KONSELING
MULTIKULTURAL DI SEKOLAH
Berbicara tentang
konseling multikultural di sekolah, terbentuknya berbagai kelompok dalam
kehidupan manusia merupakan wujud dari hakikat kemanusiaan, khususnya dari
dimensi kesosialannya. Jika berbicara mengenai konseling multikultural yang
berada di berbagai macam seting, begitu halnya dengan seting sekolah maka akan
membahas berbagai macam sisi dari konseling multikultural di sekolah.
Sementara budaya bisa
didefinisikan dengan beberapa cara. Definisi meliputi “variabel etnografik
seperti etnisitas, kewarganegaraan, agama dan bahasa, seperti juga variabel demografik
dari umur, gender, tempat tinggal dan sebagainya, variabel status seperti latar
belakang sosial, ekonomi dan pendidikan dan afiliasi atau keanggotaan formal
atau informal dalam cakupan luas”. Budaya membentuk perilaku, pemikiran dan
persepsi, nilai, tujuan, moral, dan proses kognitif kita”. Hal itu bisa terjadi
baik dalam tahap sadar maupun tidak sadar.
Fokus yang paling
mencolok dari multikulturalisme adalah keunikan dan konsep kelompok yang
terpisah yang memfasilitasi perhatian pada perbedaan individual. Oleh karena
itu, konseling multikultural dapat dilihat secara umum sebagai konseling
“dimana konselor dan kliennya berbeda”. ( Gladding, 2012: 99).
Proses konseling
multikultural di sekolah harus terwujudkan dalam program konseling perkembangan
komprehensif yang sesuai dengan latar belakang budaya yang berberda-beda dari
siswa di sekolah. Tantangan bagi konselor profesional yang bekerja di sekolah
ada dua. Pertama, mereka harus mencapai tingkat kompetensi kesadaran,
pengetahuan, dan keterampilan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan semua
siswa menjadi seragam.
Praktik konseling di
sekolah mungkin akan di bahas dengan kondisi siswa dengan berbagai macam
budayanya. Dalam hal ini guru BK maupun guru yang lainnya mempunyai peranan
untuk membuat siswa dengan siswa lainnya yang multikultural beriringan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Namun, mengaplikasikan konsep multikultural
dalam proses konseling tentunya belum nampak terlihat dilapangan termasuk di
sekolah belum terlaplikasi secara menyeluruh.
A.
Konteks Budaya dan Konseling Multikultural
di Sekolah
Meningkatnya diversifikasi masyarakat AS
telah menciptakan tantangan bagi konselor pada umumnya dan konselor sekolah
dalam prakteknya, masyarakat AS dalam kelompok ras dan etnis (VREGs : Visible
racial and ethnic group). Konselor yang dimaksud adalah konselor sekolah
dengan kompetensi multikultural, dengan semua pengetahuan dan pemahaman serta
kepekaan yang masuk dan bekerja secara efektif dengan siswa dari budaya yang
berbeda, mereka harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan dan mempengaruhi
struktur sosial yang memberikan hak istimewa (Sciarra, 2004: 147). Dinamika
multikulturalisme ini merupakan faktor penting dalam masyarakat dan di sekolah
kita.
Budaya mayoritas jelas memiliki
kepentingan dalam membatasi kekuatan budaya lain. Tanggapan budaya minoritas
dengan distribusi kekuasaan bervariasi: beberapa bercita-cita untuk keanggotaan
dalam budaya yang dominan, sementara membenci lain dan perjuangan melawan
ketidakadilan itu. Kedinamisan multikultural merupakan faktor penting dalam
masyarakat dan di sekolah-sekolah. Konselor sekolah harus memahami perbedaan
kekuasaan dalam masyarakat dan dimensi sejarah sosial ras dari mana itu
berasal. Bagaimana daya diferensial dimainkan, tidak hanya dalam proses
konseling, tetapi juga dalam sistem pendidikan, memiliki konsekuensi penting
bagi konselor sekolah yang bekerja sama dengan siswa dari berbagai budaya.
Konseling multikultural menuntut
konselor sekolah profesional dalam konteks budaya yang sesuai untuk melakukan
konseling. Konselor sekolah profesional sepenuhnya harus mempertimbangkan
bahasa, nilai-nilai, keyakinan, kelas sosial, tingkat akulturasi, ras, dan
etnis siswa mereka, dan hanya menggunakan intervensi dan teknik yang konsisten
dengan nilai-nilai budaya konseling (Moore and Thomas, dalam T. Erford, 2004:
639). Proses konseling multikultural di sekolah melibatkan pergeseran
paradigma, yang mengarah pada penerimaan yang benar dan menghormati siswa dalam
kaitannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Konselor sekolah profesional memahami latar
belakang budaya yang beragam dari konseli. Hal tersebut mencakup keseluruhan,
namun tidak terbatas pada proses belajar bagaimana konselor sekolah sendiri memiliki
dampak identitas budaya/etnis atau nilai-nilainya dan keyakinan tentang
proses konseling (American School
Counselor Association, 1999).
Konselor sekolah profesional dapat
mengenali beberapa budaya dan subkultur dalam populasi siswa mereka. meskipun
ini menambah kompleksitas konstruksi, memahami dan menghargai budaya dan
multidimensi yang memberikan konselor sekolah wawasan berharga profesional mengenai
pengertian diri siswa mereka, bahasa dan komunikasi pola, gaun, nilai-nilai,
keyakinan, penggunaan ruang dan waktu, hubungan dengan keluarga dan orang lain
yang signifikan, makanan, bermain, bekerja, dan penggunaan pengetahuan
(Whitefield, McGrath & Coleman, 1992, dalam Erford, 2004:640). Konselor
profesional sekolah menghargai dan memahami perbedaan di sekolah pada beberapa
daerah seperti, ras, etnik, gender, usia, kekhasan, bahasa, orientasi seksual
dan status ekonomi sosial. Konselor profesional sekolah bekerja untuk
meyakinkan bahwa siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda memiliki akses
untuk kebutuhan dan peluang layanan (ASCA, 1999).
Locke (2003, dalam Schmidt, 2008: 47) menjelaskan
konseling profesional di sekolah-sekolah harus menambahkan dimensi dari
perubahan kelembagaan dan peran konselor harus memastikan bahwa sekolah mereka masuk,
mendorong, dan mendukung beragam populasi, keluarga, dan budaya siswa. Locke menyebutkan beberapa pandangan yang
diperlukan untuk perubahan kelembagaan:
- Komitmen yang kuat dengan sekolah dan sistem pendidikan sekolah terhadap budaya siswa yang beragam.
- Pemahaman oleh sekolah mengenai tanggung jawab mereka untuk mengajarkan nilai-nilai budaya kepada siswa.
- Dukungan oleh sekolah kepada konselor yang aktif mencari cara untuk mengubah kebijakan dan program untuk lebih melayani siswa yang beragam dan keluarga mereka.
- Upaya yang jelas oleh sistem sekolah dan sekolah untuk berkomunikasi bahwa mereka menghargai keragaman budaya.
- Perencanaan strategis dan evaluasi berkelanjutan kebijakan sekolah, program, dan proses yang terkait dengan pendidikan semua siswa, termasuk dari mereka yang berbeda budaya.
Tantangan bagi konselor profesional yang
bekerja di sekolah ada dua. Pertama, mereka harus mencapai tingkat kompetensi
kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk membuat perbedaan dalam
kehidupan semua siswa menjadi seragam. Kedua, mereka harus mencapai kualitas
kepemimpinan dan keterampilan untuk membantu sekolah mereka dalam menilai,
mengatur, dan mengevaluasi program, kebijakan, dan prosedur untuk lebih
melayani semua siswa dengan budaya yang beragam. Menggunakan dan menggabungkan
keterampilan kepemimpinan konselor untuk merancang dan melaksanakan
program-program yang komprehensif untuk melayani siswa, orang tua, dan guru
sambil membantu masalah internal yang ada di sekolah tentang diskriminasi,
prasangka, kelalaian, dan pencegah lain untuk menciptakan lingkungan yang
menghormati dan inklusif untuk belajar.
Proses konseling multikultural di
sekolah harus terwujudkan dalam program konseling perkembangan komprehensif
yang sesuai dengan latar belakang budaya yang berberda-beda dari siswa di
sekolah. Untuk merancang suatu program konseling, konselor sekolah profesional
harus mempertimbangkan manfaat berikut (Moore and Thomas, dalam T. Erford,
2004: 641):
- Strategi-strategi yang meningkatkan kepekaan dan kesadaran dari warga sekolah terhadap perbedaan budaya, budaya populasi orang yang beragam, dan meningkatkan iklim sekolah dan masyarakat.
- Keterampilan konsultasi yang mengidentifikasi faktor-faktor dalam perilaku dan kebijakan yang menghambat proses belajar siswa dengan budaya yang beragam.
- Pendekatan yang meyakinkan bahwa semua hak siswa dihormati dan semua kebutuhan siswa terpenuhi.
- Intervensi konseling yang memaksimalkan potensi siswa (ASCA, 1999).
B.
Kompetensi Konseling Multikultural
Konselor
profesional sekolah harus terus bekerja ke arah multikultural konseling dengan
kompetensi sebagai berikut:
1. Meningkatkan
kesadaran budaya sendiri dan budaya orang lain melalui artikel, buku,
konservasi, kegiatan, refleksi, dan pengalaman.
2. Menyadari
dan bekerja untuk menghilangkan hambatan pribadi dan sekolah yang luas untuk
konseling multikultural yang efektif.
3. Menahan
diri dari menggunakan buku resep dan pendekatan stereotip kepada siswa saat
konseling dari kelompok ras atau budaya tertentu.
4. Menunjukkan
penguasaan berbagai pendekatan dan teknik konseling individu dan kelompok yang
dievaluasi berdasarkan kebutuhan siswa sesuai masing-masing budaya dan etnis
siswa yang beragam.
5. Menghormati
dukungan adat dan sistem penyembuhan dari semua siswa.
6. Memahami
cara-cara khusus ras, etnis dan budaya dapat mempengaruhi akademik, karir siswa
dan pengembangan pribadi/sosial.
7. Memahami
kemungkinan stres bagi siswa beragam budaya. Hal tersebut mungkin termasuk
masalah akulturasi, pengembangan identitas, harga diri, pandangan dunia,
nilai-nilai, isolasi sosial, prasangka, penindasan, peluang, dan diskriminasi.
8. Asumsi
peran ganda akan membantu berdasarkan kebutuhan siswa. Hal tersebut mungkin
termasuk penasihat, advokat, fasilitator sistem pendukung adat, fasilitator
sistem penyembuhan adat, konsultan, dan agen perubahan.
9. Menyediakan
sumber daya siswa yang mencerminkan keragaman populasi.
10. Mempromosikan
program sekolah secara luas dan berpeluang dalam pengembangan staf termasuk komunitas sekolah yang mencerminkan
populasi yang beragam.
Selanjutnya
dijelaskan menurut Association for Multicultural Counseling and
Development (AMCD, Multicultural
Counseling Competencies meliputi:
1.
Kesadaran
Konselor akan Nilai-Nilai Budaya yang dimiliki dan Biasnya
a.
Sikap
dan Keyakinan
1) Konselor
yang handal percaya bahwa kesadaran budaya sendiri dan kepekaan diri sendiri terhadap
warisan budaya sangat penting.
2) Konselor
yang handal menyadari bagaimana latar belakang budaya mereka sendiri dan
pengalaman memiliki sikap dipengaruhi, nilai-nilai, dan bias tentang proses
psikologis.
3) Konselor
yang handal mampu mengenali batas-batas kompetensi multikultural dan keahlian
mereka.
4) Konselor
yang handal mengenali sumber-sumber ketidaknyamanan dengan perbedaan yang ada antara
mereka dan klien dalam hal ras, etnis dan budaya.
b.
Pengetahuan
1) Konselor
yang handal memiliki pengetahuan khusus tentang warisan mereka sendiri ras dan
budaya dan bagaimana pribadi dan profesional mempengaruhi definisi dan bias
normalitas / kelainan dan proses konseling.
2) Konselor
yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan,
rasisme, diskriminasi, dan stereotip mempengaruhi mereka secara pribadi dan
dalam pekerjaan mereka. Hal ini memungkinkan individu untuk mengakui sendiri
sikap rasis, keyakinan, dan perasaan mereka. Meskipun standar ini berlaku untuk
semua kelompok, konselor Putih itu mungkin berarti bahwa mereka memahami
bagaimana mereka dapat manfaat secara langsung atau tidak langsung dari rasisme
individu, institusi, dan budaya model-model pembangunan identitas yang
dituangkan di kulit putih.
3) Konselor
yang handal memiliki pengetahuan tentang dampak sosial mereka pada orang lain.
Mereka memiliki pengetahuan tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gaya
mereka mungkin berbenturan dengan atau mendorong proses konseling dengan orang
dari warna atau orang lain yang berbeda dari diri mereka sendiri didasarkan
pada Dimensi A, B dan C dan bagaimana untuk mengantisipasi dampak yang mungkin
terjadi pada orang lain.
c.
Keterampilan
1) Konselor
yang handal mencari pendidikan, konsultasi, dan pengalaman pelatihan untuk
meningkatkan pemahaman dan efektivitas dalam bekerja dengan populasi budaya
yang berbeda. Mampu mengenali batas-batas kompetensi mereka, mereka (a) mencari
konsultasi, (b) mencari pelatihan lebih lanjut atau pendidikan, (c) merujuk
kepada individu yang lebih berkualitas atau sumber daya, atau (d) terlibat
dalam kombinasi ini.
2) Konselor
yang handal terus berusaha untuk memahami diri mereka sebagai ras dan
kebudayaan dan secara aktif mencari identitas non rasis.
2.
Kesadaran Konselor
Atas Pandangan
Hidup Klien
a.
Sikap
dan Keyakinan
1) Konselor
yang handal menyadari reaksi positif dan negatif emosi mereka terhadap kelompok
ras dan etnis lainnya yang dapat membuktikan merugikan hubungan konseling. Mereka
bersedia untuk kontras keyakinan dan sikap mereka sendiri dengan orang-orang
dari klien mereka secara budaya berbeda tidak menghakimi.
2) Konselor
yang handal sadar stereotip mereka dan praduga bahwa mereka dapat memegang
terhadap kelompok-kelompok minoritas ras dan etnis lainnya.
b.
Pengetahuan
1) Konselor
yang handal memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu
dengan mana mereka bekerja. Mereka sadar akan pengalaman hidup, warisan budaya,
dan latar belakang sejarah klien mereka secara budaya berbeda. Kompetensi
khusus ini sangat terkait dengan "minoritas model pengembangan
identitas" yang tersedia dalam literatur.
2) Konselor
yang handal memahami bagaimana ras, budaya, etnis, dan sebagainya dapat
mempengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan kejuruan, manifestasi gangguan
psikologis, membantu mencari perilaku, dan kelayakan atau ketidaktepatan
pendekatan konseling.
3) Konselor
yang handal memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosial politik
yang melanggar pada kehidupan ras dan etnis minoritas. Masalah imigrasi,
kemiskinan, rasisme, stereotyping, dan ketidakberdayaan dapat mempengaruhi
harga diri dan konsep diri dalam proses konseling.
c.
Keterampilan
1) Konselor
yang handal harus membiasakan diri dengan penelitian yang relevan dan penemuan
terbaru tentang kesehatan mental dan gangguan mental yang mempengaruhi berbagai
kelompok etnis dan ras. Mereka harus aktif mencari pengalaman pendidikan yang
memperkaya pengetahuan mereka, pemahaman, dan keterampilan lintas budaya untuk
perilaku konseling lebih efektif.
2) Konselor
yang handal menjadi aktif terlibat dengan individu minoritas di luar pengaturan
konseling (misalnya, acara komunitas, fungsi sosial dan politik, perayaan,
pertemanan, bertetangga, dan sebagainya) sehingga perspektif mereka minoritas
lebih dari seorang akademisi atau membantu latihan.
3.
Strategi-Strategi
Intervensi Budaya yang Tepat
a.
Keyakinan
dan Sikap
1) Konselor
yang handal menghormati keyakinan dan nilai-nilai agama dan / atau spiritual
klien, termasuk atribusi dan tabu, karena mereka mempengaruhi pandangan dunia,
fungsi psikososial, dan ekspresi tertekan.
2) Konselor
yang handal menghargai praktek membantu adat dan jaringan menghormati
bantuan-hidup di kalangan masyarakat.
3) Konselor
yang handal menilai bilingualisme dan tidak memandang bahasa lain sebagai
penghambat konseling (monolingualism mungkin pelakunya).
b.
Pengetahuan
1) Konselor
yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit dari
karakteristik generik konseling dan terapi (budaya terikat, terikat kelas, dan
monolingual) dan bagaimana mereka dapat berbenturan dengan nilai-nilai budaya
berbagai kelompok budaya.
2) Konselor
yang handal menyadari hambatan institusional yang mencegah minoritas dari
menggunakan layanan kesehatan mental.
3) Konselor
yang handal memiliki pengetahuan tentang potensi bias dalam instrumen penilaian
dan prosedur penggunaan dan menafsirkan temuan mengingat karakteristik budaya
dan bahasa klien.
4) Konselor
yang handal memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga, hirarki,
nilai-nilai, dan keyakinan dari berbagai perspektif budaya. Mereka memiliki
pengetahuan tentang masyarakat di mana kelompok budaya tertentu mungkin berada
dan sumber daya di masyarakat.
5) Konselor
yang handal harus menyadari praktik diskriminasi terkait di tingkat sosial dan
masyarakat yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis penduduk yang
dilayani.
c.
Keterampilan
1) Konselor
yang handal mampu terlibat dalam berbagai tanggapan seporsi verbal dan
nonverbal. Mereka dapat mengirim dan menerima pesan verbal dan nonverbal secara
akurat dan tepat. Mereka tidak terikat pada satu metode atau pendekatan untuk
membantu, tetapi mengakui bahwa gaya dan pendekatan mungkin membantu budaya
terikat. Ketika mereka merasakan bahwa gaya seporsi mereka terbatas dan berpotensi
tidak pantas, mereka dapat mengantisipasi dan memodifikasinya.
2) Konselor
yang handal mampu melatih keterampilan intervensi kelembagaan atas nama klien
mereka. Mereka dapat membantu klien menentukan apakah suatu "masalah"
berasal dari rasisme atau bias dalam orang lain (konsep paranoia yang sehat)
sehingga klien tepat dalam personalisasi masalah.
3) Konselor
yang handal tidak menolak untuk mencari konsultasi dengan dukun atau pemuka
agama dan spiritual dan praktisi dalam pengobatan klien budaya yang berbeda
pada saat yang tepat.
4) Konselor
yang handal bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta oleh
klien dan, jika tidak layak, membuat rujukan yang tepat. Masalah serius muncul
ketika keterampilan linguistik konselor tidak cocok dengan bahasa klien. Ini
menjadi kasus, konselor harus (a) mencari penerjemah dengan pengetahuan budaya
dan latar belakang profesional yang sesuai atau (b) mengacu pada konselor
bilingual berpengetahuan dan kompeten.
5) Konselor
yang handal memiliki pelatihan dan keahlian dalam penggunaan instrumen
penilaian dan pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami aspek teknis
dari instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan kebudayaan. Hal ini
memungkinkan mereka untuk menggunakan instrumen tes untuk kesejahteraan budaya
klien yang berbeda.
6) Konselor
yang handal harus hadir sebagai serta bekerja untuk menghilangkan bias,
prasangka, dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan memberikan
intervensi, dan harus mengembangkan kepekaan terhadap isu-isu penindasan,
seksisme, heterosexism, elitisme dan rasisme.
7) Konselor
yang handal bertanggung jawab dalam mendidik klien mereka untuk proses
intervensi psikologis, seperti tujuan, harapan, hak-hak hukum, dan orientasi
konselor.
C. Standar
Nasional ASCA dan Konseling Multikultural
Kode etik American
School Counselor Association, 2005) terdiri
dari pendahuluan, pernyataan tujuan, delapan bagian masing-masing dengan
pengenalan aspiratif diikuti oleh standar perilaku, dan daftar istilah. Pembukaan dalam kode etik berpendapat bahwa “konselor mengakui keragaman
dan merangkul pendekatan antarbudaya, mendukung individu-individu dalam konteks sosial dan budaya”. Dibandingkan
dengan kode etik tahun 1995 dan etika Kode
Profesi pelayanan sosial lainnya, pemaparan pembukaannya lebih kolektif
mencerminkan pandangan dunia, menggantikan setiap individu dengan anggota-anggota
(seperti kode etik APA, yang ACA ketergantungan pada kegagalan
individu untuk mengenali seluruh kelompok), menonjolkan beragam konteks di mana
orang menempatkan dan menggarisbawah komunikasi dua arah untuk meningkatkan
kualitas hidup mereka. Serta menerangkan bahwa dahulu Konselor hanya melayani beberapa
kapasitas, pandangan-pandangan mengenai ketentuan izin peran nontradisional.
Pengenalan dari bagian prinsip-prinsip berisi dua
pernyataan aspirasi. Diluar pemahaman budaya orang-orang yang mereka layani.
Pada bagian A menyarankan “konselor untuk menelaah identitas budaya mereka
sendiri dan bagaimana pengaruh nilai-nilai dan keyakinan tentang proses konseling
mereka "(ACA, 2005, p. 4). Pernyataan
ini menyatukan inti prinsip yang etis
dengan dua dimensi multibudaya kompetensi: pandangan kesadaran klien, bias serta
nilai-nilai konselor (Herlihy
& Watson, 2003; Sue & Sue, 2003).
Bagian
Kompetensi menegaskan pentingnya membahas kerahasiaan dengan kepekaan dan
keahlian untuk membangun kepercayaan dengan beragam budaya setiap individu.
Bagian Hubungan Profesional
mengesahkan advokasi sebagai kegiatan profesional untuk menghilangkan hambatan
dan meningkatkan hidup, meskipun relevansi advokasi dalam porsi yang
terpinggirkan dan populasi yang kurang beruntung tidak tersirat secara
eksplisit. Kode etik mendorong kerjasama multidisiplin dalam bagian kerahasiaan,
secara tidak langsung mendukung bagaimana konselor praktek di internasional
telah lama diketahui: intervensi tepat ditentukan
oleh fenomena dalam konteks tuntutan perspektif dan kerjasama dari lembaga profesional
lainnya. (Stevens
& Gielen, 2007). Pada tahap akhir, bagian Penilaian dan Diagnosis memuat kepekaan budaya dalam penggunaan
perangkat penilaian penting dan tidak terpisahkan dari nilai kesejahteraan mereka.
1. Kompetensi
Pada bagian batas-batas kompetensi serta pada pendidikan berkelanjutan mengharapkan
konselor pada perbaikan kesadaran perbaikan diri, kepekaan, dan keahlian yang
dibutuhkan untuk melayani beragam populasi. Meskipun standar-standar ini
menuntut lebih tidak seperti pada
waktu tahun 1995 yang berkomitmen untuk menjadi budaya
kompeten, mereka tidak melakukan perbaikan pada batas-batas kompetensi yang
multikultural dan internasional dengan tepat. Konselor didorong ke sebuah
paradoks: kompetensi yang merugikan oleh pelaksanaan yang ada, tetapi pelebaran batas-batas
kompetensi untuk melayani membutuhkan beragam populasi (misalnya, bekerja
bersama-sama dengan penyembuh adat untuk meringankan gejala somatik klien
depresi (Herlihy & Watson, 2003; Pettifor, 2005).
Namun, pada bagian pengeluaran biaya konselor untuk menangani
klien untuk menyusun intervensi yang
kompatibel dengan keadaan mereka, menyiratkan otonomi ketika mengadaptasi
praktek mereka untuk populasi yang beragam dan pengaturannya. Pada bagian
prinsip-prinip sebelumnya juga mendukung kompetensi multikultural dengan
mengakui variasi budaya dalam dukungan sosial dan mengizinkan konselor untuk
menentukan bersama klien mereka mengenai kelayakan yang melibatkan keluarga dan anggota masyarakat
dalam intervensi.
2. Hubungan
profesional
Pada bagian prinsip-prinsip sebelumny tersirat, mengarahkan konselor untuk memodifikasi
prosedur persetujuan, kapan menjadi ancaman untuk melemahkan koflik hubungan
profesional dengan dengan tradisi budaya. Meskipun dilarang mengembangkan
hubungan non professional, pada bagian prinsip-prinsip juga menegaskan interaksi yang nonprofessional dengan klien sehingga
dapat diterima dan dapat menghasilkan. Standar ini memberdayakan konselor yang
mencari penghubung untuk memasukkan harapan lokal dan adat-istiadat dalam
praktek mereka. Daftar contoh interaksi nonprofessional, seperti menghadiri
kegiatan-kegiatan formal (pameran, bedah buku, seminar-seminar dsb) atau
membeli produk yang ditawarkan. Itu juga panduan konselor dalam menentukan
terlebih dahulu apakah ya atau tidak
untuk memulai interaksi nonprofessional.
Sebaliknya, kerugian tidak disengaja disebabkan oleh interaksi
nonprofessional harus diatasi. Sesuai dengan praktek multikultural kompeten, bagian
prinsip-prinsip sebelumnya menyatakan sanksi advokasi di tingkat individu,
kelompok, kelembagaan dan sosial agar menghilangkan hambatan bagi kesejahteraan
dan pertumbuhan. Misalnya, memberikan (seperti pada bagian kerahasiaan) konselor
pilihan untuk mengubah tempat kerja, kebijakan yang mungkin berbahaya (misalnya,
kurangnya layanan terjemahan bagi penutur non-bahasa Inggris). Kesimpulan
sementara menyatakan, standar ini berusaha untuk memperbaiki kondisi lingkungan
yang mengurangi.
Kehidupan orang yang terpinggirkan dan peran bingkai
nontradisional (misalnya, agen perubahan sosial) sebagai adaptasi budaya yang
cocok yang dimaksud dari kode etik, meskipun
mereka berhati-hati terhadap gangguan penilaian profesional, konflik yang
penting dan berisiko untuk klien.
Mempertimbangkan tindakan seorang konselor yang bekerja di sebuah pusat
kesehatan mental yang berfungsi di komunitas imigran yang ia milik. Di tinjauan
tiap tahunnya, konselor telah mendoktrin pemimpin setempat, beberapa di
antaranya adalah klien, untuk mengatur sebuah kelompok sipil yang rencana melobi
kota dan negara untuk pajak untuk bisnis pemula. Meskipun konselor percaya
bahwa kemerdekaan ekonomi dapat menyebabkan adaptasi dan pemberdayaan, dia
prihatin bahwa penilaian profesional nya mungkin telah menglami kesenjangan.
Demikian pula, pada bagian prinsip-prisip dalam penerimaan penghargaan dengan jelas menyatakan
bahwa praktik-praktik ini memiliki tempat multikultural dan kerja
internasional, tetapi bahwa konselor harus membahas keprihatinan mereka
mengenai integritas hubungan profesional. Dalam persetujuan kerja internasional, pada bagian hubungan
profesional sebelumnya menugaskan konselor
untuk berkonsultasi dengan ahli dan mematuhi hukum yang berlaku apabila
menggunakan teknologi di luar batas negara. Dalam menampung mereka, terutama
mereka yang tidak mampu berbahasa
Inggris, pada bagian teknologi dan persetujuan sebelumnya World
Wide Web mewajibkan konselor untuk berbincang dengan klien tentang tradisi
budaya atau linguistik yang mungkin dapat berdampak pada layanan penyaluran dan
menawarkan jasa penerjemah, jika layak. Pada bagian membentuk hubungan dan pada kerja tim
interdisipliner menekankan nilai kolegial interaksi dengan para pihak ahli
yang diikutsertakan kerja sama. Anehnya, Bagian C5 berbunyi,
"konselor tidak membeda-bedakan... secara
yang
memiliki dampak negatif" (American Counseling
Association, 2005p. 10), menyiratkan bahwa tidak mungkin
konsekuensi netral atau bahkan konsekuensi diskriminasi positif.
3.
Kerahasiaan
Pada bagian sebelumnya sangat menyarankan untuk berkomunikasi dengan klien pada
keputusannya untuk mengungkapkan informasi rahasia yang diberikan dalam arti
privasi perberbeda budaya. Meskipun kualifikasi tidak mendukung pelanggaran
pelatihan utama, ini menyiratkan bahwa konselor dan klien memiliki otonomi
relatif dalam membangun keseimbangan antara integritas profesional dan
nilai-nilai budaya. Namun, Bagian B.5.b merekomendasikan kepekaan umum terhadap
keragaman keluarga (misalnya, hukuman, pengawasan anak-anak) sementara
mewajibkan konselor untuk menegakkan hukum hak-hak dan tanggung jawab orang tua
dan wali.
4.
Penilaian dan Diagnosis
Beragam contoh dari penyalahgunaan langkah-langkah
psikometrik, dibangun oleh kualifikasi
pada sebagian besar kelompok-kelompok homogen, dengan beragam populasi
budaya memiliki profil yang terbatas
hanya dalam bahasa Inggris saja (Herlihy & Watson, 2003;Sue & Sue,
2003). Bagian penilaian dan diagnosis menetapkan bahwa penilaian harus
menghasilkan reliabel dan kuantitatif atau
kualitatif data yang valid, peningkatan atas versi tahun1995, yang tersirat
superioritas pendekatan "objektif" penilaian. Kadang-kadang, akurasi
dalam penilaian dengan beragam secara budaya orang memerlukan penggunaan metode
subjektif, nonlinier, seperti dengan Afrika Barat yang berkomunikasi dalam
narasi kaya simbolis. Dalam paralel mode, Bagian penilaian dan diagnosis,
mewajibkan konselor untuk mengevaluasi kesesuaian penilaian teknik dan alat
untuk populasi yang beragam, menginterpretasikan hasil tes dalam kontekstual
faktor-faktor yang jelas, dan mengkomunikasikan setiap keberatan tentang
aplikasi budaya.
Namun, peringatan generik ini menyisakan kesan klien
pada belas kasihan konselor khususnya bias
yang terjadi dan menyarankan bahwa mungkin tidak tepat penilaian secara budaya
ditoleransi selama dilaporkan. Para peneliti di negara berkembang sering
menyewakan sarjana jurusan berbahasa Inggris untuk menterjemahkan instrumen yang dibangun,diatur, dan divalidasi
di Amerika Serikat. Terjemahan ini tidak sesuai dengan prosedur standar (misalnya,
transliterasi, pengulangan terjemahan), mereka juga dievaluasi kesetaraannya. Seorang konselor Amerika
terlibat dalam seperti tes
menerjemahkan tugas, mengakui disekitarnya bahwa sumber daya perlu membatasi kekakuan ilmiah, namun
kekhawatiran tentang masa depan dengan pengaplikasian hubungan psikometrik yang
tidak sesuai ukuran.
Bagian penilaian dan diagnosis ini menyediakan bayangan
petunjuk untuk mempertimbangkan faktor-faktor sosiodemokrasi ketika mendiagnosa dan untuk menahan diri dari
mendiagnosis jika hal itu mungkin menyebabkan kerusakan. Standar ini tidak
menginformasikan konselor tentang bagaimana untuk menanamkan keragaman ke dalam
model medis yang dibawah diagnosis, yang instalasi risiko lebih lanjut untuk
klien telah rentan (menurut, Rekapitulasi Ketidaksetaraan Dalam Hubungan
Profesional, Menginterpretasikan Gejala Sebagai Patologis Serta Sebagai Kompromi Adaptif; Herlihy &
Watson, 2003; Pedersen, 2002;Pettifor, 2005; Sue & Sue, 2003).
Dalam APA
standar 1,02 pada menyelesaikan dilema etika, kode Etika (American Counseling Association, 2005) tidak mengizinkan
bertanggung jawab atas ketidaktaatan ketika konselor menentukan mereka harus
menyimpang dari etika dan standar hukum yang menempatkan klien pada risiko.
Meskipun pembatasan ini dan inkonsistensi sesekali dan generalisasi, kode
memiliki kemajuan secara substansial sejak 1995 dalam memandu multikultural dan
internasional praktek (Kocet, 2006). Itu juga mengungkapkan apresiasi terhadap
kolektifitas sebagai individualistis pandangan dunia, menekankan kolaboratif
solusi untuk etika ambiguitas dan konflik, dan berbicara secara aktif ketika
meramu perilaku budaya sensitif dan kompeten. Kode etik ini memungkinkan
kewajaran jumlah fleksibilitas untuk menetapkan parameter sesuai budaya praktek
tanpa bayangan yang berlebihan. Akhirnya, walaupun tidak lengkap, kode etik ini
berisi beberapa standar internasional dengan aplikasi yang jelas.
D. Hubungan
Antar Kelompok yang Beragam di Sekolah
Kelompok
konseling dalam konteks multikultural. Lebih banyak program konseling yang
menekankan multikultural konseling; banyak membutuhkan kursus pada subjek.
Tentu saja dalam masyarakat hari ini, pemahaman budaya perbedaan adalah suatu
keharusan, terutama untuk konselor yang memimpin kelompok dengan beragam
populasi. Serikat Corey (2008), "kerja kelompok multikultural melibatkan
strategi yang menumbuhkan pemahaman dan apresiasi terhadap keanekaragaman dalam
bidang-bidang seperti sebagai budaya, etnis, ras, jenis kelamin, kelas, agama,
dan seksual". Kerja kelompok (2004) dan Salazar's terkemuka multikultural
kelompok (2009). Juga, beberapa artikel yang sangat baik pada multikultural
konseling dapat ditemukan dalam Jurnal untuk spesialis dalam kerja kelompok.
Isu-isu yang
multikultural dalam kelompok, dalam berpikir tentang kelompok-kelompok
multikultural atau dalam kelompok-kelompok keragaman, pemimpin harus menyadari
beberapa situasi tertentu. Dalam bagian kedua dari bagian ini, kita membahas
multikultural kelompok yang dibentuk untuk mengeksplorasi dan memahami
perbedaan. Pertama, kita fokus pada apa yang paling sering terjadi mengenai
beragam populasi.
Sering,
pemimpin harus siap untuk berurusan dengan perbedaan seperti ras, agama, dan
orientasi seksual. Anggota dari berbagai latar belakang budaya dan sosial akan
memiliki perspektif yang berbeda dan nilai-nilai dan kebutuhan pemimpin siap
untuk berurusan dengan perbedaan-perbedaan ini jika perbedaan menyebabkan
ketegangan atau kebingungan di antara anggota.
Jika timbul
ketegangan antara atau antara anggota karena perbedaan kebudayaan, sering
tujuan utama grup tidak dapat ditangani dengan sampai masalah ini diselesaikan.
Ketika perbedaan jelas hadir, pemimpin harus memutuskan apakah akan fokus pada
perbedaan-perbedaan yang muncul. Keputusan untuk menunjukkan perbedaan budaya
antara anggota sangat tergantung pada tujuan dari grup. Jika konselor bekerja
dengan sekelompok relawan mahasiswa pada tugas perencanaan mahasiswa pesta
untuk favorit pensiun guru, dan anggota yang berasal dari berbagai latar
belakang budaya, perbedaan budaya.
Pemimpin
akan mungkin tidak berfokus terlalu lama pada perbedaan budaya, karena mereka
kemungkinan besar akan tidak memainkan peran utama dalam perencanaan kehidupan.
Namun, dalam kelompok sekolah yang berfokus pada persahabatan yang mencakup
beragam poin yang dapat di lihat dari budaya, pemimpin mungkin ingin
menunjukkan perbedaan budaya yang mempengaruhi gaya interpersonal dan
memfasilitasi pertukaran dari perspektif budaya.
Saling
hubungan antaranggota kelompok sangatlah di utamakan. Sebaliknya hubungan antar
anggota dan pemimpin kelompok tidaklah sedemmikian penting. Jika dalam kelompok
itu yang ada hanyalah hubungan antar anggota dan pemimpin saja, sedangkan
hubungan antar anggota sama sekali tidak terasa, maka sebenarnya dinamika
kelompok yang dimaksud telah lenyap, kehidupan kelompok yang (terhadap
komandan) atau sekumpulan murid (terhadap guru), atau sekumpulan penonton
(terhadap lakon).
Dalam saling
hubungan yang dinamis antaranggota kelompok, masing-masing anggota itu
berkepentingan untuk bergulat dengan suasana antarhubungan itu sendiri,
khususnya suasana perasaaan yang tumbuh di dalam kelompok itu. Suasana perasaan
itu meliputi baik rasa di terima atau di tolak, rasa cinta, rasa benci, rasa
berani dan takut dan sebagainya yang semuanya itu menyangkut sikap, reaksi dan
tanggapan para anggota yang berdasrkan keterlibatan dalam saling hubungan
mereka terhadap kelompok.
Multikulturalisme
di sekolah dalam hal ini profesi dengan relatif kecil jumlah orang-orang dari
kelompok-kelompok budaya beragam yang masuk konseling profesi (ACA, 2009),
sangat penting bahwa membantu mengembangkan profesi lingkungan yang menarik
lebih banyak konselor warna. Meningkatkan keragaman budaya di antara konselor
bersama dengan baik pelatihan di multikultural konseling penting jika budaya
beragam klien akan merasa nyaman mencari dan mengikuti melalui konseling.
Selain itu,
jika konseling akan profesi kesempatan yang sama, konselor harus lulus dari
program pelatihan dengan lebih dari keinginan untuk membantu semua orang.
Sebagai sebuah profesi, akan mencapai kompetensi dalam konseling klien beragam
ketika setiap lulusan masing-masing program pelatihan memiliki strategi belajar
konseling (1) yang bekerja untuk berbagai macam klien, (2) bekerja sama dengan
klien dari latar belakang, (3) memperoleh yang mendalam penghargaan untuk
keragaman, dan (4) mengakuisisi identitas sebagai penasihat yang mencakup perspektif
multikultural (Lihat D'Andrea & Heckman, 2008).
Akan melihat
cukup penekanan ditempatkan pada isu-isu keadilan sosial dan multikultural.
Yang merupakan isu-isu, mempertimbangkan profesi konseling apa yang bisa
lakukan untuk mendorong lebih ramah budaya profesional yang akan menarik lebih
banyak individu warna dan program pelatihan dapat lakukan untuk memastikan
bahwa semua individu merasa nyaman dengan proses konseling.
Berdasarkan
pembahasan mengenai konseling multikultural di sekolah, maka dapat disimpulkan
bahwa konselor sekolah harus mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan
keterampilannya dalam memahami beragam budaya yang ada di lingkungan siswa.
Pengembangan keprofesionalan tersebut haruslah sesuai dengan berbagai standar
dan kompetensi konseling multikultural di sekolah sesuai dengan yang
diterbitkan oleh ASCA. Beberapa isu multikultural baik individu maupun kelompok
yang terjadi di lingkungan sekolah harus diperhatikan oleh konselor sekolah
yang disesuaikan dengan evaluasi kebutuhan siswa yang beragam budaya, sehingga
dalam pemberian intervensi konseling dapat menggunakan worldview siswa dan juga konselor harus di mendampinginya ke arah
yang tepat sesuai dengan budaya yang berlaku dimana siswa tersebut berada.
DAFTAR
PUSTAKA
Arredondo, P.,
Toporek, M. S., Brown, S., Jones, J., Locke, D. C., Sanchez, J. And Stadler, H.
1996. Operationalization of the Multicultural
Counseling Competencies.
AMCD: Alexandria, VA.
Erford, B. T. 2004.
Professional School Counseling: A
Handbook of Theories, Programs & Practices. Texas: CAPS Press.
Gielen,
Uwe. P. Uwe., Draguns, Juris. G., and Fish, Jefferson M (Eds). 2008. Principles
of Multicultural Counseling and Therapy. New York: Routledge Taylor &
Francis Group.
Gladding, Samuel. T. 2012. Konseling Profesi Yang Menyeluruh, Jakarta:
Indeks.
Schimdt,
John. J. 2008. Counseling in School:
Comprehensive Programs of Responsive Services for All Students. 5th Ed. USA:
Pearson.
Sciarra,
Daniel T. 2004. School Counseling:
Foundations and Contemporary Issues. Canada: Thomson, Brooks/Cole.
If you're looking to burn fat then you certainly need to start following this totally brand new custom keto meal plan.
BalasHapusTo create this keto diet service, licenced nutritionists, fitness trainers, and chefs united to provide keto meal plans that are efficient, painless, cost-efficient, and delightful.
Since their launch in January 2019, hundreds of people have already completely transformed their body and well-being with the benefits a professional keto meal plan can offer.
Speaking of benefits; in this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones given by the keto meal plan.