Minggu, 19 Juni 2016

PERSPEKTIF GLOBAL KONSELING MULTIKULTURAL



A. Benturan Peradaban
Selain pengenalan terhadap seluk beluk budaya lokal dan sikap-sikap yang menyertai perbedaan antar budaya, isu dalam kajian antar budaya umumnya dan konseling lintas budaya khususnya juga berkaitan dengan pergeseran hubungan antar peradaban yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu. Dalam hal ini, siapapun yang terlibat dalam kajian antar budaya dituntut untuk memiliki persepektif global. Mungkin persepektif ini tidak langsung berkaitan dengan pemahaman konselor terhadap perilaku klien, tetapi memberikan perspektif terhadap bagaimana seorang konselor lintas-budaya memposisikan diri dalam perkembangan global.

MULTIKULTURISME DALAM NASIONALISME INDONESIA BARU




MULTIKULTURISME DALAM NASIONALISME INDONESIA BARU

A.    Makna Nasionalisme
1.      Pengertian Nasionalisme adalah Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Nasionalisme merupakan jiwa bangsa Indonesia yang akan terus melekat selama bangsa Indonesia masih ada. Nasionalisme bukanlah suatu pengertian yang sempit bahkan mungkin masih lebih kaya lagi pada zaman ini
2.      Ciri-ciri nasionalisme di atas dapat ditangkap dalam beberapa definisi nasionalisme sebagai berikut :
a.       Nasionalisme ialah cinta pada tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama.
b.      Nasionalisme ialah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.
c.       Nasionalisme ialah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya.
d.      Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.

B.     Identitas Nasional
Pengertian Identitas Nasional adalah Kepribadian atau Jati diri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Asal Identitas Nasional dapat di lihat melalui  Agama, Budaya, Pengalaman sejarah, Kesepakatan bersama.
Identitas nasional penting dalam interaksi antar bangsa (baik individu maupun kelompok/negara). Fungsi identitas nasional adalah identitas diperlukan dalam interaksi antar bangsa (baik individu maupun kelompok/negara), Identitas nasional sebuah bangsa menentukan status dan peranan bangsa tersebut di dunia internasional, Pola interaksi antar identitas dalam suatu masyarakat bangsa menunjukkan struktur sosial masyarakat tersebut.

C.    Nasionalisme Indonesia
Pengertian Nasionalisme.  Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Demikian juga ketika kita berbicara tentang nasionalisme. Nasionalisme merupakan jiwa bangsa Indonesia yang akan terus melekat selama bangsa Indonesia masih ada.
Ciri-ciri definisi nasionalisme sebagai berikut :
1.      Nasionalisme ialah cinta pada tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama.
2.      Nasionalisme ialah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan    dan prestise bangsa.
3.      Nasionalisme ialah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya.
4.      Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.
Nasionalisme tersebut berkembang terus memasuki abad 20 dengan kekuatan-kekuatan berikut :
1.      keinginan untuk bersatu dan berhasil dalam me-nyatukan wilayah dan rakyat;
2.      perluasan kekuasan negara kebangsaan; 
3.      pertumbuhan dan peningkatan kesa-daran kebudayaan nasional dan 
4.      konflik-konflik kekuasaan antara bangsa-bangsa yang terangsang oleh perasaan nasional.

D.    Modal Sosial untuk Mewujudkan Visi Nasionalisme Indonesia Baru
Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru dalam masyarakat. Oleh karena itu modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, saling kepercayaan dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. Fukuyama (1999)   menyatakan bahwa modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi, Berbagai permasalahan dan penyimpangan yang terjadi di berbagai negara determinan utamanya adalah kerdilnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas, dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Pengertian dari modal sosial dapat diartikan sebagai sumberdaya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas, baik antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan emosional berupa kepercayaan, hubungan-hubungan timbal balik, dan jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Modal sosial akan tumbuh dan berkembang kalau digunakan bersama dan akan mengalami kepunahan kalau tidak dilembagakan secara bersama, oleh karena itu, pewarisan nilai modal sosial dilakukan melalui proses adaptasi, pembelajaran, serta pengalaman dalam praktek nyata.
Blakeley dan Suggate, dalam Suharto (2007) menyatakan bahwa unsur-unsur modal sosial adalah:
1.      Kepercayaan, tumbuhnya sikap saling percaya antar individu dan antar institusi dalam masyarakat;
2.      Kohesivitas, adanya hubungan yang erat dan padu dalam membangun solidaritas masyarakat;
3.      Altruisme, paham yang mendahulukan kepentingan orang lain;
4.      Perasaan tidak egois dan tidak individualistik yang mengutamakan kepentingan umum dan orang lain di atas kepentingan sendiri;
5.      Gotong-royong, sikap empati dan perilaku yang mau menolong orang lain dan bahu-membahu dalam melakukan berbagai upaya untuk kepentingan bersama; dan
6.      Jaringan, dan kolaborasi sosial, membangun hubungan dan kerjasama antar individu dan antar institusi baik di dalam komunitas sendiri / kelompok maupun di luar komunitas/kelompok dalam berbagai kegiatan yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Hasbullah (2006) mengetengahkan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial yang telah ada, yaitu:
1.      Participation in a network.
Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 45 berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.
2.      Reciprocity.
Kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran terjadi dalam suatukombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan nuansa altruism tanpamengharapkan imbalan. Pada masyarakat dan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi.
3.      Trust.
Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993). Tindakan kolektif yang didasari saling percaya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi terutama dalam konteks kemajuan bersama. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
4.      Social norms.
Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan masyarakat. Oleh karenanya norma sosial disebut sebagai salah satu modal sosial.
5.      Values.
Sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola cultural.
6.      Proactive action.
Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat. Anggota kelompok melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya hubungan-hubungan sosial dan menguntungkan kelompok. Perilaku inisiatif dalam mencari informasi berbagai pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan, dan beragam bentuk inisiatif lainnya baik oleh individu mapun kelompok, merupakan wujud modal sosial yang berguna dalam membangun masyarakat
Perkembangan paradigma dan teori pembangunan telah mengalami perubahan sejak 30 tahun lalu. Perubahan ini dipicu oleh ketidak puasan pada perkembangan pembangunan di banyak negara berkembang dan negara miskin di benua Asia dan Afrika. Paradigma pembangunan yang ada sebelumnya telah menjerumuskan negara-negara tersebut dalam kemiskinan akibat lemahnya kontrol negara terhadap pengaruh dan intervensi negara asing dalam bidang perekonomian, perdagangan, industri, budaya, dan politik, yang berimbas pada lemahnya kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Perubahan paradigma yang terjadi kemudian, banyak negara belum juga berdampak positif bagi masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa dari keterbelakangan senantiasa tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini erat kaitannya dengan tidak dimasukkannya modal sosial sebagai faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kebijakan. Kenyataan ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dimensi kultural dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses pembangunan. Fukuyama (2002) misalnya menyebutkan faktor kultural, khususnya modal sosial menempati posisi yang sangat penting sebagai faktor yang menentukan kualitas masyarakat.
1.      Modal Sosial dan Pembangunan Manusia
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai pengaruh yang besar sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling mempercayai, kohesifitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal dalam membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat. Situasi ini akan memperbesar kemungkinan percepatan perkembangan individu dan kelompok dalam masyarakat tersebut. Bagaimanapun juga kualitas individu akan mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat itu berarti pembangunan manusia paralel dengan pembangunan sosial.
2.      Modal Sosial dan Pembangunan Sosial
Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah. Dengan saling percaya, toleransi, dan kerjasama mereka dapat membangun jaringan baik di dalam kelompok masyarakatnya maupun dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada masyarakat tradisional, diketahui memiliki asosiasi-asosiasi informal yang umumnya kuat dan memiliki nilai-nilai, norma, dan etika kolektif sebagai sebuah komunitas yang saling berhubungan.
Hal ini merupakan modal sosial yang dapat mendorong munculnya organisasi-organisasi modern dengan prinsip keterbukaan, dan jaringan-jaringan informal dalam masyarakat yang secara mandiri dapat mengembangkan Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 47  pengetahuan dan wawasan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama dalam kerangka pembangunan masyarakat. Berkembangnya modal sosial di tengah masyarakat akan menciptakan suatu situasi masyarakat yang toleran, dan merangsang tumbuhnya empati dan simpati terhadap kelompok masyarakat di luar kelompoknya. Hasbullah (2006) memaparkan mengenai jaringan-jaringan yang memperkuat modal sosial akan memudahkan saluran informasi dan ide dari luar yang merangsang perkembangan kelompok masyarakat. Hasilnya adalah lahirnya masyarakat peduli pada berbagai aspek dan dimensi aktifitas kehidupan, masyarakat yang saling memberi perhatian dan saling percaya. Situasi yang mendorong kehidupan bermasyarakat yang damai, bersahabat, dan tenteram.
3.      Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial sangat tinggi pegaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (2002) menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara yang menunjukkan bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan dan perekonomian yang dijalankan pelaku ekonomi Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara. Budaya gotong-royong, tolong menolong, saling mengingatkan antar individu dalam entitas masyarakat desa merefleksikan semangat saling memberi (reciprocity), saling percaya (trust), dan adanya jaringan-jaringan sosial (sosial networking). Hal ini membangun kekompakan pada masyarakat desa untuk bersama-sama dalam memulai bercocok tanam bersama-sama untuk menghindari hama, membentuk kelompok tani untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan dan mencari solusi bersama dalam rangka meningkatkan perekonomian pertanian. Pembangunan industri pada masyarakat dengan modal sosial tinggi akan cepat berkembang karena modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan menumbuhkembangkan dunia usaha.
Investor asing akan tertarik untuk menanamkan modal usaha pada masyarakat yang menjunjung nilai kejujuran, kepercayaan, terbuka dan memiliki tingkat empati yang tinggi. Modal sosial, berpengaruh kuat pada perkembangan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan lainnya.
4.      Modal Sosial dan Pembangunan Politik
Modal Sosial yang tinggi, menurut Putnam (2002) membawa dampak pada tingginya partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai bentuknya. Akibat positif yang dihasilkan adalah pemerintah akan memilki akuntabilitas yang lebih kuat (Hasbullah,2006). Tingginya modal sosial akan mendorong efektifitas  pemerintahan, beragam determinan memungkinkan negara berfungsi secara lebih efektif dan memiliki legitimasi. Modal sosial tinggi yang dimiliki masyarakat lebih dapat memfasilitasi hubungan antara negara dan rakyat. Hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat akan menjamin stabilitas politik negara. Di tingkat lokal, modal sosial dapat menjembatani hubungan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menyebarkan informasi dan mengimplementasikan program-program 48 Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan (Inayah) pembangunan. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, keterbukaan pemerintah pada masyarakat, adanya komitmen dan keinginan yang kuat antara pemerintah daerah dan masyarakat untuk membangun, serta adanya partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan akan mendorong terciptanya pembangunan sistem pemerintahan yang baik dimana akuntabilitas dan transparansi pemerintahan berimbang dengan akses dan kontrol masyarakat terhadap pemerintahan. Hal ini juga dapat mendorong demokrasi tumbuh dari bawah dan memungkinkan pembangunan politik tidak hanya pada arus pusat tapi juga lokal. Di samping itu, negara melalui sistem pemerintahan yang baik dapat mendorong menguatnya modal sosial yang mendukung berkembangnya kepercayaan, nilai-nilai, dan norma yang baik dengan menciptakan situasi yang kondusif dalam mempererat jaring-jaring sosial di dalam masyarakat dan merangsang tumbuhnya sikap proaktif masyarakat dalam pembangunan.

E.     Otonomi Daerah dan Pluralisme Budaya Indonesia
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985). Hal itu berarti bahwa pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya.
Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang. Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22  tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1.      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
2.      Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3.      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontribusi (campur tangan/ikut andil) negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7.      Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
8.      Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
1.      Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
2.      Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian
Istilah Pluralisme secara singkat didefinisikan sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (berkenaan dengan sistem sosial dan politiknya). Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan bahwa pluralism dipahami sebagai:
1.      Suatu teori yang menentang kekuasaan monolitis (tunggal); dan sebaliknya mendukung desentralisasi (Penyerahan wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu dibagi bersamasama diantara sejumlah partai politik.
2.      Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya Definisi yang pertama mengandung pluralisme politik, sedangkan definisi yang kedua mengandung pengertian pluralisme sosial.
Sedangkan Pluralisme Budaya sering disamakan dengan istilah multikulturalisme, dua istilah tersebut memang memiliki makna yang mirip. Akan tetapi, multikulturalisme merupakan paham atau ideology yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap keanekaragaman budaya adalah hal yang ada dalam suatu wilayah.
Ada pula istilah pluralitas kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, pluralism kebudayaan adalah dua macam tradisi kebudayaan atau lebih yang  membagi masyarakat kedalam golongan sosial yang berbeda-beda.
Pluralisme Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai : sikap menerima baik keanekaan kebudayaan, gaya hidup yang berbeda-beda di dalam suatu masyarakat, dan sikap percaya bahwa keanekaan ini memperkaya kehidupan manusia. Sedangkan menurut Konjtaraningrat Pluralitas Budaya merupakan dua macam tradisi kebudayaan atau lebih yang membagi masyarakat kedalam golongan sosial yang berbeda-beda. Pluralitas budaya lokal adalah kebudayaan yang dimiliki masyarakat lokal didalam negara indonesia.Masyarakat lokal adalah masyarakat yang mendiami suatu wilayah dengan batas-batas geografis.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dengan adanya kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam suku bagsa dan etnik dengan kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan yang berbeda satu sama lain tersebut hidup di bawah naungan Negara Indonesia. Menurut Parsudi Suparlan, secara garis besar ada tiga macam kebudayaan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, yaitu sebagai berikut :
1.      Kebudayaan nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
2.      Kebudayaan suku bangsa, terwujud pada kebudayaan suku bangsa dan menjadi unsur pendukung bagi lestarinya kebudayaan suku bangsa tersebut.
3.      Kebudayaan umum lokal yang berfungsi dalam pergaulan umum (ekonomi, politik, social, dan emusional) yang berlaku dalam lokal-lokal di daerah.
Puncak-puncak keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang ada diIndonesia memperhatikan adanya prinsip-prinsip kesamaan dan saling kesesuaian satu sama lain. Prinsip- prinsip tersebut menjadi landasan terciptanya kebudayaan nasional Indonesia tanpa menghilangkan perbedaan sepenuhnya. Perbedaan budaya Indonesia disebabkan adanya pebedaan dalam sejarah perkembangan budaya masing-masing suku bangsa.perbedaan tersebut juga hasil adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda-beda.
Dampak Positif Dan Negativ Pluralitas Budaya
1.      Dampak Negatif
Dampak negative dari pluralitas budaya di Indonesia , antara lain adanya sistem nilai dan orientasi relegi yang berbeda dapat memberikan konflik social antaretnis. Konflik social ini bukanlah bias berkembang menjadi konflik berdarah dalam skala yang luas dan dpat memakan  korban jiwa ataupun memakan korban harta benda. Misalnya, konflik di Kalimantan barat, Kalimantan tengah, Ambon, Maluku, atau Poso.
Selain itu juga karena sentimen kesukubangsaan seperti konflik yang ditujukan kepada orang Cina, sepertipada peristiwa kerusuhan 1998.Konflik terjadi karena perebutan sumber ekonomi yang sengaja diciptakan dngan melibatkan sentiment kesukubangsaan.Kehormatan yang dianggap sudah dirusak dapat membuat seseorang melakukan apasaja untuk membalas rasa sakit hatinya.
2.      Dampak Positif
Bahas lokal dapat memberikan tambahan istilah bagi bangsa Indonesia, kearifan budaya local dapat memperkaya strategi pembangunan sesuai lokasinya, atau teknologi tradisiaonal dapat menjadialternatif bagi pengembangan dan pemasyarakatan.
Dengan adanya pluralitas budaya, maka kita memahami perasaan kebersamaan. Adanya perbedaan tidak harus membuat masyarakat berpisah, justru itu menjadi hal yang dapat dijadikan dasar  untuk bersatu . Paham multikulturalisme merupakan antisifikasi terhadap bebbagai konflik social dengan latar belakang perbedaan budaya. Multikulturalisme lebih cenderung sebagai  paham atau ideology yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap perbedaan budaya adalah hal yang wajar didalam suatu wilayah. Multikulturalisme mengajarkan hidup ditengah-tengah perbedaan.

F.      Persepsi terhadap Pluralisme Budaya Indonesia
1.      Pluralisme Sebagai Doktrin 
Pluralisme Adalah doktrin yang mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat, tidak aa satupun “sebab” yang bersifat tunggal atau ganda  bagi perubahan suatu masyarakat, pluralisme masyarakat menyakini adanya banyak sebab  yang dapat menimbulkan gejala social atau perubahan dalam masyarakat.
Pluralisme merupakan doktrin yang pada awalnya timbuk sekitar tahun 1920 an dan hidup kembali di akhir tahun (1960-1980). Pemunculan kembali ideology itu dikarenakan tidak ada satupun gaya simbolik budaya yang mampu menciptakan dominasi budaya dalam suatu masyarakat yang beragam.
Konsep pluralisme di maknai oleh pemerintah sebagai proses “Beganing” atau kompromi terhadap para pemimpin dari berbagai kelompok (etnik, rasa tau kelompok lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dll.
Pluralisme di anjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarkat yang semakin modern dan kompleks agar setiap individu dapat berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan.
Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap individu dan kelompok melalui peraturan dan perundang undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances. Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa taka da satu kelompok pun yang memnduduki kekuasaan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti setidak-tidaknya dilakukan melakukan pengeruh indovidu atau kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengembilan keputusan.
2.      Pluralisme Sebagai Alat Pemersatu Bangsa
Disinilah Pancasila berfungsi sebagai pemersatu bagi pluralisme dan multikulturalisme. Artinya kita masing-masing saling berbeda-beda namun satu dalam kebersamaan cita-cita dan paham bernegara sebagai sesama wargangara. Oleh karena itu Pancasila adalah asas bersama yang tunggal bagi seluruh warganegara yang bhineka, yang menjadikannya identitas bangsa ini.
Adalah ada benarnya bila kita menegakan Pancasila di samping merupakan nilai budaya, identitas bangsa, filsafat negara, dan ideologi nasional, Pancasila merupakan platform nasional yang dengan penuh toleransi diterima semua agama sebagai konsensus nasional. Pancasila adalah paham pemersatu sekaligus kebijakan nasional untuk mempertahankan persatuan nasional.
Untuk itulah, hal yang perlu dilakukan, pertama kita harus bisa mempertebal rasa kebangsaan kita sebagai Bangsa Indonesia. Caranya dengan mengungkap kebesaran, kejayaan, kedigdayaan masa lampau serta sekaligus mengungkap kembali betapa kita mampu merebut kembali kemerdekaan dari penjajah. Itulah kebanggaan nasional yang membuat kita mampu berjalan tegak, tidak tunduk dan membungkuk.
Kedua, pendidikan nasional kita harus bertumpu pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan demikian cinta tanah air menjadi dasar dan subtansi proses nation and character building.
Ketiga, kita harus mampu proaktif mendisain wujud globalisasi. Berarti kita harus menjadi bangsa yang digdaya, mampu membedakan antara modernisasi dengan westernisasi, mampu menolak segala dominasi mancanegara yang mengakibatkan kita tersubordinasi. Untuk itulak kita harus memiliki metastrategi yang jelas dan tegas.
Keempat, doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyaaatan harus memberi warna pada setiap kebijakan nasional dan produk perundang-undangan. Kita harus menjadi tuan di negeri sendiri dan tahta hanyalah untuk rakyat.
Kelima, para pemimpin di badan-badan negara harus mampu menjadi panutan bagi masyarakat. Keenam, pemerintah harus mampu mengatasi ketimpangan antara daerah terutama kemiskinan dan penangguran. Ketujuh, otonomi daerah tidak boleh berubah makna menjadi eksklusivutisme atau isolasionalisme kedaerahan. Dan kedelapan, media massa harus ikut beranggungjawab mencerdaskan kehidupan bangsa.
3.      Membangun Rasa Pluralisme di Negara Indonesia
Setiap manusia memerlukan manusia lain dalam berbagai tingkatan kelembagaan. Negara merupakan lembaga manusia yang paling luas, yang berfungsi untuk menjamin agar manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang melampaui kemampuan lingkungan-lingkungan social lebih kecil. Di suatu Negara terutama di Indonesia memiliki berbagai macam budaya dimana kesemua perbedaan itu menjadi satu karena adanya rasa pluralisme dan patriotisme yang telah tertanam di tiap-tiap diri bangsa Indonesia itu sendiri.
Karena adanya berbagai macam perbedaan itu muncul rasa saling menghormati dan toleransi yang mengakibatkan semakin kuatnya rasa pluralisme suatu bangsa itu. Sehingga muncul kemudahan terhadap masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dengan dibantu oleh masyarakat lain sehingga muncul hubungan timbal balik antar sesama masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Kita ketahui Indonesia memiliki beberapa agama, dimana masyarakatnya sendiri memiliki keyakinan yang kuat tentang agamanya masing-masing, selain itu masalah agama dan kepercayaan ini telah di atur dalam UUD 1945 pasal 29, jadi setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban terhadap agama yang diyakininya. Kewajiban dari setiap manusia adalah melaksankan perintah dan syara’ sesuai dengan apa yang mereka yakini, kemudian haknya adalah masyarakat itu harus menghormati dan menghargai apa-apa yang yang diyakini dan dipedomani oleh masyarakat yang memiliki beda keyakinan dengan mereka.
4.      Mewujudkan Nilai-Nilai Pluralisme Berdasarkan Pancasila
Sebagai nilai, pancasila memuat suatu daya tarik bagi manusia untuk diwujudkan, mengandung suatu keharusan untuk dilaksanakan. Nilai merupakan cita-cita yang menjadi motivasi bagi segala sikap, tingkah laku, dan segala manusia yang mendukungnya. Oleh karena itu sikap pluralisme terhadap bangsa sangat diperlukan karena tanpa adanya sikap itu, maka masyarakat hanya mementingkan dirinya sendiri saja kemudian muncul sikap egois dan berkurangnya sikap toleransi serta sikap saling menghargai antar sesama, walaupun itu dalam lingkungan keluarga sendiri.
Setelah memahami nilai-nilai pancasila, sebagai yang harus diwujudkan serta pedoman untuk melaksanakannya, kita masih perlu menata dan menyusun serta mengatur sistem kehidupan bangsa Indonesia bagi terwujudnya nilai-nilai pancasila. Misalnya dalam mengusahakan persatuan bangsa Indonesia, kita perlu menyusun dan mengatur interaksi antar warga Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku, golongan, agama serta budaya. Demikian juga bagaimana mengatur kehidupan beragama agar kebebasan kehidupan beragama bisa terjamin.
Seperti halnya semboyan Negara kita yaitu “ bhineka tunggal ika”, walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Dengan adanya perbedaan itu muncul suatu rancangan baru yang pada akhirnya terbentuklah rasa nasionalisme dan rasa patriotism terhadapa tanah air Indonesia. Usaha-usaha ekstern, yang diharapkan bagi pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bersama bangsa indoneasia.
Bila telah di tangkap atau dipahami serta tampak bernilai bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut akan memberi daya tarik bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkannya. Namun nilai-nilai pancasila tampaknya masih terlalu umum dan abstrak untuk dapat di tangkap oleh bangsa Indonesia pada umunya, maka masih perlu dijabarkan agar mudah di pahami dan tampak bernilai bagi bangsa Indonesia.

G.    Urgensi dan Kebutuhan akan Konseling Multikultural di Indonesia
1.      Memahami Pendidikan Multikultural
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural. 
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia. 
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,  secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". 
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.  Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank,  -salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok. 
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
2.      Urgensi Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif dan integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.      Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
2.      Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
3.      Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
4.      Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka.




















DAFTAR PUSTAKA

1.      Sulasman dan Setia Gumilar (2013). Teori-Teori Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setya., Alo Liliweri. (2003). Dasar-Dasar Komuniukasi Antarbudaya. Jakarta: Pustaka Pelajar
2.      Supadjar, Damardjati (1997). Antropologi Pancasila. Yogyakarta: Pusat Study Pancasila UGM
3.      Ketut Rindjin (2012). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4.      Darmodiharjo, Darji dan Nyoman Dekker (1979). Pokok-Pokok Demokrasi Pancasila. Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya.
5.      Depdiknas (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
6.      Latif, Yudi (2011). Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Akualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
7.      Mungin Eddy Wibowo (2002). Konseling Perkembangan: Paradigma Baru dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pada FIP-UNNES 13 Juli 2002. Semarang: UNNES