2.1.Komunikasi Antarbudaya
Pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tidak dapat
dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak
sekedar dua kata namun merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya dimana studi komunikasi antarbudaya (William dalam
Liliweri, 2013: 8) dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek
kebudayaan terhadap komunikasi.
Liliweri (2013: 9) mendefinisikan komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar
belakang kebudayaan. Sependapat dengan Jandt (1998: 36) mendefinisikan Intercultural
communication generally refers to face-to-face interaction among people of
diverse culture yang berarti bahwa komunikasi antarbudaya
secara umum merujuk pada interaksi face to face diantara orang-orang
dengan berbagai kebudayaan yang berbeda.
Lustig dan Koester (dalam Liliweri, 2013: 11) memaparkan komunikasi
antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretative,
transaksional, kontekstul yang dilakukan oleh sejumlah orang yang karena
memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu memberikan interpretasi dan
harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku
tertentu sebagai makna yang dipertukarkan.
Guo-Ming Chen dan William J. Starosta (dalam Liliweri, 2013: 11)
mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negoisasi atau pertukaran
system simbolik yag membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam
menjalankan fungsinya sebagai kelompok, dimana selanjutnya komunikasi
antarbudaya itu dilakukan: (1) dengan negoisasi manusia di dalam pertemuan
antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbolik) yang
sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia
dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegoisasikan atau
diperjuangkan.
(2) melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung
dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan
dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama, (3) sebagai
pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena
mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita, (4) menunjukkan fungsi sebuah
kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan
mengidentifikasinya dengan berbagai cara.
Definisi tersebut merujuk pada perkembangan komunikasi
terlebih pada komunikasi antarbudaya yang merupakan suatu proses komunikasi dan
interaksi yang dipengaruhi tingginya derajat perbedaan antarbudaya sehingga
memungkinkan untuk mendapatkan suatu jaminan terhadap akurasi interpretasi
pesan-pesan verbal maupun non verbal yang menjadikan peluang komunikasi lebih
efektif. Akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun non verbal akan
meminimalkan derajat perbedaan komunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang
berbeda, baik derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat
ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tidak dapat dijelaskan, tidak
bermanfaat, bahkan tidak bersahabat.
Penting bagi suatu masyarakat yang berada pada kondisi
kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh
nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang
menjadi latar belakang kehidupan akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia.
2.2. Proses
Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi tidak bisa dipandang sekedar sebuah
kegiatan yang menghubungkan manusia dalam keadaan pasif tetapi komunikasi harus
dipandang sebagai suatu proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan
tindakan yang terus menerus diperbaarui. Dikatakan sebagai suatu proses karena
komunikasi itu dinamik, selalu berlangsung dan sering berubah-ubah. Sebuah
proses terdiri dari beberapa sekuen yang dapat dibedakan namun tidak dapat
dipisahkan
Komunikasi antarbudaya pada hakikatnya sama dengan
komunikasi lainnya, yaitu suatu proses yang interaktif dan transaksional serta
dinamis. Komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang
dilakukan oleh komunikator dan komunikan dalam dua arah/timbal balik (Two way communication) namun masih
berada pada tahap rendah (Wahlstrom dalam Liliweri, 2013: 24). Namun, apabila
memasuki pada tahap tinggi misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan
tindakan bersama maka komunikasi tersebut telah memasuki tahap transaksional
(Hybels dan Sandra dalam Liliweri, 2013: 24).
Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting
meliputi: (1) keterlibatan emosional yang tinggi, (2) peristiwa komunikasi, dan
(3) partisipan dalam komunikasi antarbudaya yang menjalankan peran tertentu.
Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang bersifat
dinamis karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup,
berkembang dan bahkan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi
tertentu. Karena komunikasi yang dilakukan merupakan komunikasi antarbudaya
maka kebudayaan merupakan dinamisator atau “penghidup” bagi proses komunikasi
tersebut.
Lebih lanjut terkait dengan proses komunikasi
antarbudaya tertentunya tidak terlepas oleh unsur-unsur yang terkait dalam
komunikasi antarbudaya yang meliputi: (1) komunikator yaitu pihak yang
memprakarsai komunikasi yang berarti bahwa dirinya mengawali pengiriman pesan
tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Dalam komunikasi antarbudaya
seorang komunikator berasal dari latar belakang tertentu yang berbeda
kebudayaan dengan komunikan.
Karakteristik komunikator ditentukan oleh latar
belakang etnis dan ras, demografis seperti umur dan jenis kelamin hingga latar
belakang sistem politik. Selain itu, faktor-faktor yang berkaitan dengan
kemampuan berbahasa sebagai pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara
dan menulis secara baik dan benar, kemampuan menyatakan symbol non verbal,
bentuk-bentuk dialek dan aksen dan lain-lain.
(2) Komunikan adalah pihak yang menerima pesan
tertentu, dirinya menjadi tujuan/sasaran komunikasi dari pihak lain
(komunikator). Tujuan komunikasi akan tercapai manakala komunikan “menerima”
(memaknai makna) pesan dari komunikator, dan memperhatikan serta menerima pesan
secara menyeluruh. Acapkali seorang komunikan ketika memperhatikan atau
memahami isi pesan tergantung dati tiga bentuk pemahaman, yaitu kognitif,
afektif dan overt action atau
tindakan nyata.
(3) Pesan adalah apa yang ditekankan atau yang
dialihkan oleh komunikator kepada komunikan, sedangkan simbol, yaitu sesuatu
yang digunakan untuk mewakili maksud tertentu misalnya dalam kata-kata verbal
yang digunakan atau ditulis atau symbol non verbal yang diperagakan melalui
gerak-gerik tubuh / anggota tubuh, warna, artifak, gambar, pakaian dan
lain-lain yang semuanya harus dipahami secara konotatif. Setiap pesan
sekurang-kurangnya mempunyai dua aspek utama, yaitu: content dan treatment.
(4) Media merupakan tempat, saluran yang dilalui oleh
pesan atau symbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa atau dapat
langsung dilakukan dengan tatap muka. Ada dua tipe saluran yaitu: (a) sensory channel atau saluran sensoris
yang dapat memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indra, dan (b) institutionalized means atau saluran
yang sudah sangat dikenal dan digunakan manusia misalnya percakapan tatap muka,
material cetakan dan media elektronik.
(5) Efek atau umpan balik merupakan tanggapan balik dari
komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Dalam
komunikasi tatap muka, umpan balik lebih mudah diterima sehingga komunikator
dapat mengetahui secara langsung apakah serangkaian pesan itu dapat diterima
oleh komunikan atau tidak. Reaksi-reaksi verbal dapat diungkapkan secara
langsung oleh komunikan melalui kata-kata menerima, mengerti bahkan mungkin
menolak pesan, sebaliknya reaksi pesan dapat dinyatakan dengan pesan non verbal
seperti menganggukkan kepala tanda setuju dan menggelengkan kepala sebagai
ungkapan tidak setuju.
(6) Suasana (setting
and context), satu faktor penting dalam komunikasi antarbudaya adalah
suasana yang kadang-kadang disebut setting
of communication yakni tempat (ruang atau space) dan waktu (time)
serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung.
Dan (7) gangguan (noise atau interference) yakni segala sesuatu yang
menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan,
atau yang paling fatal adalah mengurangi makna pesan antarbudaya.
De Vito (dalam Liliweri, 2013: 31) menggolongkan tiga
macam gangguan, yaitu (a) fisik; berupa intervensi dengan transmisi fisik
isyarat atau pesan lain, (b) psikologis; intervensi kognitif atau mental, dan
(c) semantik; berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan,
menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dapat dipahami
pendengar. Lebih lanjutnya komunikasi antarbudaya akan tergambar seperti
dibawah ini.
Gambar 2.2.1.
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
2.3. Fungsi
Komunikasi Antarbudaya=
2.3 Fungsi
Komunikasi Antarbudaya
Manusia sebagai makhluk sosial merupakan makhluk yang
membutuhkan individu yang lain untuk berlangsungnya kehidupan, tentunya dalam
meningkatkan kehidupan perlunya komunikasi antara satu dengan yang lainnya
dengan menciptakan, memelihara relasi (relations)
melalui pembagian informasi, isi (content)
bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Manusia berkomunikasi termasuk komunikasi
antarbudaya, karena ada tujuan dan fungsi untuk memenuhi “panggilan” relasi
melalui cara menyatakan isi.
Secara umum ada empat kategori fungsi utama komunikasi
antarbudaya (LIliweri, 2013: 35) yakni: (1) fungsi informasi, (2) fungsi
instruksi, (3) persuasive dan (4) fungsi menghibur. Apabila empat fungsi utama
diperluas maka akan ditemukan dua fungsi lainnya, yaitu: (1) fungsi pribadi dan
(2) fungsi sosial Fungsi pribadi dirincikan ke dalam fungsi (1) menyatakan
identitas sosial, (2) integrasi sosial, (3) kognitif dan (4) fungsi melepaskan
diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial terinci atas fungsi: (1) pengawasan,
(2) menghubungkan/menjembatani, (3) sosialisasi dan (4) menghibur. Lebih
jelasnya akan tergambar pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.3.1.
FUNGSI-FUNGSI PRIBADI
DAN SOSIAL DARI KOMUNIKASI
Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang
ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu
yang terkait dengan menyatakan: (1) identitas sosial; dimana beberapa perilaku
komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas diri maupun
identitas sosial. Perilaku ini dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik
secara verbal maupun non verbal. Dan dari perilaku tersebutdapat diketahui
identitas diri maupun sosial.
(2) Integrasi sosial yang memiliki inti konsep
menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap
mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Prinsip utama
dalam proses pertukaran informasi antarbudaya adalah bagaimana saya
memperlakukan anda sebagaimana kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan
sebagaimana saya kehendaki. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat
meningkatkan intergrasi sosial atas relasi mereka.
(3) Menambah pengetahuan melalui komunikasi
antarbudaya maupun antarpribadi dengan saling mempelajari kebudayaan. (4)
Melepaskan diri/jalan keluar, komunikasi antarbudaya terkadang untuk membantu
melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi
dimana memilih komunikan menentukkan hal ini sehingga komunikasi dapat
berfungsi menciptakan hubungan yang komplementer dan hubungan yang simetris.
Hubungan ini bersifat setara (sebanding) dengan penekanan yang meminimalkan
perbedaan diantara kedua orang yang bersangkutan.
Fungsi sosial memiliki empat rincian, yaitu (1)
pengawasan dimana praktek komunikasi antarbudaya diantara komunikator dan
komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap
proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan
“perkembangan” tentang lingkungan. Dan sebagai dampaknya kita turut mengawasi
perkembangan sebuah peristiwa dan berusaha mawas diri seandainya peristiwa itu
terjadi pula dalam lingkungan kita.
(2) Fungsi Menjembatani ialah dimana fungsi ini
merupakan jembatan antara dua orang yang memiliki perbedaan budaya sehingga
dapat menjadi terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya
saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan
makna yang sama. (3) sosialisasi nilai yang merupakan fungsi untuk mengajarkan
dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat
lain. Dan (4) menghibur; dimana fungsi ini sering tampil pada komunikasi
antarbudaya dalam bentuk hiburan baik yang dilakukan dengan menampilkan
kesenian, music dan lain sebagainya.
2.4 Hakikat
Perubahan dalam Masyarakat
Kemajuan dunia bagaikan kuda balap
yang berderap kencang. Apa saja yang tidak dapat mengubah dirinya dengan
cekatan dan apa saja
yang tidak bisa maju bersama dunia akan disisihkan oleh seleksi alami. Ini
adalah bagian kata-kata Seruan Chen Tu Hsiu kepada para pemuda Cina di tahun
1915. Seruan ini masih
dapat diteruskan kepada pada generasi kita yang sedang memelihara dan
melestarikan sejarah, atau kita yang menciptakan sejarah.
Bagaimanapun juga dunia hari ini
berbeda dengan dunia anda ketika masih kanak-kanak. Jika anda menoleh ke
belakang dan berpikir tentang riwayat hidup anda, mungkin anda masih ingat beberapa
peristiwa kecil yang menjadi pengalaman anda. Mungkin sekali masa kecil anda
dihabiskan dalam suasana perang seperti anak-anak di Lebanon atau hidup dalam
suasana damai seperti orang Bori di pulau Timor. Dan ketika anda
beranjak dewasa maka anda mulai hidup dan belajar tentang segala sesuatu dari
lingkungan sosial dan lingkungan fisik di sekitar anda.
Kita pun banyak belajar tentang cara berpikir, tentang cara hidup
berperasaan dan bergaul dengan orang-orang yang ditemui atau yang hidup bersama
dengan kita dalam masyarakat. Bahwa perubahan dalam lingkungan keluarga,
ekonomi, sistem stratifikasi sosial memberi kepada kita suatu kemampuan untuk
memprediksi masa depan, dan hanya dengan kemampuan mengantisipasi masa depan
maka kita dapat melakukan perubahan sosial-budaya. Mengerti akan sebuah
perubahan sosial-budaya tidak sekedar mengetahui riwayat hidup individu atau
sejarah perkembangan satu atau lebih kelompok sosial-budaya tetapi yang
dibutuhkan adalah "organisasi" atas semua pengalaman tersebut.
Cukupkah itu? Kita membutuhkan pula teori yang mampu menerangkan sebab-sebab
terjadinya perubahan sosial-
budaya dan Perubahan
Sosial-budaya, bagaimana proses perubahan, apa yang berubah dan ruang lingkup perubahan,
tetapi juga akibat perubahan sosial-budaya, bahkan menentukan atau meramalkan
perubahan tersebut.
Studi tentang perubahan sosial-budaya umumnya merupakan salah satu dari
bermacam-macam studi tentang masyarakat. Mengapa? Karena setiap pola kehidupan
atau sodai pattern dapat diidentifikasi dan diuji sepanjang waktu. Perkembangan
simbol-simbol baru yang memberikan makna dalam agama, seni, literatur dan musik
merupakan contoh dari perubahan kebudayaan, semuanya ini menjadi subjek studi
teoritis yang bersifat makro. Sementara itu cara individu berinteraksi dengan
seseorang atau dalam proses kelompok kecil, merupakan subjek teori atau
studi-studi pada aras mikro. Jika kita sepakat bahwa perubahan sosial-budaya
itu meliputi aras makro dan mikro yang terjadi dalam sebuah masyarakat maka ada
baiknya kita melihat sejenak paradigma sebuah masyarakat.
Ada banyak sekali paradigma tentang masyarakat, tiga di antaranya yang
sangat penting, yaitu: paradigma fungsional, konflik, dan interaksionisme.
Perspektif fungsionalisme dan konflik adalah macrolevel yang memandang perubahan masyarakat dalam skala besar seperti proses
sosial dan struktur sosial Perbedaan utama antara kedua paradigma itu, bahwa
fungsionalisme cenderung menekankan proses stabilitas sosial dan perubahan
gradual, sedangkan teori-teori konflik cenderung terfokus pada kekuasaan,
kekacauan dan relatif pada transformasi yang cepat. Sementara interaksionisme
simbolis merupakan microlevel, sebuah model konseptual dari interaksi antara individu dalam kelompok. Dalam perbagai penjelasan lebih lanjut, konsep masyarakat
sebagai sistem secara historis berkaitan dengan fungsionalisme, meskipun dalam
tahun-tahun terakhir, teori konflik mulai mendekatkan diri ke dalam perspektif
sistem, dan interaksionisme mulai mempelajari social nehvorks dalam penerapan model masyarakat sebagai sistem.
Sebelum kita membahas tema
komunikasi dan perubahan sosial-budaya, ada baiknya, kita mengerti dulu
perubahan sosial budaya itu. William F Oghburn mengemukakan ruang lingkup
perubahan-perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang materiil
maupun immateriil dengan tekanan utama pada datangnya pengaruh yang besar dari
unsur-unsur kebudayaan materiil terhadap unsur-unsur immateriil. Bahwa
perubahan sosial merujuk pada perubahan dalam mekanisme yang berkaitan dengan
kemanusiaan, namun akibat perubahan sosial dan budaya sangat tipis perbedaannya
maka setiap perubahan sosial juga mengandung makna perubahan budaya.
Kingsley Davis mengartikan
perubahan-perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi masyarakat. Misalnya timbul pengorganisasian. Contoh ini mudah terlihat
dalam masyarakat kapitalis yang juga dikenal oleh masyarakat sekarang, seperti
didirikannya pelbagai pabrik yang padat modal (kapital) maka terjadi perubahan
hubungan antara buruh dengan majikan yang kemudian menyebabkan
perubahan-perubahan dalam oganisasi ekonomi dan politik.
Mac Iver membedakan perubahan sosial antara perubahan utilitarian elements dengan cultural elements yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan manusia yang primer dan
sekunder. Karena itu menurutnya, semua kegiatan dan ciptaan manusia dapat
diklasifikasi ke dalam dua kategori tersebut di atas, dimana utilitarian elements merupakan ciri peradaban. Contoh, kita mungkin belum
memerlukan alat bantu teknologi hitung seperti kalkulator, namun lantaran
sarana tersebut sangat membantu mempercepat penyelesaian pekerjaan matematis
maka kita membeli kalkulator. Hal menggunakan materi sebagai alat bantu untuk
mencapai tujuan merupakan salah satu bentuk peradaban, yakni tindakan utilitarian elements namun kemauan
kehendak motivasi, dorongan menggunakan
alat hantu adalah kebudayaan yaitu cultural elements. Jadi kebudayaan merupakan ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara berpikir, pergaulan, menghayati seni, dan nilai agama, menikmati rekreasi dan hiburan.
2.4.1
Beberapa Sifat
Perubahan
Dengan memperhatikan model-model perspektif masyarakat yang menjelaskan sistem sosial dan ruang lingkup staft masyarakat tersebut di atas maka para sosiolog
maupun antropolog mulai memfokuskan analisis studi mereka terhadap komunitas. Banyak teoritis pada aras makro lebih memilih sebuah bangsa dan kelompok budaya yang luas, misalnya suatu bangsa seperti Indonesia yang berbeda etnik namun berbicara dalam
bahasa Indonesia. Hanya sedikit
teoritis di aras makro yang berhasil membangun suatu analisis yang mereka sebut "sistem dunia",
misalnya aneka ragam hubungan sistem ekonomi dan politik yang beruang lingkup
dunia. Beberapa
karakteristik perubahan itu antara lain sebagai berikut:
Ø perubahan Struktural
Setiap orang dalam masyarakatnya
mempunyai posisi sosial tertentu, contoh adalah pekerjaan, dari pekerjaan dapat
ditentukan jenis peran setiap orang dalam masyarakatnya. Apabila suatu saat
seseorang mendapat promosi maka kita bilang orang itu naik pangkat, karena
orang itu berubah peran yang makin tinggi dengan tanggungjawab yang makin
besar. Dalam studi mobilitas sosial, perubahan semacam ini digolongkan sebagai
perubahan sosial semata-mata dalam peran individu. Kapan kita menyebutkan
sebuah perubahan itu sebagai sebuah perubahan struktural? Kita akan bilang
perubahan itu sebagai perubahan struktural kalau perubahan itu mengandung
diferensiasi sosial yakni salah satu jenis perubahan struktural karena ada
sesuatu yang baru dari perubahan itu, misalnya perubahan yang menghasilkan
peran-peran yang lebih khusus (ada pengembangan spesialisasi).
Masyarakat industri mempunyai
derajat diferensiasi yang tinggi kalau dibandingkan dengan masyarakat di masa
lalu. Pertumbuhan komputer misalnya telah memberikan kontribusi bagi
diferensiasi struktural dalam ekonomi melalui penciptaan pekerjaan spesialis.
Diferensiasi struktural menciptakan peran baru, institusi baru, dan komponen
baru dari sebuah struktur sosial, hingga kepada proses integrasi sosial yang
berkaitan dengan unsur baru seperti koordinasi atas fungsi suatu petani. Dalam
banyak teori perubahan sosial beraras makro, integrasi mengambil tempat sesudah
periode diferenasi struktural dengan menciptakan peran baru sebagai bagian dari
kebudayaan baru yang dihasilkan bersama. Sedangkan dalam skala mikro, integrasi
sosial dapat dilihat ketika seorang yang lain sama sekali bersama-sama terlibat
dalam suatu seting sosial seperti dalam pembaharuan sebuah tim kerja.
Ø Perubahan Dinamika dan
Stabilitas
Stabilitas itu penting dalam semua
kebudayaan. Acap kali kita mengatakan bahwa jika salah satu nilai mengalami kemajuan dan pertumbuhan,
maka di sana akan terjadi dinamika. Hampir semua model masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem yang stabil, karena
di dalamnya ada struktur institusional untuk melayani dan menangani pola-pola budaya.
Dalam ilmu sosial,
istilah
stabil itu tidak berarti tidak ada perubahan, sebab di sana ada perubahan yang terjadi perlahan-lahan dari masyarakat masa lalu dan
mengikuti perubahan waktu hingga ke masa sekarang Model suatu masyarakat yang cenderung berkembang telah dijadikan topik
bahasan ilmuwan sosial sejak abad 19, tatkala para ilmuwan itu
mulai meminjam kata "sistem" dari biologi untuk menjelaskan dinamika stabilitas.
Ø Progress
Pilihan sistem dengan memperhatikan dinamika stabilitas merupakan model
bagi suatu masyarakat yang didasarkan pada pengalaman historis dari masyarakat
industrial. Namun demikian di sana ditunjukkan pula betapa banyak negara yang
gagal mencapai kemajuan untuk memecahkan masalah-masalah bangsanya. Model ini
diimplikasikan dalam perencanaan pembangunan untuk menciptakan suatu masa
transisi secara gradual dari satu sistem ke sebuah sistem yang lebih baik.
Itulah yang banyak negara diaplikasikan sebagai program pembangunan
berkesinambungan.
Ø Perubahan
Revolusioner
Model perubahan sosial yang revolusioner tidak berakhir dengan kekacauan
sosial, tetapi model ini merupakan model untuk menjelaskan perubahan yang
cepat, kacau dan acapkali ditandai dengan perubahan yang relatif stabil dari
suatu masyarakat. Dalam teori revolusioner dikatakan bahwa ketegangan sosial dan konflik dapat dipandang sebagai faktor yang menentukan pembaharuan
sosial, misalnya dari proses evolusi menjadi revolusi. Perbedaan gradual
antara perubahan sosial yang revolusioner dengan evolusioner terletak pada
penggantian proses sosial dan struktur sosial.
Ø
Beberapa
Catatan tentang Pembangunan sebagai Perubahan
Catatan singkat yang saya buat ini
mungkin akan lebih lengkap dalam kuliah sosiologi pembangunan. Jika pembangunan
dilihat sebagai proses perubahan, maka ada beberapa pendekatan dalam studi
pembangunan yang harus diperhatikan; yaitu: (1) Pendekatan modernitas dan
variannya adalah: a. pendekatan modernisasi, b. pemerataan kembali dengan
pertumbuhan, c. pendekatan kebutuhan dasar; dan (2) Pendekatan ekonomi politik
yang terdiri dari; a. pendekatan ketergantungan, b. pendekatan sistem dunia,
dan c. pendekatan artikulasi modus produksi.
Saya hanya mengambil satu pendekatan yang menurut pandangan saya relevan
dengan pengaruh perubahan terhadap komunikasi antarbudaya, yakni gagasan
fungsionalisme struktural dari Talcot Parsons. Jika konotasi kemajuan ditentukan dalam perbandingan
atas perubahan suatu masyarakat modem dengan masyarakat tradisional maka kita
akan merujuk pada lima variabel {pattern variables) yang sekaligus menunjukkan tahap pembangunan, yaitu;
(1) afektif-netral afektif; (2)
partikularistik - universalistik;
(3) orientasi kolektif - orientasi diri; (4) status yang diberikan/ askripsi -
status yang diperoleh {achievement); dan (5) fungsi tersebar - fungsi spesifik. Pertama, variabel pertama yang dibandingkan antara masyarakat tradisional dengan
masyarakat modern adalah afektif-netral-afektif. Parsons ingin menyebutkan bahwa hubungan sosial
pada masyarakat tradisional bersifat afektif personal, emosional, tingkat tatap
muka. Hubungan sosial dalam masyarakat modern, impersonal, bebas emosi, dan
tidak pernah bersifat langsung. Kedua, variabel
partikularistik - universalis tik; dalam masyarakat tradisional orang cenderung
bekerja sama dengan orang dari latar belakang yang sama, kelompok yang sama,
perjanjian kerja bersifat informal dan kadang-kadang verbal. Masyarakat modern
bersifat universalistik, penduduk kota makin padat, pembagian kerja dengan
diferensiasi makin tinggi, pergaulan meluas
ke masyarakat yang berbeda, kerja sama dilandasi perjanjian formal/kontrak.
Ketiga, variabel orientasi kolektif dalam masyarakat tradisional mengajarkan
kesetiaan serta pengorbanan untuk kelompok (keluarga, komunitas, atau suku).
Sebaliknya orientasi diri, mengembangkan kemampuan dan kebebasan individu. Keempat, mengutamakan status askripsi, orang dilihat dari latar belakang keluarga,
warna kulit. Dalam masyarakat modem orang dinilai menurut apa yang dicapai
dengan prestasi kerja. Kelima, fungsi terrebar menjelaskan bahwa peran seorang sering kali tumpang
tindih dan tidak mempunyai batas yang jelas. Sebaliknya, dalam masyarakat
modern peran-peran yang berbeda ini biasanya dipegang oleh orang yang
berbeda-beda dan cenderung tidak ada ketumpangtindihan.
2.5
Teori-Teori Perubahan Sosial
Kita harus beranjak dari model berpikir bahwa hanya perubahan cara
berpikir yang dapat mengubah dan mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu kita
membutuhkan seperangkat teori yang lebih khusus untuk menggambarkan, meramalkan
dan menjelaskan perubahan sosial. Seperti dalam kebanyakan bidang keilmuan yang
mempunyai teori maka dalam ilmu sosial di sana ada banyak keragaman teori yang
besar pula. Beberapa teori perubahan sosial
menekankan langkah-langkah dalam
masyarakat yang dipengaruhi lingkungan luar, contoh - penyediaan lingkungan
untuk mengatasi ketersediaan pangan harus
dilakukan melalui peningkatan produksi bahan makanan. Teori lain menfokuskan
diri pada hubungan antara sejarah perkembangan masyarakat dengan dinamika
internal sebagai bagian yang penting dari masyarakat. Hal tersebut dapat
diidentifikasi misalnya dalam perdagangan bagi kesejahteraan antarbudaya, dan
sebaliknya pengaruh internal seperti pertarungan antarkelas atau bertumbuhnya
agama baru meskipun harus diakui acapkali perubahan internal dipandang sebagai
hasil dari dinamika internal dan sekaligus sebagai hambatan dalam masyarakat.
Dalam beberapa teori, individu memainkan peranan penting sebagai sebab dari
perubahan sosial, di lain pihak sumber alam atau lingkungan historis dipandang
sebagai gagasan penting atau undakan yang dimainkan oleh seorang individu.
Perspektif kontemporer cenderung mengisi satu sebab tertentu untuk menjelaskan
pelbagai analisis tentang proses perubahan sosial melalui tampilan gagasan,
faktor-faktor material dan relasi sosial.
Ø Pandangan
Klasik tentang Perubahan Sosial
ü Pandangan Klasik Smith, Malthus
dan Darwin
1.
Adam Smith dalam bukunya Wealth Nations (1776) menekankan pasar sebagai sistem regulasi. Istilah yang dia gunakan adalah the invisible
hand sebagai gambaran terhadap prinsip
umpan balik dalam sistem ekonomi. Menurut dia Suatu kekuatan yang tidak nyata akan
membentuk stabilitas bagi idea sebuah pasar bebas. Teori Smith mengatakan bahwa
swpply dan demand merupakan dua hal yang berkaitan satu sama lain dan
secara otomatis sebagai pengatur harga dan produksi. Pengaruh pemikiran Smith
terhadap cara berpikir para ekonom masa kini sangat luas meskipun para ekonom kini menyanggah
pendapat dia sebagai mengatakan bahwa produksi yang rendah dan harga yang
melambung mengakibatkan kemiskinan. Para ahli ekonomi neoklasik acapkali peduli terhadap pemerintah dalam
merumuskan tujuan bisnis sebagai bagaian dari usaha untuk
memodifikasi sup-ply dan demand, bahkan para
ekonom lain kini sudah mulai "menuduh" dampak sistem ekonomi yang
diciptakan oleh pemerintah terhadap fluktuasi kesejahteraan sosial
2.
Thomas Malthus (1766-1834)
merupakan orang yang yakin bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh karena adanya
perasaan inferior dari manusia. Dalam esainya berjudul ?rin-ciple
ofPopulation (1798) mengingatkan bahaya ledakan penduduk
yang merupakan akibat dari kegagalan moral dalam reproduksi. Menurut Malthus,
tanpa mengendalikan kelahiran maka akan terjadi ledakan penduduk, kenaikan penduduk
akan mengikuti deret ukur dan kenaikan bahan makanan akan mengikuti deret
hitung. Inti teorinya berkisar pada perubahan teknologi produksi makanan akan
mengubah distribusi makanan (misalnya melalui revolusi pemilikan tanah,
distribusi pembagian tanah) atau perubahan perilaku reproduktif (transisi
demografis) akan mempengaruhi kesejahteraan sosial. Meskipun teorinya dikritik
sebagai hipotesis yang salah namun menurutnya pertumbuhan penduduk merupakan
hambatan terhadap sistem sosial.
3.
Charles Darwin (1804-1882) adalah
seorang naturalist yang menerbitkan bukunya pada tahun 1859 di bawah judul Species by Means of Natural Selection. Dalam buku itu dia mengemukakan
mekanisme perubahan melalui satu prinsip natural selection atau seleksi alamiah. Menurut
Darwin penting untuk diketahui informasi genetik dari individu, karena hanya
dengan individu diberi kesempatan untuk hidup, dia akan bertahan dalam seleksi
alamiah.
4. Herbert
Spencer mengaplikasikan teori Darwin,
prinsip natural telectioit itu terhadap karakteristik sosial sambil berpendapat
bahwa turvival of the.
fiitesl merupakan
mekanisme bagi usaha menghalau hambatan-hambatan
budays. Spencer sebagai orang-orang Darwinisme
sosial
mencoba menghubungkan social traité dengan karakteristik genetik yang menghasilkan
kemiskinan, kriminalitas, atau status smial yang rendah dari perempuan serta
minoritas sebagai akibat karena individu tidak bisa hidup survive.
Kini para
teoritis sosio-biologi telah mempertanyakan bagaimana genetika dan perilaku
manusia itu direlasikan ke dalam dasar-dasar sains. Sebagai catatan dapat
dikatakan bahwa teori-teori Smith, Malthus dan Darwin
kini luas
digunakan dalam argumen ideologis tentang pasar bebas, masalah penduduk dan
evolusi karena kesamaan mereka dalam membahas karakteristik sistem manusia
dalam masyarakat seperti mekanisme regulasi, evolusi struktural, keterbatasan
faktor eksternal dalam pembentukan sistem sosial di bawah kondisi tertentu yang
dapat diselidiki.
ü Dinamika Internal dari
Kapitalisme dari Marx Durkeim dan Weber
1. Marx ; model transformasi
sosial. Perubahan
sosial menurut Marx merupakan kejadian internal contradictions
dari sistem sosial. Mode produksi (yang meliputi relasi sosial dalam aktivitas ekonomi dan
gerakan produksi seperti teknologi atau sumber alam) merupakan
awai dari teori Marx. Menurut Marx, ada beberapa kebudayaan
menggambarkan bahwa sistem kepercayaan dan pendekatan politik
merupakan bagian dari supra-struktur yang dipengaruhi oleh basis
ekonomi. Model ini disebut model materialis yang berpikir bahwa perubahan
sumber alam, teknologi dan produk material merupakan sebab perubahan sosial. Oleh karena itu, Marx sangat menekankan bahwa sumber perubahan sosial itu hanya melalui perubahan gerakan m» terial
dalam produksi. Hubungan sosial dalam produbt (bagaimana hubungan antara
pekerja dan pemilikan adalah pendekatan sosial yang harus dipecahkan) secara
seimbang, Sementara itu gagasan kapitalis menurut dia merupakan gagasan yang
mengabaikan konflik antara kaum pekerja dengan pemilik pabrik atau kaum feodal padahal di awal lahirnya industrialisasi telah terbentuk kelas sosial borjuis, Mereka yang menguasai modal seolah-olah adalah kelompok yang sangat
menentukan kesejahteraan serta aktivitas ekonomi sehingga tindakan transformasi
yang cepat harus dilakukan melalui revolusi dalam masyarakat. Dengan demikian
budaya tradisional harus segera ditransformasi.
2. Emile Durkheim : diferensiasi sosial dan integrasi. Dalam karyanya The Dvision
of Labor in Society (1893) Durkheim menganalisis bentuk-bentuk solidaritas dalam masyarakat tradisional dan
modern. Dia mengidentifikasi kekuatan kelompok suatu masyarakat sangat
ditentukan oleh kekuatan anggotanya. Mengapa? Orang-orang yang pola-pola
perilaku kerjanya sama akan saling membagi pengalaman, mereka merasa berkaitan
satu sama lain sebab mereka mempunyai pola pikir dan perilaku kerja yang sama.
Inilah yang dia sebut dengan solidaritas mekanis. Dalam revolusi industri
solidaritas mekanis ini dapat dipecahkan dengan mencipta-kan jenis-jenis pekerjaan yang mengandalkan
spesialisasi yang berbeda-beda. Diferensiasi struktural masyarakat menunjukkan
bahwa manusia tidak lagi hidup dengan tetangga dengan perilaku-perilaku atau
jenis pekerjaan yang sama. Sebab itu, wajar apabila masyarakat industri mulai
berusaha meningkatkan spirit saling ketergantungan di antara para pekerja yang
berbeda-beda spesialisasinya (sebab tidak ada seorang pun akan survive tanpa ketrampilan dan spesialisasi).
Keadaan ini akan menciptakan solidaritas organis. Akibatnya, orang harus
bekerjasama untuk memenuhi kebutuhannya yang berbeda-beda meskipun di antara
mereka memiliki diferensiasi struktur yang tinggi. Bagi dia diferensiasi
struktural dapat memberikan kontribusi bagi terbentuknya integrasi manusia
dalam sebuah kebudayaan yang sama dalam era industrialisasi.
3. Weber: rationalités dan kekuasaan.
Dalam esai berjudul Economy and Society dia membandingkan sejarah pelbagai agama di dunia (The Protestant Ethic and
the Spirit of Capi-talism). Dia yakin bahwa ada hubungan antara gagasan budaya dengan
struktur sosial. Kekuasaan, kepercayaan dalam agama dan aktivitas ekonomi
merupakan aspek-aspek yang memberikan motivasi yang rasional. Tema-tema tulisan
Weber itu sangat bervariasi seperti birokrasi, legal institutions, bussiness, dan bahkan
musik yang semuanya membentuk manusia yang berorientasi tujuan. Kekuasaan
(power) memainkan peranan penting dalam teori Weber, harus diakui bahwa
pendapat Weber sangat berbeda dengan pendapat Marx dalam
pendekatan yang berbasis ekonomi. Menurut Weber, gagasan agama maupun
kepercayaan yang fundamentalis seperti dalam agama Protestan memberikan
kontribusi bagi struktur sosial baru dalam perkembangan industri. Dalam
studinya tentang birokrasi dan pemerintahan yang legal dia bilang bahwa
birokrasi membentuk sebuah sistem administrasi yang rasional dan efisien
termasuk birokrasi bisnis dan unit-unit politik. Dan hubungan impersonal dalam
birokrasi akan membentuk struktur birokrasi modern. Konsep Weber yang lain
adalah ellertive affinily sebuah konsep
yang menggambarkan model gejala sosial konsep ini mempunyai dampak penting
bagi penelitian sosial untuk membandingkan sistem sosial dari masyarakat yang
berbeda-beda.
4. Komponen
individual: Freud dan Teori-teori klasik - dalam bukunya Civilization and Its Discontents (1922) Freud mengatakan bahwa instink
manusia menuju tercapainya suatu kesenangan dan kenikmatan yang juga merupakan
kebutuhan seluruh masyarakat. Meski demikian, semua pembicaraan tentang
faktor-faktor yang mendorong perubahan sosial tidak menjadikan tema ini sebagai
faktor pendorong perubahan. Masyarakat harus menciptakan pribadi-pribadi
sebagai anggota yang bebas, bebas untuk memenuhi kepuasan bagi tercapainya
tujuan yang dia cita-citakan. Peradaban pertanian membutuhkan orang-orang yang
tidak saja bekerja dengan sekuat tenaga untuk menanam, memelihara, dan bahkan
memetik hasil, tetapi soalnya apakah semua pekerjaan itu memuaskan dirinya? Oleh
karena itu kata Freud semua kebutuhan manusia harus dapat dipuaskan melalui
cara manusia menciptakan kebudayaan termasuk kebudayaan yang menghargai
instink manusia. Masyarakat tanpa menghargai instink manusia itu adalah
masyarakat yang aneh dan tidak mungkin ada, setiap masyarakat harus mengajarkan
perasaan bersalah kepada anggotanya manakala manusia bekerja, dan itu merupakan
harga dari sebuah peradaban. Dia menggambarkan bahwa bekerja merupakan proses
dalam mana manusia memulai, mengatur dan mengontrol reaksi antara dia dengan
alam. Freud melihat bahwa manusia akan puas kalau instinknya terpenuhi. Dalam
industrialisasi banyak sekali orang tidak puas karena pekerjaan mereka
memisahkan relasi mereka dengan para pekerja lain, meskipun kenyataan
menunjukkan bahwa orang-orang yang dipisahkan dari pekerjaan menjadi bebas dan
dapat mengontrol peningkatan kreaktivitas.
Ø
Persepektif Kotemporer
ü
Tradisi
Fungsionalist
1. Teori-teori fungsionalis mengemukakan bahwa
kemampuan masyarakat untuk menentukan hidupnya tergantung dari bagaimana mereka
itu eksls. Ada empat sistem yang harus diperhatikan dari pembentukan itu.
Menurut Talcot
Parson, struktur komunitas harus
berfungsi untuk mengintegrasikan, menangani relasi dan kontrol sosial antara
pelbagai komponen. Struktur budaya berfungsi untuk menangani pola-pola
tertentu misalnya, untuk mengadakan sosialisasi agar para anggota menjadi kuat
dalam sistem dan ketegangan. Struktur politik harus diarahkan untuk mencapai
tujuan melalui seperangkat tujuan misalnya, membangun prioritas-prioritas
dengan menggunakan sumber daya untuk mencapai tujuan. Struktur ekonomi harus
berfungsi untuk mengadaptasikan pencarian sumber daya dari lingkungan dan
memanfaatkannya kemudian membaginya kepada seluruh sistem.
2.
Technological determinism dan Model Difusi - model ini
merupakan variasi dari fungsi-onalis yang mengemukakan bahwa sebab utama
perubahan sosial adalah teknologi. William Oghburn (1932) dalam Cultural Lag Hypotesis mengatakan bahwa masyarakat yang maju adalah
masyarakat yang terlibat dalam pilihan teknologi dan kemajuan teknologi bagi
pengelolaan alam. Kekuatan produksi yang akan dihasilkan oleh teknologi dan hal
itu merupakan salah satu bentuk unsur kebudayaan baru yang disebut superior utility. Namun dalam masyarakat yang
lain juga terlihat ada kecenderungan yang lamban dalam mengikuti
dan mengganti terobosan
teknologi, jadi tidak mengikuti technological
progres yang kita
sebut Cultural lag. Model
difusi
dalam
perubahan sosial
ini
berkaitan dengan determinisme
teknologi berasumsi
bahwa kita dapat menyebarluaskan gagasan baru dan alat
alat haru.
ü
Pendekatan
Konflik
Perspektif
interaksiouis simbolis sering disebut dengan
pendekatan konflik sosial sebagaimana digambarkan oleh Lewis Coser (1956), Sama
dengan pemahaman kaum
Marv ist modern maka teknologi termasuk komputer dianggap sebagai kekuasaan menentukan
kelas sosial, menjadi sumber konflik antarkelompok. Analisis seperti
Cooley (1980) akui
Shaiken (1984) menemukan bahwa teknologi berperan dalam konteks
strunggle antara labort dan Imanagement
Sementara Nòble (1984) dan Ferrale (1985)
menguji
revolusi komputer diri perspektif teori klasik Marx, sedangkan C.Wright
Mills (1956)
melakukan studi tentang efek komputer terhadap
distribusi kekuasaan di kalangan pengambil Keputusan, termasuk
pengaruh
komputer terhadap kekuasaan
birokrasi
organisasi.
2.6
Pembentukan Budaya dan Cara
Berkomunikasi
Uraian mengenai teori-teori
perubahan sosial-budaya diatas sekaligus menjawab pertanyaan apakah sebuah
perubahan itu berkaitan dengan peran? Benar bahwa peran merupakan sebuah identitas dari struktur sosial
atau struktur kebudayaan (identitas peran : struktur kebudayaan dan struktur
sosial)» Karena itu kita harus jeli membedakan antara peran yang diharapkan (role exspectation) sebagai bagian dari
stuktur budaya dengan tampUtf peran (role performance) yang adalah bagian dari
struktur sosial suatu masyarakat. Yang
dimaksudkan dongan struktur budaya adalah
pola-pola persepsi, berpikir dan perasaan, sedangkan struktur sosial
adalah pola-pola perilaku sosial. Dalam kehidupan manusia dapat digambarkan
sebagai berikut:
Struktur
budayaà pola
persepsi, berpikir,perasaanà IDENTITAS
BUDAYA
Struktur
sosialà pola-pola
perilaku sosialà IDENTITAS
SOSIAL
|
Melihat peraga di atas maka dapat
dikatakan bahwa posisi sosial setiap orang berkaitan erat dengan perannya dalam
struktur budaya maupun struktur sosial, di sini kita akan bicara tentang
identitas peran ( McCall & Simmons) yang dalam pandangan psikologi sosial,
manakala posisi sosial telah terinternalisasi maka posisi itu merupakan
identitas itu sendiri (Stryker, 1996). Yang penting buat kita bahwa identitas
budaya ditentukan oleh struktur budaya sedangkan identitas sosial ditentukan
oleh struktur sosial. Oleh karena itu, sangat beralasan bila perubahan struktur
budaya dan struktur sosial pada gilirannya akan mengubah identitas seorang
individu, dan perubahan identitas budaya itu lebih dimaksudkan sebagai
perubahan pola persepsi, berpikir dan perasaan dan bukan sekedar perubahan
perilaku.
Kita sudah berdiskusi tentang
interpretasi budaya, tentang nilai dan norma budaya, tentang berbudaya dan
berkomunikasi dan akhirnya kita akan berdiskusi tentang perbedaan budaya
mengakibatkan perbedaan cara berkomunikasi. Ada satu pertanyaan, mengapa orang
berbeda budaya akan berbeda pula cara berkomunkasi? Jawaban kuncinya adalah
terjadinya perbedaan cara berpikir. Menurut Maletzke (19%) ada perbedaan cara
berpikir antarbudaya sehingga mempengaruhi cara berpikir individu. Sekurang-kurangnya ada empat
perbedaan; yaitu:
a)
Cara berpikir logis dan pralogis (pendapat
Aristoteles); yakni a. analitis, b. linier, dan c. rasional. Atau cara
berpikir; a. holistik, b. asosiatif, dan c. afektif. Cara
berpikir analitis sebenarnya mirip dengan cara berpikir
rasional, yakni berpikir dengan aturan-aturan berpikir secara rasional, yang masuk akal atau logis. Sedangkan cara berpikir
linier
merupakan
cara berpikir ‘satu persatu’ dalam melihat objek (mirip dengan cara berpikir
asosiatif) dan bukan melihat sesuatu secara menyentuh (holistik). Cara berpikir
afktif adalah cara berpikir yang didorong oleh faktor-faktor perasaan intuisi.
b)
Cara berpikir induktif dan deduktif.
Berpikir induktif adalah berpikir partikularis yang mengutamakan model
teoritis, konsep dan teori; sedangkan cara berpikir deduktif adalah berpikir
dari suatu keseluruhan kemudian memasuki analisis khusus, cara berpikir ini
lebih mengutamakan empiris dan berdasarkan findings.
c)
Cara berpikir abstrak dan konkret. Cara
berpikir abstrak — umumnya di Barat— menghilangkan faktor emosi, sedangkan
cara berpikir konkret lebih mengutamakan empiris dan emosional.
d)
Cara berpikir alfabetikal dan
analfabetikal. Berpikir alfa-betikal adalah berpikir berdasarkan tulisan dan
gambar yang abstrak sedangkan berpikir analfabetikal merupakan cara berpikir
yang langsung, menghubungkan manusia, dan pendekatannya pada waktu dan
situasi.
Dapat disimpulkan bahwa cara
berpikir Barat yang cenderung logis, induktif, abstrak dan alphabetikal ini
merupakan cara berpikir masyarakat industri, sedangkan orang timur umumnya
pralogis, deduktif, konkret dan analfabetikal. Jadi umumnya perubahan
kebudayaan meliputi cara berpikir dari Barat ke Timur atau dari Umur ke Barat.
Jika terjadi perubahan cara berpikir, maka di sana ada perubahan kebudayaan.
Kita akan menjawab pertanyaan ini dengan memahami pelbagai faktor internal dan
eksternal yang membentuk kebudayaan.
Ø Faktor-faktor
internal
Perlu diingat bahwa kebudayaan
tidak selalu berarti sesuatu yang dilahirkan bersama dengan kita, tetapi lebih
dari segala yang
dipelajari,
malah sebagian besar mempengaruhi kita melalui pikiran, perkataan dan
perbuatan. Sebagaimana diuraikan di atas, kebudayaan itu dipertukarkan oleh
anggota,masyarakat. Para anggota
dari suatu masyarakat setuju tentang suatu makna dan mengetahui apa sebab itu
terjadi. Mereka setuju tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.
Kebudayaan juga membantu kita untuk menentukan derajat sebuah kepentingan,
mana yang penting dan mana yang tidak penting. Dengan kata lain kebudayaan
mengajarkan nilai dari sebuah prioritas. Kita selalu berperilaku dalam cara
kita berpikir cepat dan tepat menurut ajaran kebudayaan. Inilah yang melahirkan
derajat atau kategori kebudayaan, ada nilai dan norma yang berlaku umum dan
ada nilai dan norma yang berlaku khusus dalam suatu kelompok tertentu.
Sejarah manusia pernah mencatat
bahwa ada sekelompok orang yang selalu tampil berbeda daripada kelompok
kebanyakan dalam masyarakat. Ada kelompok yang berdiam dalam rumah Yang lebih
baik daripada orang lain, ada orang keturunan bangsawan namun ada pula yang
rakyat jelata, ada kelompok orang terdidik dan sebaliknya ada orang yang tidak
terdidik. Ada kelompok para penonton film namun ada kelompok pemain film.
Masing-masing kelompok mempunyai aktivitas yang khusus, mempunyai waktu bertemu
secara khusus. Kelompok-kelompok itu bahkan mungkin berpikir, bertindak atau
bertingkahlaku dengan cara-cara khusus yang hanya bisa dipahami oleh kalangan
mereka. Mereka berbicara dalam bahasa, istilah, dan jargon (perilaku sub
kultur). Perilaku sub kultur tersebut dihasilkan oleh tradisi kebudayaan yang
telah lama disosialisasikan dan diinternalisasikan secara terbatas di kalangan
orang tertentu. Tradisi kehidupan seperti itu merupakan hasil karya, cipta, ras
dan karsa yang mereka ciptakan lalu menjadikannya sebagai suatu tradisi yang
secara terbatas mengarahkan perilaku mereka untuk berhubungan ke dalam maupun
keluar.
Ø Faktor
Eksternal
Bagi seorang awam kalau ditanya tentang apakah ada perbedaan kebudayaan
di antara pelbagai kelompok suku bangsa di durua maka dia akan menjawab, ya ada perbedaan. Jawaban seperti ini memang tidak salah, karena orang awam
selalu melihat kebudayaan itu dari segi manifestasinya semata-mata. Dan manifestasi
dari sebuah kebudayaan itu umumnya dengan mudah terlihat melalui budaya
material yang diciptakan manusia seperti alat-alat keseruan, tampilan adat istiadat, d U. Sebaliknya, bagi
seorang antropolog mudah melihat perbedaan kebudayaan itu dari segi
variabilitasnya (dimensions of cultural variability).
Kata Robert B. Taylor (1980:29), semua kebudayaan tersusun dari
kategori-kategori gejala umum yang sama, yang disebut adat istiadat. Di dalam
adat istiadat itulah terdapat klasifikasi aspek-aspek teknologi, ekonomi,
sosial, politik, hukum, religi, estetika, rekreasional, dan pendidikan. Ini
yang disebut dengan universal
patern
atau pola-pola universal dari
sebuah kebudayaan. Meskipun semua kebudayaan memiliki pola-pola universal yang
sama namun ada faktor-faktor yang membuat kebudayaan itu berbeda-beda
(sekurang-kurangnya variabilitasnya), misalnya faktor habitat dan biologi yang
sering disebut ekologi.
Menurut Taylor sekurang-kurangnya ada beberapa komponen pembentuk variabilitas
kebudayaan, yakni : (1) adat istiadat; (2) tampang tubuh biologis dari anggota
suatu budaya; (3) pelbagai tumbuhan, binatang, dan organisme non manusia baik domestik maupun non domestik (lokal atau dari luar); (4) objek-objek
artifisial dan tata susunan fisik lainnya; (5) objek alam misalnya tampang
topografis, kondisi iklim dan unsur-unsur anorganisme dari habitat alam; (6) manusia dan adat istiadat dari suatu masyarakat.
Ø Faktor
Ekosistem
Unsur-unsur ekosistem itu yang
membentuk variabilitas antarbudaya. Dengan kata lain ada hubungan antara sebuah
kebudayaan dengan ekosistemnya, dan dari sinilah kita berpikir bahwa manusia
dari sebuah kebudayaan berada dalam sebuah 'milieu' atau konteks yang
mengelilinginya, atau faktor ekosistem. Jadi, dapat disimpulkan bahwa; (1) faktor-faktor
ekosistem membatasi kebudayaan; (2)
unsur-unsur
eksternal dari ekosistem itu membiarkan kemungkinan bagi berkembangnya sebuah
kebudayaan; (3) unsur-unsur ekosistem eksternal itu membuat manusia
menciptakan atau membuat sesuatu yang sesuai bagi kehidupannya; (4) dan dalam
mengembangkan kebudayaan mereka itu maka manusia diberi kesempatan untuk
memilih dan bahkan cenderung menyesuaikan diri dengan ekosistem; dan (5) unsur-unsur
eksternal dari ekosistem dapat diubah oleh cara-cara kebudayaan tertentu.
Ø Faktor
Biologis
Banyak orang berkata bahwa perbedaan
antarbudaya ber-muasal dari besarnya perbedaan faktor-faktor biologis antarmanusia
di muka bumi. Memang benar bahwa beberapa kebudayaan dibedakan berdasarkan
faktor biologis namun tidak semua kebudayaan berbeda berdasarkan faktor itu.
Apa yang disebut dengan kebudayaan ras hanya merupakan 'stereotip' atau tipikal
perilaku semata-mata. Oleh karena itu, jika kita berbicara dengan kebudayaan
ras maka kita sudah mengubah pembicaraan tentang etnik, etnik mengacu pada
pengelompokan tipikal budaya daripada tipikal fisik.
Ø Faktor
Habitat Alam
Diakui bahwa perbedaan kebudayaan itu
juga bersumber dari perbedaan habitat lingkungan fisik yang membesarkan
sekelompok orang. Ini yang kita sebut ekologi kebudayaan. Harus diakui bahwa:
1.
Kebudayaan menentukan habitat pada
anggotannya
2.
Habitat membiarkan beragam kemungkinan
bagi kehidupan anekaragam budaya
3.
Habitat membuat beberapa hal yang
menjadi sama namun juga menciptakan banyak hal yang berbeda-beda.
4.
Masyarakat telah mengambil prakarsa atas
sebagian unsur habitat untuk membentuk kebudayaannya, dan
5.
Habitat itu sendiri akhirnya berubah
oleh kebudayaan.
Ø Faktor Demografis
Para
antropolog menemukan bahwa jumlah penduduk yang makin banyak sudah pasti akan
membentuk suatu kondisi yang heterogen sehingga di sana bakal terjadi tingginya
irama inovasi. Hubungan antara heterogenitas penduduk dengan plang inovasi baru
bersifat sirkulasi. Meskipun pertambahan penduduk tidak otomatis mempunyai
kemampuan untuk mendukung teknologi baru yang diinovasikan ke dalam masyarakat
tersebut, namun sebaliknya, dengan pertamabahan penduduk maka ada peluang
terjadi inovasi perubahan dalam masyarakat dengan dukungan teknologi yang
diinovasikan serta organisasi sosial yang lebih kompleks. Dengan demikian,
jumlah penduduk yang banyak tidak memberikan jaminan bagi masyarakat yang
jumlah penduduknya sangat sedikit trnyata membenrikan reaksi yang luar biasa
pada masuknya teknologi yang kompleks.
Ø Faktor Isolasi dan Kontak Antarbudaya
Isolasi
permukiman suatu masyarakat dngan masyarakat yang lain mngakibatkan sbuah
kebudayaan sangat sulit di interupsi oleh kebudayaan lain. Hal ini tentu berbeda
dengan kebudayaan tertentu yang mempunyai peluang untuk melakukan kontak dengan
masyarakat lain maka akan ada kemungkinan terjadinya proses belajar budaya dan
pertukaran budaya.
Ø Faktor Historis
Para mahasiswa antropologi yang mempelajari
kebudayaan selalu bertanya bagaimana kebudayaan yang mereka pelajari itu
memiliki adat istiadat. Kerap kali faktor sejarah yang mempersatukan tali
persaudaraan antarsuku bangsa yang selama ini putus, perhubungan kembali itu
hanya karena adanya kesamaan nilai, norma dan kepercayaan bahkan bahasa yang
sama sehingga membuat orang merasa terikat satu sama lain. Perhatikan
bagimana usaha segi tiga Sijori
(Singapura-Johor-Riau) tidak seluruhnya mengandalkan tujuan pngembangan ekonomi
semata-mata tetapi berusaha menghubungkan tali persaudaraan budaya melayu yang
mungkin dapat menopang kerja sama bisnis antar bangsa.
2.7
Teori Perubahan Kebudayaan
Taylor seperti dikutip Kottak (1991) mengemukakan bahwa kebudayaan
adalah seluruh kompleks yang meliputi, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan semua
daya dukung lain dan kebiasaan yang dilakukan oleh setiap manusia sebagai
anggota masyarakat.
Perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan keniscyaan dan
tidak dapat dielakkan. Masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis berubah
dari satu keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Perubahan ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan
lingkungannya
Beberapa teori yang menggambarkan perubahan kebudayaan, (1) teori
kebudayaan pinjaman; (2) teori krisis kebudayaan; (3) teori ekologi kebudayaan;
(4) pendekatan tema-tema dominan; dan (5) teori fungsionalisme. Berikut
penjelasan beberapa teori yang menggambarjan perubahan kebudayaan :
2.7.1
Teori
Kebudayaan Pinjaman
Di antara para migran yang datang ke Amerika di
awal abad 20 ini adalah orang Inggris. Ketika mereka masih berada di tanah air
asal, orang Inggris mengetahui bahwa para petani
setempat selalu
memelihara burung hitam (blackbird') untuk memakan hama tanaman kapas. Tatkala para migran itu tiba di benua Amerika,
di pantai selatan seperti di Lousiana dan Texas, para migran itu
menanam kapas.
Ketika perkebunan para migran Inggris itu terkena bencana,- mereka lalu mendatangkan
burung hitam itu dari Inggris. Mula-mula mereka berhasil memanfaatkan burung hitam itu
untuk membasmi serangga yang menyerang kapas
namun seiring
makin meluasnya tanaman kapas maka makin
populer usaha
peternakan burung hitam itu.
Cerita di atas menggambarkan bahwa setiap
manusia dan generasinya memiliki kebudayaan tertentu, dan penghayatan terhadap
kebudayaannya begitu mendalam sehingga kemanapun ia pergi
kebudayaan itu
tetap melekat dalam diri dan pribadinya. Perubahan-perubahan itu akan terjadi manakala manusia untuk terus
menerus berhubungan dan berkomunikasi antarbudaya 2hingga terjadi perubahan
kebudayaan. Itulah yang menjadi asar asumsi teori pergantian kebudayaan.
Bahwa kontak dengan kebudayaan lain dapat
mengakibatkan perubahan
atas satu kebudayaan atau bahkan dua kebudayaan sekaligus.
Pada awal kontak antarbudaya maka yang terjadi adalah roses peniruan
karakteristik dari isi suatu unsur kebudayaan Brtentu. Setelah proses peniruan
itu dipakai berulang-ulang dan dibiasakan
dalam suatu komunitas tertentu maka kebudayaan yang
sebelumnya hanya merupakan pinjaman, kini berubah menjadi
kebudayaan setempat. Dalam kebudayaan, proses pinjaman ebudayaan itu berbeda dengan akulturasi.
Akulturasi
adalah
proses pertemuan unsur-unsur dari elbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti dengan
percampuran
unsur-unsur tersebut. Syarat akulturasi adalah harus didahului oleh kontak. Namun dalam kebudayaan
pinjaman .dak selalu
atau
bahkan tidak didahului dengan kontak, ada tidak
kontak dengan kebudayaan orang Amerika, namun
anda makan McDonald, anda mungkin tidak pernah ke California
dan kontak dengan orang California namun anda
makan California Fried Chicken.
2.7.2
Teori
Krisis Kebudayaan
Kadang-kadang
kebudayaan itu berubah secara mendadak dalam suatu krisis yang direncanakan,
didorong, digerakkan atau bahkan hasil dari kebudayaan lain tidak dapat
dikendalikan sebelumnya. Jenis-jenis perubahan yang tidak terkontrol itu
seperti bencana alam, angin topan hurikane, letusan gunung berapi, peristiwa
spontan dan relokasi psikologis akibat pemukiman baru. Peristiwa-peristiwa yang
dimaksud mengakibatkan penduduk yang terkena bencana itu mengalami krisis
kebudayaan karena mereka kehilangan budaya material yang menjadi simbol
kebanggaan kebudayaan mereka. Akibat positifnya adalah lahirnya bentuk-bentuk
kebudayaan, baik material maupun immaterial baru dalam krisis yang dialami sekelompok orang yang terkena
peristiwa yang naas tersebut.
Pada
tahun 1993 terjadi gempa bumi dan gelombang Tsunami di pulau Flores. Gempa bumi
itu menghancurkan ribuan rumah, ribuan hektar tanah pertanian dan mengakibatkan
kematian bagi 2000 orang di kabupaten Flores Timur, Sikka dan Ende. Segera setelah itu mulai berdatangan bantuan
kemanusiaan proyek-proyek pemukiman baru untuk memindahkan penduduk dari lokasi
rawan gempa ke lokasi yang aman. Pemindahan penduduk itu berarti penduduk harus
keluar dari ekologi suatu budaya tertentu (yang sebelumnya merupakan bagian
yang tidak dipisahkan dari ekologi kehidupan mereka) ke ekologi budaya yang
sama sekali baru. Contoh, mereka yang terkena musibah harus meninggalkan
ekologi kehidupan dan kebudayaan yang mula-mula berdiam dalam satu rumah untuk extended family kerumah kecil keluarga inti.
Orang
yang sebelumnya berdiam dalam suatu komunitas patrilokal menuju komunitas yang
seluruhnya neolokal, dari orang pantai menjadi orang daratan, dari orang
daratan rendah ke dataran tinggi, dari nelayan menjadi petani, dan lain-lain.
Penduduk mengalami krisis kebudayaan yang dapat mempengaruhi krisis sikap dan
perilaku, termasuk perilaku komunikasi antarwarga masyarakat.
Krisis
kebudayaan dialami juga oleh suku bangsa yang menderita akibat perang seperti
korban perang Vietnam, kelompok pelarian politik, transmigran, dll. Intinya
adalah apabila manusia mengalami krisis mental yang didukung oleh fisik maka
dia akan mengalami krisis kebudayaan. Perubahan-perubahan untuk keluar dari
krisis seperti itu dapat diintervensi dengan perubahan dari luar maupun
perubahan itu hanya sekedar membantu merelokasikan mereka dalam waktu
sementara. Yang paling penting adalah bahwa krisis kebudayaan itu dengan
sendirinya akan berakhir manakala mereka yang mengalami krisis tetap mempunyai
motivasi dan semangat yang tinggi dalam menghadapi aneka ragam krisis yang
datang.
Dalam
banyak kasus di seluruh dunia, kaum yang mengalami krisis kebudayaan akhirnya
bekerja keras dan terampil, maka mereka dapat menjadi orang yang berpengaruh
dalam suatu masyarakat. Perhatikan para transmigran asal pulau Jawa dan Bali,
juga Flores di Irian Jaya yang lebih sukses daripada penduduk setempat. Orang
Yahudi merupakan para bankir yang paling disegani karena kekayaan dan
kelihaian mereka dalam perdagangan uang di AS. Warga keturunan Taiwan yang
menguasai perdagangan elektronik di Houston/Texas maupun Vancouver.
2.7.3
Teori
Ekologi Kebudayaan
Contoh
kasus bencana alam itu dapat disejajarkan dengan pandangan ekologi kebudayaan,
perbedaannya terletak pada daya pengaruh yang bersifat gradual dan berdimensi
jangka panjang. Kata teori ini, perpindahan manusia dari suatu ruang geografis
dengan kebudayaan tertentu mempengaruhi atau juga akan mengakibatkan perubahan
pada kebudayaan di tempat yang baru.
Secara
teoritis teori ekologi kebudayaan tetap berdasarkan konsep akulturasi. Kita
menyebutnya sebagai akulturasi karena terjadi proses pertemuan unsur-unsur dari
pelbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur kebudayaan
tersebut. Perbedaan antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih nampak. Kadang-kadang akulturasi yang terjadi itu bersifat
bilateral, karena
perubahan kebudayaan itu terjadi pada masyarakat yang mengadakan kontak sebagai
hasil
hubungan tersebut. Dan disebut akulturasi unilateral karena proses
pertemuan
dan percampuran unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat yang berbeda-beda, di mana perubahan hanya
terjadi pada salah
satu kebudayaan
saja. (lihat catatan tentang stabilitas kebudayaan).
Perhatikan kasus-kasus yang telah diungkapkan dalam teori kebudayaan
pinjaman
dan teori krisis kebudayaan. Bahwa lingkungan kebudayaan sangat berpengaruh terhadap
perubahan-perubahan tampilan budaya material seperti
makanan, pakaian, juga
bersifat
imaterial seperti perilaku hidup beragama, memilih pasangan dalam perkawinan dan
lain-lain.
Teori
ini mengemukakan dua konsep, yakni; pertama: kalau penduduk bertambah banyak maka tanah yang dimiliki semakir
kecil, jadi
kebutuhan lahan makin bertambah. Lalu penduduk yang padat itu berusaha menggeser
tempat tinggal ke tempai kosong di tepi kota, atau dekat dengan fasilitas pelayanan umum
Akibatnya jumlah penduduk "haram" atau pendatang baru yang mengalami
sukses akan bertindak sebagai "penjajah". Pendatang baru selalu
menampilkan perbedaan-perbedaan yang mencolok seperti tampilan dalam
berpakaian, makanan, minuman, hingg£ penggunaan kata-kata baru, dll. Keadaan
ini terbalik dengan pen duduk asli yang diasumsikan malas, kurang kreatif dan
kurang motivatif, sehingga kurang menerima inovasi kebudayaan dar luar.
Kedua, konsep
lain dari ekologi kebudayaan adalah simbo antarbudaya berdasarkan kebutuhan
yang disediakan olel lingkungan
masing-masing. Sebagai contoh, kalau lingkungai kebudayaan C mempunyai item-item material
yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan kebudayaan A dan B maka akan terbentuk bungan simbiosis
di antara
mereka. Simbiosis itu mengacu da pemenuhan kebutuhan antara dua atau lebih
kebudayaan.
Misalnya
suku bangsa
A, B, dan C memiliki lingkungan yang enghasilkan
masing-masing
kayu (A), batu
untuk bahan ngunan (B) dan ikan (C) maka semua orang yang menjadi Lggota
masyarakat itu saling membutuhkan sehingga terjadi irtukaran ekonomi diantara
mereka.
Masyarakat
A yang tinggal dalam lingkungan hutan meng- isilkan kayu membutuhkan batu dari
lingkungan B bagi pem- tngunan rumah mereka. Masyarakat dari lingkungan A dan B
embutuhkan ikan dari warga masyarakat lingkungan C. Jadi dam satu atau lebih
kondisi setiap masyarakat dan kebudayaan tling membutuhkan satu dengan yang
lain, itulah ekologi ibudayaan. Benar kata asumsi teori ini bahwa simbiosis
ekonomi didasarkan pada produksi lingkungan kebudayaan masing-masing.
Gambar 2.7.1.
Hubungan Antarbudaya Berdasarkan Ekologi
Kebudayaan
2.7.4
Pendekatan
tema-tema Dominan
Teori lain untuk menjelaskan
kebudayaan perubahan atau pergantian
kebudayaan bersumber dari
Benedict (1934). Menurut Benedict yang dikutip oleh Dood (1991), kalau anda
hendak mengenal
suatu gagasan dasar yang
mendominasi suatu kebudayaan maka anda harus melihat sikap dasar dari pendukung kebudayaan
itu. Karena menurut Benedict,
menyelidiki, mengamati secara seksama, dan memahami tema-tema substantif suatu
kebudayaan jauh lebih
penting
daripada melihat hubungan fungsional antarbudaya melalui
pertukaran item-item kebudayaan tersebut. Jadi, perubahan suatu kebudayaan tidak dapat dilihat dari perubahan luar saja tetapi perubahan dasar
inti atau substansi
suatu kebudayaan, terutama
yang berjalan secara evolusioner dalam bentuk krisis kebudayaan sebagai disebutkan
di atas.
Kalau
kita mempelajari dengan seksama kecenderungan krisis yang dialami penduduk masa depan, maka
ada beberapa
terna yang mengubah
secara mendasar kebudayaan manusia. Peramalan atas masa depan itu didasarkan tingkat persepsi yang
semakin tepat terhadap
kecenderungan
perubahan masa lalu, perubahan yang sedang berlangsung dan perubahan yang akan datang.
Beberapa bentuk
perubahan yang menonjol adalah transisi demografis, pertukaran penduduk
secara global
yang melintasi ruang dan waktu, dan sumber daya energi dan tenaga kerja global.
Dalam transisi demografi yang terjadi
di negara-negara yang tingkat kemakmurannya tinggi, maka angka kelahiran
relatif kecil akibat keberhasilan pelaksanaan program KB, usia harapan hidup makin
tinggi sehingga jumlah penduduk usia dewasa ke arah tua makin hari makin banyak. Suatu generasi dari
orang-orang tua suatu waktu akan habis, dan terbentuknya suatu generasi atau yang
kurang mengenal kebudayaan asalnya. Hal ini di- ambah lagi dengan pertukaran
penduduk secara global yang aelintasi ruang dan waktu di mana orang-orang dari
kebudayaan 2 r tentu berpindah dari suatu ruang geografis pada suatu waktu :e
ruang geografis pada waktu tertentu. Perpindahan yang di- ebut transmigrasi
atau migrasi pada saat sekarang tidak hanya neliputi lintas wilayah dalam suatu
negara, melainkan juga nigrasi besar-besaran yang terjadi lintas bangsa dan
benua nelalui lautan. Jadi ada semacam transisi pekerjaan global antar- iegara.
Faktor-faktor
sebagaimana saya sebutkan di atas mempunyai dampak yang sangat besar dalam
komunikasi antarbudaya di mana apabila makin banyak orang meninggalkan daerah
dan kebudayaan asal dan melintasi ke ruang kehidupan budaya lain maka lama
kelamaan kebudayaan yang dia miliki akan berkulturasi secara tidak langsung
dengan kebudayaan baru di tempat tujuan.
2.7.5
Teori
Fungsionalisme
Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali
mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran
biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri
dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan
hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama
halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga
bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya
berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini
dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya
mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer
dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme,
hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite
functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer
dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi
Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut.
Durkheim mengungkapkan bahwa
masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian
yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing –
masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling
interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak
berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi
sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural
fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown
juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Durkheim berpikir bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas
dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang
keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk
mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha
menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama
terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan
keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada
fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Teori fungsionalisme yang menekankan kepada
keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan
pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa berada
dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi
sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem
sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat
dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah bahwa
setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya
jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan
sendirinya.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih
daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Dalam bukunya "Pembagian
Kerja dalam Masyarakat", Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial
dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat ia memusatkan perhatian pada
pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat
tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap
orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara
sesamanya.
Dalam masyarakat tradisional, menurut Durkheim kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Sedangkan dalam masyarakat modern,
pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas
'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan
sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena
mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri.
Dalam masyarakat yang 'mekanis', misalnya, para
petani gurem hidup dalam masyarakat yang swasembada dan terjalin bersama oleh
warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang
'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang
mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu seperti bahan makanan, pakaian,
dll untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini. Menurut Durkheim bahwa
kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran
kolektif. Seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Mengutamakan keseimbangan, dengan kata lain
teori ini memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi
suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin memajukan kelompoknya, mereka akan melihat
apa yang akan dikembangkan dan tetap mempertahankan bahkan melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang
sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.
Namun dalam hal ini penganut teori fungsional
seringkali mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam analisa
mereka, akibatnya mereka seringkali di cap sebagai kelompok konservatif karena
terlalu menekankan kepada keteratuan dalam masyarakat dan mengabaikan variabel
konflik dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam masyarakat yang beragam
kebudayaan akan sangat mudah terjadi konflik, namun teori fungsional akan
menjadi garis tengah untuk menjadikan sebuah perbedaan menjadi alat untuk
bersatu.
2.8 Pendekatan
Fungsionalisme
Perspektif
fungsionalisme pada awalnya merupakan gagasan Emile Dürkheim yang mengemukakan
bahwa masyarakat merupakan suatu jaringan kompleks dari berbagai satuan-satuan
/ identitas yang paling terkait seperti keluarga, pemerintahan, agama, dan
ekonomi di mana setiap unit itu memberikan kontribusi satu terhadap yang lain
dalam membentuk suatu keseluruhan.
Ada beberapa pertanyaan yang patut ditonjolkan tentang fungsi
masyarakat, apa sebab kelompok atau masyarakat hidup bersama-sama dan sering
mengambil peran bersama dalam kehidupan mereka? Bagaimana kebudayaan dan
struktur sosial mempengaruhi daya adaptasi dan pola-pola penanganan suatu
masyarakat? Parson kemudian memperluas pemikiran Dürkheim dan
mengatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai cara mengembangkan mekanisme guna membantu mereka untuk
dapat beradaptasi demi kestabilan.
Pertukaran kebudayaan gagasan dan realisasi antara bagian- bagian
itu
dapat membantu masyarakat menangani keseimbangan dari unit yang berbeda-beda. (Jones, 1986). Dengan
demikian, setiap pertukaran sosial dan budaya adalah suatu proses di mana setiap
masyarakat
berusaha memelihara keseimbangan dengan menampilkan daya tahannya dan menimbulkan fungsi-fungsi yang
normal
dalam keseluruhan sistem yang kompleks itu.
Teori fungsionalisme mengemukakan bahwa setiap kebudayaan
umat
manusia tumbuh dan berkembang atas tiga kebutuhan dasar manusia, yakni: (1) keinginan/kebutuhan dasar;
(2) kebutuhan terhadap
nafkah atau memperoleh keuntungan; dan (3) kebutuhan integratif atau kebutuhan untuk
bersatu.
Keinginan dan kebutuhan dasar tersebut mengacu pada kebutuhan
untuk
bertahan hidup (survive), seperti makanan, minum,
perumahan,
dll. Demikian pula manusia membutuhkan nafkah atau keuntungan sosial yang
digambarkan
Nanda
(1980) dengan
pembagian
kerja / nafkah yang pantas / layak bagi manusia, pembagian makanan, dan kontrol
sosial.
Kebutuhan yang ketiga
adalah integratif,
kebutuhan
keamanan
dan
keharmonisan sosial dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, mitos, seni
dan
lain-lain. Kata Malinowski, bahwa setiap aspek kebudayaan
itu mengembangkan kepuasan secara fungsional bagi situasi yang dihadapi oleh
masyarakat. Dengan kata lain kebudayaan menggambarkan jenis fungsi- fungsi
tertentu, tetapi yang terpenting adalah kebutuhan integratif itu tetap selalu
dilaksanakan berdasarkan atas norma, aturan, dan interaksi sosial. Komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi antarpribadi dari mereka yang
berbeda kebudayaan. Ditinjau dari segi fungsionalisme maka setiap
masyarakat Amerika Serikat itu mengeluarkan jutaan dollar untuk
membasmi serangga di atas itu.
Cerita
tersebut menggambarkan bahwa setiap manusia dan renerasinya memiliki kebudayaan
tertentu, dciri erhadap kebudayaannya begitu mendalam sehingga kemanapun iia
pergi kebudayaan itu tetap melekat pada diri dalam menangani masyarakat yang
majemuk tersebut. Meskipun harus diyakini bahwa dari perbedaan latar belakang
itu mempunyai kekuatan untuk bersama dan bersatu.
Pertemuan budaya dan pertukaran budaya melalui komunikasi
dihasilkan karena ada mekanisme yang membantu mereka untuk beradaptasi dan
memperkuat stabilitasnya. Orang Bugis yang beragama Islam yang pedagang,
membutuhkan orang Kupang yang Protestan dan seorang penjahit, murid membutuhkan
guru, orang tua membutuhkan anak, pedagang membutuhkan pasar, semua
membutuhkan rumah ibadah, dll.
Pertukaran kebudayaan, gagasan, dan realisasi antara bagian-bagian itu
dapat membantu masyarakat menangani keseimbangan dari unit yang berbeda-beda.
2.9 Pengembangan
kemampuan Antarbudaya untuk Memahami Kebudayaan
Kita dapat mengembangkan beberapa
hal sebagai berikut :
2.9.1.1
Hargailah
martabat orang lain. Apabila suatu saat anda menemukan diri anda tidak cocok
dengan nilai budaya yang dimiliki oleh orang lain, hendaklah anda menghargai
perbedaan tersebut. Berikanlah penghargaan dan perhatian kepada orang lain
sesuai dengan situasi kebudayaan mereka, usahakan memahami dan jangan coba
mengeritik. Cobalah menikmati dan merasakan orang lain sesuai dengan latar
belakang kebudayaan mereka.
2.9.1.2
Jika
anda dikeritik orang lain, hendaklah anda tidak tersinggung. Kalau
kita
mempelajari kebudayaan yang tida. kita kenai maka kita sering dikeritik oleh para anggot
budaya itu.
Mungkin sekali mereka mengatakan anda keliri atau bahkan salah, sebaliknya anda tidak
tersinggung, karen kritik merupakan pengetahuan tambahan agar kita mawa diri
dan memperbaiki hubungan dengan mereka.
2.9.1.3
Dalam
komunikasi antarbudaya, sebaiknya kita tidak meras perlu jatuh hati pada siapa
saja atau di mana saja. Ingatlal bahwa setiap orang berbeda dari suatu tempat
ke tempa yang lain. Kalau anda tahu bahwa orang lain tidak suka pad anda, maka
saya sarankan anda tetap berkomunikasi dengai mereka.
2.9.1.4
Hati-hatilah
membicarakan hal yang sangat peka, misalny masalah keuangan, kekayaan,
material, dll. Apabila and berteman dengan orang dari budaya lain maka pelajar
persepsi kebudayaan tersebut terhadap uang, kekayaar material, dll.
2.9.1.5
Bekerja
sesuai dengan kemampuan anda. Banyak penelitian menunjukkan bahwa apabila
seseorang bekerja sesua dengan kemampuan dan profesinya atau keahliannya, mak
orang itu tidak menghadapi masalah, karena dia dapa bekerja secara profesional
dalam kebudayaan baru yan; berbeda sekalipun.
2.9.1.6
Bekerja
dengan inisiatif. Anda hendaklah berinisiatif kalai berkomunikasi antarbudaya,
akrablah atau berani
me nanggung resiko sosial.
2.9.1.7
Jadikan
diri anda sebagai seorang pengamat yang baik Ketika berhadapan dengan kebudayaan
tertentu, disarartkai anda dapat
memperhatikan atau mendengarkan dengan baik mengamati, mencacat hal-hal yang anda
anggap perlu dalan buku
harian anda.
2.9.1.8
Berani
menanggung resiko tertentu terhadap “privacy”
Kerapkali
dalam KAB, karena para pesertanya kurang memahami perbedaan kebudayaan, maka
mungkin terjadi kesalahpahaman yang membuat kita tersinggung apalagi mungkin
'privacy' kita pun terganggu. Lupakan kejadian seperti itu karena mereka yang
berasal dari kebudayaan lain kurang mengetahui betapa kebudayaan anda sendiri
menghadapi provokasi
2.9.1.9
Jangan
menganjurkan, apalagi berbicara masalah politik dengan seseorang yang
berkebudayaan lain. Hal ini perlu ditandaskan karena tema itu mungkin merupakan
bagian dari norma kehidupan suatu sistem budaya yang tidak patut dibicarakan di
sembarang waktu dan tempat.
2.9.1.10
Akuilah
peran wanita dalam kebudayaan orang lain. Perlu diketahui bahwa setiap
bangsa-bangsa yang berbeda memiliki penghormatan terhadap wanita. Apabila anda
berkomunikasi antarbudaya maka anda ambil jalan tengah, yakni menghormati semua
orang yang anda jumpai dalam satu pertemuan.
2.9.1.11
Hormatilah
tradisi orang lain, ingat bahwa bagi orang lain tradisi mereka tetap merupakan
hai yang suci dan sakral.
2.9.1.12
Perlu
dimaklumi bahwa ada pula kebudayaan yang tidak mewariskan kepada partai
anggotanya tentang cara-cara
menangani
semua keputusan dengan efisien. Di sini
terlihat bahwa
setiap kebudayaan mempunyai standar
tertentu terhadap
efisiensi.
2.9.1.13
Belajarlah
untuk memberikan diri anda dan menerima orang lain apa adanya dan bukan
sebagaimana yang anda kehendaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar