KONSELING MULTIKULTURAL
1. PENGERTIAN
KONSELING MULTIKULTURAL
Menurut
Gibson dan Mitchell (2011)
Amerika serikat selalu
dikenal sebagai negeri dengan populasi yang sangat beragam tempat budaya -
budaya selain kulit putih memberikan kontribusi masing-masing bagi
keagungannya. Selama 40 tahun belakangan, perhatian semakin terarah pada
keunikan dan hak-hak budaya minoritas ini. Gerakan kesetaraan hak dan gerakan
hak-hak sipil, dan pelulusan legislasi juga menfokuskan perhatian pada
kestaraan ras dan gender di perempat terakhir abad XX. Selain itu proyeksi
pertumbuhan jumlah riil dan presentase populasi minoritas Amerika beberapa
dekade mendatang turut meningkatkan urgensi pengembangan hubungan bantuan
positif di antara semua budaya kita. Meningginya perhatian nasional ini juga
tercermin di profesi konseling menyertai peningkatan mencolok atensi bagi
kebutuhan dan isu-isu konseling multibudaya yang muncul 30 tahun terakhir.
Dewasa ini, para konselor
di lingkup apapun harus paham kalau mereka sedang berfungsi di sebuah desa
global. Kita harus menyadari tengah menghadapi beragam manusia, jadi bukan
sekedar minoritas saat kita bicara tentang budaya. Masyarakat yang heterogen
ini memiliki budayanya sendiri yang membimbing perilaku, peristiwa dan harapan
mereka. Dalam konteks ini, konseling sebagai hubungan antar manusia dan profesi
penolong harus dapat memberikan pengaruh nasional yang signifikan dan positif,
sedangkan wilayah spesialisasi yaitu konseling pribadi, kita harus
memperlihatkan secara konsisten dan konklusif bahwa kita sungguh berorientasi
secara multibudaya baik dalam teori maupun praktiknya, dan bahwa kita memang
efektif sebagai konselor untuk budaya apapun.
Di dalam konseling
multibudaya, hasil-hasil yang ingin dicapai tidak boleh dihalangi oleh
perbedaan budaya konselor dan klien. Tentunya asumsi-asumsi filosofis yang
sering dinyatakan sebagai keberhargaan dan martabat yang melekat pada individu,
penghargaan atas keunikan pribadi, hak individu bagi aktualisasi diri dan
lain-lain, mengindikasikan komitmen kita bagi konseling yang efektif untuk
semua klien apapun latarbelakang budaya, etnik religius atau sosial-ekonominya.
Walaupun demikian, yang sama pentingnya dengan komitmen tersebut adalah
konselor harus bergerak menuju pengejaran aktif fondasi teoritis yang tepat,
dan praktik-praktik yang efektif, kalau ingin berhasil melakukan konseling
klien dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Saat mengupayakan
konseling dan bimbingan multibudaya yang positif dan bermakna, kita harus sadar
kalau istilah multi artinya ‘banyak’, dan bahwa kita merasakan diri unik
diantara banyak budaya dan latar belakang yang membentuk populasi kita. Dengan
bertindak demikian, konselor akan menyadari kalau banyak karakteristik
tradisional proses konseling utama (seperti keterbukaan, ekspresi emosi,
berbagi perasaan terdalam) bisa sungguh menghambat efektifitas menangani klien
dengan budaya lain. Karena yang paling penting untuk klien-klien multibudaya
adalah mereka merasakan kalau anda sadar
dan peka terhadap keunikan mereka.
Ridley (2005,h.11)
mengamati, klien multibudaya lebih banyak mengalami pengalaman tidak
menyenangkan dibanyak aspek konseling
jika dibandingkan klien-klien kulit putih, seperti:
·
Diagnosis
Klien
minoritas cenderung lebih banyak keliru didiagnosis ketimbang klien kulit
putih. Kekeliruan diagnosis biasanya melibatkan psikopatologi yang lebih berat
ketimbang yang ditunjukkan simtomnya, namun sesekali melibatkan juga
psikopatologi yang kurang begitu berat. Masalahnya cara mereka
merepresentasikan simtom berbeda dari klien kulit putih, sementara teori-teori
psikoterapi yang beredar selama ini dibentuk dari pengalaman dan riset terhadap
orang-orang kulit putih.
·
Penugasan
staf
Klien
minoritas cenderung diberikan pada staff profesional yunior, para profesional
bahkan bukan-profesional ketimbang profesional senior atau terlatih.
·
Sifat
penanganan
Klien
minoritas cenderung menerima penganan berbiaya –rendah dan kurang unggulan yang
terdiri atas kontak minimal, pengobatan sekadarnya atau perawatan jarak jauh,
bukannya psikoterapi intensif
·
Fasilitas
Klien
minoritas cenderung dirujuk ke fasilitas-fasilitas kesehatan mental seadannya,
jarang dirujuk ke perawatan swasta, akibatnya mereka membanjiri
fasilitas-fasilitas perawatan umum yang disediakan pemerintah yang stok obatnya
terbatas dan staff pengelolanya kadang direkrut dari para sukarelawan atau
pekerja sosial.
·
Durasi
penangan
Klien
minoritas banyak menerima penutupan konseling prematur, dikeluarkan dari
terapi, atau diserahkan unit rawat jalan untuk waktu lebih lama ketimbang orang
kulit putih tanpa hasil yang dievaluasi dan tanpa kejelasan sembuh
·
Sikap
Klien
minoritas melaporkan lebih banyak ketidakpuasan dan kesan tidak menyenangkan
ketimbang perawatan yang diberikan pada klien kulit putih.
Kaum profesional konseling
perlu ingat kalau perbedaan bahasa dan dialek antara mereka dan klien
berpengaruh besar bagi kesuksesan konseling. Meskipun multikulturalisme di
generasi belakangan semakin diakui sebagai daya penggerak terbesar bagi
perjalinan hubungan antar manusia di Amerika Serikat, namun kita tidak bisa
membiarkan hal itu memburamkan kebutuhan absolut konselor untuk memahami antara
budaya mereka sendiri dan budaya klien.
Menurut
McLEOD (2006) h. 274-276
Remirez (1991)
berpendapat bahwa tema umum yang terdapat dalam semua konseling multikultural
adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat multikultural. Dia menyatakan
bahwa tujuan utama dalam menghadapi klien dari berbagai kelompok etnis adalah
mengembangkan “fleksibilitas kultur” (culture
flexibility). Remirez (1991) menekankan bahwa bahkan anggota kelompok
kultur yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri
kita dan apa yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa
diri kita dan apa yang diharapkan orang lain dari kita. Pendekatan yang diambil
oleh Ramirez (1991) menggunakan penyesuaian gaya dan pemahaman kultural klien
oleh konselor dipertemuan awal, kemudian mendorong untuk mencoba berbagai
bentuk perilaku kultural. Jelas pendekatan ini menuntut fleksibilitas kultural
dan kesadaran tingkat tinggi dalam diri terapis.
Pendekatan penting
lainnya dalam konseling multikultural adalah fokus pada hubungan antara
persoalan personal dan realitas politik/sosial. Disini klien tidak hanya
dipahami dalam terminologi psikologis murni, tapi juga dipahami sebagai anggota
aktif dari sebuah kultur. Perasaan, pengalaman, dan identitas dari klien
dipandang dibentuk oleh mileu kultural. Sebagai contoh, Holland (1990:262)
membuat perbedaan antara hilang (loss)
dan dirampas (expropriation):
Dalampekerjaan
saya...kita selalu kembali kepada sejarah yang sama: dipisahkan dari ibu,
bergabung kembali bersama ibu yang tidak pernah kenal, meninggalkan nenek yang
mereka sayangi, menemukan diri mereka berada dalam hubungan yang sama sekali
berbeda dari yang pernah mereka alami sebelum ini, dilecehkan secara seksual,
dimasukkan ke tempat penitipan, dan seterusnya. Bagi para pekerja dibidang ini,
semua situasi tersebut adalah hal yang biasa. Itu yang namanya kehilangan. Perampasan adalah apa yang dilakukan oleh imperialisme dan neo
kolonialisme—ia mencuri sejarah seseorang, mencuri semua benda dari orang kulit
hitam, dari orang yang bukan anggota ras supremasi kulit putih.
Dalam karya tersebut,
Holland menuliskan pengalamannya menghadapi wanita kulit hitam dari kelas
pekerja di Inggris. Sayangnya, pengalaman dicurinya sesuatu oleh yang mempunyai
kekuatan lebih besar merupakan tema umum dalam hidup para gay, lesbian, beda
agama, menganggur, atau dilecehkan secara seksual. Kehilangan dapat ditangani
dan disembuhkan melalui serangkaian terapi. Namun, perampasan hanya dapat
diobati melalui tindakan sosial. Tema penguatan—dalam diri kehidupan
individual, melalui kelompok self help
atau melalui keterlibatan politik----merupakan inti konseling multikultural.
Dyche dan Zayas (1995)
berpendapat mustahil bagi konselor untuk memasuki sesi pertama dengan
pengetahuan mendetail tentang latar belakang kultural klien mereka. Lebih jauh,
kedua pakar tersebut menyatakan bahwa tiap usaha untuk mendapatkan pengetahuan
jenis tersebut akan berisiko tercapainya pemahaman yang terlalu teoritis dan
intelektual terhadap kultur klien. Dan pada gilirannya, hal tersebut dapat
berisiko,” melihat klien sebagai kultur mereka bukan sebagai diri mereka
sendiri” (hlm 389). Dyche dan Zayas berpendapat akan lebih membantu apabila
yang dilakukan adalah mengadopsi sikap kenaifan kultural dan hasrat terhormat,
dengan tujuan bekerja bersama klien untuk menciptakan pemahaman terhadap arti
latar belakang kultural bagi mereka sebagai individu. Ridley dan Lingle (1996)
merujuk kepada pandangan yang sama terhadap klien, hanya saja mendiskusikannya
dalam terminologi empati kultural. David dan Erickson (1990) berpendapat
kulitas perhatian atau empati terhadap dunia kultur orang lain seharusnya
berlandaskan sikap yang sama kepada kultur sendiri.
Karya Dyche dan Zayas
(1995), Holland (1990, Martinez (1991), serta Ridley dan Dingle (1996)
menunjukkan bahwa sebagian besar praktik konseling multikultural didorong oleh
rangkaian prinsip atau keyakinan, bukan dilandasi oleh rangkaian teknik atau
ketrampilan khusus. Konselor multikultural dapat menggunakan bentuk penyampaian
yang beragam, mulai dari individual, pasangan, keluarga atau kelompok, dan
memanfaatkan intervensi tertentu seperti pelatihan relaksasi, analisis mimpi,
atau refleksi empatik. Dalam tiap kesempatan, konselor terus menerus
mempertimbangkan kesesuaian kultural dari apa yang ditawarkannya. Konseling
multikultural tidak dapat dicocokkan begitu saja dengan pendekatan aliran utama
dalam konseling, seperti psikodinamik, person
centered, kognitif-behavioral, atau sistemik. Sebagian konselor bekerja
dengan tiap pendekatan ini, tapi ada pula yang hanya mengambil yang diperlukan
dari semua pendekatan tersebut. Konseling multikutural adalah pendektan integratif yang menggunakan teori
kultural dasar sebagai landasan untuk memilih ide dan teknik konseling.
Menurut Glading
Budaya dapat
didefinisikan dengan beberapa cara. Definisi meliputi “variabel etnografik
seperti etnisitas, kewarganegaraan, agama, dan bahasa, seperti juga variabel
demografik dari umur, gender, tempat tinggal, dan sebagainya, variabel status
seperti latar belakang sosial ekonomi, dan pendidikan dan affiliasi atau
keanggotaan formal atau informal dalam cakupan luas” (Pedersen, 1990,p.550).
Budaya “membentuk perilaku, pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan
proses kognitif kita” (Cohen,1998). Hal itu bisa terjadi baik pada tahap sadar
maupun tidak sadar.
Secara inklusif, akurat,
dan luas, budaya didefinisikan sebagai “sekelompok orang yang mengidentifikasi
atau berasosiasi satu dengan yang lain berdasarkan pada kesamaan tujuan,
kebutuhan, atau latar belakang” (Axelson, 1999). Elemen bersama suatu budaya
seperti ini adalah jejaring signifikan yang memberi koherensi dan arti terhadap
kehidupan (Geertz,1973). Sementara sebuah budaya mendefinisikan diri secara
parsial dalam kaitannya dengan kesamaan fisik, yang lain mungkinmenekankan pada
kesamaan sejarah dan filosofi, dan yang lain lagi mungkin mengkombinasikan
keduanya. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya dan
warisan mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan pertama.
Seperti halnya budaya
adalah kata yang multidimensi, istilah mutikultural juga telah
terkonseptualisasi dalam beberapa cara. Tidak ada perjanjian universal tentang
apa yang termasuk didalamnya, walaupun badan-badan akreditasi, seperti CA CREP,
telah mendefinisikan istilah tersebut secara luas. “Kurangnya definisi
multikulturalisme yang kongkret sudah menjadi masalah yang berkepajangan”
(Middleteon, Flowers, & Zawaiza, 1996). Fokus yang paling mencolok dari
multikulturalisme adalah keunikan dan konsep kelompok yang terpisah yang
memfasilitasi perhatian pada perbedaan individual (Locke, 1998).
Oleh karena itu konseling
multikultural dapat dilihat secara umum sebagai konseling “ dimana konselor dan
kliennya berbeda” (Locke,1990). Perbedaan itu mungkin hasil dari sosialisasi
lewat cara kultural yang unik, kejadian-kejadian hidup yang traumatis maupun
yang menghasilkan perkembangan, atau produk dari dibesarkan dalam lingkungan
etnik tertentu. Perdebatan yang ada dalam bidang konseling multikultural adalah
seberapa luas perbedaan harus didefinisikan. Disatu sisi, sebagian pihak
mendukung apa yang dikenal sebagai etic perspective, menyatakan bahwa ada
kualitas universal dalam konseling yang dapat digeneralisasi pada semua
kebudayaan. Sedangkan di sisi lain, emic perspective, mengasumsikan pendekatan
konseling, haruslah didesain secara spesifik untuk masing-masing budaya.
“Pendekatan etik bisa
dikritisi karena tidak menganggap perbedaan budaya sebagai sesuatu yang
penting. Pendektan emic bisa di kritisi karena terlalu memberikan penekanan
pada teknik spesifik sebagai sarana untuk klien bisa berubah” (Fischer, Jome,
&Atkinson,1998). Beberapa profesional telah mencoba mencari elemen
persamaan di antara kedua pendekatan ini. Sebagai contoh, Fischer dkk. (1998)
menawarkan empat kondisi umum dalam semua pelayanan konseling:
·
Relasi
terapeutik
·
Saling
berbagi cara pandang antara klien dengan konselor
·
Ekspektasi
klien untuk perubahan yang positif, dan
·
Intervensi
yang dipercaya baik oleh klien maupun konselor sebagai alat untuk sembuh.
Bagaimanapun juga
penawaran ini hanya menerima dukungan yang terbatas. Oleh karena itu, pada abad
ke-21 ini, definisi dari konseling multikultural harus ditinjau kembali. Ada
yang lebih inklusif dibandingkan yang lain. Dalam bab ini, multikulturalisme
akan dihadapi dengan menggunakan pendektan emik yang harus dikombinasikan
dengan faktor-faktor keberagaman. Agar bisa benar-benar memahami klien,
konselor harus menyadari bahwa orang yang duduk didepannya, adalah mahkluk yang
sangat kompleks dan beragam. Oleh karena itu, mengkombinasikan faktor budaya
dan keragaman sebagai bagian untuk mengerti, adalah hal yang sangat esensial.
2.
MEMAHAMI KEBERAGAMAN
KLIEN DALAM MASYARAKAT PLURAL
WANDA
(P.35)
Saya tahu bahwa orang-orang akan
berkata, "Lihat, Afrika Amerika hanya bergaul dengan radio
mereka."Jadi, sebagai seorang Amerika Afrika, aku selalu takut bahwa
ketika saya berjalan ke kelas, orang tidak akan melihat saya sebagai benar
benar mahasiswa ....
Mahasiswi Afrika-Amerika, 24 tahun
(Woodlief, Thomas, & Orozco, 2003, hal. 83) Konselor dapat mulai
mengembangkan pemahaman tentang dampak potensial dari status minoritas budaya
pada pengalaman psikologis klien mereka dengan memutar ke pekerjaan psikolog
sosial yang telah lama tertarik untuk meneliti akar prasangka dan efek
diskriminasi, stereotip, dan rasisme terhadap individu.
Kata "prasangka" berasal
dari kata Latin Prae , yang berarti sebelum dan yudisium ,
berarti penilaian. Dengan kata lain, prasangka terjadi, misalnya, ketika
praduga seseorang sebelum pengetahuan nyata dari orang yang dikenal. Gordon
Allport (1954) mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau tidak suka
berdasarkan generalisasi yang salah dan generalisasi yang tidak fleksibel.
Menurut teori perbandingan sosial
(Festinger, 1954), orang cenderung membuat penilaian tentang diri mereka
sendiri dengan membandingkan diri ke kelompok serupa, atau "kelompok
acuan." Jika perbandingannya positif, mereka merasa lebih baik tentang
diri mereka sendiri. "Prasangka" terjadi ketika seseorang membawanya
atau kelompok sendiri sebagai titik referensi positif yang dipakai untuk menilai orang lain secara
negatif. "Diskriminasi" terjadi ketika tindakan yang terjadi
mendukung satu kelompok dengan mengorbankan kelompok pembanding. Sebuah contoh,
jika seseorang berpikir tentang dirinya atau etnis kelompoknya
sebagai kelompok referensi utama. Sampai-sampai dia merasa dia atau dia
berhasil, dibandingkan dengan orang lain dalam referensi kelompok, dia atau
harga diri nya dapat meningkat. Namun, jika ia menghakimi orang-orang dari
kelompok lain sebagai tidak layak atau tidak memadai dibandingkan dengan
dirinya atau kelompok etnisnya, dia sedang berprasangka. Jika ia kemudian
mengambil tindakan untuk mendukung dirinya atau kelompok etnisnya dengan
mengorbankan kelompok lain, misalnya, untuk melewati aturan yang tidak
memungkinkan anggota kelompok lain untuk memiliki sendiri, suara, dan
sebagainya, ini merupakan diskriminasi.
Salah satu definisi
"stereotip" (Ho, 1990) adalah deskripsi umum dari sekelompok orang
yang biasanya dikembangkan dari waktu ke waktu berdasarkan pada interaksi
lintas budaya. Dalam masa ini media yang kaya televisi, DVD, dan CD, mudah
untuk mengambil eksposur media sebagai interaksi yang benar-benar
lintas-budaya. Seseorang yang belum pernah bertemu orang lain dari latar
belakang etnis tertentu mungkin memiliki
stereotip, yaitu terbatas atau pandangan konitif yang fleksibel (Abreu, 2001)
terhadap budaya yang didasarkan pada apa yang mereka telah mendengar, melihat,
atau membaca, namun tidak didasarkan pada interaksi pribadi yang nyata dengan
orang lain dari etnis itu.
Stereotip dapat berguna secara
psikologis. Mereka dapat membantu memori dengan menyediakan perangkat untuk
beberapa potongan informasi bersama-sama di bawah satu label. Hal ini bisa
membantu seseorang karena membuat dunia tidak rumit, lebih dapat diprediksi,
dan sebagai hasilnya, lebih nyaman.
Ketika konselor melihat usia, jenis
kelamin, atau latar belakang etnis klien pada bentuk intake, mereka mungkin
merasa lebih nyaman bertemu klien baru mereka karena mereka menggunakan
informasi tersebut sebagai stereotip dalam mengingat semua pengalaman mereka
sebelumnya dengan orang-orang dari usia yang sama, jenis kelamin, atau etnis.
Namun, ada juga kekurangan dari stereotip. Jika konselor menempatkan terlalu
banyak penekanan pada stereotip klien baru, konselor mungkin menganggap bahwa
ia sudah tahu banyak tentang orang tersebut dan dapat mengabaikan untuk
mempertimbangkan cara-cara di mana klien tidak sesuai dengan stereotip. Hal ini
dapat menghasilkan penilaian dan rencana tindakan yang salah.
Ada juga efek negatif dari stereotip
klien sendiri. Stereotip tersebut dapat berkontribusi untuk meningkatkan
ketidakpercayaan dan keengganan untuk mengungkapkan diri dengan seorang
konselor yang berbeda kepada dirinya
sendiri. Jika klien telah memasukkan stereotip negatif dalam dirinya atau selfimage sendiri, ini dapat
berkontribusi terhadap rasa rendah diri dan optimisme yang terbatas untuk
berubah. Proses ini telah disebut "penindasan diinternalisasi" atau
"diinternalisasi rasisme”. Menurut Jones (2000), diinternalisasi rasisme
terjadi ketika stigma anggota kelompok menerima gambar negatif tentang diri
sendiri. Mereka mungkin menolak budaya mereka sendiri dan merangkul "orang
berkulit putih" dengan mengubah tekstur rambut atau menggunakan krim
pemutih. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian, anak-anak Afrika Amerika
menunjuk gambar anak kulit putih lebih sering daripada anak Afrika Amerika
ketika ditanya yang kedua lebih indah atau lebih pintar (dikutip di Pine &
Hilliard, 1990). Salah satu interpretasi data tentang anak-anak Afrika Amerika
telah diinternalisasi pesan sosial negatif mereka tentang etnis mereka. Sebuah
interpretasi bersaing adalah bahwa anak-anak merespon terhadap apa yang mungkin
telah mereka anggap secara sosial diinginkan atau cara yang "benar"
dan bahwa mereka tidak harus percaya stereotip negatif Afrika Amerika.
Claude Steele telah mempelajari
konsep "kerentanan stereotip ," efek yang mungkin terjadi ketika
seseorang mencoba untuk melakukannya dengan baik dalam suasana di mana ia
menyadari bahwa orang lain dari latar belakang budaya yang sama mengalami
kesulitan dan dapat mengurangi penampilannya ( Watters, 1995). Kerentanan
stereotip beroperasi sebagai beban tambahan pada orang yang memiliki tereotip
negatif tidak kuat.
Sampai saat ini, bukti untuk
fenomena ini telah ditemukan dengan Afrika Amerika diuji dengan Graduate Record
Exam (GRE) pertanyaan lesan dan wanita diuji dengan soal matematika (Watters,
1995).
3.
KONSELING DAN BUDAYA
Menurut
Wanda
Siapa yang memutuskan apa yang membatasi dan apa yang teks? Siapa
yang memutuskan di mana perbatasan tanah air ? Absen dan keheningan yang
kuat. Ini adalah
yang biasa batas membingkai
sejarah tanah.
Rumah Sakit Janette Turner (Biggs, 1996, hal. 82) Populasi Amerika
Serikat menjadi lebih dan lebih beragam. Tiga puluh satu persen dari populasi
saat ini adalah Afrika Amerika, Latin, Asia / Kepulauan Pasifik Amerika, atau India - American
(Biro Sensus
Amerika, 2001), namun sebagian besar konselor Amerika Eropa mendasarkan etnis dan
semua teori pendekatan
konseling
utama dikembangkan oleh penduduk
Eropa (Freud, Jung, Adler, Perls, dll) atau Amerika keturunan Eropa
(Rogers, Skinner, Ellis, dll). Profesi
Konseling pada dasarnya adalah produk budaya Amerika Eropa (Das, 1995).
Sebagai bidang konseling yang
bergerak ke abad ke-21, perbedaan
budaya selain etnis semakin mendapat pengakuan sebagai pertimbangan
penting dalam proses konseling: peran gender, orientasi seksual,
penuaan, dan cacat fisik. Memahami kompleksitas latar
belakang sosial dan budaya setiap klien merupakan bagian integral kesuksesan
konseling. Buku ini ditulis untuk konselor pemula,
konselor
yang sedang berlatih, dan profesional pembantu lain yang sebelumnya tidak memiliki pelatihan
formal dalam bekerja dengan klien multikultural.
BUDAYA
Untuk memulai perjalanan menuju menjadi seorang konselor yang kompeten
secara budaya, Anda harus terlebih dahulu bertanya pada diri sendiri,
"Apakah budaya?" Haviland (1975) mendefinisikan budaya sebagai
"seperangkat asumsi bersama di mana orang dapat memprediksi reaksi tindakan masing-masing
sesuai keadaan
tertentu "(hal. 6).
Ketika klien dan konselor berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda, apakah itu dari segi etnis, jenis kelamin, orientasi seksual,
kecacatan, atau usia, mereka tidak dapat berbagi asumsi yang sama tentang
banyak hal, termasuk proses konseling, dan konseling dapat tidak terduga menjadi interaksi yang tidak
nyaman bagi kedua belah pihak. Maka kemungkinan terjadinya sesi kedua, biarkan
perubahan produktif saja, menjadi rendah.
Budaya dapat didefinisikan dalam banyak cara. Menurut Merriam-Webster
(2006), itu adalah "kepercayaan adat, bentuk-bentuk sosial, dan ciri-ciri
bahan kelompok ras, agama, dan sosial.
"Dalam definisi ini, apa
yang adat atau normatif terhadap kelompok
tertentu adalah kunci. Dalam rangka untuk memahami budaya klien, konselor harus
memahami apa yang normative
dalam kelompok budaya klien. Dalam
konteks ini, perilaku klien sendiri kemudian dapat dievaluasi karena
dibandingkan dengan bagaimana orang lain dalam dirinya atau kelompoknya akan
biasanya berperilaku. Perilaku yang tidak normal dalam satu budaya mungkin menyesuaikan dengan yang lain.
Encyclopedia Britannica (2006) mendefinisikan budaya sebagai pola terpadu dari pengetahuan
manusia, kepercayaan, dan perilaku yang baik hasil dan kemampuan integral
manusia untuk belajar dan transmisi pengetahuan untuk generasi-generasi. Budaya
terdiri dari bahasa, ide, keyakinan, kebiasaan, hal yang dianggap tabu,
kode, lembaga, alat, teknik, karya seni, ritual, upacara, dan simbol .... Sikap seorang
individu, nilai-nilai, cita-cita, dan keyakinan yang sangat dipengaruhi oleh
budaya (atau
budaya) di mana ia tinggal.
Ada
banyak aspek budaya dan banyak dari mereka, seperti bahasa, kebiasaan,
nilai-nilai, keyakinan, spiritualitas, peran jenis kelamin, riwayat sosial
politik, dan sebagainya, mungkin memiliki dampak dalam konseling. Ada beberapa
cara bahwa budaya sangat penting dalam konseling. Pertama, konseling terjadi
dalam konteks budaya, dalam kantor, sekolah, perguruan tinggi, atau organisasi
lainnya, dan, di luar ini, dalam komunitas yang lebih besar atau masyarakat.
Jika klien harus mencari treatmen dalam
lingkungan budaya yang
asing , dia mungkin bahkan enggan
untuk memulai konseling. Kedua, seperti
secara singkat telah
disebutkan sebelumnya,
penilaian yang tepat terhadap masalah klien harus mempertimbangkan
budaya klien. Ketiga, konseling sendiri berbasis budaya. Konseling seperti yang telah secara
tradisional diajarkan di sebagian besar negara berbahasa Inggris dikembangkan
dari pengaruh
sejarah dan
sosial yang paling relevan dengan
klien kulit
putih, rambut
lurus, berbadan sehat, muda. Ada banyak kebudayaan yang tidak memiliki kata
untuk konseling dan cara orang biasanya mencari bantuan dalam budaya mereka
mungkin tidak menemui
konselor. Akhirnya, budaya itu sendiri mungkin menjadi fokus konseling. Ketika
klien akan melalui transisi budaya, ketika ada perbedaan budaya mengganggu
hubungan yang
erat, ketika klien telah menjadi korban rasisme budaya, seksisme, homofobia,
ablism, atau usia, ketika budaya pribadi klien sangat berbeda dari masyarakat
sekitarnya yang rentan, maka
budaya itu sendiri dapat menjadi pusat dari proses konseling.
ETNIS
McGoldrick, Pearce, dan Giordano
(1982) menjelaskan etnis sebagai rasa kebersamaan yang lebih dari ras, agama,
nasional, atau asal geografis. Proses sadar dan bawah sadar berkontribusi
terhadap rasa identitas dan kontinuitas sejarah. Cara lain untuk melihat
etnisitas adalah sebagai nenek moyang dirasakan yang sama, baik nyata atau
fiktif (Shibutani & Kwan, 1965). Dalam hal ini ada beberapa kelompok etnis
yang luas dalam Amerika Serikat: penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, Latin
dan Latinas, Asia Amerika, dan Amerika Eropa. Beberapa di antaranya kelompok
etnis mungkin memiliki orang-orang dari berbagai ras dikelompokkan dalam diri
mereka, misalnya, Latin. Apa yang menonjol di Amerika Serikat adalah bahwa
anggota kelompok ini dianggap oleh orang lain sebagai memiliki nenek moyang
yang sama bahkan meskipun ada banyak keragaman budaya dalam masing-masing
kelompok.
RAS
"Ras membagi manusia dalam
kategori yang nampak dalam jiwa kita" (Jones, 1997, hal. 339). Definisi
umum cenderung untuk memasukkan fisik
atau pengelompokan genetik dan didasarkan pada biologis. Penelitian saat ini,
bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada keragaman lebih sering dalam kelompok ras
daripada antara kelompok ras. Istilah sebenarnya memiliki lebih dari konotasi
sosial yang ditetapkan. Hal ini digunakan secara terbatas dalam buku ini,
terutama ketika aspek-aspek sosial dari kelompok tersebut yang menjadi fokus
diskusi.
KELOMPOK
MINORITAS
Corey, Corey, dan Callanan (1988)
mendefinisikan kelompok minoritas sebagai orang yang telah didiskriminasi atau
mengalami perlakuan yang tidak sama. Semua kelompok etnis yang disebutkan di
atas adalah kelompok minoritas dalam Amerika Serikat, kecuali beberapa sub
kelompok Amerika Eropa yang secara historis telah diberikan kekuatan politik,
sosial, dan ekonomi yang membedakan terhadap orang lain. Menggunakan definisi
ini kelompok minoritas juga termasuk wanita, kaum gay dan lesbian, orang tua,
dan orang-orang cacat karena semua kelompok-kelompok ini juga telah mengalami perlakuan
yang tidak sama dalam sejarah bangsa ini.
Sebuah pandangan yang luas dari
perbedaan budaya dalam konseling dan membantu profesi lainnya termasuk
kebutuhan untuk menjadi sadar dan belajar tentang banyak kelompok budaya
minoritas tertentu yang mungkin berbeda dari konselor dalam berbagai cara,
tidak terbatas pada etnis, jenis kelamin, orientasi atau identitas seksual,
usia, atau cacat.
4.
PERBEDAAN PANDANGAN DUNIA DAN KETIADAAN REALITAS BUDAYA
Gladding, 2012 : 107 – 115
EROPA
AMERIKA
Sebagai
kelompok Eropa Amerika adalah populasi yang sangat beragam. Walaupun Eropa
secara umum adalah tempat tinggal nenek moyang mereka, ada perbedaan besar
dalam warisan budaya antara orang – orang dari Swedia, Italia,Prancis, Inggris,
Polandia, Jerman, Rusia dan Austria ( sebagai tambahan banyak orang dari
Spanyol maupun keturunan Spanyol menganggap warisan budaya mereka secara umum
berbeda dengan orang Eropa lainnya ). Orang Eropa yang baru saja tiba di
Amerika Serikat juga sangat berbeda dengan keluarga – keluarga Eropa yang telah
lama menetap di Amerika Utara secara turun temurun, yang banyak diantaranya
sekarang ini menyebut diri mereka “Amerika” dan melupakan nenek moyang Eropa
mereka ( El Nasser & Overberg, 2002 ).
Sebagai
kelompok, kaum Eropa Amerika telah mengalami pencampuran melebihi kebanyakan
kelompok budaya yang lainnya. Ini disebabkan antara lain oleh sejarah
pernikahan dan relasi antarkelompok yang bersama – sama mempengaruhi kelompok
sebagai satu kesatuan dan membuatnya lebih homogen. Kaum Eropa Amerika leboh
cenderung mendukung filosofi yang “menghargai linier, analitikal, empiris, dan
penyelesaian tugas” serta menekankan bahwa “semangat individualitas yang kuat
harus dihargai dan otonomi dari bagian – bagian serta kebebasan bertindak lebih
signifikan dari kebersamaan kelompok” ( Sue,1992,p.8 )
Banyak orang
Eropa Amerika menganggungkan penggunaan metode rasional dan logis dalam
memahami diri mereka sendiri dan orang lain.
AFRIKA
AMERIKA
Saat
mengkonseling kaum Afrika Amerika konselor harus memahami sejarah , nilai –
nilai budaya, konflik, cara menangani Afrika Amerika dan menyadari sikap dan
prasangkanya sendiri terhadap kelompok ini ( Atkinson, 2004;
Garretson,1993;Vontress & Epp,1997 ). Konselor yang berbeda latar budayanya
akan dapat bekerja dengan efektif dalam menghadapi klien Afrika Amerika jikalau
dia memahami sifat rasisme dan fakta bahwa rasisme budaya institusional, dan
individual adalah masalah utama bagi kaum Afrika Amerika yang tinggal di masyarakat kontemporer ( Utsey,Ponterotto,
Reynolds & Cancelli, 2000,p.72 ) dan bahwa diskriminasi rasial serta
kepercayaan diri berhubungan terbalik. Selanjutnya konselor harus menyadari
bahwa kaum Afrika Amerika adalah kaum yang sangat beragam dan memiliki tingkah
laku, pikiran, dan perasaan yang beragam ( Baruth & Manning, 2007;Harper,
1994;Smith,1977 ). Oleh karena itu tidak ada satu pendekatan bantuan maupun
konseling yang bisa bekerja dengan sangat baik pada semua orang.
Faktor yang
mempengaruhi partisipasi kaum Afrika Amerika adalah :
1. Konseling
dianggap oleh orang Afrika Amerika sebagai sebuah proses dimana klien
meyerahkan kebebsan mereka dengan pertama memberitahukan urusanmu kepada orang
asing kemudian keharusan untuk mendengarkan nasihat yang tidak pernah
diinginkan dari orang asing ( Priest, 1991,p.215 ). Oleh karena itu banyak kaum
Afrika Amerika yang tidak mau secara sukarela memberikan dirinya untuk masuk
dalam hubungan konseling.
2. Relasi
yang tidak setara. Dengan sejarah perbudakan di Amerika dan umumnya diagnosis
pada kaum Afrika Amerika di pusat
kesehatan mental, anggota kelompok ini yang masuk dalam relasi yang tidak
setara tersebut melakukannya dengan keterpaksaan. ( Garretson,1993 )
3. Kolektivitas
di kebanyakan tradisi komunitas. Kolektivitas itu pada zaman dahulu berupa suku
atau klan ( Priest 1993.p.213 ), sekarang ini berupa keluarga dan semua yang
tinggal, bekerja ataupun beribadah secara berdekatan.
4. Spritulaitas
dan peran gereja dan lembaga keagamaan di budaya Afrika Amerika adalah faktor
yang juga mempengaruhi anggota kelompok ini. Daripada seorang konselor, lembaga
keagamaan biasanya dianggap sebagai sumber dari keseimbangan mental dan
emosional. ( Priest, 1991, p.214 )
HISPANIK/LATINOS
Istilah
Hispanik/Latinos keduanya digunakan untuk mendeskripsikan masyarakat heterogen
yang nenek moyangnya berasal dari negara – negara Amerika berbahasa Spanyol.
Meski karakteristik kaum Hispanik adalah bahasa Spanyol, Hispanik adalah
kelompok yang sangat beragam. Kata Latinos mendiskripsikan masyarakat keturunan
Spanyol dan Indian yang nenek moyangnya tinggal di Baratdaya Amerika Serikat
yang dulu adlah bagian dari Meksiko dan di negara – negara Amerika Tengah dan
Selatan dimana bahasa yang dominan biasaya Spanyol yang memiliki akar Latin (
Fontes 2002,p.31 )
Sebagai kelompok
, kaum Hispanik dan Latinos biasanya segan menggunakan layanan konseling.
Keseganan ini sebagian dikarenakan tradisi budaya ( contohnya harga diri ) dan
sebagian lagi karena warisan budaya ( kebergantungan pada ikatan keluarga besar
). Alasan yang lebih praktis adalah jarak ke lembaga layanan (nterutama di
Barat Daya ) transportasi yang tidak memadai, tidak memiliki asuransi
kesehatan, dan kurangnya tenaga konseling profesional yang fasih berbahsa
Spanyol dan akrab dengan budaya Hispanik dan Latinos ( Gonzales, 1997;Ruiz
1981’ Sue & Sue, 2003 )
Banyak kaum
Hispanik dan Latinos harus menganggap masalah psikologis serupa dengan masalah
fisik. Oleh karena itu mereka berharap agar konselor aktif, kongkrit dan fokus
pada hasil. Khususnya berlaku untuk klien yang sangat Hispanik ( Ruiz, 1981 )
ASIA/KEPULAUAN
PASIFIK AMERIKA
Kaum
Asia/Kepulauan Pasifik Amerika meliputi kaum Cina, Jepang, Filipina, Indocina,
Indian, Korea. Mereka memiliki latar belakang budaya yang sangat bervariasi.
Profil demografis dari kaum Asia dan Pasifik amerika mencakup kumpulan dari 40
kelompok budaya yang berbeda ( Sandhu,1997 ,p.7). Sejak dahulu mereka mengalami
deskriminasi yang hebat di Amerika Serikat dna menjadi subyek berbagai mitos (
Sue & Sue 1972,2003 ). Kombinasi berbagai faktor telah mengangkat stereotipe
kaum Asia Amerika.
Karena bias dan
salah pengertian kaum Asia Amerika mengalami penolakan hak kewarga negaraan,
larangan untuk memiliki tanah sendiri, ditahan di kamp konsentrasi, disakiti,
diperlakukan tidak adil dan dibantai ( Sue & Sue 1983,p.387 ). Ironisnya
kombinasi berbagai faktor juga telah mengangkat citra positif tentang mereka.
Secara kolektif mereka dideskripsikan sebagai pekerja keras dan sukses serta
tidak mudah menyerah terhadap gangguan emosional maupun mental.
Salah satu
faktor budaya dalam filosofis sebagian kaum Asia Amerika adalah bahwa stres dan
gangguan psikologis dijelaskan dalam kerangka religius. Jika seseorang
bermasalah dia mungkin kerasukan roh jahat atau menderita karena melanggar
sebagian prinsip moral atau religius. Jadi tradisi religius memainkan peranan
penting dalm pandangan mereka tentang asal kesehatan mental ataupun penyakit
kesehatan mental. Demikian juga mereka memandang penyembuhan dalam bentuk
meminta bantuan dari semacam kuasa supranatural atau penyembuhan penderita ke
keadaan sehat melalui cara – cara yang tepat dan kepercayaan. ( Das,1987,p.25 )
NATIVE
AMERIKA ( Asli Amerika )
Diantara penduduk Asli Amerika ada
begitu banyak keragaman , termasuk 149 bahasa, tetapi mereka memiliki
kesamaanyang menekankan pada nilai – nilai seperti harmoni alam, kerja sama,
holisme, kepedulian terhadap masa kini dan ketergantungan pada keluarga besar (
Heinrich et al,1990 ). Secara umum penduduk asli Amerika memiliki perasaan kuat
tentang kehilangan tanah leluhur, hasrat untuk menentukan jalan hidup sendiri,
konflik dengan nilai – nilai dari budaya umum Amerika Serikatdan kebingungan
akan identitas diriakibat dari stereotipe pada masa lalu ( Atkinson, 2004 ).
Kemarahan dari trnsgresi masa lalu oleh orang – orang yang berasal dari budaya
yang berbeda adalah tema yang harus ditangani dengan tepat ( Hammersclag,1988
). Penduduk asli Amerika memiliki tingkat bunuh diri, pengangguran, dan
kecanduan alkohol yang tinggi dengan ekspektasi hidup yang rendah ( Garret
& Pichette, 2000 ). Jumlah penduduk asli Ameriak yang putus sekolah di
tingkat SMU tetap yang paling tinggi debandingkan dengan kelompok manapun tak
peduli apa afiliasi suku atau regional mereka ( Sanders 1987,p.81 ). Secara
singkat sebagai kelompok penduduk asli Amerika menghadapi banyak masalah serius
( Heinrich et al,1990,p.128 )
ARAB
AMERIKA
Arab Amerika
berasal dari 22 negara seperti Mesir,
lebanon, Maroko, Yaman, Tunisia, Palestina. Ada lebih dari 3,5 juta kaum Arab
Amerika yang sebagian beregama kristen dan sebagian Muslim. Jadi wlaupun
sebagian berama Kristen seringkali kaum Arab Amerika menganut tradisi dan nilai
– nilai budaya Muslim ( Nassar Mcmillan & Hakim Larson,2003 ).
Kaum Arab
Amerika sangat bervariasi. Perbedaan potensial meliputi kelas sosial, tingkat
pendidikan, bahasa, nilai – nilai konservatif dari negara asal, masa imigrasi,
dan tingkat akulturasi ( Abudabeh & Aseel, 1999 ). Meskipun ada variasi
budaya seperti itu, ada kesamaan yang eksis, sehingga perlu perhtian khusus
dari penyedia layanan..
Budaya Arab
cenderung berkonteks tinggidibandingkan dengan konteks rendah seperti di
masyarakat Amerika Utara. Kaum arab Amerika cukup berbeda dari kaum Amerika
tradisional dalam hal mereka menekankan pada stabilitas sosial dan kolektivitas
dibandingkan denganindividualitas.
Keluarga adalah
elemen yang paling signifikandi kebanyakan subkultural kaum Arab Amerikadengan
kehidupan individu yang didominasi oleh keluarga dan hubungan keluarga. Laki –
laki adalah pemimpin dalam kehidupan keluarga dan wanita diharapkan untuk menjaga
kehormatan keluarga. Pendidikan dalam kaum Arab Amerika juga dihargai dengan
perkiraan 4 dari 10 kaum Arab amerika telah mendapatkan gelar sarjana atau
lebih dari itu.
5.
KARAKTERISTIK
KONSELOR MULTICULTURAL YANG EFEKTIF
Sue
et.al ( 1992 dalam Lago , 2006 : 123 ) menuliskan Kompetensi Konseling
Multicultural di Amerika serikat dalam sebuah tabel 8.1 Rekomendasi Kunci untuk Karakteristik Multicultural konselor yang efektif yaitu :
Dimensi
|
Kesadaran Konselor terhadap asumsi
diri dan nilai – nilai bias
|
Memahami Pandangan Dunia tentang
perbedaan budaya klien
|
Mengembangkan Strategi Intervensi
dan Tekhnik yang sesuai
|
Sikap dan Keyakinan
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Memiliki kesadaran
dan sensitif untuk menilai warisan
budaya dan menghormati perbedaan
·
Menyadari tentang
betapa latar belakang budaya mereka
sendiri mempengaruhi proses psikologis
·
Mampu mengenali batas
mereka
·
Merasa nyaan dengan
adanya perbedaan antara diri mereka dengan klien
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
· Menyadari
reaksi emosional mereka terhadap ras dan kelompok etnis lainnya
· Menyadari
Stereotip dan gagasan prasangka
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Menghormati keyakinan
spiritual dan nilai – nilai klien
·
Menghormati adat akan
membantu praktek
·
Menghargai nilai
bilingualisme
|
Pengetahuan
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Memiliki pengetahuan
tentang ras/warisan budaya mereka dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi
definisi normalitas dan proses konseling
·
Memiliki pengetahuan
dan pemahaman tentang cara penindasan/rasisme/diskriminasi ( mengacu pada
model perkembangan identitas kulit putih )
·
Memiliki pengetahuan
tentang dampak sosial mereka pada orang lain
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Memiliki spesifikasi
pengetahuan dan informasi tentang
kelompok tertentu yang bekerja dengan mereka ( mengacu pada perkembangan
model identitas minoritas )
·
Memahami bagaimana
ras/budaya/etnis dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian/ Pemilihan
Keahlian/Gangguan Psikologis/Prilaku Help seeking
·
Memahami dan memiliki
pengetahuan pengaruh sosial politik yang melanggar atas ras/etnis minoritas
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Memiliki pengetahuan
yang jelas tentang batas konseling dan bagaimana hal tersebut dapat bentrokan
dengan nilai – nilai minoritas
·
Menyadari hambatan
institusi dalam mencegah akses minoritas terhadap pelayanan kesehatan mental
·
Memahami batas –
batas prosedur assasment
·
Memiliki pengetahuan
tentang struktur keluarga minoritas dan masyarakat hirarki
|
Ketrampilan
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Mencari pendidikan
konsultatif dan pengalaman pelatihan untuk memperkaya pemahaman mereka
·
Terus berusaha untuk
memahami diri mereka sendiri sebagai ras/makhluk budaya dan aktif mencari
identitas non rasis
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Harus membiasakan
diri dengan penelitian yang relevan mengenai berbagai kelompok dan mencari
peluang pendidikan yang memperkaya pengetahuan , pemahaman dan ketrampilan
mereka
·
Terlibat dengan
individu minoritas di aturan luar konseling sehingga perspektif informasi
mereka luas
|
Konselor Budaya yang efektif
adalah :
·
Memiliki berbagai
gaya dalam memberikan bantuan
·
Mampu melatih
ketrampilan intervensi
·
Bersedia untuk
berkonsultasi dengan berbagai pihak lain yang membantu
·
Bertanggung jawab
untuk perhatian dalam bahasa yang dibutuhkan oleh klien
|
Memahami
klien tentu saja merupakan langkah
pertama yang penting dalam
bekerja dengan klien, dan memungkinkan kita untuk melihat klien dari perspektif yang
mungkin tidak kita memiliki sebelumnya.
Namun, setelah memahami klien sangat penting bahwa kita memiliki
beberapa cara untuk menerapkan pemahaman
ini. Konselor yang efektif perlu menjadi orang yang
kompeten secara budaya jika ia akan terhubung dengan kliennya (Anderson, Lunnen,
& Ogles, 2010 dalam Neukrug, 2012 : 22 ).
Dua cara dalam bekerja dengan klien multicultural diantaranya menggunakan akronim RESPECFUL ( D’Andrea & Daniels, 2005 ) dan
menerapkan Kompetensi Konseling
Multikultural.
a. Menggunakan
akronim RESPECTFUL
Model
konseling RESPECTFUL ini menyoroti 10 faktor yang harus dipertimbangkan
konselor dalam menangani klien multicultural, yaitu :
R
– Religious/spiritual identity ( Religius )
E
– Economic class background ( Latar Belakang kelas
ekonomi )
S
– Sexual identity ( Jenis Kelamin )
P
– Psychological development ( Perkembangan
Psikologis )
E
– Ethnic/racial identity ( Etnis / Identitas Rasial
)
C
– Chronological disposition ( Disposisi Kronologis )
T
–Trauma and other threats to their personal
well-being (Trauma dan ancaman lain
terhadap
kesejahteraan pribadi mereka )
F
– Family history ( Sejarah Keluarga )
U
– Unique physical characteristics ( Keunikan Karakteristik Psikis )
L
– Language and location of residence, which may
affect the helping process
(Bahasa
dan Lokasi tempat tinggal , yang dapat berdampak dalam proses layanan)
Dengan
memahami 10 faktor diatas konselor dapat mengembangkan dirinya dalam memahami
kliennya yang multicultural dan konselor multikultural yang efektif akan merasa
nyaman bertanya serta berkomunikasi dengan klien mereka tentang hal berikut:
Agama / identitas spiritual, latar belakang kelas Ekonomi, jenis Kelamin ,
Perkembangan psikologis, identitas etnis / ras, disposisi kronologis, Trauma
dan ancaman lainnya untuk keberadaan mereka pribadi dengan baik, Riwayat
keluarga, karakteristik fisik yang unik, Bahasa dan lokasi tempat tinggal.
b. Menggunakan
Kompetensi Konseling Multicultural
Kompetensi
ini fokus terhadap ketrampilan penting yang dimiliki oleh konselor : (1) Sikap
dan keyakinan yang tepat dalam arti bahwa mereka menyadari asumsi, nilai –
nilai dan bias, (2) Pengetahuan yang dibutuhkan tentang budaya klien mereka
sehingga mereka dapat lebih memahami kliennya, (3) repertoar ketrampilan atau alat
yang dapat secara efektif diterapkan pada klien dari berbagai latar belakang (Arredondo, 1999; Sue
& Sue, 2008
dalam Neukrug, 2012 : 487 )
Sikap
dan Keyakinan
Konselor
lintas budaya yang efektif memiliki kesadaran latar belakang budaya sendiri dan
telah secara aktif mendapatkan kesadaran lebih lanjut tentang bias sendiri,
stereotip, dan nilai-nilai. Meskipun konselor lintas budaya yang efektif tidak
dapat memegang sistem kepercayaan yang sama dengan kliennya, ia dapat menerima
berbeda pandangan dunia yang disajikan oleh penolong tersebut. Dengan kata
lain, "Perbedaan tidak dilihat sebagai penyimpangan" (Sue & Sue,
2008, hal. 48). Menjadi peka terhadap perbedaan dan menyiarkan bias budaya
sendiri memungkinkan konselor lintas budaya yang efektif untuk merujuk klien
dari kelompok nondominant kepada konselor budaya klien sendiri ketika rujukan
akan menguntungkan penolong tersebut. Sayangnya, contoh profesional kesehatan
mental yang telah gagal secara budaya berbeda dari diri mereka sendiri sebagai
akibat dari bias dan prasangka mereka sendiri yang umum (Sue & Sue, 2008)
Pengetahuan
Konselor
lintas budaya yang efektif memiliki pengetahuan tentang kelompok dari mana
klien datang dan tidak melompat ke kesimpulan tentang cara-cara klien . Selain
itu, ia menunjukkan kesediaan untuk mendapatkan pengetahuan lebih mendalam
tentang berbagai kelompok budaya. Konselor ini juga menyadari masalah tentang
sosial politik seperti rasisme, seksisme, dan heterosexism negatif yang dapat
mempengaruhi klien. Selain itu, konselor ini tahu teori betapa berbedanya nilai
konseling yang mungkin merugikan bagi beberapa klien dalam hubungan konseling.
Konselor ini mengerti bagaimana hambatan institusional dapat mempengaruhi
kesediaan klien dari kelompok nondominant untuk menggunakan layanan kesehatan
mental. Sayangnya, kurangnya pengetahuan dari kelompok budaya dapat menyebabkan
konselor dan lain-lain untuk melompat ke kesimpulan yang salah.
Keterampilan
Konselor
lintas budaya yang efektif mampu menerapkan, menyesuaikan, generik wawancara
dan keterampilan konseling dan juga memiliki pengetahuan serta mampu
mempekerjakan keterampilan khusus dan intervensi yang mungkin efektif dengan
klien dari beragam kelompok budaya. Konselor ini juga memiliki pengetahuan dan
memahami bahasa verbal dan nonverbal klien dan dapat berkomunikasi secara
efektif.
Selain
itu, konselor budaya terampil menghargai pentingnya memiliki perspektif
sistemik, seperti pemahaman tentang dampak keluarga dan masyarakat pada klien;
mampu bekerja sama dengan tokoh masyarakat, penyembuh rakyat, dan profesional
lainnya; dan advokasi untuk klien bila diperlukan. Apa yang terjadi ketika
konselor tidak memiliki keterampilan yang sesuai ketika bekerja dengan klien
beragam budaya? Kemungkinan besar, klien akan putus konseling awal, merasa
putus asa dan tidak puas konseling, dan / atau memiliki sedikit keberhasilan
dalam konseling.
Karakteristik
konselor multicultural yang efektif
Source:
Arredondo, P., Toporek, M. S., Brown, S., Jones, J., Locke, D. C., Sanchez, J.
& Stadler, H. (1996). Operationalization of the multicultural counseling
competencies. Alexandria, VA: Association of Multicultural Counseling and
Development. Retrieved from http://www.amcdaca.org/amcd/competencies.pdf (
Neukrug, 2012 : 650 ).
I.
Penasihat Kesadaran
Nilai Budaya Sendiri dan Bias
A. Sikap
dan Keyakinan
1. Konselor
yang handal percaya bahwa kesadaran diri budaya dan sensitivitas
warisan budaya sendiri sangat penting.
warisan budaya sendiri sangat penting.
2. Konselor
yang handal sadar bagaimana latar belakang budaya mereka sendiri
dan pengalaman mempengaruhi sikap, nilai, dan bias tentang proses psikologis.
dan pengalaman mempengaruhi sikap, nilai, dan bias tentang proses psikologis.
3. Konselor
yang handal mampu mengenali batas-batas kompetensi dan keahlian multikultural
mereka.
4. Konselor
yang handal mengenali sumber-sumber ketidaknyamanan dengan
perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam hal ras, etnis, dan budaya
perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam hal ras, etnis, dan budaya
B. Pengetahuan
1. Konselor
yang handal memiliki pengetahuan khusus tentang ras mereka sendiri
dan warisan budaya dan bagaimana hal itu secara pribadi dan profesional mempengaruhi mereka. Definisi dan bias normalitas / kelainan dan proses konseling.
dan warisan budaya dan bagaimana hal itu secara pribadi dan profesional mempengaruhi mereka. Definisi dan bias normalitas / kelainan dan proses konseling.
2. Konselor
yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan,
rasisme, diskriminasi, dan stereotipe mempengaruhi mereka secara pribadi dan
dalam pekerjaan mereka. Hal ini memungkinkan individu untuk mengakui sikap
rasis mereka sendiri,keyakinan, dan perasaan. Meskipun standar ini berlaku
untuk semua kelompok, untuk Konselor putih mungkin berarti bahwa mereka memahami
bagaimana mereka mungkin memiliki secara langsung atau tidak langsung manfaat
dari rasisme individu, kelembagaan, dan budaya yang dituangkan dalam model
pengembangan identitas Putih.
3. Konselor
yang handal memiliki pengetahuan tentang dampak sosial mereka pada lain. Mereka
memiliki pengetahuan tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gaya mereka
mungkin bertentangan dengan atau mendorong proses konseling dengan orang
berwarna atau orang lain yang berbeda dari diri mereka sendiri didasarkan pada
A, B, dan C Dimensi, dan bagaimana mengantisipasi dampak yang mungkin
ditimbulkannya terhadap orang lain.
C.
Keterampilan
1. Konselor
yang handal mencari pendidikan, konsultasi, dan pelatihan
pengalaman untuk meningkatkan pemahaman dan efektivitas mereka dalam bekerja dengan populasi budaya yang berbeda. Mampu mengenali batas-batas mereka kompetensi, mereka (a) mencari konsultasi, (b) mencari pelatihan lebih lanjut atau pendidikan, (c) merujuk ke kualitas individu lainnya atau sumber daya, atau (d) terlibat dalam kombinasi ini.
pengalaman untuk meningkatkan pemahaman dan efektivitas mereka dalam bekerja dengan populasi budaya yang berbeda. Mampu mengenali batas-batas mereka kompetensi, mereka (a) mencari konsultasi, (b) mencari pelatihan lebih lanjut atau pendidikan, (c) merujuk ke kualitas individu lainnya atau sumber daya, atau (d) terlibat dalam kombinasi ini.
2. Konselor
yang handal terus mencari untuk memahami diri sendiri
sebagai ras dan kebudayaan dan secara aktif mencari identitas non rasis.
sebagai ras dan kebudayaan dan secara aktif mencari identitas non rasis.
II.
Kesadaran Konselor
terhadap Pandangan Klien
A.
Sikap dan Keyakinan
1.
Konselor yang handal sadar mereka positif dan
negatif emosional Reaksi terhadap kelompok-kelompok ras dan etnis lainnya yang
dapat membuktikan merugikan
hubungan konseling. Mereka bersedia untuk kontras keyakinan dan sikap mereka sendiri dengan orang-orang dari klien mereka secara budaya berbeda dengan cara yang tidak menghakimi.
hubungan konseling. Mereka bersedia untuk kontras keyakinan dan sikap mereka sendiri dengan orang-orang dari klien mereka secara budaya berbeda dengan cara yang tidak menghakimi.
2.
Konselor yang handal
sadar stereotip dan praduga bahwa mereka simpan terhadap kelompok minoritas ras
dan etnis lainnya.
B.
Pengetahuan
1.
Konselor yang handal
memiliki pengetahuan yang spesifik dan informasi tentang
kelompok tertentu dengan bagaimana mereka bekerja. Mereka sadar tentang kehidupan pengalaman, warisan budaya, dan latar belakang sejarah yang berbeda budaya klien. Kompetensi khusus ini sangat terkait dengan "minoritas model-model pembangunan identitas "yang tersedia dalam literatur.
kelompok tertentu dengan bagaimana mereka bekerja. Mereka sadar tentang kehidupan pengalaman, warisan budaya, dan latar belakang sejarah yang berbeda budaya klien. Kompetensi khusus ini sangat terkait dengan "minoritas model-model pembangunan identitas "yang tersedia dalam literatur.
2.
Konselor yang handal
memahami bagaimana ras, budaya, etnis, dan sebagainya
dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan kejuruan, manifestasi
perilaku gangguan psikologis, membantu pencarian, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian konseling pendekatan.
dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan kejuruan, manifestasi
perilaku gangguan psikologis, membantu pencarian, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian konseling pendekatan.
3.
Konselor yang handal
memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosial politik yang
melanggar atas kehidupan ras dan etnis minoritas. imigrasi
masalah, kemiskinan, rasisme, stereotyping, dan ketidakberdayaan dapat mempengaruhi harga diri dan konsep diri dalam proses konseling.
masalah, kemiskinan, rasisme, stereotyping, dan ketidakberdayaan dapat mempengaruhi harga diri dan konsep diri dalam proses konseling.
C.
Keterampilan
1.
Konselor yang handal
harus membiasakan diri dengan penelitian yang relevan
dan temuan terbaru mengenai kesehatan mental dan gangguan mental yang mempengaruhi berbagai kelompok. Konselor etnis dan ras harus secara aktif mencari pengalaman pendidikan yang memperkaya pengetahuan mereka, pemahaman, dan keterampilan lintas budaya untuk perilaku konseling lebih efektif.
dan temuan terbaru mengenai kesehatan mental dan gangguan mental yang mempengaruhi berbagai kelompok. Konselor etnis dan ras harus secara aktif mencari pengalaman pendidikan yang memperkaya pengetahuan mereka, pemahaman, dan keterampilan lintas budaya untuk perilaku konseling lebih efektif.
2.
Konselor yang handal
menjadi aktif terlibat dengan individu minoritas
luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, sosial dan politik fungsi, perayaan, pertemanan, bertetangga, dan sebagainya) sehingga perspektif mereka minoritas lebih dari latihan akademis atau membantu.
luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, sosial dan politik fungsi, perayaan, pertemanan, bertetangga, dan sebagainya) sehingga perspektif mereka minoritas lebih dari latihan akademis atau membantu.
III.
Strategi Intervensi budaya Tepat
A.
Keyakinan dan Sikap
1.
Konselor yang handal
menghargai keyakinan agama dan / atau spiritual klien dan nilai-nilai, termasuk
atribusi dan tabu, karena mereka mempengaruhi pandangan dunia,fungsi
psikososial, dan eksresi terhadap stress.
2.
Konselor yang handal
menghargai praktek membantu adat dan hormat
membantu jaringan antara komunitas warna.
membantu jaringan antara komunitas warna.
3.
yang handal nilai
konselor bilingualisme dan tidak memandang bahasa lain
sebagai penghambat konseling (monolingualism mungkin pelakunya).
sebagai penghambat konseling (monolingualism mungkin pelakunya).
B.
Pengetahuan
1.
Konselor yang handal
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit karakteristik
generik konseling dan terapi (budaya terikat, kelas terikat, dan satu bahasa)
dan bagaimana mereka dapat berbenturan dengan budaya nilai-nilai berbagai kelompok
budaya.
2.
Konselor yang handal
sadar hambatan kelembagaan yang mencegah minoritas
menggunakan layanan kesehatan mental.
menggunakan layanan kesehatan mental.
3.
Konselor yang handal
memiliki pengetahuan tentang potensi bias dalam penilaian
instrumen dan prosedur penggunaan dan menafsirkan fi temuan mengingat
karakteristik budaya dan bahasa dari klien.
instrumen dan prosedur penggunaan dan menafsirkan fi temuan mengingat
karakteristik budaya dan bahasa dari klien.
4.
Konselor yang handal memiliki pengetahuan
tentang struktur keluarga, hirarki,
nilai-nilai, dan keyakinan dari berbagai perspektif budaya. Mereka memiliki pengetahuan tentang masyarakat di mana kelompok budaya tertentu mungkin berada dan sumber daya di masyarakat.
nilai-nilai, dan keyakinan dari berbagai perspektif budaya. Mereka memiliki pengetahuan tentang masyarakat di mana kelompok budaya tertentu mungkin berada dan sumber daya di masyarakat.
5.
Konselor yang handal harus menyadari praktik
diskriminasi yang relevan di tingkat sosial dan masyarakat yang mungkin
mempengaruhi psikologis kesejahteraan penduduk yang dilayani.
C.
Keterampilan
1.
Konselor yang handal
mampu terlibat dalam berbagai verbal dan nonverbal
membantu tanggapan. Mereka mampu mengirim dan menerima baik lisan dan
pesan nonverbal secara akurat dan tepat. Mereka tidak terikat pada
hanya satu metode atau pendekatan untuk membantu, tetapi mengakui bahwa membantu gaya dan pendekatan mungkin budaya terikat. Ketika mereka merasakan bahwa gaya seporsi mereka terbatas dan berpotensi tidak pantas, mereka dapat mengantisipasi dan memodifikasinya.
membantu tanggapan. Mereka mampu mengirim dan menerima baik lisan dan
pesan nonverbal secara akurat dan tepat. Mereka tidak terikat pada
hanya satu metode atau pendekatan untuk membantu, tetapi mengakui bahwa membantu gaya dan pendekatan mungkin budaya terikat. Ketika mereka merasakan bahwa gaya seporsi mereka terbatas dan berpotensi tidak pantas, mereka dapat mengantisipasi dan memodifikasinya.
2.
Konselor yang handal
mempunyai intervensi kelembagaan
keterampilan atas nama klien mereka. Mereka dapat membantu klien menentukan apakah "Masalah" berasal dari rasisme atau bias dalam orang lain (konsep paranoia yang sehat) sehingga klien tidak tidak tepat personalisasi masalah.
keterampilan atas nama klien mereka. Mereka dapat membantu klien menentukan apakah "Masalah" berasal dari rasisme atau bias dalam orang lain (konsep paranoia yang sehat) sehingga klien tidak tidak tepat personalisasi masalah.
3.
Konselor yang handal
tidak menolak untuk mencari konsultasi dengan
dukun atau pemimpin agama dan spiritual dan praktisi di
pengobatan klien budaya yang berbeda jika diperlukan.
dukun atau pemimpin agama dan spiritual dan praktisi di
pengobatan klien budaya yang berbeda jika diperlukan.
4.
Konselor yang handal
bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa
diminta oleh klien dan, jika tidak layak, membuat rujukan yang tepat. Masalah serius muncul ketika keterampilan linguistik konselor tidak cocok bahasa
dari klien. Menjadi kasus ini, konselor harus (a) mencari penerjemah
dengan pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai atau (b) merujuk kepada konselor bilingual berpengetahuan dan kompeten.
diminta oleh klien dan, jika tidak layak, membuat rujukan yang tepat. Masalah serius muncul ketika keterampilan linguistik konselor tidak cocok bahasa
dari klien. Menjadi kasus ini, konselor harus (a) mencari penerjemah
dengan pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai atau (b) merujuk kepada konselor bilingual berpengetahuan dan kompeten.
5.
Konselor yang handal
memiliki pelatihan dan keahlian dalam penggunaan
instrumen penilaian dan pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami
aspek teknis dari instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan kebudayaan.
Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan instrumen tes untuk kesejahteraan budaya klien yang berbeda.
instrumen penilaian dan pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami
aspek teknis dari instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan kebudayaan.
Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan instrumen tes untuk kesejahteraan budaya klien yang berbeda.
6.
Konselor yang handal
harus memperhatikan serta bekerja untuk menghilangkan
bias, prasangka, dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan
menyediakan intervensi, dan harus mengembangkan kepekaan terhadap isu-isu penindasan, seksisme, heterosexism, elitisme dan rasisme.
bias, prasangka, dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan
menyediakan intervensi, dan harus mengembangkan kepekaan terhadap isu-isu penindasan, seksisme, heterosexism, elitisme dan rasisme.
7.
Konselor yang handal
bertanggung jawab dalam mendidik klien mereka pada
proses intervensi psikologis, seperti tujuan, harapan, hukum hak, dan orientasi konselor
proses intervensi psikologis, seperti tujuan, harapan, hukum hak, dan orientasi konselor
6.
PENDIDIKAN
KESADARAN KULTURAL BAGI KONSELOR
Dalam
Lago ( 2006 : 47 ) Budaya sangat
mempengaruhi cara seseorang mengenai keberadaanya, prilakunya, hubungan
interpersonal, pengertian tentang suatu makna dan sebagainya. Scheutz ( 1944
dalam Lago 2006 : 49 ) menunjukan bahwa “semua pengetahuan dan praktik budaya
yang koheren (sama) hanya sebagian yang jelas dan sama sekali tidak bebas dari
kontradiksi ( perlawanan/perbedaan ). Pernyataan ini memiliki 2 implikasi yaitu
(1) ketika kita melihat budaya orang lain kita memiliki ( mungkin
ketidaknyamanan ) pengalaman dalam memahami fenomena yang tidak semua jelas
secara langsung. (2) ketika kita meneliti diri sendiri, kita tidak mungkin
menghargai inkoherens (persamaan) dan kontradiksi ( perlawanan ) yang ada
kecuali kita dibantu oleh pihak luar.
Sudah
banyak usaha yang dilakukan dalam gerakan konseling multikultural untuk mencari
cara memfasilitasi perkembangan kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan
kultural yang sesuai. Pada awalnya banyak dari pekerjaan ini yang hanya
berkonsentrasi pada isu seputar rasisme. Tetapi program pendidikan yang lebih
baru telah membahas agenda multikultural yang lebih luas ( Rooney, et. al, 1998
).
Rasisme
adalah bagian dari sistem nilai dan produk masyarakat kontemporer, serta
mempresentasikan satu faktor yang sangat penting bagi konseling ( Thomson dan
Neville, 1999 ). Perbedaan budaya antara klien dengan konselor dapat
menyebabkan proses konseling terhambat dan klien mungkin memiliki kesulitan
dalam menerima dan mempercayai konselor. Sebagaimana yang ditulis oleh
d’Ardenne dan Mehtani ( 1989 :78, dalam McLeod, 2006 : 292 ) :
“
Klien dengan bias kultural dan rasial seumur hidupnya akan membawa luka dari
pengalaman ini dalam hubungan terpeutik. Biasanya konselor berasal dari kultur
mayoritas, dan akan dinisbahkan kepada masyarakat rasis kulit putih. Dengan
demikian dalam pandangan klien, konselor merupakan bagian masalah sekaligus
bagian dari solusi “.
Banyak
pelatihan dan workshop telah dilakukakn untuk memungkinkan konselor menjadi
sadar akan biasnya sendiri dan semakin mengerti kebutuhan klien dari kelompok
minoritas. Dalam McLeod ( 2006 : 292 – 295 ) kasus pendidikan sistematis
kesadaran rasisme dibuat oleh Lago dan Thomson ( 1989 ) yang juga menekankan
bahwa pendidikan semacam ini menjadi sangat menyakitkan bagi para pesertanya.
Dan mungkin akan mengakibatkan konflik dengan anggota keluarga serta temannya
serta menguji kembali keyakinan dan asumsi intinya. Tuckwell ( 2001 ) telah
menggambarkan bahwa yang mendasari terapi dan pendidikan lintas budaya yang
dinamis sebagai pelibatan keinginan untuk menghadapi penyebaran “ancaman dari
yang lain” yang eksis pada situasi tersebut.
LaFramboise
dan Foster ( 1992 ) menggambarkan 4 model yang menyajikan pendidikan yang
mengeksplorasi kurikulum kesadaran kultural yang lebih umum :
1. “separate course”
( Program Pemisahan ) dimana para peserta melaksanakan salah satu model atau
workshop spesifik berkenaan dengan isu lintas budaya
2. “daerah konsentrasi”,
dimana para peserta akan mulai berhadapan dengan kelompok etnis minoritas
tertentu
3. “interdisiplin”,
dimana para peserta keluar dari program tersebut dan mengikuti modul atau
pelatihan yang dilakukan oleh fakultas atau agensi eksternal
4. Model “Integritas” yang menggambarkan
kesadaran lintas kultural diarahkan dalam semua bagian dari program ketimbang
hanya dikatagorikan sebagai opsi atau keluar dari kurikulum ini.
LaFramboise
dan Foster ( 1992 ) mengamati bahwa dengan berasumsi integritas
merepresentasikan nilai ideal keterbatasan sumber daya, dan kurangnya staf yang
terlatih dengan baik, maka hal tersebut berarti adanya model lain yang
digunakan lebih luas.
Harway
(1979), Frazier dan Cohen ( 1992) menulis dari perspektif feminis menyarankan
revisi terhadap pendidikan konselor yang ada dan membuat program tersebut lebih
responsif terhadap kebutuhan konseling wanita. Model mereka adalah cara untuk
mempromosikan kesadaran akan kebutuhan kelompok klien “minoritas” atau kurang
beruntung. Mereka mnegusulkan hendaknya program
pendidikan tersebut :
§ Mempekerjakan
staf minoritas dalam proporsi yang signifikan
§ Menerima
murid dari kalangan minoritas dalam proporsi yang signifikan
§ Menyajikan
program dan penempatan sesuai dengan tipe yang disebutkan oleh LaFramboise dan
Foster ( 1992 )
§ Mendorong
riset terhadap topik yang relevan dengan konseling terhadap kelompok minoritas
§ Menyediakan
perpustakaan berkenaan dengan area pembahasan ini
§ Mensyaratkan
sesi eksprensial bagi para staf dan peserta untuk memfasilitasi pengujian sikap
stereotip
§ Mendorong
para staf untuk menggunakan bahasa dan materi pelajaran yang mengandung kesadaran
kultural.
Dalam
Wanda ( 2007 : 42 – 45 ) Unlearning Rasisme adalah langkah pertama yang harus
diambil oleh konselor dalam mengembangkan kesadaran budayanya. Ini melibatkan
prevalensi rasisme budaya di Amerika Serikat dan kemudian dimulai untuk memahami
prasangka sendiri terhadap orang – orang yang berada dalam cara budaya yang
berbeda.Wilkins ( 1995) menegaskan bahwa “penolakan rasisme” jauh seperti
penolakan yang menyertai kecanduan alkohol, obat – obatan atau perjudian. Langkah pertama adalah menembus
penolakan ini adalah proses emosional kognitif dan sering difasilitasi oleh
pengalaman untuk meningkatkan kesadaran diri. Ketika konselor berhadapan dengan
rasisme budaya mereka sendiri, mungkin menjadi pengalaman yang sangat
mengganggu. Kebanyakan orang tidak sengaja mendiskriminasi orang lain. Perasaan
marah, rasa bersalah, sedih, atau kebingungan tentang partisipasi pribadi dalam
rasisme budaya untuk sementara sangat luar biasa. Namun, perasaan ini adalah
tanda positif dalam banyak hal. Pertama, mereka adalah indikasi bahwa konselor
tidak dalam penolakan efek rasisme budaya, bahwa belajarnya termasuk seluruh
dirinya, dan itu bersamaan dengan perubahan kognitif emosional terjadi. Kedua,
konselor mungkin dapat menggunakan perasaannya sendiri sebagai sumber empati
baru atau diperbaharui untuk klien. Ketiga, efek rasisme budaya, idealnya, yang
dialami oleh konselor dalam pengaturan yang lebih terkontrol, seperti
lokakarya, kelas, atau sesi pelatihan, luar interaksi konseling, memastikan
bahwa klien tidak terbebani dengan harus berurusan terhadap perasaan konselor.
Langkah
kedua dalam mengembangkan kesadaran budaya
adalah ketika konselor mulai meningkatkan penghargaannya terhadap perbedaan
budaya. Allport (1954) berpendapat bahwa kontak dengan anggota kelompok
minoritas yang menghasilkan peningkatan pengetahuan dan pemahaman menyebabkan
lebih akurat dan keyakinan yang stabil tentang kelompok minoritas dan akhirnya
mengurangi prasangka. Seorang konselor dapat mencari orang-orang dan pengalaman
dalam dirinya atau kehidupan pribadinya yang meningkatkankan paparan kepada
budaya lain. Arredondo (1999) merekomendasikan bahwa konselor menjadi peserta
aktif diluar konseling untuk memperluas perspektif mereka tentang minoritas.
Ini bisa melibatkan seluruh spektrum perilaku, seperti pergi ke film dan
restoran, menjadi bagian dari acara komunitas dan perayaan, membaca novel,
meningkatkan, dan mengembangkan persahabatan baru. Ini adalah masa perubahan
pribadi dan eksplorasi konselor dan kepedulian harus diambil bahwa konselor
tidak membawa hal baru ini terbangun dalam sesi konselingnya sebagai masalah
kontra transferensi. Budaya klien yang berbeda dalam konseling untuk menerima
bantuan, bukan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman konselor. Lebih tepat
saat ini adalah untuk konselor mencari kegiatan profesional yang membangun ,
kursus, dan lokakarya dengan fokus budaya, dan berkonsultasi dengan rekan-rekan
latar belakang budaya yang berbeda untuk profesional stimulasi. Sebuah ciri
dari seorang konselor asyik dengan tingkat kesadaran budaya adalah bahwa
pengalaman multikultural disambut sebagai lawan untuk dipaksa atau hanya
ditoleransi. Ini berarti bahwa konselor di tahap ini bisa menerima pandangan
dunia lain yang sah, bahkan saat tidak berhubungan dengan pandangan dunia
tertentu.
7.
ETIKA
KONSELING MULTIKULTURAL
Para konselor menyadari dan menghormati perbedaan peran, individu, dan budaya, termasuk yang berdasarkan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor ini ketika bekerja dengan anggota kelompok tersebut. Konselor mencoba menghilangkan efeknya pada kecenderungan pekerjaan mereka berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan mereka tanpa sadar berpartisipasi atau membiarkan kegiatan lain berdasarkan prasangka tersebut.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi para profesional kesehatan mental adalah memahami peranan keragaman dan kesamaan budaya yang kompleks dalam pekerjaan mereka. Klien dan konselor menghasilkan berbagai macam sikap, nilai-nilai, asumsi yang dipelajari secara budaya, kecenderungan, keyakinan, dan perilaku pada hubungan terapeutik. Bekerja secara efektif dengan keragaman budaya dalam proses terapeutik merupakan kebutuhan dari praktik etis yang baik. Pack-Brown, Thomas, dan Seymour (2008) menekankan tanggung jawab etis konselor dalam memberikan layanan profesional yang menunjukkan rasa hormat terhadap pandangan dunia, nilai-nilai, dan tradisi budaya dari klien yang beragam secara kultural. Mereka berpendapat bahwa “isu-isu budaya memengaruhi semua aspek dari proses konseling, termasuk pertimbangan etis yang muncul dari waktu konselor pertama kali bertemu klien hingga berakhirnya upaya bantuan” (hal. 297). Karena masing-masing kita adalah unik, semua interaksi konseling dapat dilihat sebagai peristiwa multikultural.
Dari
faktor-faktor perbedaan klien dan keragaman budaya dituangkan dalam kode etik
dalam melaksankan konseling. Sebagian besar kode etik menyebutkan tanggung
jawab praktisi untuk mengenali kebutuhan khusus dari beragam populasi klien.
Watson, Herlihy, dan Pierce (2006) berpendapat bahwa konselor lambat untuk
mengenali kaitan antara kompetensi multikultural dan perilaku etis. Selanjutnya
mereka menyatakan bahwa ketergantungan pada kode etik saja tidak menjamin
kompetensi multikultural. Luangkan waktu untuk meninjau kode etik dari satu
atau lebih organisasi profesional untuk menentukan sendiri sejauh mana
aturan-aturan tersebut memperhitungkan dimensi multikultural. Kemudian
pertimbangkan bagaimana Anda dapat meningkatkan kompetensi multikultural Anda
melebihi apa yang disarankan oleh kode ini. Kotak Kode Etik yang berjudul
“Mengatasi Keanekaragaman” memberikan gambaran tentang bagaimana berbagai kode
dapat mengatasi masalah-masalah ini.
Kode
Etik
Mengatasi Keanekaragaman
Kode
etik Feminist Therapy Institute
(2000) memiliki empat pedoman terpisah yang berkaitan dengan keragaman dan
penindasan budaya:
A. Seorang
terapis feminis meningkatkan aksesibilitasnya pada dan untuk berbagai klien
dari kelompoknya sendiri dan kelompok-kelompok yang teridentifikasi lainnya
melalui pengadaan layanan yang fleksibel. Bila diperlukan, terapis feminis
membimbing klien dalam mengakses layanan lain dan melakukan intervensi ketika
hak klien dilanggar.
B. Seorang
terapis feminis menyadari makna dan dampak latar belakang etnis dan budaya,
gender, kelas, usia, dan orientasi seksualnya sendiri, dan secara aktif mencoba
menjadi lebih berpengetahuan tentang berbagai alternatif dari sumber-sumber
selain kliennya. Dia secara aktif terlibat dalam memperluas pengetahuan tentang
pengalaman etnis dan budaya, baik non-dominan ataupun dominan.
C. Menyadari
bahwa budaya dominan menentukan norma, tujuan terapis adalah untuk
mengungkapkan dan menghormati perbedaan dan pengalaman budaya, termasuk yang
didasarkan pada status pengungsi dan/atau imigrasi jangka panjang atau
baru-baru ini.
D. Seorang
terapis feminis mengevaluasi interaksi yang sedang berlangsung dengan kliennya
sebagai bukti kecenderungannya atau sikap dan praktik-praktik diskriminatif.
Dia juga memantau beberapa interaksi lain, termasuk penyediaan layanan,
mengajar, menulis, dan semua kegiatan profesional. Terapis feminis menerima
tanggung jawab umengambil tindakan untuk menghadapi dan mengubah kecenderungan
mencampuri, menekan, atau meremehkan kecenderungan yang dimilikinya.
Kode etik Canadian Counselling Association (2007)
memerlukan anggota untuk menghormati keragaman.
Konselor
secara aktif berupaya memahami latar belakang budaya klien yang beragam dengan
siapa mereka bekerja, dan tidak membenarkan atau terlibat dalam diskriminasi
berdasarkan usia, warna kulit, budaya, etnis, kecacatan, gender, agama,
orientasi seksual, perkawinan, atau status sosial-ekonomi. (B.9.)
Kode Etik NAADAC (2008) membahas
non-diskriminasi:
Saya
menegaskan keragaman antara rekan atau klien tanpa memandang usia, gender,
orientasi seksual, latar belakang etnis/ras, kepercayaan agama/spiritual,
status perkawinan, kepercayaan politik, atau cacat fisik/mental.
Dalam Pembukaan Code of Professional Ethics for
Rehabilitation Counselors (CRCC, 2010), pernyataan berikut mengakui nilai
keanekaragaman:
Para
konselor rehabilitasi berkomitmen untuk mempermudah kemandirian personal,
sosial, dan ekonomi dari individu penyandang cacat. Dalam memenuhi komitmen
ini, para konselor rehabilitasi mengenali keragaman dan menganut pendekatan
budaya dalam mendukung nilai, martabat, potensi, dan keunikan individu
penyandang cacat dalam konteks sosial dan budaya mereka. Mereka berpaling pada
nilai-nilai profesional sebagai cara penting untuk menghidupi komitmen etis.
Ethical
Standards for School Counselors atau Standar Etis
untuk Konselor Sekolah (ASCA, 2004) membahas peran keanekaragaman dalam
konseling sekolah dalam Bagian E.2: Konselor sekolah diharapkan menyadari
sikap, nilai-nilai budaya, dan kecenderungan mereka sendiri yang dapat
memengaruhi kompetensi budaya mereka. Mereka juga diharapkan memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan, rasisme, diskriminasi,
dan stereotip memengaruhi mereka secara pribadi dan profesional.
Kode
Etik dari Canadian Association of Social Workers (1994)
memiliki standar non-diskriminasi berikut:
Seorang
pekerja sosial dalam praktek pekerjaan sosial tidak mengadakan diskriminasi
terhadap orang atas dasar ras, latar belakang etnis, bahasa, agama, status
perkawinan, gender, orientasi seksual, usia, kemampuan, status sosial-ekonomi,
afiliasi politik atau kebangsaan.
Kode etik APA (2002) menunjukkan bahwa bagian
dari kompetensi menyiratkan keragaman pemahaman:
Apabila
pengetahuan keilmuan atau profesional dalam disiplin psikologi menetapkan bahwa
pemahaman tentang faktor-faktor yang terkait dengan usia, gender, identitas
gender, ras, etnis, budaya, kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan,
bahasa, atau status sosial ekonomi sangat penting untuk pelaksanaan layanan
atau penelitian mereka yang efektif, psikolog memiliki atau memperoleh
pelatihan, pengalaman, konsultasi, atau pengawasan yang diperlukan untuk
menjamin kompetensi jasa mereka, atau mereka membuat rujukan yang tepat.
Kode
etik ACA (2005) menanamkan isu-isu
multikulturalisme dan keragaman di seluruh dokumen itu, termasuk bagian-bagian
yang berkaitan dengan hubungan konseling, izin yang diinformasikan, barter,
penerimaan hadiah, kerahasiaan dan privasi, tanggung jawab profesional,
penilaian dan diagnosis, pengawasan, dan program pendidikan dan pelatihan.
Pertimbangan
multikultural/Keanekaragaman: Para konselor mempertahankan kesadaran dan
sensitivitas tentang makna kerahasiaan dan privasi secara kultural. Konselor
menghormati pandangan yang berbeda-beda terhadap pengungkapan informasi.
Konselor mengadakan diskusi berkelanjutan dengan klien tentang bagaimana,
kapan, dan dengan siapa informasi itu dibagikan.
Sensitivitas
Budaya dan Diagnosis Gangguan Jiwa: Konselor mengenali budaya yang memengaruhi
cara di mana masalah-masalah klien didefinisikan. Pengalaman sosial ekonomi dan
budaya klien dipertimbangkan saat mendiagnosis gangguan mental.
Isu-Isu
Multikultural/Keanekaragaman dalam Penilaian: Konselor menggunakan dengan
hati-hati teknik penilaian yang bernorma pada populasi selain klien. Konselor
mengenali pengaruh usia, warna kulit, budaya, cacat, kelompok etnis, gender,
ras, pilihan bahasa, agama, spiritualitas, orientasi seksual, dan status sosial
ekonomi pada administrasi dan interpretasi tes, dan hasil menempatkan
hasil-hasil tes dalam perspektif yang benar dengan faktor-faktor lain yang
relevan .
Menurut Allen E Ivey dalam bukunya Intentional Interviewing & Counseling
Etika dalam Proses Bimbingan
Sangat penting untuk anda membaca dan
memahami kode etik dari profesi anda. Jika anda berpraktik secara etis, anda
dapat memprediksikan bagaimana klien mungkin merespons. Perhatikan deskripsi singkat
dari perilaku etis dan beberapa prediksi yang dapat anda buat sebagai berikut:
Etika
|
Prediksi
Hasil
|
Amati dan ikuti standar
profesional, dan berpraktek secara etis. Terutama isu-isu penting bagi
pewawancara pemula adalah kompetensi,
persetujuan yang diinformasikan, kerahasiaan, kekuatan, dan keadilan sosial.
|
Kepercayaan dan pemahaman klien
tentang proses wawancara akan meningkat. Klien akan merasa leluasa dalam sesi
yang lebih egaliter. Ketika Anda bekerja ke arah keadilan sosial, Anda
berkontribusi pada pencegahan masalah selain upaya penyembuhan dalam
wawancara itu.
|
Semua profesi bimbingan
utama di seluruh dunia memiliki aturan-aturan yang menguraikan secara singkat
beberapa pedoman untuk praktek etis. “Peraturan itu meningkatkan pemberdayaan
profesional dengan membantu para profesional dan profesional-dalam-pelatihan
untuk: (a) mempertahankan praktik yang baik, (b) melindungi klien mereka, (c)
menjaga otonomi mereka, dan (d) meningkatkan profesi itu” (Pack-Brown &
Williams, 2003, hal. 4). Kode etik juga akan diringkas dengan kata-kata
“Ingatkanlah akan kepentingan terbaik klien Anda; jangan melukai klien Anda;
perlakukan mereka secara bertanggung jawab dengan penuh kesadaran akan konteks
sosial bimbingan.”
Kotak 2-1 menyajikan
situs-situs internet mengenai beberapa kode etik penting di daerah-daerah
berbahasa Inggris di dunia ini. Semua kode berisi informasi tentang kompetensi,
persetujuan yang diinformasikan, kerahasiaan, dan keragaman. Isu-isu tentang
advokasi, kekuasaan, dan keadilan sosial bersifat implisit dalam semua kode,
tetapi kebanyakan bersifat eksplisit dalam konseling, kerja sosial, dan
pelayanan kemanusiaan. Kami sangat menyarankan agar Anda meninjau teks lengkap
dari kode etik profesi yang Anda inginkan.
KOTAK
2-1 KODE ETIK PROFESIONAL DENGAN SITUS-SITUS WEB
Daftar di bawah ini adalah
beberapa kode etik yang penting. Alamat situs web ini benar pada saat
pencetakan, tetapi bisa berubah. Untuk pencarian Web kata kunci, gunakan nama
asosiasi profesional dan kata-kata “ethics” atau “ethical code.”
|
|
Kode Etik American
Association for Marriage and Family Therapy (AAMFT)
Kode Etik American Counseling
Association (ACA)
Prinsip Etika
Psikolog dan Kode Etik American Psychological Association (APA)
American School Counselor Association
(ASCA)
Kode Etik Australian Psychological
Society (APS)
Kerangka Etika British Association for
Counselling and Psychotherapy (BACP)
Kode Etik Canadian Counselling
Association (CCA)
Kode Etik National Association of
Social Workers (NASW)
National Career Development Association
(NCDA)
Kode Etik New Zealand Association of
Counsellors (NZAC)
Ethics Updates menyediakan informasi
terbaru tentang sastra saat ini, baik populer maupun profesional, yang
berhubungan dengan etika.
|
|
1.
Kompetensi
Terlepas dari
profesi pelayanan manusia yang Anda identifikasi, kompetensi adalah hal
penting. Kompetensi telah didefinisikan sebagai “penggunaan komunikasi,
pengetahuan, keterampilan teknis, penalaran klinis, emosi, nilai-nilai, dan
refleksi menurut kebiasaan dan secara bijaksana dalam praktik sehari-hari demi
kepentingan individu dan masyarakat yang dilayani” (Epstein & Hundert 2002,
hal. 227).
Batasan Kompetensi. Konselor berpraktik hanya
dalam batas-batas kompetensi mereka, berdasarkan pendidikan, pelatihan,
pengalaman yang diawasi, perizinan profesional negara bagian dan nasional, dan
pengalaman profesional yang sesuai. Konselor akan menunjukkan komitmen untuk
mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan keterampilan yang
berkaitan dengan bekerja dengan beragam populasi klien.
2. Informed Consent (Persetujuan yang Diinformasikan)
Informed consent (persetujuan yang diinformasikan) merupakan salah satu elemen yang paling penting dalam konseling. Konselor memberitahu klien tentang tujuan, prosedur, manfaat, dan risiko dari proses konseling, dan klien setuju dengan apa yang telah diuraikan. Bahkan sebagai seorang peserta didik, ketika Anda masuk ke dalam sesi-sesi permainan peran dan latihan, penting untuk menginformasikan “klien” sukarelawan Anda tentang hak-hak mereka, kompetensi Anda sendiri, dan apa yang mungkin terjadi.
Konseling adalah
profesi internasional. Pendekatan Canadian Counselling Association (1999)
terhadap persetujuan yang diinformasikan sangat jelas. Hak-hak klien dan
Persetujuan yang Diinformasikan. Ketika konseling dimulai, dan selama proses
konseling diperlukan, konselor memberitahu klien tentang tujuan, sasaran,
teknik, prosedur, batasan, potensi risiko dan manfaat pelayanan yang akan
dilakukan, dan informasi lainnya terkait hal tersebut. Konselor memastikan
bahwa klien memahami implikasi dari diagnosis, biaya dan rencana pemungutan
biaya, penyimpanan rekaman, dan batas-batas kerahasiaan. Klien memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam rencana konseling berkelanjutan, menolak pelayanan
yang direkomendasikan, dan diberitahu tentang konsekuensi dari penolakan
tersebut.
3. Kerahasiaan
Sebagai seorang peserta didik atau profesional pemula, Anda biasanya tidak memiliki kerahasiaan hukum. Meskipun demikian, staf pengajar akademik mengharapkan Anda menghormati sifat rahasia dari komunikasi klien Anda. Ini berarti bahwa apa yang Anda dengar di permainan peran kelas atau apa yang dikatakan kepada Anda dalam sesi praktik harus disimpan untuk diri Anda sendiri. Kepercayaan dibangun atas dasar kemampuan Anda untuk menjaga kepercayaan. Sadarilah bahwa setiap negara bagian memiliki berbagai undang-undang tentang kerahasiaan.
Kode Etik American Counseling Association (2005) menyatakan: Bagian B: Pendahuluan. Konselor mengakui bahwa kepercayaan adalah hal terpenting dalam hubungan konseling. Konselor menginginkan untuk mendapat kepercayaan dari klien dengan menciptakan suatu kemitraan yang berkelanjutan, membangun dan menegakkan batasan-batasan yang tepat, dan menjaga kerahasiaan. Konselor mengkomunikasikan beberapa parameter kerahasiaan dengan cara yang kompeten secara budaya.
4. Kekuatan
Jika
[ras] tidak dibicarakan pada awalnya, maka hal itu menjadi masalah bagi orang
yang tanpa kekuatan, sehingga mereka merasa tidak nyaman untuk membicarakannya.
Saya
kembali kepada klien dan bertanya bagaimana rasanya bagi dia untuk berbicara
dengan saya sebagai orang kulit putih. Jadi kami dapat memproses hubungan kami
dan saya merasa sepertinya itulah intisari yang sangat berarti dalam sesi itu
dan sepanjang terapi. (Gillen, Barton, Cane, Tomko, Fetherson, & Anderson,
2008)
National Organization
for Human Service Education (2000) mengomentari kekuatan, masalah etika yang
sering menerima perhatian yang tidak memadai atau diabaikan dalam sesi:
Pernyataan 6. Para profesional pelayanan manusia menyadari bahwa dalam hubungan
mereka dengan kekuatan dan status klien tidak sama. Oleh sebab itu, mereka
mengakui bahwa hubungan ganda atau paralel mungkin meningkatkan risiko
membahayakan, atau eksploitasi klien, dan dapat mengganggu penilaian
profesional.
Tindakan bantuan
memiliki implikasi kekuatan. Klien atau helpee
(orang yang menerima bantuan) mengawali dalam posisi kekuatan lebih rendah
dari konselor. Perbedaan kekuatan terjadi dalam masyarakat di mana hak istimewa
sejalan dengan warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, atau dimensi
multikultural lainnya. Kesadaran dan keterbukaan tentang isu-isu ini
mempermudah pekerjaan menuju keseimbangan kekuatan dalam membantu setiap sesi.
Sebagai contoh, jika Anda seorang laki-laki mengkonseling seorang wanita, Anda
mungkin berkata, “Bagaimana rasanya, menjadi seorang wanita, membicarakan
tentang masalah ini dengan saya?” Jika klien Anda atau Anda tidak nyaman, hal
yang bijaksana untuk membahas masalah ini lebih lanjut. Rujukan mungkin
diperlukan kadang-kadang.
Hubungan ganda—memiliki
lebih dari satu hubungan dengan klien—dapat menimbulkan masalah. Jika klien
adalah teman sekelas atau sahabat, Anda terlibat dalam hubungan ganda dalam
sesi latihan Anda. Situasi ini dapat terjadi jika Anda bekerja di sebuah kota
kecil dan mengkonseling anggota gereja atau komunitas sekolah Anda. Hubungan
ganda bisa menjadi masalah yang kompleks dalam profesi bantuan, dan Anda akan
berniat memeriksa masalah ini secara lebih rinci dalam kode etik.
5. Keadilan Sosial dan Advokasi
Apakah masalah, perhatian, atau tantangan “dalam klien,” “disebabkan oleh lingkungan,” atau dalam beberapa keseimbangan dari keduanya? Konseling dan psikoterapi berfokus pada individu, tetapi juga penting untuk mempertimbangkan konteks sosial klien. Terlalu banyak pewawancara, konselor, dan terapis yang tidak mempertimbangkan isu-isu eksternal yang mungkin merupakan “penyebab” sesungguhnya dari masalah klien. Sebagai contoh, beberapa terapis mungkin akan memandang masalah Kendra dengan pelecehan bosnya secara berbeda. Beberapa terapis mungkin mengatakan, “Itu sering kali bagian dari pekerjaan—Anda hanya harus membiasakan diri dengan hal itu.” Terapis lain mungkin bertanya bagaimana cara dia berpakaian dan apakah dia terlibat dalam perilaku provokatif. Pendekatan-pendekatan negatif ini disebut “menyalahkan korban.” Hal ini berpotensi menyebabkan Kendra merasa bersalah dan berpikir bahwa dia telah melakukan sesuatu yang “salah.” Pelecehan adalah pelecehan! Tugas kita adalah mendukung klien.
Adalah tugas pewawancara selesai ketika sesi berakhir? Kode etik National Association of Social Workers (1999) menunjukkan bahwa kesadaran akan lingkungan dan tindakan di luar wawancara mungkin penting jika klien akan menyelesaikan masalah. Pendekatan keadilan sosial menuntut tindakan dari Anda untuk mencegah masalah dengan bertindak sebagai advokat bagi klien Anda. Apabila saatnya tepat dan dengan persetujuan klien, Anda berupaya untuk menyelidiki potensi hambatan dan kendala yang mencegah pertumbuhan dan perkembangan klien Anda pada tingkat individu, kelompok, atau masyarakat.
8.
PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR MULTIKULTURAL
...
menjadi terampil secara kultural merupakan proses aktif, yang... berkelanjutan,
dan itu ... adalah sebuah proses yang tidak pernah mencapai titik akhir.
(Sue & Sue, 1990, hal. 146)
Menurut Wanda M.L. Lee dalam bukunya Introduction to Multicultural Counseling for Helping
Professionals. Dalam konseling multikultural perlu
mengembangkan kesadaran dan penghargaan terhadap kebutuhan akan pengetahuan
spesifik budaya dalam proses konseling. Sementara kesadaran dan pengetahuan
multikultural meningkat, keterampilan konseling multikultural dapat bertambah.
Pengalaman praktis dan interaksi yang berkelanjutan dengan beragam klien sangat
penting untuk pengembangan keterampilan multikultural. Mengembangkan
keterampilan konseling multikultural merupakan kebutuhan pendidikan
berkelanjutan secara terus-menerus yang diperlukan bagi para konselor di abad
ke-21 sementara penduduk Amerika Serikat terus beragam, terutama dalam hal
etnis dan usia. Untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan dengan pelatihan
dalam konseling multicultural.
Pelatihan Multikultural
¢ Model-Model Pelatihan
Beberapa
model telah diusulkan untuk pelatihan konseling multikultural programatik.
Ridley, Mendoza, dan Kanitz (1994) menjelaskan lima kerangka kerja yang berbeda
untuk pendekatan konseling multikultural:
a. Sebuah
kerangka kerja generik/umum atau etik berasumsi bahwa konseling secara
universal berlaku tanpa justifikasi empiris atau modifikasi budaya.
b.
Sebuah kerangka kerja
emik dapat mengajarkan proses umum untuk mengumpulkan dan menggabungkan
informasi budaya tertentu dengan risiko meningkatkan stereotip.
c.
Sebuah kerangka
idiografis menggunakan klien sebagai sumber data primer dan menekankan
individualitas klien dalam hal budaya.
d.
Pendekatan autoplastik
mensyaratkan bahwa klien mengubah diri mereka untuk masuk ke dalam lingkungan
budaya mereka.
e. Pendekatan
autoplastik menekankan pengaruh lingkungan politik, sosial, dan ekonomi klien
dalam memberikan kontribusi kepada masalahnya dan berfokus pada pemberdayaan
dan dukungan kepada para klien dengan risiko korban.
Program-program
pelatihan konselor sering mengambil pendekatan etik, idiografis, atau
autoplastic pada pelatihan konseling multikultural, sedangkan penekanan
sekarang di bidang ini adalah lebih ke arah pendekatan emik dan autoplastik.
Pendekatan yang sebelumnya itu mengaburkan kebutuhan akan kurikulum khusus yang
terkait dengan konseling multikultural karena pengaruh budaya dipandang tidak
berbeda dari masalah khusus lainnya dalam kehidupan yang mungkin dihadapi
seorang individu. Bukti penelitian dari waktu ke waktu telah mendokumentasikan
beberapa perubahan positif tertentu yang dihasilkan dari pelatihan
multikultural (Smith dkk., 2006).
Wehrly (1991)
menjelaskan model perkembangan lima tahap untuk persiapan konselor multikultural
yang didasarkan pada karya Carney dan Kahn (1984) dan Sabnani, Ponterotto, dan
Borodovsky (1991). Tahap pertama
memerlukan lingkungan pelatihan terstruktur dan suportif untuk mengurangi
kecemasan mahasiswa, mendorong kesadaran diri melalui penulisan jurnal, dan
memulai belajar pengetahuan budaya melalui pelaporan etnis/budaya dan buku. Tahap kedua menekankan pencarian informasi tentang asal-usul budaya
dan nilai-nilai dominan pelajar sendiri
serta meneliti budaya etnis yang berbeda, termasuk kondisi masuknya kelompok
itu ke Amerika Serikat, penanganan (sebagai imigran, budak, dll), dan penyedia
bantuan historis sepanjang sejarah mereka di negara ini. Tahap ketiga menggabungkan pemahaman yang lebih dalam dari
keterlibatan pribadi mahasiswa dalam rasisme yang meresap di Amerika Serikat
dan menekankan pentingnya konselor untuk mengatasi berbagai perbedaan
ras/budaya antara konselor dan klien selama sesi konseling pertama. Tahap keempat dan kelima melibatkan
pengalaman langsung bekerja sama dengan klien yang berbeda secara budaya dalam
lingkungan praktikum dan masa magang di bawah para supervisor terlatih.
1.
Format
Pelatihan
Dua format utama yang
telah digunakan program pendidikan konselor untuk pelatihan multikultural
adalah pendekatan kuliah tunggal dan penambahan kurikulum (Fouad, Manese, &
Casas, 1992). Satu survei nasional mengungkapkan bahwa 89% dari program doktor
dalam konseling membutuhkan setidaknya satu kuliah multikultural dan 58%
menanamkan muatan multikultural di seluruh tugas kuliah mereka (Ponterotto,
1997).
Penanaman multikultural
secara komprehensif ke dalam tugas kuliah dan pengalaman lapangan membutuhkan
komitmen dan alokasi sumber daya kelembagaan yang tidak mau atau tidak mampu
dipenuhi oleh banyak program pelatihan konselor (D’Andrea dkk., 1991). Asisten
dan anggota staf pengajar tambahan kemungkinan akan bertanggung jawab dalam
melaksanakan upaya-upaya pelatihan multikultural (Bell, Washington, Weinstein,
& Love, 1997; Hills & Strozier, 1992). Staf pengajar di peringkat yang lebih
rendah umumnya memiliki lebih sedikit pengetahuan tentang lembaga itu,
kekuasaan yang lebih kecil, dan kurang berpengaruh dalam mendatangkan perubahan
kurikuler.
Bahkan ketika sebuah
program telah membuat komitmen lain untuk menyertakan pelatihan multikultural
dalam semua tugas kuliahnya, kepatuhan dan hasil yang nyata sulit untuk
dipantau. Inilah satu hal penting untuk menyertakan beberapa topik dan
referensi multikultural dalam kuliah silabus dan yang lain agar benar-benar
menggabungkan isu-isu dan perspektif multikultural ke dalam semua ceramah dan
diskusi.
Ada cara-cara lain
untuk mendapatkan pelatihan multikultural selain dari tugas kuliah formal.
Selain pelatihan dalam hal kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan budaya,
Preli dan Bernard (1993) memasukkan kaitan dengan budaya orang minoritas dan
praktik konseling dengan klien minoritas. Namun, hanya 5,7% dari program magang
pradoktoral pusat konseling universitas yang dipelajari wajib memiliki
klien-klien etnis (Murphy, Wright, & Bellamy, 1995). Enns (1993) mencatat
bahwa meskipun para terapis feminis selama 20 tahun terakhir telah mendidik
diri mereka sendiri dengan mengambil kursus-kursus mengenai konseling perempuan
atau terapi feminis, lebih banyak pembelajaran yang berlangsung dari studi dan
penelitian pribadi, lokakarya profesional, percakapan informal dan kelompok
belajar, dan pengalaman konseling yang sebenarnya dengan klien-klien wanita.
Pelatihan multikultural adalah proses multifaset seumur hidup.
Selain manfaat
potensial langsung dalam penanganan yang lebih efektif terhadap klien-klien
multikultural yang mungkin timbul dari pelatihan multikultural dalam konseling,
manfaat lain adalah bahwa mahasiswa menjadi lebih sadar akan isu-isu
multikultural secara umum, mahasiswa mulai meyakini bahwa tidak tepat apabila
mengabaikan perbedaan budaya, dan mahasiswa memiliki peluang untuk menangani
perasaan mereka sendiri tentang isu-isu rasial dan bukan selama proses
konseling sebagai reaksi kontra-transferensi (Jordan, 1993). Para konselor
etnis minoritas memperoleh manfaat dari pelatihan multikultural karena tidak
harus diasumsikan bahwa konselor dari kelompok minoritas budaya secara otomatis
dapat berhubungan dengan para klien dari budaya dominan (Brown, 1996).
Pelatihan dalam konseling multikultural juga merupakan persyaratan lisensi
profesional untuk praktek mandiri setidaknya dalam satu negara bagian
(DeAngelis, 1994). Pra-pasca pengujian dengan ukuran-ukuran penilaian
kompetensi konseling multikultural menunjukkan bahwa pelatihan konseling
multikultural program tunggal dan format lokakarya menghasilkan perubahan yang
dirasakan oleh para peserta (D’Andrea dkk., 1991;. Pope-Davis & Dings,
1995). Namun, penelitian terhadap dampak-dampak jangka panjang dari pelatihan
multikultural diperlukan (Jordan, 1993).
2. Model Pelatihan Kurikulum Pelatihan
Walaupun ada
variabilitas besar di antara program pelatihan multikultural, model kurikulum
yang dijelaskan dalam hal kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan ditawarkan
di sini yang menggabungkan rekomendasi dari beberapa sumber (Das, 1995; Enns,
1993; Fouad dkk., 1992;. Preli & Bernard, 1993; Ridley dkk., 1994) serta
orang-orang dari kalangan penulis. Elemen-elemen model kurikulum diuraikan
dalam kotak di halaman 28, Muatan Kurikulum Pelatihan Multikultural.
Beberapa elemen dari
model kurikulum saat ini merupakan bagian dari sebagian besar program
pendidikan konselor (misalnya, pengetahuan etika, mengatasi hambatan klien),
banyak yang tidak (misalnya, kefasihan bahasa kedua, praktek penyembuhan
tradisional), dan yang lain mengembangkan peran konselor (misalnya, isu-isu
pencegahan, advokasi) dalam arahan non-tradisional. Ada sumber-sumber daya
substansial yang dicatat dalam bidang kesadaran diri akan budaya (Katz, 2003;
McIntosh, 1988) dan sejumlah besar literatur konseling multikultural
memperhatikan pengetahuan budaya spesifik dan dampak potensialnya dalam
konseling. Namun, tantangan terbesar dalam pelatihan konselor multikultural
saat ini berada di bidang keterampilan: “Menunjukkan dengan tepat keterampilan
konseling khusus yang akan membantu konselor dalam membuat pekerjaan mereka
dengan klien individu budaya menjadi efektif” (Lee, 1996, hal. 2.).
Muatan Kurikulum Pelatihan
Multikultural
|
||
|
Kesadaran
|
Kesadaran
meningkat sehubungan dengan isu-isu rasisme, seksisme, homofobia,
transgenderfobia, ageisme, dan ablisme
Kesadaran
diri kultural akan latar belakang etnis konselor itu sendiri dan reaksi
potensial klien dan beberapa implikasi lain selama konseling.
Kesadaran
diri kultural akan jenis kelamin, orientasi seksual, identitas jenis kelamin,
usia, dan kelas sosial konselor itu sendiri dan reaksi potensial klien dan
beberapa implikasi lain selama konseling.
Kesadaran
diri kultural akan cacat fisik dan mental konselor itu sendiri dan reaksi
potensial klien dan beberapa implikasi lain selama konseling.
Menghormati
perbedaan budaya
|
|
Pengetahuan
|
Konteks
sosial politik dari konseling, termasuk penindasan, diskriminasi, dan
rasisme, hambatan terhadap pelayanan, dan penyebab sosial dari tekanan
psikologis.
Penyimpangan
budaya dan rasial dalam pengujian isu-isu
Model-model
pengembangan identitas budaya.
Isu-isu
akulturasi.
Variasi
budaya dalam peningkatan keluarga, pola-pola perkembangan, harapan klien,
pandangan mengenai kesehatan dan penyakit
Kemampuan
untuk mengkritik teori-teori yang sudah ada untuk relevansi budaya (pandangan
dunia)
Kefasihan
bahasa kedua
Pengetahuan
budaya akan karakteristik normatif dari kelompok budaya tertentu
Pengetahuan
budaya akan perbedaan dalam kelompok
Praktek
penyembuhan tradisional
Peraturan
imigrasi
Hukum-hukum
mengenai pelecehan seksual, kejahatan kebencian, diskriminasi perumahan dan
kerja
Pengetahuan
dan praktik etika (misalnya, pedoman etis bagi penggunaan teknik-teknik
tradisional)
Isu-isu
pencegahan
|
|
Keterampilan
|
Keterampilan
wawancara untuk berbicara tentang perbedaan budaya
Penilaian
latar belakang dan isu-isu budaya
Pengembangan
orientasi teoritis individualisasi
Menampilkan
perilaku budaya responsif
Mengkomunikasikan
empati dengan cara yang secara kultural diketahui oleh klien
Mengatasi
hambatan klien
Keterampilan
konsultasi untuk komunikasi dengan para tabib tradisional
Keterampilan
manajemen kasus
Keterampilan
advokasi untuk mempengaruhi organisasi
Penjangkauan
masyarakat/keterampilan organisasi
Keterampilan
resolusi konflik kelompok
Keterampilan
mengajar untuk pendidikan masyarakat
|
|
|
|
Sebuah
program model pelatihan multikultural akan mempraktikkan muatan yang dijelaskan
di atas dengan memberikan kesempatan untuk hubungan dalam program dan dalam
masyarakat sekitar dengan orang-orang dari latar belakang budaya minoritas dan
membutuhkan pengalaman praktikum dengan populasi budaya minoritas (McRae &
Johnson, 1991; Preli & Bernard, 1993). Akses menuju pengawasan dan
pengalaman magang yang relevan dengan beragam kasus telah dinilai sebagai
pengalaman pelatihan multikultural yang paling efektif (Allison dkk., 1994).
3.
Metode dan Proses
Pelatihan
Berbagai
strategi pengajaran telah digunakan dalam pelatihan multikultural (Pedersen,
1977; Preli & Bernard, 1993;. Ridley dkk., 1994), termasuk latihan
kesadaran diri berdasarkan pengalaman (lihat Bab 3 untuk beberapa contoh) dan
beberapa permainan serta metode didaktik, menyaksikan video, bacaan, tugas
tertulis, pembelajaran pemodelan/observasional, pelatihan dengan dibantu
teknologi (misalnya, rekaman video dan peninjauan sesi-sesi konseling), dan
praktik dan magang yang diawasi. Teknik pelatihan multikultural yang mungkin
mendapat perhatian paling besar adalah model bermain peran yang dikembangkan
oleh Pedersen (1977, 1978, 1994). Dalam latihan bermain peran ini, para peserta
mengambil peran konselor, klien, dan masalah/anti-konselor dan mensimulasikan
sesi konseling yang dapat membantu dalam mengungkapkan masalah-masalah budaya,
mengantisipasi hambatan, mengurangi sikap defensif konselor, dan mengajarkan
keterampilan pemulihan. Modifikasi dari latihan ini yang menggantikan
pro-konselor untuk peran anti-konselor memberikan sekutu yang suportif kepada
konselor dan mungkin lebih bermanfaat dengan konselor pemula (Neimeyer,
Fukuyama, Bingham, Hall, & Mussenden, 1986) dan untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan (Sue, 1979, dikutip dalam McRae & Johnson,
1991). Versi asli anti-konselor tampaknya lebih efektif untuk mengembangkan
kepekaan dan kesadaran (Sue, 1979, dikutip dalam McRae & Johnson, 1991).
Teknik pelatihan lainnya adalah genogram multikultural termasuk setidaknya tiga
generasi sejarah keluarga, label budaya, dan pengalaman, dan persepsi
keanekaragaman (Vasquez & Garcia-Vasquez, 2003).
Pelatihan konselor multikultural merupakan proses kompleks yang menggabungkan pertumbuhan pribadi dengan belajar muatan dan pengembangan keterampilan. Menurut Das (1995, hlm. 47), “Jarak kognitif antara penyedia layanan kesehatan mental dan para konsumen kelas bawah dan minoritas dapat dijembatani melalui instruksi didaktik, tetapi jarak sosial dan emosional dapat dikurangi hanya melalui program intensif pendidikan ulang konselor, satu ditujukan untuk mengubah sikap mereka.”
Pelatihan multikultural yang efektif mensyaratkan pelatih untuk memiliki banyak sifat konselor yang baik serta guru yang baik. Kemampuan pelatih untuk mengungkapkan pengalaman perkembangannya sendiri dengan kesadaran multikultural telah ditekankan sebagai karakteristik penting dari pelatihan yang efektif (Ponterotto, 1998; Rooney dkk., 1998). Selain itu, para pelatih harus menyadari latar belakang perkembangan budaya individu mahasiswa mereka, karena tingkat perkembangan identitas budaya masing-masing mahasiswa mungkin berbeda sehubungan dengan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, usia, atau dimensi cacat (Rooney dkk., 1998).
Reynolds (1995) merekomendasikan pelatihan kemampuan konseling dalam muatan keragaman budaya mengenai kelompok budaya tertentu, bagaimana penindasan bekerja, kerja kelompok, bagaimana isu-isu multikultural mempengaruhi konseling, dan sebagainya. Ada beberapa alasan yang baik untuk lebih banyak staf pengajar kulit putih untuk menjadi pelatih multikultural (Kiselica, 1998). Staf pengajar kulit putih yang telah mengembangkan keahlian multikultural dapat menjadi panutan bagi para konselor kulit putih yang bergulat dengan pengembangan identitas budaya mereka sendiri. Lark dan Paul (1988) menyatakan bahwa beberapa kesamaan etnis atau budaya untuk pelatih adalah hal penting bagi kredibilitas dan pemodelan.
Daftar
Pustaka
Allen
E. Ivey & Mary Badford Ivey (2003). Intentional
Interviewing and Counseling: facilitating Client Development in a Multicultural
Society.USA: Brooks/Cole.
Gerard
Corey, Marianne Schneider Corey, Patrick Callanan, (2011),
Issues and
Ethics in the
Helping Professions,
United States of America:Brooks/Cole, Cengage Learning
Lago Collin ( 2006 ). Race, Culture and Counselling The Ongoing
Challenge. England: McGraw-Hill House
McLeod John (2011). An Introduction
to Counseling. New York: McGraw Hill
Robert L.Gibson & Marianne H. Mitchell (2008). Introduction to Counseling and Guidance.
New Yersey: Pearson Prentice Hall.
Samuel T. Glading (2012). Counseling : A Comprehensive Profession.
New Jersey: Pearson Education,Inc
Uwe
P. Gielen, Juris G. Draguns, Jefferson M. Fish (2008) Principles of Multicultural Counseling and TherapyAn Introduction.
New York: Taylor & Francis Group, LLC.
Wanda M.L. Lee, John A.
Blando, Nathalie D. Mizelle, Graciela L. Orozco (2007) Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals.
New York: Routledge Taylor & Francis Group.,)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar