Konseling dan
Terapi Multikultural: Dasar Perubahan di Lapangan
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perubahan sosial yang pesat berupa akulturasi budaya sebagai akibat
globalisasi meningkatkan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan
tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih, transportasi,
telekomunikasi, diversifikasi, dan migrasi penduduk secara besar-besaran.
Pertukaran informasi yang sangat cepat menyebabkan banyak masalah psikologis
dimasyarakat yang akhirnya menuntut para konselor dan terapis mengembangkan
model konseling/terapi berbasis multicultural. Pengembangan terapi ini
diharapkan mampu menjadi teknik yang dapat diterima secara universal di
masyarakat global saat ini. Salah satu teknik yang dikembangkan pada pembahasan
ini adalah Cognitif-Behavior Terapi berbasis praktik empiris dan penggunaan
meta-analisis dalam penerapannya pada masalah-masalah masyarakat yang
disesuaikan dengan koteks budaya yang dianut klien. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan teknik terapi kognitif-behavior yang disesuaikan
dengan konteks budaya masyarakat memberikan fungi terapis yang menyembuhkan.
Adanya perubahan sosial yang sangat pesat, menjadi bagian yang penting bagi
perkembangan konseling multicultural dan terapi multicultural dalam 25 tahun
terakhir Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan sosial berupa
globalisasi dan peningkatan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung
dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih transportasi dan
telekomunikasi. Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh dunia
melalui migrasi.
B.Rumusan Masalah
1 Bagaimana
kerangka acuan
konseling dan terapi Multikultural?
2
Bagaimana pandangan
dunia tentang Multikultural?
3
Bagaimana Konstruksi utama konseling dan terapi Multikultural?
4 Bagaimana
praktik konseling
dan terapi Multikultural?
5 Bagaimana Keterbatasan dan
Implikasi Konseling dalam
terapi Multikultural?
c. Tujuan
1 Untuk mengetahui bagaimana kerangka
acuan konseling dan terapi Multikultural.
2 Untuk
mengetahui bagaimana
pandangan dunia tentang
Multikultural.
3 Untuk
Mengetahui bagaimana Konstruksi utama konseling dan terapi Multikultural.
4 Untuk mengetahui bagaimana praktik konseling dan terapi Multikultural.
5 Untuk Mengetahui bagaimana
Keterbatasan dan Implikasi Konseling dalam
terapi Multikultural.
Bab II
Pembahasan
A.Kerangka acuan konseling dan terapi Multikultural
Multikulturalisme di Amerika
Diversifikasi
meningkatnya masyarakat AS telah menciptakan tantangan bagi konselor pada
umumnya dan konselor dalam prakteknya, masyarakat AS dalam kelompok ras dan
etnis (VREGs : Visible racial and ethnic group). Konselor yang dimaksud
adalah konselor dengan kompetensi multikultural, dengan semua pengetahuan dan
pemahaman serta kepekaan yang masuk dan bekerja secara efektif dengan masyarakat
dari budaya yang berbeda, mereka harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan
dan mempengaruhi struktur sosial yang memberikan hak istimewa. Sehingga
dinamika multikulturalisme ini merupakan faktor penting dalam masyarakat.
1.
Keragaman
: Keadaan Manusia
Konselor
harus memahami perbedaan kekuasaan dalam masyarakat dan dimensi sociohistorical
ras dari mana mereka berasal. Bagaimana diferensial kekuasaan dimainkan, tidak
hanya dalam proses konseling tetapi juga dalam sistem pemerintahan, sehingga
memiliki konsekuensi penting bagi konselor multicultural..
Salah satu sumber utama perbedaan
budaya dalam kelompok adalah akuisisi kedua ketika orang-orang dari budaya yang
dominan datang ke dalam kontak berkelanjutan dengan orang dari budaya yang
dominan, mereka mengalami proses adaptasi budaya kehidupan bermasyarakat dalam
budaya yang berbeda.
Konselor multikultural yang bekerja
dengan anak dan keluarganya adalah pemahaman tentang proses dan kesadaran bahwa
anak-anak dan orang tua mereka mungkin memiliki sangat berbeda, bahkan
bertentangan bentuk adaptasi budaya. Masuknya VREG dimasyarakat adalah
kesempatan untuk memperkaya pengalaman dari semua jenis budaya yang berbeda
dengan budaya mereka. Bentuk-bentuk dari adaptasi budaya, antara lain :
Asimilasi, Integrasi, Bikulturalisme (pergantian), Penolakan, Marjinalitas.
2.
Multikultural konseling kelompok rasial
Konseling
multikultural adalah satu lagi istilah yang memicu perdebatan Di bidang
konseling. Beberapa sarjana percaya bahwa istilah harus disediakan untuk
bekerja dengan orang kulit berwarna saja (lihat, misalnya, Locke, 1997). Kami
percaya bahwa konseling multikultural menganggap serius dan sensitif semua
aspek keragaman manusia tapi, diberikannya status khusus untuk balapan, yaitu
ras adalah penentu utama dari budaya.
Pada bagian ini kita meneliti
pola-pola budaya dan implikasinya untuk konseling dari White Amerika, Afrika
Amerika, Hispaisic Amerika, Asia Amerika, dan penduduk asli Amerika. Organisasi
bagian ini tidak dirancang untuk mengecualikan grup manapun. Namun, yang
dimaksudkan untuk menyoroti keunggulan ras dalam konseling multikultural.
3. Amerika
Affrika
Kelompok ras Afrika Amerika
sangatlah beragam dalam hal kelas sosial ekonomi, pendidikan, ras-identitas
status (hubungan dengan White culture), dan struktur keluarga. Sekitar 35
persen orang Amerika Afrika kelas menengah atau lebih tinggi (DW Sue & Sue,
2003). Hal ini penting karena status sosial ekonomi merupakan variabel penting
dalam menentukan tingkat asimilasi ke dalam White culture (Hildebrand, Phenice,
Gray, & Hines, 1996). Namun Afrika Amerika terus memegang status minoritas
di negeri ini. Sebagai bukti, Sue dan Sue arahkan ke berikut.
- Tingkat Amerika Afrika hidup dalam kemiskinan adalah tiga kali lebih tinggi dari Putih Amerika.
- Tingkat pengangguran adalah dua kali lebih tinggi di antara Afrika Amerika.
- Sekitar sepertiga dari pria Afrika Amerika di usia dua puluhan adalah di penjara, masa percobaan atau bersyarat
- Kehidupan di Afrika Amerika adalah lima sampai tujuh tahun lebih pendek dari orang kulit Putih Amerika.
Multikulturalisme di Indonesia
Indonesia termasuk Negara besar di kawasan Asia Tenggara
yang terdiri atas ratusan pulau memiliki beragam etnik (suku) yang hidup dan
berkembang dengan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir
corak budaya bebeda satu sam lain. Kemajemukan budaya atau multibudaya dalam
pandangan postmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme.
Paham
multikulturalisme diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh ahli
Sosiologi Kanada, yaitu Charles Hobart. Sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia
terdiri dari kolektifitas kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat majemuk.
Dari segi etnitasnya terdapat 656 suku bangsa (Hidayat, 1997) dengan tidak
kurang dari 300 jenis bahasa-bahasa daerah, dan di Irian Jaya saja lebih 200
bahasa-bahasa sukubangsa (Koentjaraningrat,1993). Penduduknya sudah mencapai
200 juta, yang menempatkan Indonesia pada urutan keempat dunia.
Tatanan
dan sejarah pembentukannya memiliki arti strategik, dilihat dari geopolitik
perkembangan bangsa-bangsa di dunia, khususnya Asia Tenggara. Salah sati ciri
benua maritim Indonesia, lautannya mengandng suber daya alam yang kaya.
Demikian juga wilayah pesisirnya, dimana hgaris pentainya sepanjang 81.000 km
itu beranekaragam dan sangat besarpotensi budidaya laut. Geografi Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar memiliki keunikan budaya, terlebih jika
dikaitkan dengan letah dalam peta dunia.
Wilayah lingkungan utama kehidupannya
juga memperlihatkan variasi yang berbeda-beda. Ada komunitas yang mengandalkan
pada laut sebagai sumber kehidupannya seperti orang Bajo. Orang-orang
Bugis-Makasar, Bawean, dan Melayu dikenal sebagai masyarakat pesisir; serta
terdapat pula komunitas-komunitas pedalaman, antara lain orang Gayo di Aceh,
Tengger di Jawa Timur, Toraja di Sulawesi Selatan, Dayak di Kalimantan, dan
lain sebagainya. Karakter pluralistik itu ditambah lagi dengan
perbedaan-perbedaan tipe masyarakatnya. Sesung-guhnya multikultural tersebut
sebagai suatu keadaan obyektif yang dimiliki bangsa Indonesia. Tetapi
kemajemukan itu tidak menghalangi keinginan untuk bersatu! Paling tidak,
beberapa daerah yang tergolong “termaginalkan” yang sempat kami kunjungi pada
rentang tahun 1999 – 2002 untuk proses pendi-dikan masyarakatnya, adanya suatu
harapan untuk berpikir maju, walaupun dengan tataran yang masih sederhana.
Sejarah
Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda”
menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk
berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka
dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu
kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme
tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi
melalui ari simbol “Bhineka Tunggal Ika” yaitu “berbeda-beda dalam kesatuan”
pada lambang negara Indonesia.
Struktur
masyarakat Indonesia sebagaimana telah kita ketahui dapat menimbulkan persoalan
tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi pada tingkat nasional.
Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis mencoba untuk menelaah kembali beberapa
kharakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat
majemuk, sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasikun yakni; 1) terjadinya
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki
kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain; 2)
memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat dasar; 3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota
masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar; 4) secara relatif
seringkali terjadi konflik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta 6) adanya dominasi politik suatu
kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Dalam
pandangan fungsionalisme struktural untuk mewujudkan sistem sosial itu dapat
terintegrasi dari berbagai multikultural terdapat 2 landasan pokok, yakni
pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus
diantara sebagian anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyara-katan yang
bersifat fundamental. Kedua, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga oleh
karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai
kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Oleh karena itu setiap
konflik yang terjadi diantara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan
sosial yang lain segera akan dinetralisir oleh adanya masyarakat terhadap
berbagai kesatuan sosial.
Pada
tingkat tertentu keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam
masyarakat yang bersifat majemuk. Oleh karena tanpa keduanya suatu masyarakat
bagaimanapun tidak mungkin terjadi. (Nasikun, 2000). Akan tetapi sifat-sifat
masyarakat majemuk sebagaimana yang kita uraikan di atas, telah menyebabkan
landasan terjadinya integrasi sosial. Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam
konflik yang mungkin dapat terjadi yakni; 1) konflik di dalam tingkatannya yang
bersifat ideologis, dan 2) konflik di dalam tingkatannya yang bersifat politis.
Pada tingkatan ideologis bentuk konfliknya adanya pertentangan sistem nilai
yang dianut di dalam masyarakat tersebut. Sedangkan tingkatan politis bentuk
konfliknya berupa pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan, dan
sumber-sumber ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat.
Sedangkan
konflik horisontal rentan terjadi ketika dalam interaksi sosial, antar kelompok
yang berbeda tersebut dihinggapi semangat superrioritas. Yakni semangat yang
menilai bahwa kelompok (insider) nya adalah paling benar, paling baik, paling
unggul serta paling sempurna. Sementara kelompok lain (outsider) tidak lain
hanyalah sebagai pelengkap (komplemeter) dalam hidup ini. Untuk itu, outsider
layak untuk dihina, dilecehnya dan dipandang kurang berarti.
Puncak
dari semangat egosentrisme etnostrisme chauvisme tersebut adalah muculnya
klaim-klaim kebenaran. Klaim kebenaran ini tidak lain adalah kelainan
jiwa yang disebut narsisme. Dimana seseorang atau kelompok-kelompok masyarakat
menganggap bahwa dirinya paling sempurna dibanding yang lain. Dalam
relasi sosial, gesekan klaim kebenaran ini kemudian melahirkan
standar ganda.
Bisa
dibayangkan, bagaimana kelompok-kelompok yang dihingapi narsisme ini kemudian
berinterasi dalam domain sosial. Maka yang muncul adalah konflik-konflik
bernuansa SARA. Tidak disangsikan, sejarah bangsa telah membuktikan itu. Mulai
pertengahan dekade 90-an sampai dekade 2000-an, kita disuguhi aneka
tragedi kenuansaan bernuansa SARA. Tragedi Poso, Sambas Banyuwangi, Sitobundo,
Madura, serta Aceh adalah fakta yang tak terbantahkan bagaimana dalam lingkaran
sosial bangsa indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentris. Bahkan fakta
paling mutakhir adalah bergolaknya konflik bernuansa Agama di ambon.
Di
dalam situasi konflik akibat multikultural tersebut, pada umumnya setiap pihak
yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh
solidaritas di antara sesama anggotanya. Dalam kaitan dengan sejarah, ternyata
para kaum penjajah sengaja mempertantangkan perbedaan-perbedaan yang terjadi
dalam budaya masyarakat Indonesia, sebagai upaya untuk mengikiskan persatuan
dan kesatuan dari berbagai daerah. Jika tidak bersatu dan selalu dipertentangan
pada demensi multikultural, maka negara penjajah akan mudah untuk mendikte
bangsa Indonesia.
Dalam
pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perlu diperhatikan
komponen-komponen perbedaan budaya. Apalagi Indonesia dikenal dengan keragaman
yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis, adat-istiadat, maupun
latar budayanya. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia
dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknya dikembangkan dimensi wawasan
kebhinnekaannya dalam kerangka penegasan karakteristik keikaan yang kuat.
B.Pandangan dunia tentang
Multikultural
Berasal dari kata multi (plural) dan kultural
(tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap
realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional
seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk
kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan
masyarakat.
Istilah multikulturalisme secara umum diterima
secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan
realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia
terlihat dari beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri
atas 13.667 pulau (meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358
suku bangsa dan 200 subsuku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang
menurut statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1%
dan yang lain 1% (dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang
tidak termasuk agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut
diri sebagai pemeluk agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran
berbagai macam pengaruh budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam,
Kristen, dan juga Barat modern.
Yang umumnya dikenal oleh masyarakat awam
adalah multikultural-isme dalam bentuk deskriptif, yakni menggambarkan realitas
multikultural di tengah masyarakat (Heywood, 2007).
Parekh (1997) membedakan lima model multikulturalisme:
1.
Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang
berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat
dalam interaksi minimal satu sama lain.
2.
Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang
memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi
tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan
menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara
kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan
dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak
menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara
Eropa.
3.
Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural
yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality)
dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik
yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk
mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok
dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu
masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4.
Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni
masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned)
dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif
yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu
masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali
untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat
kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam
percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural
masing-masing (Azra, 2007).
Selain
multikulturalisme deskriptif, sebetulnya ada lagi multikulturalisme normatif,
yakni suatu sokongan positif, bahkan perayaan atas keragaman komunal, yang
secara tipikal didasarkan entah atas hak dari kelompok-kelompok yang berbeda
untuk dihargai dan diakui, atau atas keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh
lewat tatanan masyarakat yang lebih luas keragaman moral dan kulturalnya
(Heywood, 2007: 313). Multikulturalisme normatif melibatkan kebijakan sadar,
terarah, dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat untuk mewujudkan
multikulturalisme.
Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen
multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu
untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik
pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara
di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi
asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi
semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam
kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga
negara.
Setidaknya ada tiga model kebijakan
multikultural negara untuk menghadapi realitas pluralitas kebudayaan. Pertama,
model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang
dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan
bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini
setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga
negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang
menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja.
Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian
karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di
tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang
berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan
darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain
itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap
sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut
hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan
sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui
eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini,
keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan
identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena
penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih
kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena
berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika
kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam
kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan
konflik-konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan
negara itu sendiri.
Sampai saat ini pemerintah dan
masyarakat Indonesia belum menentukan secara normatif model multikulturalisme
macam apa yang harus diterapkan di negeri ini. Selain membutuhkan kajian-kajian
antropologis yang lebih mendalam, tampaknya juga diperlukan kajian filosofis
terhadap multikulturalisme itu sendiri sebagai sebuah ideologi. Berbeda dari
yang dipahami orang awam, ternyata multikulturalisme mengandung asumsi-asumsi
problematis yang harus sebaiknya dikenali, diakui sepenuhnya atau direvisi
sesuai realitas khas setiap negeri, sebelum pemerintah dan masyarakat dapat
memutuskan apakah akan memeluk ideologi multikulturalisme dan selanjutnya menormatifkannya.
C. Konstruksi utama konseling
dan terapi
Multikultural
1.Globalisasi, Difersifikasi, Konseling dan
Terapi Multikultural
Adanya perubahan sosial yang
sangat pesat, menjadi bagian yang penting bagi perkembangan konseling
multicultural dan terapi multicultural dalam 25 tahun terakhir Salah satu
penyebab utamanya adalah perubahan sosial berupa globalisasi dan peningkatan
frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang
difasilitasi oleh teknologi canggih transportasi dan
telekomunikasi. Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh dunia
melalui migrasi.
Contohnya imigrasi skala besar terjadi di
Amerika Serikat dimana imigram dari Amerika Latin dan Asia telah berkontribusi
terhadap keragaman etnis, penduduk minoritas tumbuh 11 kali secepat penduduk
Putih Non-Hispanik antara 1980 sampai
2000, peningkatan persentase dalam populasi Asia dan Kepulauan Pasifik adalah
204% dan untuk populasi Hispanik, 142%.
Akibatnya, di Amerika
Serikat, penduduk minoritas meningkat dengan penurunan nilai pada populasi
non-Hispanik Putih. Sifat multikultural masyarakat menjadi fitur permanen
dimana budaya dunia telah mendapatkan kompleksitas. Keanekaragaman telah
menjadi kata sehari-hari untuk mengkarakterisasi dunia hari ini.
Menurut Mansella (1998)
pengembangan psikologi komunitas global bertujuan untuk mengenali, mengakui, dan
keragaman dengan mengutamakan analisis budaya tindakan manusia. Pendukung
psikologi global yang bekerja pada teori, penelitian, intervensi, dan pedagogi
dari kedua perspektif universal dan adat untuk mempromosikan visi global
konseling psikologi dengan tujuan mengembangkan model konseling multikultural
dengan pandangan dunia yang fleksibel.
Sehingga di era globalisasi
ini, ada peningkatan kebutuhan pelatihan konselor dan terapis budaya yang
kompeten untuk memberikan konseling dan terapi budaya dan didukung secara
empiris baik di dalam maupun di luar negara asal mereka (Hall, 2006).
Keragaman, globalisasi, dan pengembangan kompetensi budaya menjadi aspek
mendorong seseorang harus memiliki keterampilan beradaptasi untuk sukses dalam
lingkungannya (Sternberg & Grigorenko, 2004; Sue, 1998).
Sehingga profesi konselor maupun
psikolog memiliki kewajiban mengembangkan kompetensi kesadaran
multikultural. Kompetensi multikultural harus generik untuk semua bentuk
konseling dan terapi, hal mencakup kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan
yang berkontribusi terhadap pengembangan "konseling berpusat budaya"
(Pedersen , 1997).
Globalisasi dan diversifikasi
memfasilitasi penyebaran informasi yang memperoleh manfaat dari
pengetahuan. Salah satu terapi cognitif-behavior telah dipraktekkan di
berbagai belahan Asia. (Qian & Wang, 2005) menganalisis konsistensi
konseptual terapi perilaku, terapi cognitif-behavior, dan filsafat Taoisme
China yang selanjutnya, pada tahun 2006, Konfrensi Asia Cognitive Behavior Therapy (CBT) menghasilkan penilaian berbasis
bukti, teori, dan praktek di negara-negara Asia (Jepang, Korea, Cina, Thailand,
Singapura, dll).
Hasil konfrensi tersebut
menganjurkan terapi berbasis bukti sebagai standar untuk praktek
klinis. Praktek terapi cognitif-behavior telah diperpanjang jauh melampaui
batas-batas budaya asal-usul perkembangan mereka di Amerika Utara dan
Eropa. Pada saat yang sama program-program Konfrensi Asia Cognitive Behavior Therapy menghasilkan prosedur
berorientasi Timur seperti meditasi dan kesadaran. Selain itu, integrasi
praktek Timur sebagai bagian integral dari terapi cognitif-behavior di
negara-negara Asia merupakan adaptasi budaya terapi perilaku kognitif yang
secara spesifik berisi tentang aspek universal dan budaya tertentu dari prosedur
CBT.
Salah satu adaptasi Jepang tentang terapi CBT adalah terapi
komitmen (ACT) yang dikembangkan oleh Hayes. Peningkatan dalam pelatihan
keterampilan sosial (SST) untuk anak-anak sebagai bagian dari kegiatan kelas
reguler diadaptasi dan dikembangkan pedoman SST. Penyebaran terbaru dari
terapi kognitif-behavior untuk
negara-negara non-Barat menunjukkan minat mereka dalam pendekatan berbasis
bukti dalam pelayanan kesehatan mental, intervensi sekolah, dan konsultasi.
Evaluasi terapi kognitif-behavior menggunakan analisis
fungsional sebagai alat pengumpulan data yang sistematis untuk menganalisis
interaksi perilaku sasaran dan peristiwa lingkungan, termasuk tanggapan dari
lingkungan sosial, dan mengembangkan hipotesis tentang target penyebab dan
pemeliharaan perilaku yang dipilih (Sturmcy, 1996). Analisis fungsional
menekankan pendekatan ideografik untuk penilaian dalam lingkungan budaya
langsung individu. Contohnya untuk menggambarkan, gejala serangan panik
(seperti, mual, sakit kepala, pusing, mati rasa). Terapis menilai
keterkaitan antara tiga unsur urutan anteseden-perilaku-consecuence dan mengembangkan hipotesa tentang faktor-faktor
lingkungan mempertahankan gejala somatik dari serangan panik dan perilaku
menghindar. Meskipun analisis fungsional akan mengungkapkan hubungan
sistematis antara isyarat lingkungan yang terkait dengan gejala somatik, klien
dapat menggunakan penjelasan alternatif dari pengalaman menyedihkan yang sama
berdasarkan keyakinan budaya tentang kesehatan dan perilaku penyakit.
Dua domain yang tumbuh dalam psikoterapi yaitu psikoterapi multikultural
dan psikoterapi didukung secara empiris (Chambless & Ollendick, 2001)
dengan fokus pada terapi kognitif-behavior. Perspektif multikultural yang
nyata diperlukan untuk memberikan budaya responsif terapi cognitif-behavior
kepada orang lain dari latar belakang budaya yang beragam, baik nasional maupun
internasional (Hays & Ivvamasa, 2006; Tanaka-Maisumi, Higginbotham,
& Chang, 2002) yang bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif multikultural
dengan pendekatan fungsional untuk terapi kognitif-behavior.
2. Psikoterapi : Memprediksi Pertumbuhan Terapi Kognitif
Behavior dan Terapi Sensitif-Budaya
Menurut
Draguns (1975) psikoterapi yang berorientasi budaya adalah
prosedur yang berakhir pada sosiokultural
dan interpersonal dalam kemampuannya. Hal tersebut terjadi antara dua atau lebih individu dan dalam konteks lebih luas, kurang terlihat, konteks budaya kurang
nyata dengan pembelajaran sosial bersama, menyimpan makna, simbol,
dan asumsi implisit tentang sifat kehidupan sosial.
Menurut Draguns (2004, 2007) kriteria untuk
menentukan psikoterapi kontekstual dan
meninjau status intervensi psikoterapi untuk psikologi global.
Konksistensi keragaman sistem terapi yang berada dari budaya yang berbeda,
berupa terapi adat (seperti Morka dan terapi Naikan Jepang) untuk psikoanalisis
modern, dan terapi cognitif-behavior
di seluruh dunia. Berbagai praktik psikoterapi budaya dalam beragam bentuk
mencerminkan pandangan masyarakat adat, kesehatan dan penyakit dengan cara
untuk membantu individu yang mengalami masalah.
Globalisasi
telah mengubah cara pandang dan bagaimana kita melaksanakan tugas profesi
kita. Dalam dekade terakhir upaya mengumpulkan informasi dengan cepat pada
terapi empiris didukung untuk masalah tertentu seperti kecemasan dan gangguan
suasana hati. Mayoritas terapi empiris didukung secara luas dan
diklasifikasikan sebagai terapi kognitif-behavior.
Kolaborasi sumber daya dan hasil penelitian didasarkan pada definisi ilmiah
dan efektivitas terapi dimana
dikumpulkan dari studi terkontrol melalui meta analisis dalam rangka untuk
memperoleh pengaruh terapi untuk gangguan/masalat tertentu (Lambert &
Archer, 2006; Lipsey & Wilson, 1993). Selain itu, para profesional dan
konsumen memiliki akses informasi yang sama di Internet. Seiring waktu klien
akan belajar untuk mengharapkan "terapi terbaik yang tersedia" yang
sesuai dengan budaya mereka di era teknologi informasi.
Terapi cognitif-behavior telah membuat langkah
besar dalam 30 tahun terakhir. Dalam survei yang dilakukan setiap 10
tahun dengan menggunakan metodologi Delphi, sebuah panel dari 62 ahli
psikoterapi di Amerika Serikat memperkirakan trend psikoterapi menuju 2010.
Para ahli memperkirakan bahwa terapi cognitif-behavior,
terapi sensitive budaya/multicultural, kognitif (Beckian), terapi antarpribadi
(IPT), dan teknis eklektisisme akan menjadi lima orientasi teoretis yang paling
berpengaruh atas dalam psikoterapi Sebaliknya, psikoanalisis klasik, implosive
terapi, analisis transaksional, dan terapi Adlerian diperkirakan
menurun. Peneliti memperkirakan bahwa 18 dari 38 model intervensi akan
meningkat pada tahun 2010. Peneliti menyebutkan terdapat 4 skenario
intervensi yang sering digunakan meliputi: (a) lisensi wajib di tingkat master,
(b) diperlukan penggunaan psikoterapi berbasis bukti oleh sistem perawatan
kesehatan; (c) kebutuhan untuk memberikan terapi berbasis bukti untuk gangguan
tertentu di fasilitas pelayanan kesehatan, dan (d) penggunaan pedoman praktek
sebagai bagian dari praktek klinis standar. Prediksi ini konsisten dengan
saat ini, meningkatnya permintaan terapi sensitive budaya dan psikoterapi yang
efektif khususnya untuk kelompok etnis minoritas di Amerika Serikat (Hall,
2001;. Miranda et al, 2005).
3. Praktik Berbasis Fakta, Akulturasi, dan
Akomodasi Budaya
Praktik
berbasis fakta dalam psikologi (EBPP) adalah integrasi dari penelitian terbaik
dengan keahlian klinis dalam konteks karakteristik klien, budaya, dan
preferensi. Pertimbangan keanekaragaman telah mendapatkan momentum, yang
mencakup referensi eksplisit budaya dan preferensi individu. Implikasi
dari definisi ini mengadopsi praktek berbasis literatur (misalnya, Goodheart,
Kazdin, & Sternberg, 2006; Hunsiey, 2007). Satu pertanyaan penting
menyangkut ketersediaan dan akses ke praktik terbaik yang tersedia dalam masyarakat
budaya yang beragam.
Secara khusus, kompetensi yang diperlukan untuk melakukan EBPP,
diidentifikasi delapan kompetensi, yang masing-masing sangat relevan dengan
praktek penilaian budaya responsif dan psikoterapi. Delapan kompetensi adalah (a) penilaian, penilaian diagnostik, formulasi kasus
sistematis, dan perencanaan terapi, (b) pengambilan keputusan klinis, terapi
dan pemantauan kemajuan; (c) keahlian interpersonal, (d) refleksi diri dan
keterampilan penerimaan; (e) evaluasi empiris dan penelitian; (f) memahami pengaruh
perbedaan individu dan budaya terapi (g) mencari sumber daya yang tersedia, dan
(h) memiliki alasan kuat untuk strategi klinis.
Delapan
kompetensi tersebut dihubungkan oleh empirisme dan perspektif
multikultural. Keragaman demografi karena masuknya imigran dan pendatang
menciptakan tantangan bagi konselor profesional dan terapis. Peningkatan
diversifikasi contohnya masyarakat AS, membuat Amerika Serikat salah satu
terbesar negara pemukiman pengungsi di dunia. Secara luas bahwa pengungsi
adalah populasi dengan risiko tinggi untuk mengembangkan masalah psikologis
yang parah karena sifat ganda dan trauma yang telah mereka alami. Trauma
pra-migrasi termasuk perampasan kebutuhan dasar, cedera fisik dan penyiksaan,
penahanan, camp pendidikan ulang, penyiksaan dan pembunuhan (Bemak & Chung,
2002). Pengungsi 'post-migrasi dengan mudah dapat menghasilkan masalah
tambahan dari pemukiman dan akulturasi stres.
Jurnal Kognitif Behavior menfokuskan seluruh masalah
dengan adaptasi budaya pada pengungsi di Asia Tenggara dengan gangguan stres
pasca-traumatik. Bahwa budaya benar-benar membentuk dan menentukan persepsi,
penalaran secara mendalam. Hal ini adalah arah yang penting untuk diteliti
di masa depan, dimana penelitian saat ini hanya melaporkan komposisi etnis sampel
penelitian. Mengakui dan menggabungkan budaya dalam proses terapi
yang didukung secara empiris memungkinkan untuk mengembangkan komponen terapi
yang efektif yang temukan dalam satu budaya ke budaya lain, (Hoffmann, 2006)
Sehingga, terapis
kognitif-behavior dihadapkan dengan proses terapi pada klien yang beragam,
dengan adanya adaptasi budaya, praktek terapi perilaku kognitif konvensional
mungkin gagal untuk memenuhi kebutuhan mereka, Dengan berbasis empiris, praktek
klinis perlu diperiksa untuk kesesuaian dalam konteks multikultural.
Selain itu, Penilaian empiris akulturasi harus
menjadi bagian integral dari penilaian berbasis bukti. Bahkan, ada
peningkatan kebutuhan dari proses akulturasi yang dibuktikan dalam publikasi
yang komprehensif baru pada psikologi akulturasi (Sam & Berry, 2006).
Redfield, Linton, dan Herskovirs (1936)
mendefinisikan akulturasi sebagai fenomena-fenomena yang terjadi ketika
kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda datang secara berkelanjutan
pada kontak pertama, dengan perubahan berikutnya dalam pola budaya asli salah
satu atau kedua kelompok, tingkat individu, akulturasi didefinisikan sebagai
proses adaptasi psikologis mempengaruhi pendatang, imigran, dan pengungsi
(Berry & Sam, 1997; Ward, Bochner, & Furnham, 2001).
Hasil Akulturasi mengacu pada
tingkat keberhasilan proses akulturasi. Vijver dan Matsumi membedakan tiga
jenis hasil akulturasi yaitu
1. Penyesuaian psikologis dan melibatkan kondisi
psikologis yang disebabkan oleh akulturasi dan biasanya berhubungan dengan
kesejahteraan dan kesehatan mental.
2.
Kompetensi sosiokultural dalam domain yang besar dan melibatkan pengetahuan
tentang bahasa dan budaya dari domain asal.
3.
Hasil ketiga adalah kompetensi sosial budaya dalam budaya asal (misalnya,
pemeliharaan keterampilan linguistik dalam warisan budaya) dan perubahan
kompetensi ini sebagai variabel hasil.
Stres akulturatif mengacu pada stres yang disebabkan oleh
akulturasi. Jarak budaya yang dirasakan mungkin adalah prediktor terbaik
dari stres akulturatif. Hal ini juga relevan dengan hubungan terapis-klien
dalam terapi dan konseling multikultural (Comaz-Diaz, 2006; Muran, 2006).
Orientasi Akulturasi juga relevan untuk menangani berpengalaman stress
klien. Sebuah strategi integrasi bicultural atau multikultural cenderung
negatif terkait dengan stres. Sebaliknya, marginalisasi sering dikaitkan
dengan tingkat stres yang tinggi (Arredondo, 2002).
4. Efektifitas Ilmiah dan Efektifitas Klinis : Diseminasi Empirik Yang
Mendukung Terapi
Dalam dekade terakhir, para peneliti psikoterapi telah melakukan
investigasi aktif antara bukti
penelitian dan bukti klinis. Masalah ini menyangkut persamaan dan
perbedaan dalam kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi hasil dalam
penelitian dan praktek yang ditarik melalui efektifitas terapi, ada dua
kriteria untuk mengevaluasi efektivitas psikoterapi yaitu kemanjuran terapi
mengacu pada hasil yang diperoleh dalam penelitian eksperimental dan
efektivitas terapi mengacu pada hasil dalam pengaturan naturalistik praktek
klinis.
Terapi empiris didukung secara
ilmiah dan internal berlaku untuk kelompok tertentu dari klien. Terapi
secara empiris didefinisikan menurut beberapa kriteria (Chambless &
Ollendick, 2001). Selain percobaan terkontrol acak sebagai kriteria untuk
mengevaluasi terapi ilmiah, pengembangan terapis manual, deskripsi rinci dari
peserta penelitian psikoterapi, dan setidaknya dua studi ilmiah independen
dengan hasil yang signifikan yang diperlukan untuk membangun bukti untuk
efektivitas terapi.
Secara khusus, jika terapis menggunakan terapi empiris didukung dari luar
batas-batas budaya klien, mereka harus memasukkan fitur akomodasi budaya yang
relevan ke dalam terapi standar. Upaya untuk menyebarkan terapi ke
masyarakat dan setiap klien akan tergantung pada akomodasi budaya dan adaptasi
budaya dengan kelompok klien yang beragam. Membangun hubungan antara
efektivitas terapi dan efektivitas klinis dengan kelompok klien beragam budaya
merupakan tujuan penelitian yang mendesak (Bernal, Bonilla, & Bellido,
1995; Hall, 2001).
Banyak terapi empiris
menggunakan teknik terapi cognitif-behavior, Contohnya pada seseorang yang
mengalami depresi berat, gangguan panik, fobia sosial, bulimia, gangguan stres
pasca-trauma, serta masalah psikofisik seperti sakit kepala ketegangan dan
rheumatoid arthritis dari latar belakang budaya yang beragam termasuk Puerto
Rico, Afrika Amerika, dan Latin di Amerika Serikat. Tinjauan ini menunjukkan
bahwa efektivitas terapi empiris didukung tergantung pada penilaian tertentu
dan bukan pada kategori etnis klien atau status minoritas seseorang
Evaluasi yang sistematis mencakup lima langkah dalam praktek klinis: (a)
spesifikasi dan penilaian dari tujuan terapi eksplisit; (b) spesifikasi dan
penilaian terhadap prosedur dan proses; (c) Pemilihan langkah-langkah, (d)
penilaian berkelanjutan pada beberapa kesempatan untuk melacak jalannya terapi,
dan (e) evaluasi data. Penilaian lengkap kasus individu memiliki
keuntungan dari pengumpulan data secara sistematis tanpa bergantung pada
kelompok data, yang tidak benar-benar mencerminkan individu tertentu dalam
terapi. Wacana ini hadir pada pro dan kontra dari desain studi pengaruh dan
efektif menginformasikan kepada kita tentang perlunya untuk melacak perubahan
klien untuk melakukan penilaian klinis terbaik. Penilaian multikultural
dapat dilakukan dalam data menghasilkan cara yang sama.
D. Praktik
konseling dan terapi Multikultural
a. .Hakekat konseling Multikultural
Konseling lintas budaya merupakan
hal baru. Ia baru popular kira-kira duapuluh tahun belakangan ini ( Padersen et
al..,1981). Locke (dalam Brown et al, 1988) mendefinisikan konseling
Multikultur sebagai bidang praktik yang (1) menekankan pentingnya dan keunikan
(kekhasan)individu, (2) mengaku bahwa konselor membawa nilai-nilai pribadi yang
berasal dari lingkungan kebudayaannya ke dalam setting konseling, dan (3)
selanjudnya mengakui bahwa klien-klien yang berasal dari kelompok ras dan suku
minoritas membawa nilai-nilai dan sikap yang mencerminkan latar belakang budaya
mereka.
Dengan perkataan lain, ada tiga hal pokok yang menyangkut pengertian konseling multicultural. Pertama, individu itu penting dan has (unik), Kedua, waktu menjalankan konseling, konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya. Ketiga, klien dari kelompok minoritas etnik dan ras datang menemui konselor membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan latar belakang budayanya.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa konseling multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling.
Dengan perkataan lain, ada tiga hal pokok yang menyangkut pengertian konseling multicultural. Pertama, individu itu penting dan has (unik), Kedua, waktu menjalankan konseling, konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya. Ketiga, klien dari kelompok minoritas etnik dan ras datang menemui konselor membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan latar belakang budayanya.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa konseling multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling.
Konsep dasar konseling
Multikultural Kajian menyangkut keragaman budaya dikenal beberapa
istilah seperti cross cultur ( lintas budaya), intercultur ( antar budaya) dan
multicultur ( multibudaya). Dalam konseling istilah multicultural atau
multibudaya lebih sering digunakan karena mencerminkan kesetaraan dari masing-masing
budaya dan menafikan keunggulan satu budaya pada budaya lain, (Pedersen,1988).
Sebuah proses konseling dianggap sebagai konseling multicultural jika memenuhi
situasi-situasi sebagai berikut :
– Apabila konselor dan konseli merupakan individu yang berbeda latar budayanya.
Konselor dan konseli dapat berasal dari satu ras yang sama, namun memiliki perbedaan dalam : jenis kelamin, usia, orientasi seksual, reregius, social ekonomi dan lain-lain, ( Sue et el, 1982) .
Draguns (1989), menawarkan point kunci dalam pelaksanaan konseling multicultural yaitu :
– Apabila konselor dan konseli merupakan individu yang berbeda latar budayanya.
Konselor dan konseli dapat berasal dari satu ras yang sama, namun memiliki perbedaan dalam : jenis kelamin, usia, orientasi seksual, reregius, social ekonomi dan lain-lain, ( Sue et el, 1982) .
Draguns (1989), menawarkan point kunci dalam pelaksanaan konseling multicultural yaitu :
1. Teknik konseling harus
dimodifikasi jika terjadi proses yang melibatkan latar belakang budaya yang
berbeda.
2. Konselor harus mempersiapkan diri dalam memahami kesenjangan yang makin meningkat antara budayanya dengan budaya konseli pada saat proses konseling berlangsung.
3. Konsepsi menolong atau membantu harus berdasarkan pada perspektif budaya konseli, dan konselor dituntut memiliki kemampuan mengkomunikasikan bantuannya serta memahami distrees dan kesusahan konseli.
2. Konselor harus mempersiapkan diri dalam memahami kesenjangan yang makin meningkat antara budayanya dengan budaya konseli pada saat proses konseling berlangsung.
3. Konsepsi menolong atau membantu harus berdasarkan pada perspektif budaya konseli, dan konselor dituntut memiliki kemampuan mengkomunikasikan bantuannya serta memahami distrees dan kesusahan konseli.
4. Konselor dituntut memahami
perbedaan gejala dan cara menyampaikan keluhan masing-masing kelompok budaya
yang berbeda.
5. Konselor harus memahami harapan dan norma yang mungkin berbeda antara dirinya dengan konseli. Kelima aspek tersebut menunjukkan konselor sebagai actor utama dalam proses dituttut memiliki kemampuan dalam memodifikasi teknik konseling dan memahami aspek-aspek budaya dari konselinya serta memahami kesenjangan dan perbedaan antara budayannya dengan budaya konseli.
5. Konselor harus memahami harapan dan norma yang mungkin berbeda antara dirinya dengan konseli. Kelima aspek tersebut menunjukkan konselor sebagai actor utama dalam proses dituttut memiliki kemampuan dalam memodifikasi teknik konseling dan memahami aspek-aspek budaya dari konselinya serta memahami kesenjangan dan perbedaan antara budayannya dengan budaya konseli.
b. Prinsip-prinsip Dasar Konseling multikultural.
Dalam melaksanakan konseling
Multikultur pendapat beberapa prinsif yang harus dijalankan secara sinergis
oleh konselor, konseli, dan proses konseling yang melibatkan kedua pihak secara
timbal balik. Sebagai inisiator dan pihak yang membantu, konselor wajib
memahami prinsip-prinsip tersebut dan mengaplikasikannya, dalam proses
konseling. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dimaksut adalah sebagai berikut :
1. Untuk konselor, Kesadaran terhadap pengalaman dan sejarah dalam kelompok budayanya.
1. Untuk konselor, Kesadaran terhadap pengalaman dan sejarah dalam kelompok budayanya.
ü
Kesadaran
tentang pengalaman diri dalam lingkungan arus besar kulturnya.
ü
Kepekaan
perceptual terhadap kepercayaan diri dan nilai-nilai yang dimilikinya.
2.
Untuk pemahaman
konseli
ü Kesadaran dan pengertian/pemahaman
tentang sejarah dan pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
ü Kesadaran perceptual akan pemahaman
dan pengalaman dalam lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
ü Kepekaan perceptual terhadap
kepercayaan diri konseli dan nilai-nilainya.
3. Untuk
proses konseling
ü Hati-hati dalam mendengarkan secara
aktif, konselor harus dapat menunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal
bahwa ia memahami yang dibicarakan konseli, dan dapat mengkomunikasikan
tanggapannya dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
ü Memperhatikan konseli dan
situasinya seperti konselor memperhatikan dirinya dalam situasi tersebut, serta
memberikan dorongan optimisme dalam menemukan solusi yang realistis.
ü Mempersiapkan mental dan
kewaspadaan jika tidak memahami pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu
memintak penjelasan. Dengan tetap memelihara sikap sabar dan optimis.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
c.Karakteristik konselor multikultural
Untuk dapat melaksanakan proses
konseling multikultural secara efektif, konselor multikultural dituntut
memiliki beberapa kemampuan atau kopetensi.( Sue , 1978), menyebutkan
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh konselor multicultural sebagai
berikut
1) Mengenali nilai dan asumsi tentang
perilaku yang diinginkan dan tidak diingikan.
2) Memahami karakteristik umum tentang
konseling
3) Tanpa menghilangkan peranan
utamanya sebagai konselor ia harus dapat berbagi pandangan dengan konselinya.
4) Dapat melaksanakan proses konseling
secara efektif.
Selain
ke empat aspek tersebut, dalam artikelnya 1981, Sue menambahkan beberapa
kompetensi yang harus dimiliki konselor multicultural sebagai berikut :
1. Menyadari dan memiliki kepekaan
terhadap budayanya.
2. Menyadari perbedaan budaya antara
dirinya dengan konseli serta mengurangi efek negative dari perbedaan atau
kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
3. Merasa nyaman dengan perbedaan
antara konselor dengan konseli baik menyangkut ras maupun kepercayaan.
4. Memiliki informasi yang cukup
tentang cirri-ciri khusus dari kelompok atau budaya konseli yang akan
ditangani.
5. Memiliki pemahamn dan keterampilan
tentang konseling dan psikoterapi.
6. Mampu memberikan respon yang tepat
baik secara verbal maupun non verbal.
7. Harus dapat menerima dan
menyampaikan pesan secara teliti dan tepat baik verbal maupun non verbal.
Sebelas kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti dikemukakaan Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu : Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang konselor multicultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan social budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan dalam memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya yang berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami cirri-ciri khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Selain memiliki keanegaragaman budaya dan kepercayaan dalam masyarakat Indonesia terdapat beberapa kelompok khusus lainnya. Salah satu kelompok yang dimaksud adalah kelompok penyandang cacat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, kelompok ini memerlukan ruang dan pemberian kesempatan untuk dapat hidup wajar bersama masyarakat lainnya. Namun demikian , keunikan perilaku yang mereka tunjukkan, kendala yang mereka hadapi, dan diskriminasi yang mereka peroleh, menyebabkan kelompok penyandang cacat dinilai sebagai kelompok marjinal dan beban masyarakat.
Untuk menangulangi masalah tersebut, konseling dan multicultural dapat menjadi salah satu solusi. Oleh karena itu konselor multicultural perlu memiliki empati dan kompetensi dalam memberikan bantuan kelompok penyandang cacat sehingga dapat mendorong mereka berkiprah secara wajar ditengah masyarakatnya.
Sebelas kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti dikemukakaan Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu : Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang konselor multicultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan social budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan dalam memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya yang berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami cirri-ciri khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Selain memiliki keanegaragaman budaya dan kepercayaan dalam masyarakat Indonesia terdapat beberapa kelompok khusus lainnya. Salah satu kelompok yang dimaksud adalah kelompok penyandang cacat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, kelompok ini memerlukan ruang dan pemberian kesempatan untuk dapat hidup wajar bersama masyarakat lainnya. Namun demikian , keunikan perilaku yang mereka tunjukkan, kendala yang mereka hadapi, dan diskriminasi yang mereka peroleh, menyebabkan kelompok penyandang cacat dinilai sebagai kelompok marjinal dan beban masyarakat.
Untuk menangulangi masalah tersebut, konseling dan multicultural dapat menjadi salah satu solusi. Oleh karena itu konselor multicultural perlu memiliki empati dan kompetensi dalam memberikan bantuan kelompok penyandang cacat sehingga dapat mendorong mereka berkiprah secara wajar ditengah masyarakatnya.
E.Keterbatasan
dan Implikasi Konseling dalam
terapi Multikultural
Saat ini
pusat-pusat layananan konseling memiliki tingkat pemanfaatan yang rendah, ini
dikarenakan:
1.
Munculnya stereotip di beberapa
kalangan bahwa pusat konseling tidak peduli tentang siswa dengan budaya
yang beragam, yang tidak memiliki pemahaman tentang gaya hidup dan dinilai
tidak memiliki pengalaman, dan tidak ada upaya mendorong ke arah partisipasi
yang asli dan tulus. Benar atau salah, banyak siswa mengasumsikan bahwa
konselor tidak akan mampu berhubungan dengan pengalaman kelompok minoritas
mahasiswa dan, memang, bahwa representasi minoritas menjadi rendah akibat
kebijakan rasis dan praktik yang mendiskriminasikan mempekerjakan staf
minoritas.
2.
Adanya pemahaman dalam diri konselor
bahwa dirinya hanyalah konselor tradisional, yang melayani klien dengan cara
one- on – one, dan klienlah yang harus datang menemui konselor. Seharusnya
daripada konselor menuntut bahwa klien harus beradaptasi dengan budaya
konselor, mungkin lebih baik bagi konselor untuk menyesuaikan dan bekerja di
dalam budaya klien. Dengan kata lain, peran alternatif ini melibatkan konselor
lebih aktif dalam pengalaman hidup klien dari apa yang kita secara tradisional
telah dilatih untuk melakukannya. Ketika konselor keluar dari kantor mereka ke
dalam lingkungan klien mereka,disini konselor menunjukkan komitmen dan
kepentingan individu. Menurut pandangan nontradisional, konseling tidak hanya
duduk dan berbicara dengan klien, tetapi mungkin melibatkan diri dalam kegiatan
dengan klien dalam lingkungan rumah nya, bermain biliard dengan klien, dan
bekerja dalam situasi di mana individu minoritas ditemukan. Sayangnya,
kebanyakan pelatihan dalam konseling dan psikologi klinis tidak memberikan
pengalaman yang cukup dengan jenis program penjangkauan agen perubahan. Memang,
konselor sering kecewa dengan klien pada pertemuan di tempat klien karena itu
dianggap "tidak profesional" dan bukan bagian dari peran konselor.
3.
Seringkali, konselor lebih tertarik
dengan permasalahan personal-emosional (kejiwaan) dibandingkan dengan masalah
pendidikan atau kejuruan. Namun tampaknya banyak orang itu jauh lebih peduli
dengan tujuan-tujuan mereka yaitu kejuruan, pendidikan, dan karier. Contoh
kasus disini terjadi pada budaya Asia Amerika bahwa siswa hanya dituntut
ketuntasan akademik tanpa memberikan gambaran tentang karir apa yang akan
diambil ke depan oleh siswa tersebut. Sedangkan konselor cenderung untuk melihat
konseling pendidikan-kejuruan kurang bergengsi, maka sangatlah mungkin bahwa
ini dikomunikasikan kepada populasi siswa.
Berdasarkan
contoh kasus pada seorang klien bernama Fernando dengan latar belakang budaya
Amerika Selatan yang secara kasat mata terlihat mengalami gangguan kecemasan
akut, terlihat disini konselor mengahadapi berbagai hambatan ketika proses
konseling diantaranya:
1.
Bahasa yang
digunakan antara konselor dengan klien berbeda
2.
Diikutsertakannya
penerjemah dalam proses konseling yang apa pada awalnya bertujuan untuk
membantu konselor memahami maksud klien, namun karena penerjemah itu bagian
dari anggota keluarga klien,maka muncul bias.
3.
Saratnya
nilai-nilai budaya keluarga pada diri klien
4.
Munculnya
stereotip tentang beberapa hal terkait dengan pribadi klien yang dihubungkan
dengan persepsi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda.
5.
Kesulitan
pemberian alternatif penyelesaian masalah dikarenakan benturan nilai budaya
Profesi konselor telah dinilai gagal
untuk memberikan kontribusi pada perbaikan keanekaragaman kelompok budaya di
Amerika. Program pelatihan Psikologi telah mendapatkan gambaran yang keliru
tentang klien minoritas, baik dalam literatur popular dan literatur
ilmiah. Gambaran yang tidak tepat itu antara lain adalah: (a) asumsi monokultur
kesehatan mental, (b) stereotip negatif patologi untuk gaya hidup minoritas,
dan (c) ketidak efektifan, ketidak pantasan dimana pendekatan konseling
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh minoritas.
Di daerah
Amerika Serikat dan beberapa negara, konseling dan psikoterapi digunakan
terutama di dalam wilayah penduduk kelas menengah dan kelas atas . Hal ini
mengakibatkan, keberagaman nilai-nilai dan karakteristik budaya klien tidak
terlihat di kedua tujuan dan proses terapi. Schofield (1964) telah mencatat
bahwa terapis cenderung lebih suka klien yang menunjukkan sindrom YAVIS (Young,
Attractive, Verbal, Intelligent, and Succesfull) muda, menarik, verbal, cerdas,
dan sukses. Pandangan ini cenderung mendiskriminasikan orang dari kelompok
minoritas yang berbeda atau mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi
rendah. Hal ini telah membuat Sundberg (1981) menunjukkan diskriminasi bagi
terapi QUOID (Quiet, Ugly, Old, Indigent, and Dissimilar Culturally): diam,
jelek, tua, miskin, dan berbeda budaya.
Hambatan-hambatan yang menjadi tidak efetifnya proses
konseling yang terkait dengan budaya klien dan konselor adalah:
1. Nilai
budaya. Seperti kasus Fernando di atas, dia berekasi paranoid dan penuh
kecurigaan, disini seorang terapis profesional harus mempertimbangkan apakah
ada alasan-alasan sosial politik, budaya, atau biologis untuk gejala- gejalanya
yang melatar belakangi perilaku Fernando tersebut. Dalam beberapa studi
ditemukan bahwa nilai budaya membuat seseorang lebih diterima untuk beberapa
populasi, misalnya jika kita datang ke sebuah tempat dengan budaya yang berbeda
namun kita tidak bisa menyesuaikan diri maka kita akan sulit diterima. American
Psychiatric Association's Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders
(2000) mengakui bahwa tidak semua budaya memiliki kesulitan dalam
penyesuaiannya, hanya beberapa budaya saja yang memiliki kultur budaya sangat spesifik
yang sulit disesuaikan dengan kultur pribadi seseorang. Sedangkan kebanyakan
konselor hanya mempertimbangkan aspek-aspek internal dari klien saja tetapi
mengabaikan beberapa aspek eksternal klien salah satunya nilai budaya yang
dianut klien. Nilai budaya seseorang sangat ditentukan oleh faktor sosial
ekonominya, hal ini juga yang menjadi salah satu hambatan dalam proses
konseling, dalam kasus diatas dicontohkan masalah transportasi. Klien yang
status sosial ekonominya kurang dan dia tinggal di daerah yang jauh dari
perkotaan akan mengalami kesulitan dalam perjalanannya menuju tempat terapi
yang berada di perkotaan. Sebagai konselor seharusnya dapat melakukan kunjungan
rumah, namun banyak konselor yang merasa segan, takut dan tidak nyaman karena
dalam pandangannya klienlah yang membutuhkan konselor sehingga dia yang harus
datang pada konselor.
2. Bahasa.
Dengan begitu beragamnya bahasa, dianggap akan menyulitkan proses konseling,
karena di dalamnya membutuhkan verbalisasi pikiran dan perasaan supaya klien
dapat menerima bantuan yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan teknik
pendekatan psikoanalisis oleh Frued tentang terapi bicara, dimana klien harus
mengungkapkan apa yang ada di pikirannya melalui bicara. Hal ini juga menjadi
kendala jika klien tidak dapat berbahasa nasional, dan hanya menguasai bahasa
daerahnya sendiri. Namun kendala ini dapat diminimalisir dengan adanya seorang
penerjemah, namun diharapkan yang mampu memberikan terjemahan yang akurat,
(tidak semua bahasa memiliki makna yang sama meskipun dari wilayah daerah yang
sama) dan juga diharapkan proses wawacara yang dilakukan konselor tidak
menyalahi aturan keluarga klien misalnya ada garis patriarkis yang sangat kuat
pada budaya keluarga tersebut.
3. Isu budaya.
Dalam proses konseling, konselor harus berhati-hati dalam interaksinya dengan
klien, karena banyak isu-isu budaya yang dijunjung tinggi oleh klien dan itu
berpengaruh pada lingkungan klien. Sebagai contoh klien dengan budaya
patriarkis yang sangat kuat, akan sangat menyinggung atau membuat salah
paham pada salah seorang kepala keluarga karena konselor hanya akrab dengan
anaknya yang mampu berbahasa nasional. Ini dinilai ”lancang” atau “pamali”
karena melangkahi otoritas kepala keluarga.
4.
Nilai-nilai
yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang
berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan. (Pedersesn, Lonner
dan Draguns dalam Carter, 1991).
5.
Keadaan
demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, dan variabel status
seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti
agama, adat, sistem nilai.
Karakteristik dari konseling dan psikoterapi, yang
dapat memicu konflik bagi kelompok budaya yang beragam, telah diidentifikasi
pada awal tahun 1970 (DW Sue & Sue D., 1972).
1.
Terapis
cenderung menuntut klien mereka untuk menunjukkan sikap keterbukaan diri.
Kebanyakan teori membantu menempatkan premi yang tinggi pada kemampuan
ekspresi verbal, emosional, dan perilaku. Hal ini adalah sebagai
salah satu tujuan akhir dari terapi yang dilakukan.
2.
Terapi
secara tradisional cenderung mendorong klien untuk berbicara tentang
aspek yang paling intim dari kehidupan mereka. Individu yang gagal atau menolak
pengungkapan diri dapat dilihat sebagai seorang yang kaku, defensif, atau dangkal.
3.
Situasi
konseling atau terapi ini sering bersifat ambigu. Dimana klien didorong
untuk mendiskusikan masalah saat konselor mendengarkan dan merespon. Sementara
situasi terapi terstruktur dan kekuatan klien menjadi peserta aktif utama. Dengan
pola komunikasi umumnya dari klien dengan terapis.
4.
Faktor lain
yang diidentifikasi sebagai karakteristik umum dari terapi adalah (a)
orientasi satu bahasa, (b) penekanan pada tujuan jangka panjang, (c) penekanan
perbedaan antara mental dan kesejahteraan fisik dan (d) hubungan
sebab-akibat. Lagi pula umumnya sejak terapi terisolasi dari lingkungan dan
kontak yang singkat dengan klien (50 menit, seminggu sekali), secara alamiah
mengarah pada pencarian tujuan dan solusi jangka panjang.
Faktor lain yang penting dan sering
diabaikan dalam terapi adalah adanya asumsi bahwa perbedaan yang jelas dapat
terjadi antara kesehatan mental, penyakit fisik, ini terjadi pada pandangan
Barat, sedangkan pada beberapa budaya lain tidak dapat dibedakan secara
jelas antara keduanya. Pemisahan tersebut mungkin membingungkan untuk beberapa
klien yang beragam budaya sehingga menyebabkan masalah dalam terapi.
Ornstein's (1972), mengidentifikasi
fungsi ganda otak, yang memiliki implikasi menarik untuk kegiatan terapi. Belahan
otak kiri terlibat dengan proses linier, rasional, dan kognitif, sedangkan
bagian otak kanan cenderung intuitif, perasaan. Bila kedua belahan otak
beroperasi dalam model saling interdependen, maka mereka memfasilitasi fungsi
kita sebagai manusia. bahwa /linier logis / analitik / mode verbal otak
kiri mendominasi pemikiran Barat. Sedangkan / holistik / kreatif intuitif /
fungsi nonverbal dari otak kanan telah diabaikan dalam budaya Barat dan
dipandang sebagai modus kurang sah berekspresi.
Implikasi Konseling
Helms (1984) mendefinisikan empat kemungkinan jenis
hubungan antara konselor berkulit Putih dan klien kulit Hitam (atau
sebaliknya); paralel, progresif, regresif, dan disilangkan. Hubungan paralel
adalah satu di mana konselor dan klien berada pada tingkat yang sama
ras-identitas pembangunan. Dalam hubungan yang progresif, konselor setidaknya
satu tingkat lebih tinggi dari klien. Dalam hubungan regresif, konselor
setidaknya satu tingkat lebih rendah dari klien. Akhirnya, dalam hubungan
disilangkan, konselor dan klien memiliki sikap yang saling bertentangan.
ASIA AMERIKA
Asia Amerika adalah kelompok minoritas yang paling cepat
berkembang 20,6 juta penduduk di negara-negara Serikat. Asia Amerika adalah
kelompok yang sangat heterogen, dengan tersebar sedikitnya di 29
negara di Asia dan Kepulauan Pasifik, semua menggunakan dengan bahasa mereka
sendiri, adat istiadat, dan agama (D. Sue1998).
Pola budaya, Meskipun banyak
perbedaan yang ada antara Amerika Asia, pada beberapa pola budaya yang luas
telah diidentifikasi.
a) Ketaatan atau kepatuhan kepada orang
tua.
b) Familial Interdependensi
c) Sistem patriarchal
d) Menahan Emosi
e) Komunikasi Konteks Tinggi
Helms dan Model cook (1999) dapat digunakan dengan Asia Amerika.
Selain itu, Atkinson et al. (1998) mengusulkan pengembangan Minority
Identity Development (MID) model yang dapat berguna dalam memahami
hubungan kelompok Amerika Asia mereka itu sendiri dan budaya yang dominan.
Model MID ini mendefinisikan sikap responden tidak hanya terhadap kelompok
dominan tetapi juga terhadap kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Konsultasi dengan Guru
Hubungan konselor dan guru selalu penting ketika seorang
siswa yang mengalami masalah akademis. Hal ini bahkan lebih
penting ketika siswa adalah anggota dari kelompok minoritas. Ada
dasar bahwa budaya untuk belajar dan sekolah kepribadian Negara
Selors harus peka terhadap konflik antara gaya mengajar Eurocentric tradisional
dan cara siswa dari budaya lain belajar. Vazquez (1998) menyarankan tiga
langkah prosedur untuk mengadaptasi instruksi
untuk ciri-ciri budaya. Konselor sekolah dapat memainkan peran dalam
setiap langkah prosedur, khususnya dengan membantu guru mengidentifikasi
ciri-ciri budaya siswa dan kemudian membantu mereka untuk beradaptasi.
Konseling Siswa
Catatan sekolah merupakan sumber informasi berharga tidak hanya pada
prestasi, tetapi juga pada latar belakang keluarga, hasil tes psikologis, dan
penilaian guru pada para pelaja.
Berkonsultasi dengan Orangtua
Berkonsultasi dengan Orangtua
Berkonsultasi dengan orang tua memberikan informasi berharga tentang
sejarah psikososial anak; lebih penting, ia melibatkan orang tua dalam
pendidikan anak mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua
terlibat dalam pendidikan anak mereka, penciptaan lingkungan belajar di rumah,
dan harapan akademik positif memiliki dampak yang signifikan terhadap prestasi
siswa (Henderson, 1987).Tetapi ketika orang tua imigran, miskin, atau orang
kulit berwarna, membuat mereka terlibat dalam sebuah kolaborasi dengan sekolah
dapat menantang.
Memperkenalkan Kesadaran Multikultural
Konselor sekolah, karena dari pelatihan mereka dan kepekaan terhadap
isu-isu keragaman, terutama dilengkapi dengan baik untuk meningkatkan kesadaran
multikultural di sekolah. Seringkali proses ini yang tidak resmi, hanya
memperkenalkan isu-isu ras dan budaya ke dalam percakapan dengan guru dan
anggota staf lain. Kuncinya adalah memiliki pengetahuan tetapi tidak mengancam.
Tapi lebih penting dari kesempatan yang diberikan oleh pertemuan individu
adalah peluang untuk mengembangkan program untuk meningkatkan multikulturalisme
di seluruh sekolah.
L.S. Johnson (1995) mengusulkan bahwa konselor sekolah membantu
mendirikan sebuah dewan penasehat multikultural dalam sistem sekolah untuk
bertanggung jawab mengidentifikasi isu-isu keragaman. Dewan harus mewakili
bagian-lintas dari kelompok ras dan etnis dan fungsi (administrator, guru,
orang tua, mahasiswa, dan tokoh masyarakat). Setelah dewan mengidentifikasi
bidang keprihatinan, para anggota dapat mulai menetapkan tujuan dan sasaran dan
rencana kegiatan pertemuan mereka. Misalnya, dewan prihatin kesadaran
multikultural di antara anggota staf sekolah. Dewan mungkin merekomendasikan
serangkaian lokakarya pengembangan staf yang dipimpin oleh otoritas pada
multikulturalisme. Lokakarya ini bisa memiliki tujuan dua dimensi, pengetahuan
diri dan orang lain. Melalui rasial identitas latihan, guru dan anggota staf
lain dapat memahami dinamika diferensial kekuasaan di antara ras dan etnis.
Persiapan Postsecondary
Persiapan postsecondary siswa dari latar belakang budaya
minoritas merupakan tantangan khusus. Seringkali para siswa kekurangan peran
model dan pemahaman yang kuat tentang bagaimana mempersiapkan untuk kehidupan
setelah SMA. Konselor sekolah dapat memainkan peran penting dengan siswa ini
dengan menyediakan mereka dengan informasi yang akurat dan menunjukkan kepada
mereka bagaimana aspirasi mereka dapat menjadi kenyataan.
Kebutuhan Informasi yang Akurat
Realitas memiliki banyak hubungannya dengan mempersiapkan siswa dari
berpenghasilan rendah dan minoritas kelompok untuk kehidupan setelah SMA.
Sangat penting, bahwa konselor sekolah, khususnya di sekolah dasar, mengekspos
siswa minoritas untuk orang-orang yang nyata melakukan berbagai pekerjaan
nyata. Sama penting adalah kunjungan ke sebuah kampus, di mana anak-anak dapat
berbicara dengan mahasiswa dan seorang professor.
Konselor sekolah bekerja sama dengan siswa dari budaya minoritas harus
membangkitkan para siswa tentang peluang karier mereka dan menyediakan mereka
dengan informasi yang akurat tentang pekerjaan yang terlibat dalam membuat
peluang tersebut menjadi kenyataan.
Sekolah untuk Masa Peralihan Kerja
Sejumlah besar siswa minoritas tidak melanjutkan ke perguruan tinggi
setelah lulus. Konselor sekolah harus yakin bahwa siswa ini meninggalkan
sekolah tinggi dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk
bekerja pada pekerjaan yang baik. Jika seorang siswa mengatakan dengan serius
bahwa dia ingin pergi ke perguruan tinggi, konselor sekolah dan sekolah harus
melakukan yang terbaik untuk membuat itu terjadi. Tapi konselor sekolah dan
sekolah juga memiliki tanggung jawab untuk mereka yang tidak kuliah yang
terikat.
Isu-isu Etis dan Hukum
Sebagian besar materi dalam bab ini dirancang untuk membantu konselor
sekolah memahami sosialisasi budaya mereka sendiri dan bahwa dari kelompok ras
atau etnis utama di Amerika Serikat. Pemahaman ini bukanlah pilihan, ini adalah
tanggung jawab etis.
Konselor sekolah profesional memahami latar belakang budaya yang
beragam dari konseli dengan siapa laki-laki/perempuan bekerja. Ini mencakup,
namun tidak terbatas pada, belajar bagaimana konselor sekolah sendiri memiliki
dampak identitas budaya/etnis atau nilai-nilainya dan keyakinan tentang
proses konseling. (American School Counselor Association, 1998)
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan
1.Konseling
multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan
latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap
konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan
secara efektif sesuai perspektif budaya konseling.
2. Untuk dapat memberikan konseling multicultural secara efektif, konselor multicultural harus dapat memahami karakterbudaya dari konselingnya, serta merancang segala tindakan dalam perspektif budaya konseling.
3. Beberapa prinsip dasar yang harus disadari konselor dalam melaksanakan konseling multicultural antara lain :
2. Untuk dapat memberikan konseling multicultural secara efektif, konselor multicultural harus dapat memahami karakterbudaya dari konselingnya, serta merancang segala tindakan dalam perspektif budaya konseling.
3. Beberapa prinsip dasar yang harus disadari konselor dalam melaksanakan konseling multicultural antara lain :
a.Kesadaran
tentang kemampuan konselor
b.Kesadaran
tentang memahami konseli dan nilai-nilainya.
ssc. Kesadaran tentang kemampuan melaksanakan proses konseling yang mampu mendorong optimisme dan menemukan sulusi yang realistis.
ssc. Kesadaran tentang kemampuan melaksanakan proses konseling yang mampu mendorong optimisme dan menemukan sulusi yang realistis.
Pustaka
Wanda M.L. Lee,
John A. Blando, Nathalie D. Mizelle, Graciela L. Orozco (2007) Introduction to Multicultural
Counseling for Helping Professionals. New York: Routledge Taylor & Francis
Group.)
Colin Lago (2006). Race, Culture
and Counselling. England: McGraw-Hill House;Tracy
L.Robinson-Wood (2009). The Convergence of
Race, Ethnicity, and Gender : Multiple Identities in Counseling. New
Jersey: Pearson Education.Inc.
Allen
E. Evey, Mary Bradford Counseling and Psychoterapy A Multicultural Perspective.
Boston: Allyn and Bacon.Ivey & Lynn Simek-Morgan (1993).
Allen
E. Ivey & Mary Badford Ivey (2003). Intentional Interviewing and
Counseling: facilitating Client Development in a Multicultural Society.USA:
Brooks/Cole.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar