KONSEKUENSI MULTIKULTURAL ATAU LINTAS BUDAYA DALAM
KONSELING
KONSEKUENSI MULTIKULTURAL ATAU LINTAS BUDAYA DALAM
KONSELING
A. Shok Budaya
Atau Stres Akulturatif
Shok budaya atau
culture shock diperkenalkan oleh
Oberg (1960) untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi,
frustrasi dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu
lingkungan budaya yang baru. Sementara Funham dan Bochner (1970) mengatakan
bahwa culture shock adalah ketika
seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika
ia mengenalnya maka ia tidak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku
yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Definisi ini menolak penyebutan bahwa culture shock sebagai gangguan yang
sangat kuat dari rutinitas, ego dan self image indvidu.
Dengan demikian
terjadinya culture shock baiasanya
dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini yaitu :
- Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gesture), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
- Putusnya komunikasi antar pribadi baik ada tingkat yang disadari maupun yang tidak disadari yang mengarahkan pada frustrasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.
- Krisis identitas, dengan pergi keluar negeri sesorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang
berbeda. Mungkin ini dapat mengenai individu yang mengalami perpindahan dari
suatu daerah ke daerah yang lainnya di dalam negeri sendiri sampai individu
yang berpindah ke negeri yang lain. Dalam banyak kasus, culture shock akan dialami oleh individu yang hidup di luar negeri
untuk periode waktu yang lama.
Pada awalnya
definisi culture shock cenderung pada
kondisi gangguan mental. Bowlby (1960) menggambarkan kondisi ini sama seperti
dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan sehingga dapat dikaitkan mirip
dengan kondisi seseorag ketika kehilangan orang yang dicintai. Bedanya dalam culture shock individu merasa kehilangan
relasi, objek atau pendeknya kehilangan kulturnya.
Ide culture shock tersebut telah mengarahkan
para peneliti untuk menyamakan dengan model “pseudo
medical”, sehingga untuk menolong orang-orang yang mengalami culture shock tersebut adalah dengan
cara membantunya untuk beradaptasi terhadap kultur yang baru. Ide-ide tentang
teknik beradaptasi terhadap kultur baru ini memunculkan ide tentang bentuk
kurve U. Teori ini berpendapat bahwa orang-orang yang menyeberang pada kultur
lain akan mengalami tiga fase penyesuaian, yakni pada awalnya timbul
kegembiraan dan optimisme, kemudian diikuti oleh frustrasi, depresi dan
kebingungan, dan pada akhirnya muncul keadaan adaptasi atau penyesuaian diri.
Ide ini menyarankan bahwa untuk mencegah culture
shock harus dilakukan transformasi mental dalam pikiran individu, sehingga
model ini menganggap bahwa satu kultur lebih unggul daripada kultur yang lain.
Jika seseorang dapat dibujuk untuk membuang ide-ide lamanya dan beradaptasi
terhadap ide-ide baru, maka semua masalah akan teratsi.
Pada
perkembangan selanjutnya para peneliti mengembangkan ide baru tentang bagaimana
menghadapi culture shock. Kemudian
muncullah model “culture learning”
yang digagas Funham dan Bochner yang mengemukakan bahwa individu hanya
memerlukan untuk belajar dan beradaptasi terhadap sifat-sifat pokok dari
masyarakat baru, sehingga pada saat menyesuaikan terhadap kultur/ budaya baru
tersebut individu belajar bagaimana bertingkah laku dalam budaya baru itu dan
setelahnya akan ada perubahan yang berarti dalam pikirannya.
Funham dan
Bochner menyatakan bahwa untuk dapat menyesuaikan dengan budaya baru, individu
tidak perlu menjadikan budaya baru tersebut sebagai bagian dari dirinya
sehingga seolah-olah ia mengembangkan dua kultur/ budaya.
B. Domain-Domain
Dari Efektivitas Hubungan Antarbudaya
Para ahli telah mengajukan daftar
secara beragam tentang ciri psikologis yang di anggap penting dalam menunjang
kesuksesan adaptasi dalam hubungan antar budaya. Tetapi akhir-akhir ini, Hammer
(1987) telah memadukan telaah yang berbeda itu dan menyimpulkan ada tiga domain
ketrampilan dasar yang terlibat dalam kehidupan antar budaya yang efektif,
yaitu:
1.
Memfokuskan pada intrapsikis dan melibatkan kemampuan
untuk mentoleransi dan mengelola stress yang muncul dalam penampungan pada
lingkungan fisik dan sosial yang baru.
2.
Domain ketrampilan yang melibatkan kemampuan untuk
memantapkan dan memelihara hubungan dengan orang asing dari kebudayaan lain.
3.
Ketrampilan komunikasi yang efektif, seperti kemampuan
untuk menyesuikan dengan kesalahan komunikasi, untuk memahami sudut pandang
orang lain, dsb.
Domain-domain
tersebut antara yang satu dengan yang lainnya saling independen dan memerlukan
kemampuan psikologis yang berbeda. Domain-domain tersebut berakar pada budaya
secara umum dan dapat diterapkan dari latar belakang budaya mana saja baik oleh
pendatang maupun tuan rumah.
1.
Studi Tentang Hasil / Akibat Dari Kontak Antar Budaya
Hipotesis kontak menyatakan bahwa
interaksi antar anggota kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka dan
permusuhan antar kelompok. Tetapi hasil penelitian selanjutnya secara progresif
mempersempit rentangan keadaan yang memungkinkan anggapan ini terjadi. Bahkan
kontak juga belum tentu memajukan hubungan interpersonal (Stoebe, Lenkert, dan
Jones, 1988). Pada tingkat interpersonal, hasil penelitian terdapat secara
menyebar dalam tipe-tipe kontak yang berbeda. Misal penelitian Furnham dan
Bochner (1986) menyimpulkan bahwa para pelajar asing tidak memiliki satupun
sahabat karib dari tuan rumah, bahkan setelah bertahun-tahun bermukin di tempat
itu, sehingga secara sosial sangat terisolasi dari masyarakat tuan rumah.
Triandis juga menemukan penghentian
terlalu awal pada para eksekutif Amerika yang di tugaskan ke luar negri antara
25 sampai 40%. Temuan yang lain menunjukkan perceraian lebih banyak terjadi
pada perkawinan antar budaya daripada perkawinan dari budaya yang sama.
Penelitian pada perilaku menolong menunjukkan bahwa orang (lain) sebangsa lebih
banyak mendapatkan pertolongan daripada orang asing. Dapat disimpulkan bahwa
hubungan lintas budaya lebih sulit dikelola daripada hubungan dalam budaya yang
sama (monokultur). Meskipun demikian, para ahli mengemukakan beberapa prediktor
spesifik yang menentukan keberhasilan dalam hubungan antar budaya, yaitu:
a.
Prediktor Kultur
Orang yang
terisolasi dalam budaya yang secara eksklusif kolektif akan lebih menderita
ketika berada dalam kultur laindaripada mereka yang terisolasikan pada budaya
yang cenderung mengarahkan pada pengembangan diri (self-direction)dan luwes interaksinya. Prediksi lain menyatakan
bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke suatu negara/bangsa lain yang
memilki perbedaan budaya yang sangat banyak akan lebih banyak mengalami
kesulitan.
b.
Prediktor Demografi
Kelompok
yang berasal dari status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan serta status
pekerjaan yang lebih tinggi memiliki sikap yang positif terhadap kelompok yang
berlainan budaya. Demikin pula, kelompok dari status budaya yang lebih tinggi
mempunyai sikap antar budaya yang lebih positif.
2.
Pengaruh-pengaruh sosial
Stephen
(1985) mengajukan 13 ciri/faktor sosial yang dapat meningkatkan keharmonisan
antar kelompok, yaitu:
a.
Kerjasama dalam kelompok harus dimaksimalkan dan
kompetisi antara dua kelompok harus diminimalkan.
b.
Anggota-anggota kelompok yang melakukan kontak (baik
dalam maupun antar kelompok) harus memiliki status yang sama.
c.
Kesamaan dimensi non-status dari anggota kelompok
(keyakinan, nilai, dan sebaginya) diperlukan.
d.
Perbedaan dalam kompetensi harus dihindarkan.
e.
Hasil/akibatnya harus positif.
f.
Dukungan normatif dan institusional yang kuat terhadap
kontak yang dilakukan harus ada.
g.
Kontak antar kelompok harus memiliki potensi untuk
berkembang dalam waktu segera.
h.
Individuasi anggota kelompok harus ditingkatkan.
i.
Kontak non-superfisial (mendalam) harus ditingkatkan.
j.
Kontak harus bersifat suka rela.
k.
Efek-efek positif berhubungan dengan lamanya kontak.
l.
Kontak harus terjadi dalam bermacam-macam konteks
dengan berbagai anggota kelompok (baik in-group
maupun out group).
m. Jumlah
anggota (in group dan out group) harus sama.
3.
Faktor-faktor Kepribadian
Ward dan
Kennedy melakukan pendekatan melalui pembedaan dua bentuk adaptasi. Yang
pertama, yaitu adaptasi psikologis yang menunjukkan kemampuan intrapsikis untuk
menghadapi lingkungan baru yang dikehendaki. Yang kedua, yaitu adaptasi
sosiokultural yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan negosiasi interaksi
dengan anggota-anggota budaya tuan rumah yang baru.
Adaptasi
psikologis dipengaruhi oleh pusat kendali internal, beberapa perubahan
kehidupan, kontak dengan teman sebangsa yang lebih banyak untuk mendapatkan
dukungan sosial, dan kesulitan yang lebih rendah dalam mengelola kontak sosial
sehari-hari. Sedangkan adaptasi sosiokultural meningkat dengan adanya tingkat
perbedaan yang lebih rendah antara budaya tuan rumah dan pendatang, interaksi
yang lebih banyak dengan tuan rumah, ekstroversi, dan tingkat gangguan mood
yang lebih rendah.
4.
Ketrampilan-ketrampilan (skills)
Argyle
(1979) telah mengidentifikasikan tujuh ketrampilan sosial(social skills) yang dapat dikembangkan pada orang-orang, mencakup
perspective taking, ekspresi, percakapan, assertiveness,
emosionalitas, kontrol kecemasan, dan afiliasi. Sementara Berry dan Kim
(1988) mencoba menemukan factor budaya dan psikologis yeng menentukanhubungan
kontak antar budaya dengan kesehatan mental. Menurut mereka, akulturasi atau
kontak antar budaya kadang meningkatkan
peluang hidup seseorang dan kesehatan mental, kadang-kadang merusak kemampuan
seseorang untuk menghadapinya atau terjadinya stress akulturatif / culture shock. Konsepsi ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Fakor-faktor yang memerantarai hubungan antara
akulturasi dan stress
|
Ø Modus
akulturasi : Integrasi, asimiliasi, Separasi, Marjinalisasi
Ø Fase
akulturasi : Kontak, konflik, krisis, adaptasi
Ø Kebaradaan
masyarakat yang lebih luas : Multikultural lawan asimilasionist, Prasangka
dan diskkriminasi
Ø Ciri-ciri
kelompok yang berakulturasi : Usia, status, dukungan sosial
Ø Ciri-ciri
individu yang berakulturasi : Penilaian, pengatasan, sikap, kontak
|
5.
Kehilangan Budaya?
Pada tingkat individual, kehilangan
identitas budaya bisa terjadi karena adanya kontak antar budaya. Namun, tidak
semua kontak akan menyebabkan kehilangan akar budaya. Menurut Rosenthal dan
Feldman (1992) identitas etnis merupakan suatu konsep yang multidimensional,
yaitu meliputi :
a.
Evaluasi diri yang subjektif (sejauh mana orang
menggambarkan diri melalui label etnis ?)
b.
Makna evaluative terhadap makna keanggotaan seseorang
pada suatu kelompok etnis (positif /
negatif)
c.
Praktik-praktik budaya dari kelompok yang dimiliki
seseorang (pilihan persahabatan,
penggunaan bahasa, kesukaan makanan dsb.)
d.
Pentingnya kelekatan pada praktik-praktik ini
Apabila aspek-aspek identitas tersebut tidak
berkorelasi tinggi, maka kontak budaya hanya akan berpengaruh pada aspek-aspek
tertentu saja dari etnis tersebut.
6.
Penambahan Budaya?
Kemungkinan yang lebih diharapkan
dalam kontak antar budaya pada tingkat kelompok adalah adanya integrasi. Hal
ini terjadi ketika kelompok-kelompok yang berbeda mempertahankan identitas
budayanya dalam beberapa hal, tetapi memunculkan penghargaan yang lain pada aspek-aspek
yang mengatasnamakan kelompok. (Bochner 1982). Integrasi ini adapat terjadi
dalam konteks pekerjaan dan politik yang disokong oleh “ sikap-sikap
akulturasi”, yaitu : a) memelihara hubungan dengan kelompok lain, b)
mempertahankan identitas dan karakteristik budaya yang dimilikinya.
Sementara pada tingkat personal atau
pribadi, respon terhadap suatu konteks sosial integrative merupakan seperangkat
sikap terbuka yang memungkinkan seseorang untuk menyeleksi, mengkombinasi, dan
mensintesiskan ciri-ciri yang pantas atau layak dari suatu system sosial yang
berbeda tanpa kehilangan inti budayanya. Ia tidak chauvinistic tentang kebudayaannya sendiri, tetapi menyadari
sepenuhnya kekuatan dari tiap kelompok budaya yang bermacam-macam yang ia
hubungi.
C. Bias Budaya
Dan Teori-Teori Konseling
Di dalam proses konseling, konselor maupun klien membawa serta
karakteristik-karakteristik psikologisnya, seperti kecerdasan, bakat, sikap,
motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Di Indonesia
kebanyakan hanya berfokus pada masalah psikologis tersebut tanpa memperhatikan
unsur budaya yang dibawa oleh konselor maupun klien dimana hal tersebut sangat
berpengaruh dalam membentuk perilaku dan menentukan efektivitas proses
konseling (Bolton-Brownlee, 1987).
Etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma,
kebiasaan, bahasa verbal maupun non verbal serta bias-bias budaya berpengaruh
dalam menentukan perilaku klien maupun konselor. Hal tersebut dapat diasumsikan
bahwa semakin banyak kesesuaian antara konselor dengan klien dalam hal-hal
tersebut maka akan semakin besar kemungkinan konseling untuk dapat berjalan
dengan efektif dan efisien.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, seorang konselor harus memahami
dirinya sendiri termasuk bias-bias budaya yang ada pada dirinya. Kemampuan
konselor untuk memahami dirinya merupakan titik awal kemampuan konselor untuk
memahami dan membantu orang lain. Pemahaman konselor terhadap klien harus
secara menyeluruh meliputi bias-bias budaya yang telah dikemukakan sebelumnya.
Apabila konselor berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dengan klien
maka konselor harus secara sadar dan cepat untuk melakukan penyesuaian agar
respon-respon lebih efektif.
Apa yang dikemukakan diatas berkenaan dengan aspek yang memang sangat
sentral dalam konseling, yaitu keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh
klien. Dalam hal ini, teori konseling yang dianggap telah mapan dan diterima
luas seklaipun tetap mengandung bias-bias budaya. Nathan Deen (1985) memberikan
contoh model konseling Client centered dari Carl Rogers
mengandung bias budaya apabila diterapkan kepada semua orang tanpa kecuali.
Konseling ini mengandalkan kemampuan klien untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya secara verbal dan artikulatif yang dengan itu hubungan konseling
dibangun.
Berdasarkan penelitian di Negara-negara Barat sekalipun, kemampuan
tersebut tidak dimiliki oleh semua orang dari semua strata sosial. Oleh karena
itu dalam konteks persekolahan, Deen mengemukakan bahwa untuk menjadi seorang
penolong yang baik, suatu hal yang fundamental bahwasanya konselor perlu
mengembangkan pemahaman yang empatik terhadap norma dan nilai dibalik
pertanyaan helpee (orang yang membutuhkan pertolongan). Oleh karena itu, budaya
empati memiliki arti penting bagi konselor yang bekerja di sekolah yang
multicultural. Dari hasil penelitian Harrison (Athinson, 1985: 193) diketahui
bahwa konseli / klien cenderung lebih menyukai konselor dari ras yang sama. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ras dan etnis merupakan identitas dasar yang secara
tidak disadari mengikat individu-individu dalam kelompok etnis/ras yang
bersangkutan diamana menurut Jung disebut dengan ketidaksadaran kolektif.
Efektifitas proses konseling juga dipengaruhi oleh sifat-sifat
psikologis yang terkait dengan latar belakang etnik/budaya konselor. Dipandang
dari persepektif lintas budaya, situasi konseling adalah sebuah perjumpaan
kultural antara konselor dengan klien. Dalam proses konseling terjadi proses
belajar ternferensi dan counter-transferensi, dan saling menilai. Pada
keduanya, juga terjadi saling meneraik inferensi. Bukan hanya konselor yang
menarik inferensi tetapi klien juga melakukannya. Dalam inferensi terdapat
beberapa kemungkinan yang terjadi yaitu : “AKU seperti yang AKU persepsikan” vs
“AKU seperti yang ENGKAU persepsikan”; dan “ENGKAU seperti yang ENGKAU
persepsikan” vs “ENGKAU seperti yang AKU persepsikan”.
Dari segi konselor, ketepatan inferensi tergantung pada kemampuan
pemahaman secara utuh terhadap diri klien. Sedangkan dari segi klien, ketepatan
inferensi merujuk pada pole-pole perilaku yang dimiliki sebelumnya. Masalah
akan timbul ketika terdapat inkongruensi antara persepsi dengan nilai-nilai
yang menjadi referensi kedua belah pihak, dan sumber terjadinya distorsi yang
sangat besar adalah ketidak pekaan konselor terhadap latar belakang budaya
klien.
D. Stereotipe,
Prasangka, Dan Rasisme Dalam Konseling
E. Kendala
Dalam Konseling Multikultural
F. Isu-Isu
Dalam Konseling Multikultural
G. Meningkatkan
Kontak Antarbudaya Dalam Konseling
1. Pertimbangan-pertimbangan
organisasional
Faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi sesorang bekerja lebih
efektif melalui garis lintas budaya adalah sebagai berikut :
a. Suatu kebijakan organisasi yang secara
eksplisit mendukung pluralisme kultural.
b. Manajemen puncak yang menyokong dan
menjadi model (contoh) akomodasi budaya
c. Adanya rekan-rekan dari budaya yang sama
bagi pendatang baru di dalam atau di luar kerja yang dapat memberikan dukungan
social
d. Perhatian terhadap factor-faktor yang
penting dalam penyesuaian pasangan, seperti berkonsultasi dengan mereka sebelum
penugasan
e. Pelatihan dalam menggunakan bahsa secara
efektif yang bisa digunakan dalam organisasi baik bagi penutur asli ( naratif
speaker) maupun tidak.
f. Pelatihan secara mendalam pada budaya baru
sebelum pemberangkatan seperti sifat-sifat atau kebiasaan lingkungan baru
g. Adanya mediator kultural in-house untuk
memberikan saran-saran dan konsultasi kepada pendatang baru mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan penyesuaian kultural
h. Penggunaan kriteria untuk evaluasi kinerja
yang mencakup aspek-aspek efektifitas lintas budaya seperti kemampuan untuk
mengatasi kesalah pahaman
i.
Pertimbangan
problem pulang kembali seseorang setelah menjalani tugas di luar negeri,
terutama memberikan jaminan bahwa tugas tersebut cocok bagi perkembangan karir
pada masa mendatang.
2. Seleksi
Personil
Dalam seleksi personel, akan lebih bijaksana apabila mempertimbangkan
juga latar belakang budaya yang hampir sama dengan budaya tuan rumah,
menggunakan beberapa skema seperti pemetaan nilai-nilai untuk memasangkan
budaya pendatang dan budaya local. Skill yang relevan secara kultural, seperti
bahasa atau pengetahuan tentang sejarah dan literatur budaya tuan rumah perlu
dipertimbangkan juga. Akhirnya catatan keberhasilan lintas budaya sebelumnya
sangat diperlukan bagi tugas-tugas yang akan datang.
3. Program
Pelatihan Lintas Budaya
Tujuan utama dari program pelatihan
lintas budaya adalah untuk memberikan skill dan strategi yang akan membantu
mereka yang akan di tugaskan ke luar negri melalui proses penyesuaian. Tujuan lainnya
adalah memberi informasi factual tentang hal-hal pokok atau spesifik dari
kultur yang akan di datanginya, mengembangkan skill untuk negosiasi dan
interaksi antar kultur dan mempelajari tentang kulturnya dan persepsi yang
telah terbentuk sebelumnya tentang orang lain. Program pelatihan apa yang akan
diberikan sebenarnya tergantung dengan kebutuhan-kebutuhan individual, misalnya
berapa lama orang akan tinggal ke luar negri atau sejauhmana kesamaan budaya
asalnya dengan budaya tuan rumahnya, dsb.
Rosalie Tung sesudah melakukan
survey terhadap para manager di Eropa, Jepang, dan Amerika menemukan ada 5 tipe
program pelatihan antar budaya, yaitu:
a.
Area studies
program (program studi wilayah) meliputi pemberian informasi factual tentang
lingkungan dan lokasi negara tuan rumah seprti geografi, iklim, perumahan dan
sekolah (environmental briefings) serta
orientasi budaya yang meliputi institusi budaya dan sistem nilai dari negara
tuan rumah kepada mereka yang akan ditugaskan ke luar negri dan keluarga.
b.
Cultural assimilator
(assimilator
budaya) menggunakan pendekatan belajar yang terprogram yang didesain untuk
memberikan pengalaman-pengalaman antar budaya (biasanya
permasalahan-permasalahan dalam hubungan dengan budaya lain) kepada mereka yang
akan ditugaskan ke luar negri dengan mengekspos beberapa konsep-konsep dasar,
sikap-sikap, persepsi, peranan, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai dari
budaya lain.
c.
Language
training (pelatihan bahasa) memberikan pelajaran bagaimana berbicara, membaca dan
menulis dengan bahasa tuan rumah.
d.
Sensitivity
trainina (pelatihan kepekaan) didesain untuk mengembangkan sikap fleksibilitas
dengan memfokuskan pada belajar tingkat afektif dan dengan penghayatan seksama
yang selanjutnya akan diikuti oleh tahap dimana individu menjadi sadar dan
menerima perbedaan perilaku dan sistem nilai dari tuan rumah.
e.
Field
experience (pengalaman lapangan) mencakup perjalanan singkat ke
lokasi tuan rumah atau suatu omicro culture lokal sehingga mereka akan
mendapatkan pengalaman secara langsung tentang kultur baru itu sebelum mereka
di tugaskan ke luar negri. Temuan-temuan atau permasalahan-permasalahn yang
dialaminya secara langsung dari kehidupannya dan bekerja dengan orang-orang
dari budaya yang berbeda itu akan memberikan kerangka acuan untuk diterapkan
selama mereka bertugas ke luar negeri.
H. Perlunya
Konselor Peka Budaya Dalam Konseling
Perhatian terhadap perlunya konseling
untuk secara sengaja memperhitungkan aspek-aspek budaya merupakan hal-hal yang
relative baru (Pedersen, 1986). Hal tersebut menunjukkan perlunya konselor
untuk memiliki kepekaan budaya atau biasa disebut dengan konselor peka budaya
untuk dapat memahami dan membantu klien. Konselor yang demikian adalah konselor
yang menyadari benar bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang
unik dan membawa serta karakteristik
tersebut ke dalam proses konseling. Dengan kesadaran budaya ini maka konselor
akan terhindar dari kecenderungan untuk memukul rata semua individu yang
ditanganinya dimana notabene berasal dari lingkungan sosial budaya yang
berbeda. Dalam menerapkan teknik-teknik konseling, konselor peka budaya akan
secara kritis menguji manakah teknik-teknik konseling yang cocok terhadap suatu
budaya “Culturally unique and universally
applicable” . Ia juga selalu berusaha menghindar dari perangkap “Counseling
as usual” yang didasari sikap tidak peka budaya.
Untuk memiliki kepekaan budaya, konselor
dituntuk untuk mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya di luar
budayanya sendiri utamanya budaya kliennya. Namun, hal tersebut bukan berarti
konselor harus memahami semua budaya. Untuk menjadi sadar akan berbagai nilai
dan pola perilaku masyarakat dan individu yaitu belajar sebanyak mungkin
tentang kelompok-kelompok tertentu yang merupakan klien mereka. (Klineberg,
1985). Pendapat tersebut bermakna bahwa yang diperlukan bagi seorang konselor
yaitu belajar sebanyak mungkin tentang klien-kliennya termasuk budaya yang
dianutnya.
Usaha untuk menumbuhkan kepekaan budaya
pada konselor bukanlah sesuatu yang mudah. Di samping bias-bias budaya yang
telah diuraikan sebelumnya adalah masih kuatnya asumsi atau kepercayaan bahwa
pengalaman yang secara kultural berakar pada budaya pengamat (observer) dianggap sebagai pegangan dalam memahami apa
yang berlaku secara universal. Penfsiran perilaku klien dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang berlaku di luar konteks budayanya akan menjadi pangkal
kesulitan dalam membangun relasi konseling yang efektif. Hal itu biasa disebut
dengan enkapsulasi konselor.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan
enkapsulasi konselor, yaitu : pertama,
konselor mendefinisikan realitas berdasarkan suatu perangkat asumsi
monokultural dan stereotype yang kemudian dianggap lebih penting dari apa yang
sebenarnya ada dalam kenyataan. Kedua,
adanya ketidak pekaan terhadap keragaman budaya individu dan secara tidak
disadari konselor berasumsi bahwa pandangannya terhadap realitas mencerminkan
realitas yang sebenarnya (padahal tidak selalu). Ketiga, konselor dan siapapun yang bergerak dalam profesi bantuan
diliputi asumsi untuk menerima pandangan terhadap realitas tanpa pengujian
terlebih dahulu. Keempat,
teknik-teknik konseling yang sangat kuat berorientasi pada pemecahan masalah
turut melenggangkan terjadinya enkapsulasi pada konselor.
Fenomena ketidakpekaan budaya tersebut
sebenarnya berakar pada proses pendidikan calon konselor. Di banyak negara
(termasuk Indonesia), kurikulum pendidikan konselor tidak memberikan perhatian
yang selayaknya terhadap pengenalan budaya para calon konselor dan semikian
juga dalam praktik-praktik yang dijalaninya.
DAFTAR PUSTAKA
Tri
Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004). Psikologi
Lintas Budaya. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang).
Anak Agung
Ngurah Adhiputra (2013). Konseling Lintas
Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
If you're attempting to lose fat then you need to start using this brand new custom keto diet.
BalasHapusTo create this keto diet service, licenced nutritionists, personal trainers, and professional cooks joined together to develop keto meal plans that are efficient, suitable, price-efficient, and delightful.
Since their grand opening in early 2019, 1000's of individuals have already completely transformed their body and health with the benefits a good keto diet can offer.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones offered by the keto diet.