan longgar dan pengertiannya juga
berganda (ambiguous),
yaitu
mulai cakupan pengertian yang sempit hingga cakupan yang sangat luar biasa
luas. Luasnya cakupan itu tidak hanya terjadi dalam penggunaannya dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga penggunaannya sebagai istilah dalam wacana
iimu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial (socialsciences).
Secara
etimologis, kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah, bentuk jamak
dari kata buddhi
yang
berarti akal atau budi. Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan
dari dua kata, yaitu budi dan daya (Sidi Gazalba dalam Sulasman & Setia
Gumilar, 2013:17). Budi mengandung makna
akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan. Sedangkan daya mengandung makna
tenaga, kekuatan, kesanggupan. Sekalipun akar kata budaya diderivasi dari akar
kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kebudayaan berkenaan dengan hal-hal
yang berkenaan dengan budi atau akal.
A.L Kroeber dan
Clyde Kluckhohn mengumpulkan kurang lebih 161 definisi tentang kebudayaan (Musa
Asy'ari dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:17). Akan tetapi, definisi
klasik mengenai kebudayaan yang hingga kini menjadi sumber rujukan dikemukakan
oleh E.B. Tylor, seorang antropolog terkemuka, dalam bukunya yang berjudul Primitive
Culture, yang
terbit pada tahun 1924, "Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan serta
kebiasan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat."
Selanjutnya
menurut Andreas Eppink dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:18), kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur sosial, religius, dan Iain-Iain, tambahan lagi
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Dalam perspektif
sosiologi, kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Alvin L. Bertrand dalam
Sulasman & Setia Gumilar, 2013:18) adalah segala pandangan hidup yang
dipelajari dan diperoleh oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Termasuk dalam
kebudayaan adalah segala bentuk bangunan, peralatan, dan bentuk-bentuk fisik
yang lain; di samping teknik, lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi
serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok. Berikut ini adalah beberapa
definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli (dalam Sulasman & Setia
Gumilar, 2013:18).
a.
Krober dan Klukhon (1950) memandang
kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap,
pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan diturunkan oleh
simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari
kelompok-kelompok manusia.
b.
Linton dalam bukunya The Cultural
Background of Personality menyatakan bahwa kebudayaan adalah
konfigurasi dari sebuah tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur
pembentuknya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
c.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai
bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia. Herskovits memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
d.
Bronislaw Malinowski mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan kehidupan manusia yang integral yang terdiri
atas berbagai peralatan dan barang-barang konsumen, berbagai peraturan untuk
kehidupan masyarakat, ide-ide dan hasil karya manusia, keyakinan dan kebiasaan
manusia.
e.
C. Klukhuahn dan W.H. Kelly mencoba
merumuskan definisi kebudayaan sebagai hasil tanya jawab dengan para ahli
antropologi, sejarah, hukum, psikologi yang implisit, eksplisit, rasional,
irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi
tingkah laku manusia.
f.
Dawson dalam buku Age of The Gods mengatakan bahwa
kebudayaan adalah cara hidup bersama {Culture is common way of life).
g.
J.P.H. Dryvendak mengatakan bahwa
kebudayaan adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beragam
berlaku dalam masyarakat tertentu. Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan
sebagai keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
h.
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan
kebudayaan sebagai "buah budi manusia, yaitu hasil perjuangan manusia
terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan
hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai."
i.
Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar.
j.
Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan
kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir.
k. Selo Soemarjan
dan Soelaeman Soemardi mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
l.
Kebudayaan dapat dimaknai sebagai
berarti kumpulan segala usaha dan upaya manusia yang dikerjakan dengan
mempergunakan hasil pendapat untuk memperbaiki kesempurnaan hidup (Sidi
Gazalba, 1998:35).
Secara garis
besar, semua definisi itu dapat dikelompokkan dalam enam kelompok, sesuai sudut
pandang mereka. Kelompok pertama pendekatan
deskriptif, seperti yang dilakukan oleh Tylor; kedua dari pendekatan normatif
oleh Ralph Linton; ketiga dari pendekatan
psikologi oleh Kluckkhonh; keempat dari pendekatan
struktural oleh Turrney; kelima dari pendekatan
genetik oleh Bidney; keenam melihat dan
pendekatan historis.
Definisi-definisi
di atas mewakili pandangan yang melihat kebudayaan sebagai pemilik wilayah
cakupan yang amat luas, sekaligus memandang kebudayaan sebagai sistem besar,
fungsional dan menjadi penentu bagi seluruh aspek kehidupan sosial. Di sini,
kebudayaan mempunyai peluang besar untuk lebih bersifat masif. Kebudayaan
adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di masyarakat. Dengan
demikian,dalam pengertian luas, kebudayaan adalah makna, nilai, adat, ide, dan simbol
yang relatif. Adapun dalam pengertian sempit, kebudayaan adalah memiliki kandungan
spiritual dan intelektual yang tinggi. Oleh karena itu, ia menjadi elitis, adi
luhung, berstandar tertinggi. Kebudayaan lebih merupakan suatu yang seharusnya.
Dalam pengertian luas, kebudayaan mewakili pandangan bahwa kebudayaan adalah
kenyataan objektif sehingga kenyataan budaya itu bisa ditemukan di dalam
institusi dan tradisi. Adapun dalam arti sempit, kebudayaan mewakili pandangan
bahwa kebudayaan merupakan kenyataan subjektif. Kebudayaan adalah produk dari tafsiran
pribadi-pribadi.
Bertrand dalam
Sulasman & Setia Gumilar (2013:20) lebih jauh mencoba memilah antara masyarakat
dan kebudayaan. la melukiskan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang
terorganisasi secara mantap untuk memelihara keadaan yang diperlukan untuk
hidup bersama secara harmonis. Suatu masyarakat bisa berfungsi karena
anggota-anggotanya menyepakati aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan dengan segala
derivatnya inilah dalam pengertian yang lebih umum disebut kebudayaan kelompok
masyarakat.
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan seni. Seseorang yang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang berbeda budaya akan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, dan ini
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah
suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak dan luas. Banyak aspek
budaya yang turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan manusia. Beberapa alasan sulitnya
seseorang dalam berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam
definisi budaya bahwa budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang
dipolarisasikan oleh citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri. “Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk berbeda dalam berbagai
budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan
individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif” di Cina. Citra
budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman
mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian,
budayalah yang menyediakan kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan
aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Dari berbagai
definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Adapun perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola perilaku, bahasa,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
2.2 Unsur Kebudayaan
2.2.1
Macam-macam Unsur Kebudayaan
Para pakar
banyak mengemukakan unsur komponen atau unsur kebudayaan, antara lain Melville
J. Herskovits, Bronislaw Malinowski, dan Cateora. Melville J. Herskovits dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:38) menyebutkan
bahwa kebudayaan memiliki empat unsur pokok,yaitu:
a. alat-alat
teknologi;
b. sistem
ekonomi;
c. keluarga;
d. kekuasaan
politik.
Bronislaw Malinowski mengatakan empat
unsur pokok yang meliputi:
a. sistem
norma sosial yang memungkinkan kerja sama antar anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya;
b. organisasi ekonomi;
c. alat
dan lembaga atau petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama);
lembaga pendidikan utama);
d. organisasi kekuatan (politik).
Sementara itu,
menurut Cateora (antropolog), berdasarkan wujudnya tersebut budaya memiliki
beberapa elemen atau komponen sebagai berikut.
a. Kebudayaan
materiil
Kebudayaan materiil mengacu pada semua
ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk
dalam kebudayaan materiil adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari penggalian
arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan
materiil juga mencakup
barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian,
gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
b. Kebudayaan
nonmateriil
Kebudayaan
nonmateriil adalah ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya
berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
c. Lembaga
sosial
Lembaga
sosial dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam konteks berhubungan
dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem sosial yang terbentuk dalam suatu
negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan sosial
masyarakat. Di Indonesia, misalnya, kota dan desa di beberapa wilayah, wanita
tidak perlu sekolah tinggi, apalagi bekerja di satu instansi atau perusahaan.
Akan tetapi, di kota-kota besar, seorang wanita yang memiliki karier dianggap
sebagai sesuatu yang wajar.
d. Sistem kepercayaan
Cara
masyarakat mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinan
terhadap sesuatu akan memengaruhi sistem penilaian yang ada dalam masyarakat.
Sistem keyakinan ini akan memengaruhi dalam kebiasaan, cara memandang hidup dan
kehidupan, cara berkonsumsi, sampai cara berkomunikasi.
e. Estetika
Estetika
berhubungan dengan seni dan kesenian, musik, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari-tarian, yang berlaku
dan berkembang dalam masyarakat. Di Indonesia, misalnya, setiap masyarakatnya
memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala
peran agar pesan yang akan disampaikan mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di
beberapa wilayah dan bersifat kedaerahan, setiap membangun bangunan jenis apa
saja, masyarakatnya meletakkan janur kuning dan buah-buahan, sebagai simbol
yang arti di setiap daerah berbeda. Akan tetapi, dikota besar seperti Jakarta,
masyarakatnya tidak menggunakan cara tersebut.
f. Bahasa
Bahasa merupakan alat pengantar dalam
berkomunikasi. Setiap wilayah, bagian, dan negara memiliki perbedaan bahasa
yang sangat kompleks. Dalam ilmu komunikasi, bahasa merupakan komponen
komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sifat unik dan kompleks yang
hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi, keunikan dan kekompleksan bahasa
ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh
nilai empati dan simpati dari orang lain.
2.2.2 Hubungan Antarunsur
Kebudayaan
Isi unsur
kebudayaan akan berbeda antara kebudayaan satu dan kebudayaan lainnya. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor geografis. Setiap isi dari
unsur kebudayaan tidak bersifat statis, tetapi akan berubah sesuai dengan
tingkat kebutuhan dan proses adaptif yang diperlukan sebab kebudayaan berfungsi
mempermudah kehidupan manusia. Adaptasi berkenaan dengan cara manusia mengatur hidupnya
untuk menghadapi berbagai kemungkinan di dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai
kebutuhan dan hambatan dalam memenuhinya menuntut manusia untuk beradaptasi.
Manusia harus mampu memelihara keseimbangan yang terus-menerus berubah antara
kebutuhan hidupnya dan potensi yang terdapat di lingkungan tempat dia tinggal
dan hidup. Inilah tugas utama sebuah "kebudayaan".
Adapun menurut
penalaran E. B. Tylor dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:40), setiap kebudayaan
di mana pun akan mengandung unsur-unsur kebudayaan yang terdiri atas tujuh
unsur, yaitu sistem pengetahuan (kognitif), kekerabatan, sistem teknologi dan
peralatan hidup, sistem religi, sistem mata pencaharian hidup, bahasa dan
kesenian. Antara unsur satu dengan lainnya saling berkaitan tidak dapat berdiri
sendiri. Relasi antarkomponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
Teknologi
merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau
teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan
perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan
masyarakat dan mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi
hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat
perdesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam
teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan
fisik), yaitu:
1.
alat-alat produktif;
2.
senjata;
3.
wadah;
4.
alat-alat menyalakan api;
5.
makanan;
6.
pakaian;
7.
tempat berlindung dan perumahan;
8.
alat-alat transportasi.
b. Sistem mata pencaharian (aspek ekonomi)
Perhatian para
antropolog masa awal pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah mata
pencaharian tradisional, diantaranya:
1.
berburu dan meramu;
2.
beternak;
3.
bercocok tanam di ladang;
4.
menangkap ikan.
Kemudian, arah
kajiannya meliputi sistem ekonomi yang lebih luas. Ahli antropologi berasumsi
bahwa motivasi seseorang dalam melakukan kegiatan ekonomi sangat beragam.
Penggunaan sumber daya yang dimiliki manusia dimotivasi oleh berbagai tujuan,
antara lain: a
subsistence fund, a replacement fund, a ceremonial fund, a social fund, dan a rent fund.
Sistem produksi (mode of
production) pada
dasarnya merupakan strategi adaptasi masyarakat terhadap lingkungan.
Faktor-faktor produksi (means of production) meliputi
tanah/teritori, tenaga kerja, teknologi, dan modal.
Pertukaran/sistem
distribusi yang berkembang di berbagai kebudayaan di dunia dapat difokuskan
atas tiga prinsip, yaitu prinsip pasar, redistribusi, dan resiprositas (Karl
Polanyi, 1957 dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:41). Resiprositas
terbagi atas tiga tingkat, yaitu resiprositas umum (generalized
reciprocity), resiprositas
seimbang (balanced
reciprocity), dan
resiprositas negatif (negative reciprocity).
Salah satu alat
pertukaran yang banyak digunakan di dunia adalah uang. Fungsi uang antara lain
sebagai alat pertukaran, standar nilai, dan alat pembayaran. Mata uang yang
memiliki ketiga fungsi tersebut disebut a general purpose money, sedangkan mata
uang yang tidak memenuhi ketiga fungsi disebut a special
purpose money.
c. Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Sistem
kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer
Fortes dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:41) mengemukakan bahwa sistem
kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur
sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial
yang terdiri atas beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan
perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu,
kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya.
Dalam kajian
sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang
jumlahnya relatif kecil hingga besar, seperti keluarga ambilineal, klan, fatri,
dan paroh masyarakat. Pada masyarakat umum, kita juga mengenal kelompok
kekerabatan lain, seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan
keluarga unilateral.
Sementara itu,
organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai
sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai
makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial
untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
"Pranata
dan struktur sosial" ini berfungsi sebagai pengontrol dalam menjaga
keberlangsungan struktur sosial yang bersumber pada kebudayaan. Selain itu,
kebudayaan memberi 'warna' atau 'karakter' terhadap struktur sosial yang ada
sehingga struktur sosial yang terdapat pada kebudayaan tertentu akan tampak
'khas' apabila dibandingkan dengan struktur sosial yang terdapat pada
kebudayaan yang berbeda. Dengan demikian, struktur sosial merupakan'operasionalisasi'dari
pranata sosial yang telah disesuaikan dengan lingkungan sosial yang ada dalam
kehidupan nyata pendukung kebudayaan yang bersangkutan.
d. Bahasa
Bahasa adalah
alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi
atau berhubungan, baik melalui tulisan, lisan, maupun gerakan (bahasa isyarat),
dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau
orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan
dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang
dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Secara umum, fungsi bahasa
adalah alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan
integrasi dan adaptasi sosial. Adapun secara khusus, fungsi bahasa adalah
mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari
naskah kuno, dan mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahasa merupakan
hal yang mendasari banyak dari karya antropologi kognitif. Asumsinya adalah
bahwa kategori itu terkodekan dalam struktur dan ciri-ciri pembeda kebahasaan
yang digunakan oleh suatu bangsa. Dengan demikian, telaah tentang julukan dan
klasiftkasi kebahasaan terkandung dalam ranah-ranah budaya, seperti penyakit,
warna, kerabat, tumbuhan, dan sebagainya, yang akan langsung mengantar kita
pada kategori kognitif yang digunakan oleh warga masyarakat menata ranah-ranah
itu, bahkan dalam memikirkannya. Akan tetapi, seperti telah ditunjukkan oleh
banyak penulis, bahasa mungkin sangat kurang andal sebagai petunjuk untuk
mengetahui pola-pola pemikiran kognitif para penggunanya. Alasan pertama
adalah, seperti yang dikemukakan oleh Harris ada banyak ambiguitas (ketaksaan) fungsional
yang tak terhapuskan. Ketaksaan (memiliki dua makna) ini sejak awal telah
terkandung dalam keseluruhan tuturan sehari-hari, dan dalam bentuk komunikasi
yang lebih khusus, seperti puisi, kritik sastra, seni, dan sebagainya (Kaplan
& Manners dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:43).
e. Kesenian
Kesenian mengacu
pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia
terhadap keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk
yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian
mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
f. Sistem kepercayaan (religi)
Ada kalanya
pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan
mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul
keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagat raya ini, yang juga
mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagat raya. Sehubungan dengan
itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat
dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Agama dan sistem
kepercayaan lainnya sering terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa
Inggris: religion,
yang
berasal dari bahasa Latin religare,yang
berarti"menambatkan") adalah unsur kebudayaan yang penting dalam
sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi
dan Agama) mendefinisikan agama sebagai berikut:
... sebuah
institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk
beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait
dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan
sejati.
Sebagai akar
kata dari religion,
unsur
religi merupakan salah satu unsur universal dari kebudayaan. Karakteristik
utama religi adalah kepercayaan pada makhluk dan kekuatan supranatural. Masyarakat
di dunia memiliki beragam konsepsi tentang makhluk supranatural, tetapi dapat
diklasifikasikan atas tiga kategori, yaitu dewa-dewi, arwah leluhur, dan
makhluk supranatural lain/bukan manusia. Makhluk-makhluk supranatural itu
dianggap menguasai dunia atau bagian tertentu dari dunia.
Selain keyakinan
adanya makhluk dan kekuatan supranatural, komponen penting lainnya dari religi
adalah ajaran, emosi keagamaan, sistem upacara religi, dan umat/pengikut religi. Pada
aspek ajaran, agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman
Tuhan" dalam agama Yudeo-Kristiani atau "5 rukun Islam" dalam
agama Islam. Kadang-kadang, agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti
dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian.
Sebagian
kepercayaan tergolong agama samawi. Tiga agama besar, Yahudi, Kristen, dan
Islam, dikelompokkan sebagai agama Samawi atau agama Abrahamik. Ketiga agama
tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama, sekaligus perbedaan mendasar
dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam
kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.
Yahudi adalah
salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, merupakan agama
monoteistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang.
Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam
agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi
berjumlah lebih dari 13 juta jiwa.
Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah
kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun
banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen, seperti St.Thomas Aquinas dan
Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 - 2,1 miliar pemeluk agama
Kristen di seluruh dunia. Adapun Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama
yang banyak memengaruhi kebudayaan TimurTengah dan Afrika Utara, dan sebagian
wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 miliar pemeluk agama
Islam di dunia.
Agama
tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang" dianut
oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Sebagian agama
tradisional lahir dari filsafat atau falsafah hidup, yang dikembangkan para
agamawan atau filsuf. Pengaruh mereka cukup besar; bahkan bisa dianggap
menyerap ke dalam kebudayaan atau menjadi agama negara, seperti agama Shinto.
Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia
akan ketenteraman hati pada saat bermasalah, tertimpa musibah,"dan
menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia.
Agama dan
filosofi sering saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan
filosofi di Asia banyak berasal dari India dan Cina, dan menyebar di sepanjang
benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi. Hinduisme adalah sumber dari
Buddhisme, cabang Mahayana yang menyebar di sepanjang utara dan timur India
sampai Tibet, Cina, Mongolia, Jepang, Korea, dan Cina selatan sampai Vietnam.
Theravada Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka,
bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.
Agama Hindu dari
India mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya,
Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu dan Taoisme,
dua filosofi yang berasal dari Cina, memengaruhi, baik religi, seni, politik,
maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.
Pada abad ke-20,
di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi
politiktercipta.Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti
dari kepercayaan Hindu ataupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang
konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme
Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di Cina.
Sistem
kepercayaan pun muncul pada era modern dalam banyak bentuk. Misalnya "American
Dream". American Dream, atau "mimpi orang Amerika"
dalam bahasa Indonesia adalah sebuah kepercayaan yang dipercayai oleh banyak
orang di Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa melalui kerja keras,
pengorbanan,dan kebulatantekad,tanpa memedulikan status sosial, seseorang bisa
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Gagasan ini berakar dari keyakinan bahwa
Amerika Serikat adalah "kota di atas bukit" (atau "city upon
a hill”),
"cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"), yang memiliki
nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai
generasi berikutnya.
Ada dua upacara
ritual penting yang sering dilakukan masyarakat di dunia, yaitu upacara
peralihan (Rites
of Passage) dan
upacara intensifikasi (Rites of Intensification). Upacara
peralihan adalah upacara ritual yang berkaitan dengan peralihan dari satu tahap
kehidupan manusia kepada tahap kehidupan berikutnya. Kelahiran, masa pubertas,
perkawinan, dan kematian merupakan tahap-tahap yang dianggap penting dalam kehidupan
manusia. Adapun upacara intensifikasi adalah upacara yang dilakukan ketika
suatu kelompok dilanda krisis. Upacara ini mempersatukan semua orang dalam
kelompok untuk mengatasi masalah bersama-sama. Religi memiliki fungsi
psikologis dan sosial. Religi berperan penting dalam pengendalian sosial serta
memelihara solidaritas sosial. Fungsi lain dari religi terkait dengan bidang
pendidikan.
g. Institusi
keluarga dan pernikahan
Agama sering memengaruhi pernikahan
dan perilaku seksual. Banyak gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada
pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji
pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima
pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus
dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma memercayai bahwa sebuah perceraian adalah
salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja.
Sementara agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam
menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, tetapi memperbolehkannya.
h. Sistem
ilmu dan pengetahuan
Secara sederhana,
pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat,
keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di
dunia. Mereka memperoleh
pengetahuan melalui
pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan yang
bersifat empiris (trial
and error). Sistem
pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
1.
pengetahuan tentang alam;
2.
pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan
hewan di sekitarnya;
3.
pengetahuan tentang tubuh manusia,
pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia;
4.
pengetahuan tentang ruang dan waktu.
Di samping itu,
terdapat beberapa aspek dari kebudayaan, yaitu integrasi kebudayaan, fokus
kebudayaan, dan etos kebudayaan.
2.3 Faktor-Faktor Personal dan Hubungan Antarpribadi yang Mempengaruhi Komunikasi
Antarbudaya.
Komunikasi
Antarbudaya sebagai sesuatu yang penting tentunya dipengaruhi oleh banyak
faktor. Adapun faktor yang paling utama yaitu dari sisi personal individu yang
melaksanakan komunikasi antarbudaya tersebut. Yaitu diantaranya ialah sebagai
berikut :
2.3.1
Faktor Personal
Berbicara
mengenai faktor personal selalu dikaitan dengan faktor psikologis seperti persepsi,
memori dan motivasi. Faktor psikologis muncul dari dalam diri (disposisi) untuk
ditampilkan sebagai respon terhadap stimulus yang datang dari luar diri (Alo
Liliweri, 2012:). Ada beberapa hal lain yang berkenaan dengan faktor personal
yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi, yaitu:
a. Kekuatan pribadi
(personality
strenght)
Ciri-ciri
utama personal akan mempengaruhi komunikasi interkultural sebagai konsep diri,
memperlihatkan diri, penerimaan diri, dan relaksasi sosial.
1.
Konsep diri
(self
concept) berkenaan
dengan cara bagaimana seseorang menggambarkan dirinya sendiri.
2.
Memperlihatkan diri (self-disclosure) berkenaan dengan
kemauan individu untuk membuka diri dan menyatakan informasi yang tepat
berkisar diri mereka sendiri untuk rekan/teman imbangannya (counterparts).
3.
Penerimaan diri (self-monitoring) berkenaan dengan
menggunakan perbandingan informasi sosial untuk mengontrol dan memodifikasi
perkenalan diri mereka sendiri dan perilaku ekspresif (expressive
behavior).
4.
Relaksasi sosial (social relaxation) adalah kemampuan
untuk menyatakan sedikit kecemasan (little anxiety) dalam
komunikasi. Komunikator yang efektif semestinya mengetahui diri mereka sendiri
yang baik dan kesadaran diri mereka, dan memulai sikap positif.
Individu-individu semestinya cepat tanggap untuk memiliki kepribadian yang
ramah (tamah) dalam komunikasi interkultural.
b.
Keterampilan-keterampilan komunikasi (communication
skills)
Individu
semestinya memiliki kecakapan verbal dan nonverbal dalam berperilaku.
Keterampilan-keterampilan komunikasi interkultural membutuhkan keterampilan
menyampaikan pesan, perilaku yang fleksibel, pengelolaan interaksi, dan
keterampilan-keterampilan sosial.
1. Keterampilan-keterampilan menyampaikan pesan (message skills) berkenaan dengan
kemampuan untuk memahami dan menggunakan kemampuan berbahasa serta umpan balik.
2. Perilaku yang fleksibel (behavioral
flexibility) adalah
suatu kemampuan untuk menyeleksi perilaku yang pantas dalam berbagai macam
konteks perilaku.
3. Pengelolaan interaksi (interaction
managemant) adalah
suatu cara penanganan aspek-aspek prosedur pada percakapan, seperti kecakapan
untuk memulai percakapan. Pengelolaan interaksi menekankan pada kemampuan
interaksi orang lain dalam menyesuaikan diri, seperti penuh perhatian (attentiveness) dan mau
mendengarkan (responsiveness).
4. Keterampilan-keterampilan sosial (social skills) adalah mengidentifikasikan
pemeliharaan (maintenance) dan empati (empathy). Empathy adalah
suatu kemampuan memikirkan persamaan gagasan dan perasaan emosi yang sama
terhadap orang lain. Mengidentifikasi pemeliharaan adalah kemampuan untuk
memelihara teman/rekan imbangan (counterparts) sebagai
ciri-ciri untuk memahami secara teliti komunikasi balikan (communicating
back) terhadap
identitas seseorang. Dalam perkataan lain, komunikator yang kompoten semestinya
dapat menguraikan atau berurusan (deal) dengan bermacam-macam
orang dalam situasi yang berbeda.
c. Penyesuaian
psikologis (psychological
adjustment)
Komunikator yang efektif semestinya
mampu menyesuaikan diri pada suatu iklim (acclimate) lingkungan yang
baru. Mereka semestinya dapat menangani perasaan-perasaan "culture
shock", seperti
frustasi, stress, dan pengasingan diri (alienation) dalam situasi
kasus berarti-dua (ambiguous)
terhadap
pengalaman-pengalaman baru.
d. Kesadaran budaya
(cultural
awareness)
Hal yang sangat kompoten dalam
komunikasi interkultural adalah pemahaman individu terhadap kebiasaan sosial (social customs)
dan
sistem sosial (social
system) pada
sekumpulan besar budaya (host cultural). Memahami
bagaimana seseorang memikirkan dan berkelakuan yang esensiil (essential) untuk komunikasi
yang efektif dengan mereka.
Rintangan-rintangan komunikasi (communication
barriers) interkultural
menurut LaRay M. Barna (1997), menunjukkan ada enam rintangan komunikasi interkultural,
yaitu: (1) kecemasan, (2) menyamakan sesuatu padahal sebenarnya berbeda, (3)
etnosentrisme, dan (4) stereotipe dan prasangka.
1.
Kecemasan (anxiety)
Penghalang yang
pertama adalah kecemasan yang tinggi. Ketika seseorang cemas karena tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan, kondisi semacam ini akan menghalangi
seseorang dalam melakukan komunikasi interkultural. Seperti misalnya, seseorang
mungkin akan mengalami kecemasan ketika memasuki kampus yang asing baginya,
atau pekerjaan yang asing baginya. Dalam kondisi cemas seperti ini seseorang
mungkin akan berbuat kesalahan karena terlalu memusatkan perhatian agar tidak
berbuat kesalahan, sehingga tampak canggung.
2.
Menganggap
sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda (assuming
similarity instead of difference)
similarity instead of difference)
Rintangan yang
kedua adalah mengangggap sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda. Jika
seseorang yang pernah pindah (transferred) dari satu
perguruan tinggi ke yang lain, mungkin mengalami rintangan ini. Pada perguruan
tinggi pertama sebagai contoh, pendaftaran dilakukan dengan cara tertentu.
Sedang pada perguruan tinggi yang lain dilakukan dengan cara yang lain pula.
Oleh sebab itu anggapan yang sama dalam melakukan pendaftaran akan menyebabkan
seseorang menjadi cemas dan melakukan kesalahan atau memerlukan banyak waktu
ekstra, demikian pula dalam hal budaya, ketika seseorang mengasumsikan
persamaan interkultur padahal sebenarnya kultur itu berbeda, maka mereka
sebenarnya telah terjebak pada tindakan tidak memperhatikan perbedaan.
3.
Etnosentrisme (ethnocentrism)
Rintangan
yang ketiga bagi komunikasi interkultural yang efektif adalah etnosentris, yaitu secara negatif menghakimi
bagian-bagian dari kultur lain dengan standar kultur diri sendiri. Sikap atau
perilaku etnosentris timbul karena seseorang terlalu percaya akan keunggulan
kultur diri sendiri dan memandang rendah kultur. bentuk lain yang sedikit lebih
ekstrim dari etnosentris ditandai dengan label "nearsightedness" budaya, yaitu mengira kultur diri
sendiri menjadi induk yang diwarisi oleh kultur lain. Nearsightedness budaya sering mengakibatkan seseorang
membuat asumsi bahwa pemikiran
yang sederhana adalah sama dengan segala sesuatudi mana-mana. Sebagai contoh "Eurocentric etnosentris", seseorang hanya mengenali liburan barat
di sekolah yang mendasarkan kurikulum hanya pada sejarah barat, musik, dan
seni. Istilah "Barat" dan "Timur" telah diberi label Eurocen etnosentris. Asia adalah timur Eropa, tetapi untuk
Asia "Tirnur" identitasnya tergantung pada Eropa.
Etnosentris
ekstrim bisa berdampak negatif berupa mendorong seseorang ke arah penolakan
kesempurnaan dan pengetahuan yang bersumber dari budaya lain. Hal itu bisa
menyebabkan terhalangnya komunikasi
dan merintangi
pertukaran gagasan dan ketrampilan antar individu. Oleh sebab itu setiap
individu yang cenderung bersikap etnosentris akan memiliki kecenderungan untuk
menolak dan membatasi.
4.
Stereotipe dan Prasangka (Stereotypes and
prejudice)
Sampai dengan
tahun 2000 mungkin ada 6 milyar manusia di atas muka bumi - diantaranya tidak
ada yang sama persis. Orang-orang bisa memiliki badan yang besar dan kecil, dan
memiliki warna kulit yang beragam. Kita memakai pakaian yang berbeda dan
mempunyai ide yang berbeda tentang kecantikan (beauty). Banyak di antara
kita percaya akan adanya satu Tuhan (in one Cod), sementara orang
lain percaya akan adanya banyak Tuhan, dan masih ada orang lain yang tidak
percaya adanya Tuhan. Banyak orang yang kaya dan banyak pula yang sangat
menyedihkan atau miskin. Kita dapat dengan mudah melihat adanya orang-orang
dari berbagai budaya yang berbeda satu sama lain, tapi bagaimana
perbedaan-perbedaan dapat menjadi dasar munculnya prasangka?
Stereotipe dan
prasangka adalah suatu dinding penghalang bagi komunikasi interkultural.
Istilah stereotipe merupakan perluasan istilah yang umum digunakan untuk
mengacu pada judgment
negatif
atau positif yang dibuat dan ditujukan kepada individu-individu didasarkan pada
beberapa pengamatan atau keyakinan anggota kelompok, dimana prasangka (prejudice) berkenaan dengan
kebencian atau kecurigaan yang irasional terhadap suatu kelompok, ras, agama,
atau orientasi seks. Istilah-istilah tersebut terkait dengan pembuatan judgment tentang
individu-individu didasarkan atas anggota kelompok.
Istilah
"stereotyping" pertama kali digunakan oleh jurnalis Walter Lippman
pada tahun 1922 yang menjelaskan judgment tentang orang
lain yang dibuat berdasarkan keanggotaan kelompok etnis mereka. Sekarang,
istilah stereotipe digunakan secara lebih luas yang berkenaan dengan judgment yang dibuat
berdasarkan pada beberapa anggota kelompok. Para psikolog telah mencoba
menjelaskan tingkah laku stereotipe sebagai kesalahan otak kita membuat
persepsi terhadap orang lain yang memiliki kesamaan membuat kesalahan otak kita
dalam mempersepsikan terhadap ilusi yang bersifat visual (Nisbett, 1980).
Apa yang kita
lihat, banyak kesiapan tersedia untuk membayangkan (image) adalah apa yang
bisa kita harapkan untuk melihat. Kita dapat menolak informasi apapun yang
bertentangan yang mengandung harapan. Dalam persepsi kita membaca "Paris in
the spiring", tapi secara actual has an
extra "the". As we don't expect to see a doublr "the", we do not
perceive it. Melalui
cara yang sama, jika kita mengharapkan bahwa para pemimpin perusahan adalah
Pria Kulit Putih yang tinggi dan langsing, kita tidak dapat menerima wanita
cacat, dan orang-orang dari kelompok warna kulit yang lain.
Stereotipe
digunakan oleh semua kelompok. Sampai sekarang ini, isyarat untuk menunjukkan "Jepang"
(Japanese)
di
dalam bahasa isyarat Amerika adalah dengan mengacungkan jari kelingking (little finger) di depan kelopak
mata sebagai tanda yang menunjukkan "si mata sipit" (a slanted eye). Dalam bahasa
isyarat Jepang, tanda untuk "orang asing" (foreigner) adalah jari
telunjuk membuat suatu gerak lingkar disekitar mata yang menandakan "si mata
bulat" (round
eye). Meskipun
anda mungkin berpikir tentang stereotipe sebagai hal yang mengarah pada judgment negatif,
stereotipe dapat juga bersifat positif. Sebagaian orang melakukan stereotipe
positif terhadap individu-individu lain berdasarkan pada keanggotaan kelompok
profesional mereka. Seperti misalnya, beberapa orang berasumsi bahwa semua para
doktor adalah bijaksana dan cerdas.
Pengaruh-pengaruh
negatif terhadap komunikasi (negative effects on communications) paling tidak
melalui empat cara, yaitu: (a) stereotipe-menimbulkan asumsi bahwa suatu
keyakinan yang dipegang secara luas adalah benar, padahal belum tentu benar,
misalnya orang Arab adalah kaya, maniak dalam seks dan berpikir teroris-terrorist minded, (b) stereotipe
menyebabkan kita berasumsi bahwa suatu keyakinan yang dipegang dengan teguh
adalah benar tentang semua orang dalam suatu kelompok tertentu, misalnya jika
suatu kelompok distereotipkan sebagai kelompok yang tidak jujur ini berarti
bahwa tiap individu yang berada dalam kelompok itu adalah tidak jujur, (c)
stereotipe dapat menimbulkan 'self-fulfilling prophecy' bagi orang-orang
yang distereotipkan, dan (d) stereotipe menggiring kita untuk
menginterpretasikan perilaku individu dari kaca mata perceptual stereotipe.
Oleh karena itu stereotipe dapat merintangi komunikasi.
Sementara
stereotipe dapat berarti positif atau negatif, sedangkan prasangka {prejudice) berkenaan dengan
ketidak-sukaan {dislike),
kebencian
atau kecurigaan {suspican
or hatred) yang
irasional terhadap kelompok, ras, agama, atau orientasi seksual (Rothenberg,
1992). Orang-orang di dalam kelompok tidak dipandang sebagai individu apa
adanya, tapi dipandang sesuai dengan karakteristik yang nampak membuat mereka
sebagai bagian dari kelompok.
Para psikolog
telah mengidentifikasikan individu memiliki prasangka yang tinggi sebagai
kepribadian yang otoriter - authoritarian personality (Adorno,
Frenkel-Brunswick, Levinson & Sanford, 1950), adalah individu yang
cendrung melakukan overgeneralize and thinks in bipolar
terms, seperti:
Orang yang sangat konvensional, moralistik, dan anti-kritik {uncritical) terhadap atasan
mereka, bahkan ketika menghadapi informasi konflik yang baru.
Meskipun secara
terbuka prasangka secara individual dan kelompok ada, pemerintah juga mendukung
prejudice
terhadap
warga negaranya melalui sebuah kebijakan yang mereka tetapkan. Di Amerika selama Perang Dunia
II, propaganda pemerintah menghadapi negara Jerman dan Jepang. Penawanan ribuan
warga Amerika keturunan Jepang {Japanese-Americans) sepanjang
peperangan juga meningkatkan perasaan prasangka terhadap kelompok ini. Amerika
Serikat bukanlah satu-satu-nya pemerintah yang mengijinkan adanya prejudice. Kebijakan Jepang
yang tidak mengijinkan orang-orang non-Jepang menjadi warga negara telah
menciptakan warga negara kelas dua (a second-class citizenry) bagi keturunan
Korea yang hidup di Jepang. Stereotipe, prasangka, dan rasisme terus berlanjut
dan menjadi kuat dengan kehadirannya di dalam media masa. Stereotype,
Prejudice, dan Racism dapat ditemukan di media cetak,
buku-buku dari buku anak-anak sampai dengan buku-buku di pergurun tinggi {children's
books to college brochures), serta di berbagai media elektronik.
Film-film dan program-program televisi dari kelompok budaya popular, masih
menampilkan kelompok-kelompok minoritas dan kelompok asing (minorities and
foreign groups) dengan
cara-cara stereotipe.
2.3.2 Faktor
Hubungan Antarpribadi
Faktor
hubungan antarpribadi juga memberi pengaruh pada komunikasi antarbudaya, diantaranya
ialah (Alo Liliweri, 2011):
a. Sifat antarbudaya yang berpengaruh terhadap interaksi
Paul
Watzlawick, Janet Beavin, dan Don Jacson (1967) mengatakan ada perbedaan antara
isi dan relasi komunikasi meliputi informasi yang terkanding dalam pesan. Misalnya
tentang apa yang diucapkan secara lisan atau ditulis diatas kertas. Sedangkan
relasi komunikasi berkaitan dengan bagaimana pesan itu disampaikan, bagaimana
isi pesan itu disimpulkan sehingga meningkatkan kualitas relasi hubungan antarpribadi.
b. Masalah kredibilitas
Para ahli
komunikasi berpendapat bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pengiriman pesan
seorang komunikator agar diterima oleh seorang komunikan, antara lain ialah Kredibilitas, Objekklivitas,
dan Keahlian.
Unsur diatas
sangat tergantung atas faktor-faktor dimana kebudayaan itu diapresiasi. Kredibilitas tidak hanya meliputi
kepercayaan kepada seorang pembicara, tetapi juga meliputi sifat-sifat asli
kredibilitas itu sendiri. Kredibilitas komunikator itu sendiri terletak pada
pribadi seseorang yang mampu mempengaruhi sikap seseorang terhadap orang lain
apalagi hal tersebut dapat ditampilkan dalam percakapan dengan sesama.
c. Derajat kesamaan komunikator dan komunikan
Untuk
kesamaan dan ketidaksamaan dalam derajat pasangan komunikator dan komunikan
dalam komunikasi, Everett M. Rogers mengetengahkan istilah homophily dan
heterophily yang dapat memperjelas hubungan komunikator dan komunikan
dalam proses Komunikasi Antar Pribadi.
Homophily
adalah sebuah istilah dimana orang-orang yang berinteraksi memiliki kesamaan
sifat dan atribut seperti kepercayaan, nilai, pendidikan, status sosial, dan
lain-lain. Heterophily adalah kebalikan dari homophily, yang didefinisikan
sebagai derajat pasangan orang-orang yang berinteraksi yang berada dalam
sifat-sifat tertentu.
Everett M.
Rogers dan Philip K. Bhownik dalam Homophilt Heterophily Rational Concepts for
Communication Research, menyatakan sistem yang lebih tradisional ditandai oleh
derajat homophily yang lebih tinggi dalam Komunikasi Antar Pribadi dan
norma-norma di desa menjadi lebih modern akan menjadi lebih heterophily.
Homophily
dan komunikasi efektif saling memperkuat satu sama lain. Lebih sering
berkomunikasi, lebih besar kemungkinan untuk menjadi homophilt. Lebih bersifat
homophily, lebih besar kemungkinan untuk berkomunikasi secara efektif.
d. Kemampuan menyampaikan pesan verbal antarpribadi
Perilaku
verbal sebenarnya adalah komunikasi verbal yang biasa kita lakukan sehari-hari.
Simbol atau pesan verbal adalah semua
jenis simbol yang menggunakan kata-kata atau lebih. Hampir semua rangsangan
wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan disengaja, yaitu
usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain
secara lisan.
Suatu sistem
kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai
perangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut,
yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama
untuk menyatakan fikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan
kata-kata yang mempresentatifkan berbagai aspek realitas individu kita. Dengan
kata lain, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu
menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang mewakili
kata-kata itu. Misalnya kata rumah, kursi atau mobil. Realitas apa yang
mewakili setiap kata itu?. Begitu banyak ragam rumah, ada rumah bertingkat,
rumah mewah, rumah sederhana, rumah hewan, rumah tembok, rumah bilik, dan yang
lainnya. Begitu juga kursi, ada kursi jok, kursi kerja, kursi plastik, kursi
malas, dan sebagainya. Kata mobil-pun ternyata tidak sederhana, ada sedan,
truk, minibus, ada mobil pribadi, mobil angkutan dan sebagainya.
Bila kita
menyertakan budaya sebagai variable dalam proses komunikasi tersebut, maka
masalahnya akan semakin rumit. Ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari
budaya kita sendiri, proses komunikasi akan jauh lebih mudah, karena dalam
suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun bila
komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan
akhirnya proses komunikasi juga menyulitkan.
Setiap
diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya harus mengikut
sertakan pembahasaan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas
masalah-masalah khusus tentang bahas asing, penerjemahan bahasa dan dialek
serta logat sub kultur dan sub kelompok. Untuk itu bila kita membicarakan
berbagai dimensi budaya kitra juga akan membicarakan bahasa verbal dan relevansinya
dengan pemahaman kita tentang budaya. ( Mulyana & Rakhmat, 2005)
Secara
sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambing terorganisasikan,
disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk
menyajikan pengalaman–pengalaman dalam suatu komunitas geografis dan budaya.
Bahasa
merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai
dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan
orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk alat berpikir. Maka bahasa
berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekligus sebagai
pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi,
menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Kemempuan menyampaikan pesan verbal antarbudaya.
Menurut
Ohoiwutun (1997) dalam Liliweri (2013:94-97), dalam berkomunikasi antarbudaya
ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu;1) kapan orang berbicara; 2) apa
yang dikatakan; 3) hal memperhatikan; 4) intonasi; 5) gaya kaku dan puitis serta
6) bahasa tidak langsung. Keenam hal tersebut adalah saat yang tepat bagi
seseorang untuk menyampaikan pesan verbal dalam komunikasi antarbudaya.
1. Kapan orang berbicara
Jika kita berkomunikasi antarbudaya perlu diperhatikan ada kebiasaan (habits) budaya
yang mengajarkan kepatutan kapan seorang harus atau boleh berbicara. Orang
Timor, Batak, Sulawesi, Ambon, Irian, mewarisi sikap kapan saja bisa berbicara,
tanpa membedakan tua dan muda, artinya berbicara semaunya saja, berbicara tidak
mengenal batas usia. Namun orang Jawa dan Sunda mengenbal aturan atau kebiasaan
kapan orang berbicara, misalnya yang lebih muda mendengarkan lebih banyak
daripada yang tua, yang tua lebih bayak berbicara dari yang muda. Perbedaan
norma berbahasa ini dapat mengakibatkan konflik antarbudaya hanya karena salah
memberikan makna kapan orang harus berbicara.
2.
Apa yang dikatakan
Laporan penelitian Tannen (1984-an)
menunjukan bahwa orang-orang New York keturunan Yahudi lebih cenderung
berceritera dibanding dengan teman-temannya di California. Ceritera mereka (New
York Yahudi) selalu terkait dengan pengalaman dan perasaan pribadi
.Masing-masing anggota kelompok kurang tertarik pada isi ceritera yang
di-kemukakan anggota kelompok lainnya.
3.
Hal memperhatikan
Konsep ini berkaitan erat
dengan gaze atau pandangan mata yang diperkenankan waktu
berbicara bersama-sama. Orang-orang kulit hitam biasanya berbicara sambil
menatap mata dan wajah orang lain, hal yang sama terjadi bagi orang Batak dan
Timor. Dalam berkomunikasi ‘memperhatikan’ adalah melihat bukan sekedar
mendengarkan. Sebaliknya oran Jawa tidak mementingkan ‘melihat’ tetapi
mendengarkan. Anda membayangkqan jika seorang Jawa sedang berbicara dengan
orang Timor yang terus menerus menatap mata orang Jawa ,maka si Jawa merasa
tidak enak dan bahkan menilai orang Timor itu sangat kurang ajar. Sebaliknya
orang Timor merasa dilecehkan karena si Jawa tidak melihat dia waktu memberikan
pengarahan.
4.
Intonasi
Masalah intonasi cukup berpengaruh
dalam berbagai bahasa yang berbeda budaya. Orang kadang di Lembata/Flores
memakai kata bua berarti melahirkan namun kata yang sama kalau
di tekan pada huruf akhir’a’-bua’(atau buaq), berarti berlayar; kata laha berarti
marah tetapi kalau disebut tekanan di akhir ‘a’-lahaq merupakan
maki yang merujuk pada alat kelamin laki-laki.
5.
Gaya kaku atau puitis
Ohoiwutun (1997:105) menulis bahwa
jika anda membandingkan bahasa Indonesia yang diguratkan pada awal berdirinya
Negara ini dengan gaya yang dipakai dewasa ini, dekade 90-an maka anda akan
dapati bahwa bahasa Indonesia tahun 1950-an lebih kaku. Gaya bahasa sekarang
lebih dinamis lebih banyak kata dan frase dengan makna ganda, tergantung dari
konteksnya. Perbedaan ini terjadi sebagai akibat perkembangan bahasa. Tahun
1950-an bahasa Indonesia hanya dipengaruhi secara dominan oleh bahasa Melayu.
Dewasa ini puluhan bahasa daerah,
teristimewa bahaqsa Jawa dengan puluhan juta penutur aslinya, telah ikut
mempengaruhi ‘formula’ berbahasa Indonesia. Anehnya bila berkunjung ke Yunani
anda akan mengalami gaya berbahasa Yunani seperti yang kita alami di Indonesia
sekarang ini. Disebut aneh karena Yunani tidak mengalami pengaruh berbagai
bahasa dalam sejarah perkembangan bahasanya seperti yang dialami Indonesia.
6.
Bahasa tidak langsung
Setiap bahasa mengajarkan kepada
para penuturnya mekanisme untuk menyatakan sesuatu secara langsung atau tidak
langsung. Jika anda berhadapan dengan orang Jepang, maka anda akan menemukan
bahwa mereka sering berbahasa secara tidak langsung, baik verbal maupun non
verbal. Dalam berbisnis, umumnya surat bisnis Amerika, menyatakan maksudnya
dalam empat paragraf saja.
e. Kemampuan menyampaikan pesan non verbal antarpribadi
Kita mempersepsi
manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya; bagaimana bahasanya (halus, kasar,
intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui perilaku
non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam
frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat
perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang,
apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara
sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup
semua rangsangan kecuali rangsangan verbal dalam suatu setting komunikasi,
yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang
mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi ini
mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari
peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal
tanpamenyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.
Dalam proses
non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek
yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan
penggunaan dan pengaturan ruang.
Sebenarnya
sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi
yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya ini biasanya adalah sentuhan.
Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non
verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum
pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial; di Amerika Serikat kaum
wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan
(berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala
seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.
Suatu contoh
lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan
untuk mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata
seringkali tidak penting. Dan beberapa suku Indian Amrika mengajari anak-anak
mereka bahwa kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda
kekurangsopanan. Seorang guru sekolah kulit putih di suatu pemukiman suku
Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak
berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat
kepadanya.
Sebagai suatau
komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa.
Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai
bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang
ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya –
apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang
memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut.
Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh
karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita: bagaiman kita
mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non verbal tersebut.
1. Konsep Waktu
Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang
masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya
waktu. Kebanyakan budaya Barat memandang waktu sebagai langsung dan berhubungan
dengan ruang dan tempat. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa
lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Sebaliknya, sukuIndian Hopi
tidak begitu memperhatikan waktu. Mereka percaya bahwa setiap hal – apakah itu
manusia, tumbuhan, atau binatang memiliki sistem waktunya sendiri-sendiri.
Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat
banayak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya
yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi.
2. Penggunaan Ruang
Cara orang menggunakan ruang sebagai bagian dalam
komunikasi antar-personal disebut proksemika (proxemics). Proksemika
tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan,
tetapi juga orientasi fisik mereka. Kita mungkin tahu bahwa orang-orang Arab
dan orang-orang Amerika Latin cenderung berinteraksi lebih dekat kepada
sesamanya daripada orang-orang Amerika Utara. Penting disadari bahwa
orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula
dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila kita berbicara dengan
orang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran
apa yang bakal terjadi, menghindari pelanggaran-pelanggaran tersebut, dan
meneruskan interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan. Kita mungkin
mengalami perasaan-perasaan yang sulit kita kontrol; kita mungkin menyangka
bahwa orang lain tidak tahu adat, agresif, atau menunjukkan nafsu seks ketika
orang itu berada pada jarak yang dekat dengan kita, padahal sebenarnya
tindakannya itu merupakan perwujudan hasil belajarnya tentang bagaimana
menggunakan ruang, yang tentu saja dipengaruhi oleh budayanya.
Kita juga cenderung menentukan hierarki sosial dengan
mengatur ruang. Duduk di belakang meja sambil berbicara dengan seseorang yang
sedang berdiri biasanya merupakan tanda hubungan atasan-bawahan, dan orang yang
duduk itulah atasannya. Perilaku yang serupa juga dapat digunakan untuk
menunjukkan ketidaksetujuan, kekurangajaran, atau penghinaan, bila orang
melanggar norma-norma budaya. Kesalahpahaman mudah terjadi dalam
peristiwa-peristiwa antarbudaya ketika dua orang, masing-masing berperilaku
sesuai dengan budayanya masing-masing, tak memenuhi harapan pihak lainnya. Bila
kita tetap duduk sedangkan kita diharapkan berdiri, kita dikira orang melanggar
norma budaya dan menghina pribumi atau tamu, padahal kita tidak menyadari hal
tersebut.
Menurut Tubbs
and Moss (1996), sistem komunikasi non verbal berbeda dari satu budaya ke
budaya lain seperti juga sistem verbal. Di beberapa negara, suatu anggukan
kepala berarti ”tidak”, di sebagian negara lainnya, anggukan kepala sekedar
menunjukkan bahwa orang mengerti pertanyaan yang diajukan. Petunjuk-petunjuk
non verbal ini akan lebih rumit lagi bila beberapa budaya memperlakukan
faktor-faktor non verbal seperti penggunaan waktu dan ruang secara berbeda.
Isyarat-isyarat
vokal seperti volume suara digunakan secara berbeda dalam budaya-budaya yang
berbeda, begitu juga dengan ekspresi emosi. Misalnya, orang Italia dan orang
Inggris lebih terbiasa mengekspresikan kesusahan dan kemarahan daripada orang
Jepang, karena bagi orang Jepang merupakan suatu kewajiban sosial untuk tampak
bahagia dan tidak membebani teman-teman mereka dengan kesusahan. Menurut
Gudykunst dan Ting Tommey (1988), dalam beberapa budaya penampilan emosi
terbatas pada emosi-emosi yang ”positif” dan tidak mengganggu harmoni kelompok.
Alo Liliweri
(2013:98-99) mengatakan bahwa ketika berhubungan antarpribadi maka ada beberapa
faktor dari pesan non verbal yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Ada
beberapa bentuk perilaku non verbal yakni: (1) kinesik; (2) okulesik; (3)
haptiks; (4) proksemik; dan (5) kronemik.
1. Kinesik, adalah studi
yang berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh,
tampilan wajah, gambaran tubuh, dll. Tampaknya ada perbedaan anatara arti dan
makna dari gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan tersebut.
2. Okulesik, adalah studi
tentang gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis
mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata
menggambarkan satu makna tertentu, seperti kasih sayng, marah, dll. Orang
Amerika Utara tidak membenarkan seorang melihat wajah mereka kalau mereka
sedang berbicara. Sebaliknya, orang Kamboja yakin bahwa setiap pertemuan
didahului oleh pandangan mata pertama, namun melihat seorang adalah sesuatu
yang bersifat privacy sehingga tidak diperkenankan memandang orang
lain dengan penuh nafsu.
3. Haptik, adalah studi
tentang perabaan atau memperkenankan sejauh mana seseorang memegang dan
merangkul orang lain. Banyak orang Amerika Utara merasa tidak nyaman ketika
seseorang dari kebudayaan lain memegang tangan mereka dengan ramah, menepuk
belakang dan lain-lain. Ini menunjukkan – derajat keintiman:
fungsional/profesional, sosial dan sopan santun, ramah tamah dan baik budi,
cinta dan keintiman, dan daya tarik seksual.
4. Proksemik, studi tentang
hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, sebagaimana
dikategorikan oleh Hall pada tahun 1973, kecenderungan manusia menunjukkan
bahwa waktu orang berkomunikasi itu harus ada jarak antarpribadi, terlalu dekat
atau terlalu jauh. Makin dekat artinya makin akrab, makin
jauh arinya makin kurang akrab.
5. Kronemik, adalah studi
tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep
tentang waktu yang menganggap kalu suatu kebudayaan taat pada waktu maka
kebudayaan itu tinggi atau peradaban maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan
pada waktu kemudian menghailkan pengertian tentang orang malas, malas bertanggungjawab,
orang yang tidak pernah patuh pada waktu.
2.4 Efek
Komunikasi Antarbudaya
2.4.1 Apa itu Efektivitas
Komunikasi Antarbudaya?
Tujuan komunikasi adalah menciptakan
komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama atas pesan yang
dipertukarkan. Secara umum,
tujuan komunikasi antarbudaya adalah untuk menyatakan identitas sosial dan
menyembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru,
mempelajari seseatu yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya dalam
kebudayaan, serta sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri. Komunikasi
antarbudaya yang intensif dapat mengubahpersepsi dan sikap orang lain, bahkan
dapat meningkatkan kreativitas manusia.
Berbagai pengalaman atas kekeliruan
dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah
kebiasaan komunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang
budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi antarbudaya timbul hanya karena
orang kurang menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam
komunikasi antarbudaya.
Menurut William Howell (1982) dalam Alo
Liliweri (2013:254) setiap individu mempunyai tingkat kesadaran dan kemampuan
yang berbeda-beda dalam komunikasi antarbudaya. Berikut bagan Hubungan antara kesadaran
dan kemampuan berkomunikasi antarbudaya:
1.
SADAR bahwa
TIDAK MAMPU
|
2
SADAR bahwa
MAMPU
|
3
TIDAK SADAR
bahwa
TIDAK MAMPU
|
4
TIDAK SADAR
bahwa
MAMPU
|
Peraga ini menunjukkan bahwa
efektivitas komunikasi antara budaya itu ditentukan pula oleh apakah setiap
individu sadar bahwa ia mampu berfikir, merasakan bahwa seluruh tindakan
komunikasi (action of commucation) yang dia lakukan itu berhasil menciptakan
komunikasi yang efektif.
Para ahli komunikasi antarbudaya
mengemukakan berbagai konsep tentang efektifitas komunikasi antarbudaya yang
meliputi (Alo Liliweri, 2013:257):
a.
kemampuan seseorang untuk menyampaikan
semua maksud atau isi hati secara profesional sesuai dengan kemampuan dan
kompetisi yang dia tampilkan secara prima.
b.
kemampuan seseorang untuk berinteraksi
secara baik, misalnya mampu mengalih bahasakan semua maksud dan isi hatinya
secara tepat, jelas dalam suasana bersahabat.
c.
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang sedang dihadapinya meskipun dia
harus berhadapan dengan pelbagai tekanan dalam proses adaptasi tersebut.
d.
kemampuan seseorang untuk memberikan
fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan diri atau bisa megelola
beragai tekanan kebudayaan lain terhadap dirinya.
Komunikasi itu tidak ditentukan hanya
karena setiap orang sudah melakukan interaksi, relasi dan komunikasi sesuai
dengan peranan (komunikasi). Seorang insinyur, ilmuwan, ahli keuangan, atau
manajer telah berkomunikasi dengan orang lain secara propesional sesuai dengan
kompetensi mereka masing-masing, namun apabila para profesional tersebut tidak
mampu mengendalikan diri menghadapi tekanan perbedaan antar subkultur
berdasarkan profesi, maka komunikasi itu belum efektif. Kunci dari efektivitas
komunikasi adalah kemampuan seorang komunikator untuk menjaga keseimbangan
antara kegiatan interaksi, relasi dan komunikasi di antara dua kebudayaan yang
berbeda.
2.4.2 Aksioma Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Setiap orang yang berkomunikasi
antarbudaya menginginkan hasil yang efektif. Efektivitas itu tergantung pada
sejauh mana orang memahami aksioma-aksioma efektivitas komunikasi antarbudaya.
Apabila konsep-konsep komunikasi
antarbudaya digali lebih dalam maka kita akan menemukan beberapa bentuk atau
beberapa modus perilaku komunikasi yang efektif, yaitu (Alo Liliweri, 2013:258):
a. Efektifitas
hubungan dan komunikasi antarbudaya
Banyak orang menganggap enteng bila terlibat
dalam komunikasi antarbudaya. Mereka tidak sadar bahwa dalam kehidupan
sehari-hari begitu banyak peluang untuk meraih keuntungan sosial atau ekonomi,
namun terpaksa hilang karena kurangnya keterampilan berkomunikasi.
Thibaut dan Kelly (1995) melalui teori
pertukaran sosial pernah mengemukakan, banyak orang dalam pergaulan sosial
ingin memperoleh ganjaran sosial sebesar-besarnya. Ungkapan basa-basi yang
sekedar menyatakan penghargaan terhadap hubungan sosial saja tidaklah cukup.
Yang lebih penting adalah motivasi antar pribadi yang ada dibalik hubungan
sosial itu sehingga mampu memberikan atribusi bagi pengembangan hubungan sosial
dan kepuasan antar pribadi. Jadi, efektivitas komunikasi terletak pada kepuasan
seorang untuk melakukan suatu tindakan simbolis tertentu yang menggambarkan
tidak hanya maksud atau gagasan melainkan juga motivasi untuk bertindak.
Efektifitas komunikasi antarbudaya
didahului oleh hubungan antarbudaya. Hubungan antarbudaya bukan terjadi
sekilas, melainkanterus menerus sehingga kualitasnya berubah dan mengalami
kemajuan kearah kualitas hubungan yang baik dan semakin baik. Kualitas itu
mengemuka ketika anda dapat membedakan pengalaman berhubungan antarbudaya
dengan orang yang berbeda-beda, sehingga anda mengambil keputusan untuk
mewujudkan tindakan simbolis tertentu.
b. Efektivitas
komunikasi antarbudaya dan iklim komunikasi antarbudaya yang positif.
Gundykunst (1977) mengemukakan bahwa
efektivitas komunikasi antarbudaya kerap kali ditentukan oleh iklim komunikasi
yang positif. Gundykunst, Wiseman, dan Hammer (1977) sepakat mengatakan bahwa
efektifitas komunikasi antarbudaya baru terlihat dan teruji dalan suatu kondisi
atau iklim yang melibatkan pertemuan antar dua atau tiga orang dari kebudayaan
yang berbeda. Jadi benarlah menurut Haris dan Moran (1991) iklim
komunikasi merupakan pintu gerbang yang melapangkan proses komunikasi. Iklim
komunikasi yang positif akan mendukung fungsi komunikasi, sedangkan komunikasi
yang negatif akan menghambat fungsi komunikasi. Iklim komunikasi yang positif
maupun negatif ditentukan oleh tiga faktor berikut:
1. Faktor derajat
kognitif
Komunikasi antarbudaya mengharuskan
setiap pelakunya berusaha mendapatkan, mempertahankan, mengembangkan
aspek-aspek kognitif bersama. Saya harus mengetahui keberadaan budaya yang
menjadi latar belakang kehidupan saya, saya pun harus berusaha untuk
mendapatkan dan memahami latara belakang budaya orang lain. Pengetahuan itu
diperoleh dari informasi tentang kebudayaan orang lain, pengalaman pergaulan
yang terus menerus sehingga pengalaman itu dapat mempengaruhi persepsi dan
sikap saya terhadap dia. Dengan kata lain, saya memahami konsep diri saya yang
meliputi identitas pribadi dan identitas sosial.
Identitas Pribadi meliputi aspek-aspek
yang unik yang saya miliki. Saya melihat diri saya yang ingin membaharui relasi
antara saya dengan orang lain. Identitas pribadi itu berasal dari pengalaman
pribadi saya yang unik. Sedangkan identitas sosial merupakan ciri khas kelompok
budaya yang saya peroleh dari pengalaman bergaul dengan kelompok budaya saya.
Aspek kognitif ini demikia penting untuk menghindari harapan-harapan yang
negatif dalam pergaulan antarbudaya. Ada empat akibat negatif interaksi antarbudaya:
a. betapa orang
sering cemas dan takut menampilkan konsep diri (identitas pribadi atau
identitas sosial). Orang selalu menyembunyikan ”keaslian”pribadi dan budaya di
saat mereka berkomunikasi. Akibatnya orang yang berkomunikasi ragu-ragu dan
kurang mengontrol setiap kata yang diucapkan nya, dan mungkin kurang mampu
menggunakan isyarat-isyarat non verbal.
b.
orang sering merasa cemas dan takut
kalau apa yang dia lakukan berakibata negatif sehingga menggangu relasi dengan
orang lain. Sering seseorag takut kalu orag lain akan mengusai atau
memanfaatkan diri kita.
c.
adakalanya orang sering merasa cemas
dan takut kalau dievaluasi oleh orang lain. Orang pun menjadi cemas dan takut
kalau dia ditolak, kurang disukai, kurang dihargai dan lain-lain.
d.
seseorang sering merasa cemas dan takut
terhadap evaluasi dari kelompok dia sendiri, akibatnya dia menjadi takut kalu
dia dianggap atau dinilai oleh anggota kelompoknya bahwa tampilan dirinya
sangat memalukan identitas sosial budaya.
2. Perasaan
positif (positif feeling)
Berdasarkan pengalaman kogitif tersebut
maka setiap orang yang berkomunikasi antarbudaya selalu menghindari prasangka
yang terhadap orang lain. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya perlu
memelihara perasaan positf, misalnya perasaan percaya, nyaman, aman, prihatin,
dan mengurangi perasaan cemas. Perasaan positif dapat membantu seorang
komunikator: pertama, meningkatkan kesadaran dan kemampuan untuk menyatakan
pesan secara terbuka (disclosure). Kedua, kesadaran dan kemampuan untuk
berempati antarbudaya dalam mengembangkan perasaan yang terlibat penuh dari
hati kehati yang memudahkan penyesuaian-penyesuaian antarbudaya.
3. Tindakan yang
menunjukkan kemampuan
Hal ini merupakan dimensi terakhir dari
iklim komunikasi yang positif, yang kita sebut tingkat perilaku. Jika ingin
komunikasi yang positif, maka harus bisa menunjukkan tindakan positif itu
dengan verbal dan non verbal. Buktikan bahwa anda mampu mengatakan dan
menuliskan sebuah pesan tertentu kepada orang lain, bahwa apa yang dikatakan
dan ditulis itu sangat positif mendukung orang lain. Melalui pesan non verbal
anda pun harus mampu menunjukkan pesan-pesan melalui tatapan mata dan
gerak-gerik anggota tubuh, semua itu mengatakan bahwa anda memeliki perasaan
positif. Jadi, iklim positif harus didukung oleh tindakan yang menggambarkan
suatu tindakan yang bersumber dari:
a.
kebiasaan berperilaku tertentu,
misalnya ”script” yakni perilaku yang otomatis, baik sebagai pernyataan atas
identitas pribadi maupun identitas kelompok budaya.
b.
kebiasaan untuk menggambarkan maksud
komunikasi yang diinginkan, bahwa apakah suatu tindakan komunikasi itu bersifat
memberi informasi, memberi intruksi, atau sekedar mengibur atau menyenangkan
orang lain.
c.
kebiasaan untuk menggambarkan seluruh
perasaan, emosi yang kita miliki. Jadi ada tindakan simbolis untuk menyatakan
bahwa kita memiliki pengetahuan, pengalaman yang cukup, persepsi dan perasaan
yang positif terhadap sesama.
c. Identifikasi
variabel komunikasi antarbudaya
Berbagai penelitian komunikasi antarbudaya
selalu mempersoalkan variabel-variabel komunikator, komunikan, pesan, media,
efek, atau umpan balik, serta konteks komunikasi (Alo Liliweri, 2013:263).
Komunikator dalam
komunikasi antarbudaya, adalah seorang yang mengambil inisiatif untuk
menyatakan maksud dan isi hatinya terhadap seseorang dari latar belakng budaya
yang berbeda. Disamping itu seorang komunikator berusaha memperoleh,
mempertahankan, mengembangkan diri dan menyesuaikan dengan komunikasi. Ini
berarti mengenai tiga komponen penting bagi penciptaan kompetensi komunikator,
yakni motivasi berkomunikasi antarbudaya.
Pesan, yaitu
pesan yang berisi maksud, pikiran, dan gagasan seorang komunikator. Pesan bisa berbentuk
verbal dan Non verbal yang dapat dipahami bersama. Pesan-pesan antarbudaya itu
bisa ditampilkan dalam bentuk bahasa verbal yang dimengerti, isyarat-isyarat
non verbal (gerakan anggota tubuh, ruang-ruang jarak dalam budaya
masing-masing, serta campuran kata-kata dan gerakan serta suara) antarbudaya
yang dapat dimaknakan bersama. Pesan juga berbentuk berkomunikasi, tampilan
peragaan simbol-simbol pakaian, makanan, rumah, peralatan rumah tangga, tata
cara/ kebiasaan, dll.
Media antarbudaya
yang oleh komunikator dapat dilakukan melalui pemilihan media yang
menghubungkan perbedaan dua atau lebih budaya. Media itu bisa merupakan pilihan
bentuk komunikasi, cara dan kebiasaan berkomunikasi antarpribadi, antar
kelompok, komunikasi publik dan komunikasi massa.
Komunikan yakni
sasaran komunikasi yang berbeda kebudayaan dengan komunikator.
Efek yaitu
bentuk-bentuk dari dampak seperti;
1.
Apakah efek itu langsung dan khusus yang mendukung dan
memenuhi kebutuhan yang diinginkan.
2.
Apakah pemenuhan itu bersifat pribadi atau kelompok.
3.
Apakah pemenuhan itu bentuk waktu sekarang, memenuhi apa
yang paling dibutuhkan.
4.
Apakah umpan balik itu negatif, positif
atau campuran antara positif dan negatif.
5.
Apakah umpan balik itu membuktikan
adanya pengaruh terhadap emosi antarbudaya.
6.
Apakah efek itu bernuansa santai,
serius, mudah ditanggapi dan dinamis.
7.
Apakah efek itu juga terasa adil dan
terpercaya.
Conteks/setting komunikasi
antarbudaya, yakni bentuk-bentuk komunikasi yang berbeda satu sama lain karena
peranan dan fungsi unsur-unsur komunikasi.
d.
Keterampilan komunikasi dan manusia terisolasi
Ada empat faktor yang membentuk
keterampilan berkomunikasi antarbudaya, yakni: (1) bagaimana mengubah diri
menjadi lebih sadar tentang hakikat interaksi antarbudaya; (2) besikap
toleransi terhadap interaksi dan pesan-pesan yang seringkali bersikap mendua;
(3) bersikap empati; dan (4) kemampuan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian
dalam interaksi antarbudaya.
2.4.3 Bagaimana
Menerangkan Efektivitas Antarbudaya?
Menurut para ahli, ada dua faktor yang
paling berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya, yakni (a) variabel kognitif
dan (b) variabel gaya pribadi; serta (c) variabel-variabel lain. (Alo Liliweeri,
2013:265)
a.
Variabel
Kognitif
Efektivitas komunikasi antarbudaya
umumnya dan perilaku antarbudaya khususnya ditentukan oleh pengetahuan,
pengalaman, dan pikiran yang membentuk konsep antarbudaya. Menurut Ruben (1977),
seseorang yang bekerja dalam satu organisasi, melaksanakan komunikasi
antarbudaya secara intensif hanya jika dia mempunyai apresiasi terhadap
pekerjaan dan tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, perhatian
terhadap kebudayaan tetaplah penting dalam proses komunikasi antarbudaya.
b.
Variabel
Gaya Pribadi
Perilaku yang berdasarkan gaya pribadi
sering disebut orientasi diri (self-oriented). komunikasi antarbudaya
yang berdasarkan orientasi diri dapat mengubah efektivitas komunikasi menjadi komunikasi
yang disfungsional. Berikut bentuk gaya pribadi yang sering tampil dalam
komunikasi antarpribadi.
1.
Etnosentrisme
Etnosentrisme
adalah suatu perasaan superior atau keunggulan dari suatu kelompok orang yang
menganggap kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul. Etnosentrisme
dapat mengurangi efektivitas komunikasi antarbudaya.
2.
Toleransi,
Sikap Mendua dan Keluasan
Komunikasi
antarbudaya mengandung sifat mendua, karena kita menghadapi dua ketidakpastian
kebudayaan, yakni kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Keadaan ini
sering dijumpai dalam beragam konteks komunikasi yakni, konteks antar pribadi,
kelompok, organisasi, publik dan komunikasi massa. Apabila kita
menghadapi situasi yang mendua maka kita telah bersikap toleransi terhadap situasi
itu.
3.
Empati
Kemampuan untuk
berkomunikasi antarbudaya tergantung atas bagaimana cara kita meletakkan diri
dalam kerangka sikap orang lain. Kalau mau menciptakan kerangka itu maka
kita telah membuat suatu jaringan untuk menciptakan efektivitas komunikasi
antarbudaya. Empati yang dimaksutkan agar mulai mengertikan dan memahami orang
lain “dari dalam”, dari kerangka pikir (gagasan yang dia komunikasikan),
perasaan dan perbuatan. Tindakan empati dapat dilakukan melalui kegiatan
mendengar secara aktif dan akurat.
4.
Keterbukaan
Keterbukaan
pribadi (self flexibility) merupakan faktor penting untuk menciptakan
relasi antar pribadi yang maksimum. Dengan keterbukaan bukan berarti bahwa
setiap orang harus membuka diri seluas-luasnya, namun membuka kesempatan untuk sama-sama
mengetahui imformasi tentang diri maupun tentang lawan bicara.
5.
Kompleksitas
Kognitif
Kompleksitas
kognitif mengacu pada kemampuan pribadi untuk mengetahui, dan memahami orang
lain. Secara umum dapat dilakukan bahwa kompleksitas kognitif seorang itu
berada pada taraf multipleks maka dia akan melihat sesuatu secara lebih luas
dan dia mampu memberikan gambaran tentang pelbagai perbedaan tentang apa yang
dilihatnya secara mendalam.
6.
Kenyamanan
Antarpribadi
Kita dapat
merasa hubungan antarpribadi dalam keadaan nyaman dan tenang jika perasaan itu
dikaitkan dengan penyesuaian interaksi antarbudaya dari taraf minimum hingga
ketaraf yang maksimum (Norton dan Dodd, 1984). kepercayaan dan interaksi antar
pribadi (Tucker and Baier, 1985), berkaitan dengan prinsip efektivitas. Apabila
anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak percaya dengan relasi
antarpribadi dalam kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman,
tidak tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda.
7.
Kontrol Pribadi
Efektivitas
komunikasi antarbudaya sangat tergantung pada sejauhmana anda mengontrol
pribadi terhadap lingkungan sekitar. ada hubungan yang signifikan antara
kontrol pribadi dan tampilan pribadi dengan penyesuaian budaya. Temuan itu
mempertanyakan bagaimana cara anda memandang kemampuan anda sendiri untuk dapat
terlibat dalam proses adaptasi antarbudaya yang pada gilirannya menentukan
efektivitas komunikasi antarbudaya.
8.
Kemampuan
Inovasi
Inovasi
merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang dilakukan melalui
penyebarluasan informasi dan teknologi baru melakukan sistem sosial suatu
masyarakat. Jika konsep inovasi ini dihubungkan dengan difusi (Everet M.Rogers)
maka kemampuan inovasi meliputi kemampuan seorang yang kita sebut inovator guna
menerima dan menyebarluaskan informasi yang kemudian dengan metode dan teknik
tertentu disebarluaskan kesasaran yang dituju.
9.
Harga Diri
Harga diri (self
esteem) sangat menentukan efektivitas antarbudaya. Manakala pertahanan
hargadiri itu makin tinggi maka komunikator makin sulit berkomunikasi dengan
komunikan, sebaliknya juga, jika perasaan “rendah diri”menyenyelimuti
komunikator maka keadaan psikologis itu dapat menghambat komunikasi antarbudaya
(Bannett, 1977). Oleh karena itu percaya diri (self confidience) dan
inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri sangat menentukan efektivitas
komunikasi antarbudaya (Tucker dan Baier 1985).
10.
Keprihatinan
dan Kecemasan Komunikasi
Kecemasan
komunikasi antarpribadi, kecemasan dalam kelompok, serta kecemasan atas publisitas
dapat berdampak atas penyesuaian antarbudaya yang pada gilirannya mempengaruhi
efektivitas komunikasi antarbudaya. semakin tinggi tingkat keprihatinan
terhadap komunikasi maka semakin rendah efektivitas komunikasi antarbudaya
(Dodd, 1987).
c.
Variabel-Variabel
Lain
Variabel-variabel lain yang dimaksud yaitu
komunikasi antarpribadi, keramahtamahan, motivasi akultulasi, umur, pekerjaan,
keanggotaan dalam suatu organisasi, kemampuan berbahasa (Kim, 1977); termasuk
memperlihatkan perhatian pada orang lain/ kemampuan interaktif (Ruben, 1977),
motivasi positif, harapan positif, kepercayaan yang dimiliki, kemampuan untuk
melacu, sikap terhadap minuman keras, komunikasi keluarga (Tucker dan Baier,
1985), tingkat kesamaan atau perbedaan dengan kebudayaan sendiri, kedekatan
dengan kebudayaan sendiri (Gundykunst dan Kim, 1984).
2.4.4 Adaptasi
Perilaku Komunikasi ke dalam Efektivitas Antarbudaya
Ada 3 sasaran komunikasi antarbudaya
yang selalu dikehendaki dalam proses komunikasi antarbudaya, yakni (a) agar
kita berhasil melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan orang –orang
dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, (b) agar kita dapat meningkatkan
hubungan antarpribadi dalam suasana antarbudaya, dan (c) agar tercapai
penyesuaian antarpribadi. (Alo Liliweri, 2013:276)
Salah satu tujuan hidup bersama adalah berkomunikasi
sehingga di antara kita saling mendukung demi pencapaian tugas-tugas yang
dikehendaki bersama. Keberhasilan dalam tugas dapat di dukung oleh komunikasi
antarbudaya yang dilakukan secara terbuka, berfikir positif, saling mendukung,
bersikap empati. Akibatnya adalah kita meningkatkan semangat saling memberi dan
menerima perbedaan sesuai dengan prinsip kebudayaan masing-masing.
Manfaat pada aspek relasi adalah bagaimana orang
berkomunikasi dengan anda, dapat mengatakan tentang apa yang anda pikirkan, apa
yang anda rasakan, apa yang anda lakukan. Beberapa pertanyaan muncul dalam
relasi antarpribadi komunikasi antarbudaya, misalnya; apakah mereka suka kepada
anda? Apakah anda dapat melanjutkan kerjasama tersebut? memahami dan mengerti
tentang kesejawatan, kesetiakawanan merupakan dua faktor yang penting dalam
hubungan atau relasi antar pribadi. Dampaknya adalah, kita mencapai salah satu
tujuan dari studi komunikasi antarbudaya yakni meningkatkan pengertian dan
mengurangi ketegangan antarpribadi-antarbudaya.
Sasaran ketiga yang perlu dipahami dalam komunikasi antarbudaya adalah terciptanya
penyesuaian antarpribadi. Perlu diketahui bahwa karena mereka
yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya sering bergaul dengan frekuensi yang
tinggi maka prasangka-prasangka budaya yang sebelumnya telah terbentuk
perlahan-lahan berkurang. Jadi anda dengan komunikan memulai suatu proses hidup
bersama misalnya menyesuaiakan diri antarbudaya, makin terbuka dengan sesama, dan
sebagainya.
2.5 Realita Pertemuan
Budaya
Seiring mengecilnya dunia akibat globalisasi-kapitalisme dan perkembangan
teknologi informasi, maka kemungkinan bertemunya antar orang- orang dari berbagai belahan dunia
semakin besar pula. Pertemuan yang tidak harus secara real fisik melainkan
dapat melalui media-media simbolik transmisioner semacam: telepon, televise atau
internet. Pertemuan yang tidak mungkin dihindari jika masih ingin exsist
daripada mengambil pilihan lain yaitu menghindar (withdrawl) dan kemudian
tertinggal lalu terpuruk pada akhirnya. Pertemuan yang bukan hanya antar orang-perorang semata, melainkan
sesungguhnya juga pertemuan antarbudaya.
Akibatnya adalah persoalan benturan
budaya semakin mengemuka. Persoalan yang tidak sekedar menuntut perpecahan
melainkan lebih pada pemahaman dan kesadaran: akan keberagaman budaya yang
membawa pada kemampuan: beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan
yang luas, mengatasi konflik interpersonal, dan memenangkan globalisasi.
Diakui hubungan antarbudaya adalah
suatu tantanga besar bagi manusia. Di dalamnya terdapat kepastian akan adanya
perbedaan yang kadang menyakitkan terutama ketika dihadapkan pada pengambilan
keputusan dan kepastian akan kemungkinan mengalami konflik serta keharusan
menerima perbedaan. Contoh yang sangat kecil saja, di dalam budaya Jawa
memberikan sesuatu kepada siapapun terutama kepada orang yang lebih tua dengan
menggunakan tangan kiri adalah hal yang sangat tidak sopan. Sebaliknya hal ini
sendiri bukanlah suatu hal yang bernilai bagi orang-orang dari budaya barat. Selanjutnya
menjadi persoalan ketika orang Jawa pergi ke Eropa dan pada suatu ketika si
anak penjual korang memberikan korannya dengan tangan kiri. Disinilah
kemungkinan konflik muncul dan menuntut kesadaran akan perbedaan budaya.
Di sisi lain tantangan tersebut
sesungguhnya juga memberikan kesempatan besar bagi umat manusia. Kesempatan
untuk menambah wacana sekaligus mengaktualisasikan potensi dan keunikan masing-masing. Kesempatan untuk menampilkan
warna masing-masing
dan membuat lebih indah taman dunia dengan bunga yang beraneka warna.
Namun demikian untuk dapat menemukan
kesempatan tersebut mensyaratkan adanya keberanian membuka diri sekalipun
keberanian dan kejujuran untuk melihat diri dan budaya sendiri. Ketakutan,
kekolotan, dan seringkali kesombongan diri yang kaku, merasa budaya sendiri yang
benar (ethnocentrism) kadang yang
malah muncul dan menghalangi penilaian diri yang jujur yang ujungnya menghambat
diri untuk maju.
Sangat mungkin menghadapi kepastian
konflik tersebut, ada individu yang lebih memilih menghindari konflik dengan
jalan menghindari pertemuan dengan individu dari latar budaya lain dan
sebaliknya memilih hanya berdiam dalam kelompoknya (In his own cultural group). Dengan hanya bergaul dan mengembangkan
eksistensi diri pada kelompoknya sendiri member individu tersebut rasa aman,
terhindar dari kesulitan adaptasi karena sudah adanya kesamaan identitas dan
lepas dari kemungkinan konflik karena tidak ada perbedaan kebiasaan. Namun
dengan mengembangkan hidup hanya pada satu kelompok sesungguhnya malah berarti
membeda-bedakan diri dan menjadikan orang
lain semakin berbeda dan hal ini pada dasarya malah menciptakan kemungkinan
konflik lain semakin berbeda dan hal ini pada dasarnya malah menciptakan
kemungkinan konflik yang lebih besar. Selain itu individu tersebut juga akan
kehilangan banyak informasi serta wacana baru yang menjadi kunci untuk exist di
dunia yang tak pernah berhenti berubah ini. Terlebih penting individu itu
kehilangan kesempatan untuk belajar dan beraktualisasi diri yang lebih baik.
Maka dari itu, kesadaran yang disertai keberanian untuk menerima perbedaan
adalah hal yang jauh lebih indah dan menjadi satu-satunya syarat untuk melangkah maju
tanpa memaksakan diri untuk menjadi seragam.
Dengan keberanian untuk membuka diri
hubungan dengan banyak manusia dari berbagai macam budaya, berarti kita
mengembangkan diri, mendapat banyak wacana baru, menambah lebih banyak saudara
ataupun relasi, dan itu berarti membuka pintu kesempatan. Membuka diri memiliki
makna mau memehami orang lain, menerima budaya lain, dan siap untuk berbeda
(Johnson, 1993).
Pemaparan di atas memberikan
gambaran ringkas betapa kompleksnya masalah hubungan manusia dalam konteks antarbudaya, namun
sekaligus menawarkan suatu kesempatan luar biasa besar bagi kemajuan
kemanusiaan dan peradaban. Sementara bagi akademisi, hal tersebut merupakan
persoalan baru yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam dalam kerangka
ilmiah, khususna bagi cabang-cabang humaniora. (Tria Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2012:1-3).
DAFTAR PUSTAKA
Alo
Liliweri. 2013.
Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anak Agung
Ngurah Adhiputra. 2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Sulasman
dan Setia Gumilar. 2013. Teori-Teori Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setya.
Tria Dayakisni dan Salis Yuniardi. 2012. Psikologi Lintas Budaya:
Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar