PRINSIP –PRINSIP
KONSELING DAN TERAPI MULTIKULTUR
Budaya
menyembunyikan lebih dari yang diungkapkan dan anehnya dari apa yang disembunyikan,
budaya menyembunyikan paling efektif dari pengikutnya sendiri. Bertahun-tahun
studi telah meyakinkan saya bahwa pekerjaan sesungguhnyabukanlah memahami
budaya asing tetapi memahami budaya kita sendiri.
—Edward T. Hall, TheSilence Language
Memberikan
saran dan bimbingan kepada penderita bingung dan tidak tahu arah, mendukung
secara emosional, sosial, dan spiritual, dan berusaha menyembuhkan orang-orang yang
hancur dalamjiwa, pikiran, dan tubuh adalah upaya manusia selama ribuan tahun.
Selama bertahun-tahun, berbagai macam penyembuh dan konselor seperti dukun,
tabib pria dan wanita, dokter, herbalis, imam, biksuni, biarawan, biarawati,
pastor pengakuan dosa, pengusir setan, ahli hipnotis, ahli frenologi (ilmu tentang
kepribadian seseorang melalui bentuk tengkoraknya), paranormal penyembuh,
peramal, astrolog, dan, baru-baru ini, psikolog,psikiater, pekerja sosial,
konselor, dan psikoterapis telah menawarkan layanan kepada mereka yang
membutuhkan bantuan. Di masa lalu, para penyembuh dan penderita sering berbagi
pandangan umum yang membantu mendukung harapan bersama tentang sifat ikatan
mereka, makna penting upaya-upaya penyembuhan dan konseling, serta sarana dan
tujuan akhir dari upaya mereka.Namun sekarang, persoalannya upaya ini lama-lama
makin berkurang.
Karena banyak masyarakat terus bersifat
lebih beragam,multikultural, dan kompleks, mereka membutuhkan konselor,
psikoterapis, pekerja sosial, dan penyembuh yang mampu berinteraksi secara
efektif dengan klien dari berbagai macam latar belakang budaya, etnis, sosial,
politik, dan agama. Para spesialis kesehatan mental saat ini sering diminta
untuk mengkonselingpara anggota dari berbagai subkultur dan kelompok minoritas,
imigran,pengungsi, mahasiswa asing, anggota yang lebih beragam dari budaya
mayoritas, dan orang-orang bikultural/multikultural yang dapat membawa berbagai
pengalaman hidup dan keyakinan budaya yang membingungkan ke dalam pertemuan
terapi yang kadang-kadang sama sekali berbeda dari pengalaman hidup dan
keyakinan budaya para terapis.
Situasi ini membutuhkan jenis “mobilitas
psikokultural”khusus dari para spesialis kesehatan mentalyang tidak hanya harus
mampu berpikir dalam berbagai perspektif kognitif, sosial budaya, dan teoritis,
tetapi juga harus memperoleh kemampuan untuk memutuskan perspektif mana yang
paling tepat untuk situasi yang mana. Pengetahuan diri serta pengetahuan
tentang budaya lain, sikap positif terhadap pengalaman baru, keterampilan
multilinguistik, dan kemampuan untuk memahami masalah manusia secara umum dan
dilema di balik pakaian budaya yang tampaknya eksotis dari beberapa klien
seseorang semuanya adalah karakteristik konselor-terapis multikultural yang
baik. Kemampuan-kemampuan ini harus disertai dengan perasaan belas kasih dengan
orang-orang yang tertindas dan kesepian, cemas, sedih, marah, dan bingung,serta
kemampuan untuk berkomunikasi, dan menentramkan, klien-klien dengan
karakteristik yang berbeda fisik, kepribadian, sistem kepercayaan, dan
pengalaman hidup. Seorang terapis multikultural yang baik yang secara mental
fleksibel, menjauhkan keyakinan etnosentris dalam keunggulan yang unik dari
budaya, agama, dan gaya hidupnya, mampu melihat budayanya “dalam (multi)perspektif,”memahami
beberapa harapan dan keraguan klien yang tak terucapkan, dan juga pengalaman
dan menunjukkan kehangatan dan perhatian kepada berbagai macam orang.
Singkatnya, terapis harus mampu menganut pepatah lama “Tidak ada manusia yang asing
bagi saya,” meskipun sebenarnya, tidak ada orang yang sepenuhnya dapat hidup
menurut teladan yang tersirat dalam pepatah ini.
Mengingat tuntutan yang kompleks, buku
kami dirancang untuk membiasakan para profesional kesehatan mental dan mahasiswa
mereka dengan pemikiran ilmiah sosial terbaru tentang peran budaya dalam
konteks intervensi terapeutik dan konseling yang lebih luas. Selain itu, karena
globalisasi adalah kecenderungan yang meresap pada zaman kita, kita percaya
bahwa perspektif global yang menganggap kelompok minoritas Amerika serta arus
budaya internasional akan terbukti sangat membantu dalam berpraktik terapi dan
konseling multikultural. Tentu saja, membaca buku tidak dapat menggantikan
penyelaman konselor sesungguhnya ke dalam budaya dan bahasa asing, tetapi ini bisa
mengasah kepekaannya dan memperluas cakrawala budayanya.Namun demikian,
beberapa konselor dan terapis Barat pernah mengamati manifestasi keputusasaan seorang
pemuda IndianSalish di Kanada atau pengalaman kompleks wanita-wanita modern berpendidikan
yang berjalan di balik kerudung melewati jalan-jalan di Kuwait City.Membaca
buku ini tidak bisa menggantikan pengalaman aktual, tetapi dapat memberikan
pengenalan reflektif untuk berbagai situasi manusia dan pertemuan terapi.
Konsep Budaya
Dalam
ilmu-ilmu sosial modern, konsep budaya telah sering digunakan sebagai istilah utama
untukmenyebut bagian dari lingkungan yang telah dibuat oleh manusia.Budaya secara
simultan bersifat fisik, perilaku, dan mental, dan ada baik di luar maupun di
dalam diri kita.Menurut pernyataan antropolog Kroeber dan Kluckhohn (1952),
Budaya
terdiri dari pola, eksplisit dan implisit, dari dan untuk perilaku yang
diperoleh dan ditularkan oleh simbol-simbol, yang merupakan prestasi khusus kelompok
manusia, termasuk perwujudannya dalam artefak-artefak; inti penting dari budaya
terdiri dari ide-ide tradisional dan terutama nilai-nilainya yang melekat; di
satu sisi, sistem budaya dapat dianggap sebagai hasil dari tindakan, di sisi
lain sebagai elemen pengaturan dari tindakan lebih lanjut. (hal. 181)
Budaya terdiri dari sistem-sistem kompleks
yang fungsional namun kadang-kadang bertentangan yang terdiri dari harapan yang
berpola sosial; peran sosial yang terkoordinasi;urutan tindakan yang tercatat; narasi
yang menyenangkan secara historis, jelas, dan emosional; sistem komunikasi
verbal dan nonverbal; dan nilai-nilai, norma, sikap, gambaran, metafora, dan
tujuan yang sama. Secara bersama-sama, semua itu membantu para anggota
masyarakat untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan hidup dan, lebih
umum, untuk bertahan hidup.Oleh karena itu, sistem penyembuhan telah berkembang
di mana-mana untuk menolong individu mengatasi tekanan fisik dan emosional
dalam membantu adaptasi dan kelangsungan hidup. Seperti yang ditunjukkan Sussman
dalam buku ini, sejumlahkomponen yang sama dapat dilihat dalam sistem penyembuhan
dan medis di seluruh dunia, meskipun keragaman keyakinan dan praktik medis
tertentu banyak ditemukan di seluruh dunia. Komponen-komponen itu termasuk
sistem klasifikasi penyakit, keyakinan etiologis, praktik pengobatan, harapan
tentang penyakit dan hasil pengobatan, spesialis penyembuhan yang ditunjuk,
norma-norma terkaitdengan mencari pengobatan dan manajemen penyakit, dan
norma-norma mengenai konsultasi dengan spesialis penyembuhan.Daftar ini dapat
diperluas untuk mencakup sistem-sistem penyembuhan yang berhubungan dengan
individu yang mungkin secara fisik sakit, secara mental-perilaku “sakit”, atau secara
spiritual “sakit” atau yang menunjukkan beberapa kombinasi keluhan ini. Dalam
masyarakat modern, sistem kesehatan mental telah sebagian menyimpang dari
sistem medis, walaupun banyak kesamaan dan banyak tumpang tindih ada di
antaranya.
Bab Sussman juga mengingatkan kita bahwa
antropolog telah membahas konsep budaya untuk jangka waktu yang lebih lama
daripada psikolog.Antropolog cenderung mendukung konsepsi budaya yang lebih
kompleks dan diinformasikan secara lintas-budaya daripada banyak terapis dan
konselor yang hanya selama beberapa dekade terakhir mulai kritis memeriksa
dampak budaya yang meresap pada kegiatan profesional mereka. Akibatnya,
spesialis kesehatan mental harus belajar dari antropolog budaya dan medis untuk
membentuk perspektif yang lebih luas dan mengurangi bahaya visi terobosan profesional
(lihat juga dua bab oleh Fish dalam hal ini).
Penting sekali untuk menjelaskan bahwa
khususnya dalam masyarakat multikultural modern, individu hanya menghayati
aspek-aspek yang dipilih dari banyak budaya yang mengelilingi mereka.Selain
itu, individu dapat menjadi anggota beberapa budaya dan subkultur sekaligus.
Seorang mahasiswa Amerika Tionghoa yang lahir di Kota New York, misalnya, dapat
berbicara bahasa Kanton dengan orangtuanya, bahasa Inggris dengan guru-gurunya,
dan Kanton atau Mandarin “China-Inggris” dengan beberapa temannyawalaupun dia
mungkin hanya dapat mengenali beberapa huruf China.Dia mungkin telah menghayati
beberapa aspek kepercayaan China tentang pentingnya hsiao atau “hao” (berbaktikepada orangtua) namun juga dapat
mendukung keyakinan yang tampaknya bertentangan mengenai keinginan otonomi
perilaku dan emosional sebagai seorang remaja. Hal yang terakhir ini mungkin
akan mencerminkan pengaruh gabungan dari banyak temannya, media massa, dan
bahkan buku teks psikologi perkembangan. Dia mungkin membenci beberapa tekanan
eksternal dan internal yang datang dengan menjadi anggota dari “model
minoritas” keberhasilan tinggi namun secara diam-diam bangga akan hal itu.
Mungkin dia sangat menghargai warisan China-nya namun menolak berbagai aspeknyakarena
kuno, tidak adil, ketinggalan zaman, atau semata-mata tidak relevan.Sama halnya,
ia mungkin telah menghayati—entah disadari atau tidak—banyak aspek budaya khas Amerika
tetapi menolak yang lain. Seandainya ia harus memilih untuk memasuki terapi,
ada kemungkinan identitas bikulturalnya dan perasaan kompleksnya tentang hal
itu akan menjadi fokus penting dari diskusi. Namun demikian, tidak ada yang
sederhana tentang identitas bikultural sepertinya, yang sekaligusdapat membingungkan,
memperkaya, menghambat, dan membebaskan.
Kemungkinan konselor-terapis China bikultural
secara intuitif akanmengenali beberapa kompleksitas dan perasaan ambivalen ini tetapi
seorang spesialis kesehatan mental non-Asia Timur monokultural, akan mendapati
sulit untuk sepenuhnya memasuki kerangka pikirannya. Konseling dan terapimultikultural
bukanlah untuk mereka yang lemah hati: Mereka menuntut semua persyaratan keterampilan
dan emosional yang melekat dalam profesi kesehatan mental, ditambah pula lapisan
tambahan kompleksitas yang berkaitan dengan harapan budaya yang sangat beragam,
pengalaman, mode komunikasi, dan cara-cara hidup di dunia.
Pendapat tentang “budaya yang diinternalisasi”
menggarisbawahi bahwa individu bukanlah salinan dari masyarakat sekitar
mereka.Sementara mereka dipengaruhi secara meluas oleh hal itu, kepribadian,
pola perilaku, pikiran, emosi, dan identitas mereka merefleksikan
pengaruh-pengaruh biologis, psikologis, dan sosial budaya secara simultan
(Hirsch, buku ini). Apalagi, banyak orang akan percaya bahwa makhluk dan
kekuatan gaib daripada anggota kelompok mereka yang kasat mata telah
menciptakan dan/atau bertanggung jawab atas tubuh, pikiran, dan jiwa mereka (misalnya,
Jilek & Draguns; Sussman, keduanya dalam buku ini). Yang lain akan
menampilkan gejala-gejala fisik yang memiliki substratum fisik yang mendasari namun
mempunyai signifikansi.
Sepertiditunjukkan dalam kutipan oleh
Edward Hall pada awal bab ini, budaya banyak bekerja di luar lingkup kesadaran
kita. Kita yang paling mungkin menjadi sadar akan asumsi budaya kita ketika budaya
itu dilanggar atau ketika kita terjun ke dalamlingkungan budaya yang berbeda
dari yang lazim kita kenal. Kesadaran budaya berkembang pesat pada berbagai perbandingan
budaya dan kontradiksi yang memancing emosi. Namun, beragam norma budaya yang
ada di seluruh dunia tidak mewajibkan kita untuk menerima relativisme budaya
secara keseluruhan (Kuriansky, buku ini; Tanaka-Matsumi, buku ini). Dalam
situasi konseling, misalnya, konselor dan klien dapat berbagi berbagai
perspektif dan keyakinan, namun pertemuan mereka masih dapat meleset oleh karena
perbedaan yang tampaknya kecil dalam harapan perilaku.Ada kearifan dalam
komentar dari pepatah petani Vermont yang menyatakan, “Orang-orang sebagian
besar sama, tetapi apa perbedaan yang ada, adalah sangat penting.”
Para ilmuwan sosial yang membahas
variabilitas lintas-budaya dari perilaku manusia telah mengadopsi berbagai
pendapat teoritis.Relativisme budaya seperti yang ditekankan Fish (buku ini)
bahwa berbagai variasi keyakinan dan perilaku dapat diamati di seluruh masyarakat.
Sebaliknya, para universalis lebih berfokus dengan menemukan proses-proses
psikologis yang samadi bawah perilaku yang berpola secara kultural. Para ahli
psikoanalisis seperti Rubin (buku ini) mendalilkan bahwa pola-pola kepribadian
tertentu, mekanisme pertahanan ego, proses berpikir, dan motif-motif dasar
dapat ditemukan di seluruh dunia. Dalam buku ini, baik para relativis dan
universalis diberi suara untuk sepenuhnya mewakili berbagai pendapat mengenai
isu sentral ini. Dengan kata lain, para kontributor padabuku ini berkaitan
dengan proses-proses psikologis universal yang konon mendasari bentuk-bentuk
intervensi yang tampil cukup berbeda dan juga beberapa dari lebih banyak
manifestasi budaya khusus dari penyembuhan dan konseling.
Para peneliti lintas-budaya lainnya
telah berfokus pada sejumlah dimensi nilai yang bersamanya budaya dan subkultur
dapat diurutkan. Ini termasuk lima dimensi nilai Hofstede (lihat Draguns, buku
ini) serta “dimensi konteks” penting yang membedakan antara kutubbudaya konteks
tinggi (misalnya, budaya kota kecil Jepang tradisional) dan budaya konteks
rendah (misalnya, budaya Amerika modern, terutama di dalam atau di sekitar
pusat-pusat kota metropolitan).
Anggota budaya konteks rendah diajarkan
untuk mengkomunikasikan pikiran dan emosi mereka secara eksplisit dan percaya pada
prinsip-prinsip umum yang dapat digunakan untuk menciptakan makna dan
ketertiban dalam struktur sosial moral masyarakat (misalnya, kebebasan,
keadilan, dan pengejaran kebahagiaan).Sebaliknya, komunikasidalam budaya
konteks tinggi cenderung tidak langsung, implisit, tergantung pada konteks, tak
terucapkan, dan nonverbal.Pola komunikasi seperti ini sangat mungkinterjadi
dalam budaya yang relatif homogen dan kolektivistis di mana pemahaman yang tak
terucapkandibagikan secara luas.Karena budaya modern menjadi semakin heterogen
dalam hal etnis dan gaya hidup, pola komunikasi konteks tinggi menjadi lebih
disfungsional dan sulit untuk dipertahankan. Hal ini terutama berlaku ketika
anggota subkultur yang berbeda mencoba menyampaikan makna emosional yang pelik dan
harapan sosial yang rumit satu sama lain.
Perbedaan antara budaya konteks rendah
dan tinggi-konteks sering membuktikan pentingnya memahami kesalahpahaman
lintas-budaya tertentu dalam situasi konseling/terapi. Terapis dan konselor
darilatar belakang budaya konteks rendah, misalnya, mungkin akanmenyadari sulitnya
“membaca” klien yang matang dalam budaya konteks tinggi. Mereka ingin klien
mereka menguraikan apa yang mengganggu mereka sehingga mereka bersama-sama bisa
mulai mengerahkan tenaga untuk bekerja. Namun, klien mungkin berharap bahwa
seorang konselor yang hebat “tidak perlu diberitahu,”bahwa ia harus bersikap empatik
dan dengan demikian mampu memahami perasaan dan harapan klien melalui semacam
osmosis emosional. Mereka mungkin berpikir: Jika dia tidak dapat memahami makna
dan pesan saya yang tak terucapkan, kenapa dia menyebut dirinya seorang
terapis? Dalam situasi seperti itu, baik terapis maupun klien akan mudah merasa
kecewa tanpa sepenuhnya menyadari asal-usul budaya dari frustrasi mereka. Penghentian
terapi secara dini oleh klien bukan merupakan hasil yang biasa dalam situasi
seperti itu.
Etnis, Ras, Agama, dan Identitas Gender dalam Dunia Multikultural
Telah
dikatakan bahwa setiap orang dalam beberapa hal samaseperti semua orang
lain(sifat manusia yang sama), dalam beberapa hal seperti banyak orang lain
(karakteristik kelompok), dan dalam hal-hal tertentu tidak seperti orang lain
(individu yang unik, Kluckhohn, Murray, & Schneider, 1953). Dengan cara
analogi, kita dapat mendalilkan bahwa identitas subjektif seseorang meliputi
kesadaran seseorang bahwa dia sama seperti semua (atau hampir semua) orang lain
(“Saya seorang manusia dengan persepsi, pikiran, dan perasaan manusia dan bukan
binatang, tanaman, objek tak bernyawa, hantu, atau setan “), seperti beberapa
orang lain (“saya seorang wanita Maya dan ibu rumah tangga yang sudah menikah, berbeda
dari campuran ras dan budaya Ladinos,
anggota kelompok minoritas yang berbahasa Maya daripada berbahasa Spanyol, dan
penghuni Guatemala “), dan seperti tidak ada orang lain (“saya orang yang unik
dengan nama tertentu dan pribadi yang menghuni tubuh yang unik “). Penekanan
khusus buku ini adalah pada berbagai identitas kelompok yang dibentuk secara
kultural bersama-sama dengan asosiasi, pikiran, gambaran, penanda linguistik,
narasi sejarah, dan perasaan bahwa orang-orang berkaitan dengan identitas
etnis, ras, agama, dan politik mereka.Terutama dalam masyarakat kolektivistis,
identitas kelompok tersebut membentuk inti dari lokasi subjektif dan simbolik
seseorang dalam ruang dan waktu sosial budaya.
Budaya memberikan anggotanya berbagai
identitas yang kadang-kadang wajib dan adakalanya opsional.Oleh karena itu,
identitas gender biasanya wajib, meskipun orang-orang dari jenis kelamin
biologis yang sama diperbolehkan untuk memenuhi identitas ini dengan konten
yang agak berbeda. Demikian pula, identitas rasial di Amerika yang sampai saat
ini dianggap kekal dan tidak dapat dihindari: “Satu tetes darah hitam” secara
otomatis mengubah seseorang menjadi Negro dan dengan demikian orang yang sangat
tidak beruntung, yang lebih jauh lagi, dianggap oleh sebagian besar orang kuli
putih memiliki karakteristik mental dan perilaku tertentu (terutama yang tidak
menguntungkan). Sebaliknya, di Brazil, orang telah mengadopsi lebih dari 100
label untuk gabungan (biologis) orang-orang yang terlihat berbeda “ras” (Fish,
buku ini). Dengan demikian, identitas rasial yang dibentuk secara sosial,
bervariasi dalam cara-cara yang kompleks melintasi batas-batas budaya, umumnya
didasarkan pada teori-teori biologi yang menyesatkan, dan sering tertanam dalam
hierarki sosial budaya dan sosial ekonomi yang tidak dapat dengan mudah
dihindari oleh individu.
Munculnya bentuk-bentuk modern dari
pluralisme budaya di Kanada, Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan
sebagian Eropa Barat telah memperlunak atau profil beberapa identitas,
menjadikannya lebih lunak, dapat dirundingkan, dan kadang-kadang bahkan
opsional. Identitas etnis khususnya telahdidefinisikan ulang dalam berbagai
cara di Amerika Serikat dan di tempat lain. Sedangkan untuk beberapa generasi
sebelumnya identitas etnis keluarga imigran (kulit putih) diharapkan akan melebur
dalam perjalanan dua generasi, saat ini banyak orang Amerika bangga menampilkan
identitas etnis ditulis dengan memakai tanda
penghubung, meskipunmereka mungkin telah kehilangan banyak warisan linguistik
dan budaya mereka. Selain itu, karena meningkatnya perkawinan antara
orang-orang dari latar belakang etnis, agama, dan “ras” yang berbeda, kami
menemukan di antara generasi muda banyak orang dengan identitas etnis-linguistik-agama-rascampuran
dan kompleks.Di seluruh dunia hibridisasi budaya terus terjadi dan menciptakan
peningkatan jumlah individu dengan identitas budaya campuran dan kompleks.
Identitas etnis baru dan
“super-identitas” terus-menerus dibuat, walaupun identitas itu sering mencakup
konsepsi yang bertentangan dan implikasi yang menyesatkan tentang asal-usul
biologis/ras.Kategori budaya juga sering kali berbeda dari kategori sensus,
menciptakan kebingungan lebih lagi. Kategori “Hispanik,” misalnya, awalnya
diciptakan oleh Biro Sensus Amerika sebagai kategori ras, mencerminkan
keyakinan rakyat Amerika, untuk menyebut orang-orangasal Amerika Latin—meskipun
Hispanik sangat beragam dalam penampilan fisik (dan hampir 200 juta orang di
Brazil berbahasa Portugis, bukan Spanyol). Selanjutnya, kategori sensus berubah
untuk menegaskan bahwaHispanik adalah kelompok etnis yang bisa menjadi “ras apa
pun”—menciptakan paradoks tentang suatu ras yang bisa saja ras apapun.
Sejumlah besar orang Meksiko dan Amerika
Tengah memiliki persentase jauh lebih besar keturunan New World daripada
penduduk asli Amerika; namun, mereka tidak dapat mengklasifikasikan diri mereka
sebagai “Indian” karena mereka bukan anggota dari daftar resmi suku-suku yang diakui
di Amerika Serikat. Empat puluh dua persen orang-orang yang mengklasifikasikan diri
Hispanik memilih “Others” (lainnya) sebagai ras mereka—menunjukkan bahwa
kategori itu tidak secara kultural sesuai dengan individu yang dimaksudkan
untuk diklasifikasikan. Selanjutnya, “Other” telah menjadi kategori sensus yang
tumbuh paling cepat (Departemen Pertanian Amerika Serikat, 2006)—menyatakan bahwa
cara-cara sensus mengklasifikasikan penduduk Amerika itu tidak sesuai dengan
cara-cara orang Amerika mengklasifikasikan diri mereka sendiri.
Mengutip contoh lain dari ketidaklogisan,
label “Amerika Asia” secara tradisional menyebut orang-orang asal Asia Timur
sementara diam-diam mengabaikan imigran Asia lainnya seperti Rusia dari
Siberia, Turki dari Anatolia, Uzbek dari Asia Tengah, Kurdi dari Irak,
orang-orang Yahudi dari Israel, dan masih banyak lagi. Baru-baru ini, label “Amerika
Asia” tampaknya berkembang menyertakan imigran Asia Selatan—baik secara
langsung dari India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka dan tidak langsung
dari Karibia dan belahan dunia lainnya—dan keturunan mereka. Identitas budaya
kelompok minoritas “Desi” tampaknya terbentuk, sejajar dengan kelompok
Hispanik/Latino, sehinggaanak-anak imigran Pakistan Muslim dan imigran India
Hindu memandang dirinya (dan dipandang oleh orang Amerika lainnya) sebagai
anggotakelompok etnis yang sama bahkan meskipun negara asal mereka siap sedia dalam
masalah ketidaksepakatan nuklir.
Dengan demikian, identitas etnis dan ras
mengacu pada internalisasi subjektif seseorang dari satu atau lebih label yang
tersusun secara kultural yang dapat mencakup ide-ide kontradiktif namun juga
membangkitkan emosi yang kuat yang bersifat kondusif pada konflik antarkelompok
yang serius serta interaksi yang tidak memuaskan antara klien dan
konselor-terapis.
Kita semua membawa berbagai identitas
berbeda-beda yang diaktifkan dalam konteks yang berbeda.Apalagi, arti penting
identitas dapat berubah dari waktu ke waktu.Dalam psikoterapi, misalnya,
identitas etnis yang berbeda dari terapis dan klien mungkin cukup penting dalam
tahap awal tetapi (sementara) memudar setelah aliansi terapi yang sukses telah
dibuat.
Secara terkait, klien Amerika Afrika mungkin
diam-diam menguji terapis kulit putih pada awal terapi, untuk melihat apakah
dia cukup bebas dari prasangka dan menunjukkan pemahaman dan kepekaan terhadap
budaya Amerika Afrika dan isu-isu keanggotaan kelompok minoritas.Orang Amerika kulit
hitam yang tidak melacak asal-usul mereka pada perbudakan di Amerika Serikat
mungkin bereaksi cukup berbeda dari orang-orang yang melakukannya. Berikut
adalah suara seorang mahasiswa asal India Barat yang mengkritik tren terbaru di
Amerika Serikat yang memberi label banyak orang berkulit gelap seperti dirinya orang
“Amerika Afrika”:
Saya
benar-benar tidak menyukai label “Amerika Afrika.”Bahkan, saya tidak pernah berada
di Afrika ataupun memiliki anggota keluarga saya yang berada di sana selama
enam generasi terakhir. Saya seorang Trinidad [“dengan kartu hijau”],
bukanAmerika Afrika.Saya punya beberapa kerabat India Timur dan tahu lebih
banyak tentang adat Hindu daripada apa pun tentang Afrika. Saya lebih suka
disebut kulit hitam dari Afrika atau sesuatu lainnya.
Sebagaimanaditunjukkan dalam kutipan
tersebut, identitas etnis-ras—seperti identitas yang lain—sering diperdebatkan walaupun
membangkitkan emosi yang kuat dan kadang-kadang konfliktual.Demikian juga, dua
orang yang menerapkan label identitas yang sama pada diri mereka sendiri
mungkin tetap menghubungkan label itu pada pikiran, perasaan, dan gambaranyang
cukup bervariasi tentang apakah makna label itu seharusnya baik bagi diri
mereka sendiri dan orang lain. Menggunakan analogi musik, kita mungkin berpikir
bahwa identitas memberikan tema budaya yang diikuti oleh deretan tak berujung
darivariasi individu yang kurang atau lebih harmonis. Dengan demikian,
identitasyang dibentuk secara budaya dan individual, berinteraksi dengan identitas
orang lain, muncul dan tenggelam dalam situasi tertentu, lebih atau kurang berubah-ubah
dalam hal karakter, dan “dipenuhi” dengan konten yang melimpahsecara sadar maupun
bawah sadar. Mengingat bahwa identitas budaya merupakan jembatan antara
kepribadian individu seseorang dan lingkungan sosial budayanya, intervensi
kesehatan mental sering menyebabkan definisi ulang danrestrukturisasi identitas
seseorang.
Sementara di Amerika Serikat label ras
dan identitas menjadi pusat dari banyak diskusi multikultural, di negara-negara
Eropa seperti Prancis atau Inggris pertanyaan tentang ras sering memilikipengaruh
pengendali untuk pertimbangan agama-etnis (serta orang-orang dari kelas
sosial). Mengingat kebangkitan identitas Islamdi seluruh Timur Tengah dan
Afrika Utara, memperluas ketegangan politik antara wilayah-wilayah ini dan
Barat, dan kegagalan dari banyaknegara Eropa untuk sepenuhnya mengintegrasikan para
imigran Afrika Utara dan Timur Tengah ke dalam masyarakat mereka, identifikasi
keagamaan telah berperan dalam menonjolkan kesenjangan ekonomi, budaya, dan
politik yang ada di antara sejumlah besar anggota masyarakat Eropa dan anggota
keluarga imigran.Konselor multikultural dalam masyarakat ini harus dipersiapkan
secara khusus untuk menangani masalah-masalah keagamaan yang timbul dalam
pertemuan terapi dengan wawasan dan kepekaan.Ini tidak mudah dilakukan karena
psikologi modern dan ilmu-ilmu sosial lainnya cenderung mendorong konsepsi
sekuler, ilmiah, dan relativistik dari sifat manusia.Banyak ahli kesehatan
mental mungkin merasa sulit berempati dan secara intuitif memahami klien-klien
yang melibatkan pergumulan pribadi, identitas inti, dan eksistensi mereka kaitannya
denganperjalanan pribadi atau bersamamenuju keselamatan.Tugas ini dibuat bahkan
lebih menantang ketika sistem dan identitas kepercayaan agama klien masih asing
bagi konselor.Selain itu, para konselor utama Eropa juga harus ingat bahwa
banyak imigran lain dari negara-negara Muslim menganutsebagian besar
kepercayaan sekuler. Selain itu, para imigran dari negara-negara Timur Tengah
termasuk Kristen, Yahudi, Baha’i, Druze, dan sebagainya. Di Amerika Serikat,
sebagian besar orang-orang asal Arab adalah orang Kristen. Maka, identitas
agama dan etnis sering berinteraksi dengan cara-cara yang mungkin awalnya
tampak mengejutkan bagi terapis luar yang kurang informasi namun terasa wajar
bagi klien yang dimaksud.
Situasi terapeutik mau tidak mau
dipengaruhi oleh kumpulan keluarga dan identitas gender peserta dalam pertemuan
itu. Karena baik sistem keluarga dan peran gender telah berubah cepat selama
beberapa dekade terakhir, dan karena di banyak negara, kepastian lama telah
memberikan cara-carayang lebih berubah-ubah, toleran, tetapi juga membingungkan
untuk menggambarkan diri baik sebagaianggota keluarga dan sebagai wanita atau
pria (atau kadang-kadang sebagai sesuatu di antaranya), sangat penting bahwa
spesialis kesehatan mental akrab denganberbagai sistem keluarga dan peran
gender terkait yang ditemukan di seluruh dunia (lihat Roopnarine & Gielen
2005, untuk beberapa contoh).
Identitas gendermenetap sangat mendalam
di dalam jiwa seseorang dan muncul di masa awal mereka meskipun masih berubah-ubah
bentuk antara usia 2 sampai 3 tahun. Identitas itu berperan sebagai hubungan
antara sebagian besar pengaruh masa kanak-kanak usia dini secara tidak sadar;
bentuk-bentuk kesadaran yang ditambahkan, lebih reflektif, dan lebih seksual
yang muncul pada masa remaja; dan sedikit memori dari berbagai pertemuan dengan
pasangan romantis potensial atau aktual serta orang lain dari kedua jenis
kelamin itu. Selain itu juga ditambahkan gambaran, metafora, dan narasi yang
dihadapi melalui perhatian pada sastra, musik, dan media massa, penilaian
diriklien yang kadang-kadang menyakitkan tentang dirinya sendiri sebagai wanita
atau pria, dan keinginan terkait gendernya, harapan, dan kekhawatiran tentang
masa depan. Keinginan, harapan, dan ketakutansering berperan sebagai ramalan
yang terpenuhi dengan sendirinya karena cenderung mendorong perilaku yang
sesuai dengan mereka.
Karena pengaruh budaya di mana-mana
terkait dengan berkembangnyakesadaran seseorang akanidentitas gender dari bayi
sampai dewasa, spesialis kesehatan mental harus memiliki pemahaman informasi
perkembangan dan menyeluruh mengenai peran gender, perbedaan gender,
seksualitas serta manifestasinya dalam budaya-budaya yang berbeda. Skeptisme
tertentu terhadap ideologi berorientasi gender yang berlaku dan sering
bersaing, setidaknya menurut kami, juga dapat dianjurkan. Terutama dalam
situasi multikultural, ini mungkin membuat kita secara tidak sengaja
mengindoktrinasi atau menyesatkan klien kita yang memiliki pemahaman tentang tanggung
jawab peran terkait keluarga dan/atau gender menyimpang jauh dari pemahaman kita
sendiri.Namun demikian, pekerjaan utama kita adalah membantu klien kita hidup
lebih mudah dan produktif dengan diri mereka sendiri dan orang lain yang
signifikan, daripada mencoba mengubah mereka ke dalam cara hidup dan berpikir
kita.
Prinsip
dan Standar Etika yang Terkait dengan Multikularisme dari Asosiasi Psikologi
Amerika
Prinsip E: Penghormatan Hak dan
Martabat Rakyat
Para psikolog menyadari dan menghormati perbedaan peran,
individu, dan budaya, termasuk yang berdasarkan usia, jenis kelamin, identitas
gender, ras, etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual,
kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor
ini ketika bekerja dengan anggota kelompok tersebut. Psikolog mencoba
menghilangkan efeknya pada kecenderungan pekerjaan mereka berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan
mereka tanpa
sadarberpartisipasi atau membiarkan kegiatan lain
berdasarkan prasangka tersebut.
2.01 Batasan Kompetensi
(b) Dimana pengetahuan ilmiah atau profesional dalam
disiplinpsikologi menetapkan bahwa pemahaman tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis,
budaya,asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa,atau status
sosial ekonomi sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan atau penelitian mereka yang efektif, psikologmemiliki
atau memperolehpelatihan, pengalaman, konsultasi, atau pengawasan yang
diperlukan untukmemastikan kompetensi pelayanan mereka, atau mereka membuat rujukan yang tepat, kecuali
sebagaimana yang diatur
dalam Standar 2.02, Memberikan Pelayanan dalam Keadaan Darurat.
3.01 Diskriminasi Tidak Adil
Dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, psikolog tidak
terlibat dalamdiskriminasi yang tidak adil berdasarkan usia, jenis kelamin,
identitas gender, ras,etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi
seksual,kecacatan, status sosial ekonomi, atau dasar apapun yang
dilarang oleh hukum.
3.02 Pelecehan Seksual
Psikolog tidak terlibat dalam pelecehan seksual.
Pelecehan seksual adalahajakan seksual, cumbuan fisik, atau perilaku verbal atau nonverbal yang bersifat seksual, yang terjadi sehubungandengan kegiatan atau
peran psikolog sebagai seorang psikolog, danyang (1) tidak diterima, ofensif, atau menciptakan tempat kerja atau lingkungan pendidikan yang
mengundang permusuhan, dan
psikologmengetahui atau diberitahu hal ini atau (2) cukup parah atau intens bersikap
kasar kepada orang yang pantas dalam konteks tersebut. Pelecehan seksualdapat terdiri dari tindakan intens atau kejam
atau beberapa tindakan gigih atau terus-menerus.
3.03 Pelecehan Lainnya
“Psikolog tidak secara sadar terlibat dalam perilaku yang
melecehkan ataumerendahkan orang dengan siapa mereka berinteraksi dalampekerjaan merekaberdasarkan faktor-faktor seperti usia, jenis
kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama,
orientasi seksual, cacat, bahasa, atau status sosial ekonomi orang-orang
itu.”
9.02 Penggunaan Penilaian
(a) Psikolog mengelola, menyesuaikan, menghitung
skor, menafsirkan, atau menggunakanteknik penilaian, wawancara, tes, atau instrumendengan
cara dan untuk tujuan yang tepat untuk memecahkan penelitian atau bukti kegunaan dan penerapan
teknik-teknik yang
tepat.
(b) Psikolog menggunakan instrumen penilaian yang validitas dan
keandalannya telah ditetapkan
untuk digunakan dengan anggota populasi yang diuji. Ketika validitas atau keandalan
itu belum ditetapkan, psikolog menjabarkankekuatan dan keterbatasan hasil tes dan
interpretasinya.
(c)
Psikolog
menggunakan metode-metode penilaian yang sesuaipreferensi dan kompetensi bahasa individu,kecuali
penggunaan bahasa alternatif yang relevan denganmasalah penilaian.
Diadaptasi
dari prinsip-prinsip Etika dan kode etik (American Psychological Association, 2002).
Prinsip
Etika yang Terkait Dengan Multikulturalismedari Kode etik ACA
A.2.c. Pengembangan dan Sensitivitas Budaya
Konselor mengkomunikasikan informasi dengan cara-cara
sebagaimana sehingga sesuai dengan
tahapan perkembangan dan budaya. Konselor menggunakan bahasa yang
jelasdan dimengerti ketika membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
persetujuan yang diinformasikan.
Ketika klien memiliki kesulitan memahami bahasa yang digunakan oleh konselor, mereka menyediakan
layanan yang diperlukan(misalnya, mengatur juru tafsir atau penerjemah) untuk memastikan pemahaman klien. Bekerja
sama dengan klien, konselor mempertimbangkan implikasi budaya
dari prosedur persetujuan
yang diinformasikan itu dan,
bilamana mungkin, konselor
menyesuaikan praktek mereka agar sesuai.
B.1.a. PertimbanganMultikultural/Keanekaragaman
Konselor mempertahankan kesadaran dan kepekaan terhadap
makna budaya dari kerahasiaan
dan privasi. konselor menghormatipandangan yang berbeda terhadap pengungkapan
informasi ....
C.2.a. Batasan Kompetensi
Konselor berlatih hanya dalam batasan kompetensi mereka, berdasarkan pendidikan, pelatihan,
pengalaman yang diawasi,
surat
izin profesional negara dan
nasional, dan sesuaipengalaman profesional mereka. Konselor mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi,
kepekaan, dan keterampilan yang terkait bekerja denganpopulasi klien yang beragam.
C.5. Nondiskriminasi
Konselor tidak membenarkan atau terlibat dalam
diskriminasi berdasarkan usia, budaya, kecacatan, etnis, ras,
agama/spiritualitas, gender, identitas gender, orientasi seksual, status
perkawinan/kemitraan, preferensi bahasa, status sosial ekonomi, atau dasar apa
pun yang dilarang oleh hukum....
E.5.b. Sensitivitas Budaya
Konselor mengakui bahwa budaya memengaruhi cara di mana
masalah klien didefinisikan. Pengalaman sosial ekonomi dan budaya klien
dipertimbangkan ketika mendiagnosis gangguan mental.
E.5.c. Prasangka Sejarah dan Sosial dalam
Diagnosis Patologi
Konselor mengenali prasangka sejarah dan sosial dalam
kesalahan diagnosis dan anggapan individu dan kelompok tertentu abnormal secara
psikologis dan medis dan peran profesional kesehatan mental dalam mengabadikan
prasangka ini melalui diagnosis dan pengobatan.
E.6.c. Populasi Beragam Budaya
Konselor berhati-hati ketika memilih penilaian untuk
populasi beragam budaya dengan menghindari penggunaan instrumen yang kurang
bersifat psikometrik yang sesuai
untuk populasi klien tersebut.
Prinsip
Etika yang Terkait Dengan Multikulturalisme
dari
Kode etik ACA
A.2.c. Pengembangan dan Sensitivitas Budaya
Konselor mengkomunikasikan informasi dengan cara-cara
sebagaimana sehingga sesuai dengan
tahapan perkembangan dan budaya. Konselor menggunakan bahasa yang
jelasdan dimengerti ketika membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
persetujuan yang diinformasikan.
Ketika klien memiliki kesulitan memahami bahasa yang digunakan oleh konselor, mereka menyediakan
layanan yang diperlukan(misalnya, mengatur juru tafsir atau penerjemah) untuk memastikan pemahaman klien.
Bekerja sama dengan klien, konselor mempertimbangkan implikasi budaya
dari prosedur persetujuan
yang diinformasikan itu dan,
bilamana mungkin, konselor
menyesuaikan praktek mereka agar sesuai.
B.1.a. PertimbanganMultikultural/Keanekaragaman
Konselor mempertahankan kesadaran dan kepekaan terhadap
makna budaya dari kerahasiaan
dan privasi. konselor menghormatipandangan yang berbeda terhadap pengungkapan
informasi ....
C.2.a. Batasan Kompetensi
Konselor berlatih hanya dalam batasan kompetensi mereka, berdasarkan pendidikan, pelatihan,
pengalaman yang diawasi,
surat
izin profesional negara dan
nasional, dan sesuaipengalaman profesional mereka. Konselor mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi,
kepekaan, dan keterampilan yang terkait bekerja denganpopulasi klien yang beragam.
C.5. Nondiskriminasi
Konselor tidak membenarkan atau terlibat dalam
diskriminasi berdasarkan usia, budaya, kecacatan, etnis, ras,
agama/spiritualitas, gender, identitas gender, orientasi seksual, status
perkawinan/kemitraan, preferensi bahasa, status sosial ekonomi, atau dasar apa
pun yang dilarang oleh hukum....
E.5.b. Sensitivitas Budaya
Konselor mengakui bahwa budaya memengaruhi cara di mana
masalah klien didefinisikan. Pengalaman sosial ekonomi dan budaya klien
dipertimbangkan ketika mendiagnosis gangguan mental.
E.5.c. Prasangka Sejarah dan Sosial dalam
Diagnosis Patologi
Konselor mengenali prasangka sejarah dan sosial dalam
kesalahan diagnosis dan anggapan individu dan kelompok tertentu abnormal secara
psikologis dan medis dan peran profesional kesehatan mental dalam mengabadikan
prasangka ini melalui diagnosis dan pengobatan.
E.6.c. Populasi Beragam Budaya
Konselor berhati-hati ketika memilih penilaian untuk
populasi beragam budaya dengan menghindari penggunaan instrumen yang kurang
bersifat psikometrik yang sesuai
untuk populasi klien tersebut.
E.8. Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam Penilaian
Konselor menggunakan dengan hati-hatiteknik-teknik penilaianyang bernorma pada beberapa
populasi selain populasi klien itu. Konselor mengetahui dampak usia, warna kulit, budaya, kecacatan, kelompok etnis, jenis kelamin, ras,
preferensi bahasa, agama, spiritualitas,orientasi seksual, dan status sosial
ekonomi pada
pengadaan dan interpretasi
tes, dan menempatkan hasil tes dalam perspektif yang benar dengan faktor-faktor lain yang
relevan.
F.2.b. Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam
Pengawasan
Pengawas konseling menyadari dan menunjukkan peran
multikulturalisme /keragaman dalam hubungan pengawasan.
F.3.c. Pelecehan Seksual
Pengawas konseling tidak membenarkan atau mengarahkan
subjek pada pelecehan seksual.
F.6.b. Menanamkan Isu-Isu/Keanekaragaman Multikultural
Pendidik konselor menanamkan materi yang terkait dengan
multikulturalisme /keragaman ke dalam semua program dan lokakarya untuk
pengembangan konselor profesional.
F.10.b. Pelecehan Seksual
Pendidik konselor tidak membenarkan atau mengarahkan mahasiswa pada pelecehan seksual.
F.11. KompetensiMultikultural/Keanekaragaman dalam
Program Pendidikandan Pelatihan Konselor
F.11.a. Keanekaragaman Staf Pengajar
Pendidik konselor berkomitmen untuk merekrut dan
mempertahankan staf pengajar yang beragam.
F.11.b. Keragaman Mahasiswa
Pendidik konselor secara aktif berusaha merekrut dan
mempertahankanberagam mahasiswa. Pendidik konselor menunjukkan komitmen kepada
kompetensi multikultural/keragaman dengan mengenali danmenilai beragam budaya dan jenis-jenis kemampuan mahasiswa yang dibawa pada pengalaman pelatihan. Pendidik konselor menyediakan
akomodasi yang tepat yang meningkatkan dan mendukung kesejahteraan dan prestasi
akademik beragam mahasiswa.
F.11.c. Kompetensi Multikultural/Keanekaragaman
Pendidik Couselor secara aktif menanamkan kompetensi multikultural/keragaman dalam
praktik pelatihan dan pengawasan mereka. Mereka secara aktif
melatih siswa untuk memperoleh kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan dalam
kompetensi praktek multikultural. Pendidik konselor memasukkan contoh kasus, permainan peran, pertanyaan diskusi, dan kegiatan-kegiatan kelas lainnya yang meningkatkan dan menunjukkan berbagai perspektif budaya.
G.1.g. Pertimbangan Multikultural/Keanekaragaman dalam
Penelitian
Ketika tepat saatnya untuk tujuan penelitian, konselor peka terhadap penggabungan prosedur-prosedur penelitian yang memperhitungkan pertimbangan budaya.
Mereka mencari konsultasi jika diperlukan.
G.3.c. Pelecehan Seksual dan Peserta Penelitian
Para
peneliti tidak membenarkan atau mengarahkan peserta penelitian terhadap pelecehan seksual.
Diadaptasi
dari Kode etik (Asosiasi Konseling Amerika, 2005).
Apakah
Prinsip dan Teknik
Konseling Dasar yang Sama Berlaku pada Semua Orang Terlepas dari Latar Belakang Budaya?
Kontroversi di sini adalah antara mengambil perspektif“etik”
atau “emik”
(Berry, 1969). Pendekatan etik
menekankan unsur-unsur universal konseling bahwa semua kelompok budaya
diasumsikan untuk berbagi.
Contohnya adalah: diskriminasi, pengembangan identitas, validasi dan
pemberdayaan, komunikasi, perbedaan kelas sosial, akulturasi, transferensi/pemindahan, dan kontra-transferensi (Das, 1995; Lee,
1994). Pendekatan emik menekankan karakteristik adat atau spesifik dari masing-masing kelompok budaya yang mungkin berdampak pada
proses konseling. Perbandingannya adalah antara suatu kelompok (cakupan secara mendalam dari budaya tertentu) versus pendekatan
konseptual terhadap konseling
multikultural. Banyak buku tentang konseling multikultural cenderung mengambil
perspektif yang lebih emik; namun, pendekatan yang terbaik adalah campuran dari
perspektif etik dan emik (Das, 1995).Buku ini mengadopsi pendekatan campuran. Bagian pertama mencakup tema-tema etik yang lebih universal pada lintas budaya (misalnya, diskriminasi, penilaian,
akulturasi, pengembangan identitas) dan dua bagian berikutnya berfokus pada kelompok etnis (misalnya, penduduk asli
Amerika, Amerika Afrika, Latino dan Latina, Amerika Asia, Amerika Eropa, dan Amerika
Arab) dan beberapa minoritas budaya tertentu (misalnya, perempuan, pria gay dan lesbian, lanjut usia, dan orang-orang penyandang cacat). Yang baru dari edisi ini, dua pengaruh yang lebih etik, spiritualitas dan pertimbangan kelas sosial,
dibahas dalam bab-bab yang berfokus pada kelompok budaya yang luas.
Beberapa BahanDasar Terapi, Konseling, dan Penyembuhan
Istilah
psychotherapeia, psychotherapy, dan psychotherapeutics
muncul pertama kalinya pada paruh kedua abad ke-19 di Eropa Barat.Walter Cooper
Dendy (1853), misalnya, menggunakan istilah psychotherapeia
untuk menyebut “pengaruh bermanfaat dari pikiran penyembuh pada seorang
penderita” (Jackson, 1999, hal. 9).Istilah itu didasarkan pada kombinasi dari
kata Yunani masing-masing untuk “jiwa” (psyche)
dan “cenderung untuk, memberi perhatian, atau pengobatan medis” (therapeia). Yang tersirat dalam istilah itu
adalah pemikiran Yunani kuno bahwa dokter, imam, dan filsuf, masing-masing
dengan cara mereka sendiri, diharapkan untuk mengobati berbagai “penyakit jiwa”
melalui perawatan, penghiburan, bimbingan dan pendidikan moral, nasihat, pengakuan,
pemurnian simbolik, pengampunan dosa, saran, klarifikasi, dan menghilangkan
ketidaktahuan tentang sifat sejati seseorang sebagai manusia.
Dalam berbagai kombinasi dan dengan nama
yang berbeda, banyak kegiatan ini terus menjadi unsur dasar psikoterapi
dankonseling modern. Lainnya, seperti pengakuan dan pengampunan dosa, telah dipandang
rendah oleh kekuatan sekularisasi namun demikian membentuk dasar tak dikenal
yang memunculkan terapi modern dan konseling.
Melintasi ruang dan waktu, situasi-situasi
penyembuhan, konseling, dan psikoterapi biasanya termasuk hal-hal berikut
(lihat juga Frank & Frank, 1991):
· Orang
atau sekelompok orang yang mengalami demoralisasi, penderitaan, dan/atau bingung
mencari pelepasan dari tekanan mental, spiritual, dan fisik.
· Penyembuh,
terapis, atau konselor yang diakui secara sosial yang diharapkan untuk bertindak
sebagai ahli dan pemandu kesehatan mental.
· Sebuah
pandangan dunia yang dibagikan (untuk berbagai tingkatan) oleh penyembuh dan
klien.
· Suatu
sistem keyakinan yang mendasari secara budaya yang mendefinisikan apa yang
diinginkan, diterima, dilarang, atau bahkan masuk akal dalam terapi dan
konseling, serta batas-batas hubungan penyembuh-klien dan tujuan pertemuan
mereka.
· Upaya
penyembuh untuk menjelaskan asal-usul penderitaan klien dalam istilah yang meyakinkan
secara budaya (“penilaian dan diagnosis”). Penjelasan penyembuh mungkin mengemukakan
bentuk-bentuk penyebab fisik, perilaku, mental, dan/atau
spiritual-religius-magis besertaaturan dan saran yang terkoordinasi secara
konseptual untuk perbaikan tekanan klien.
· Hubungan
penyembuh-penderita sebagai titik tumpu yang bergerak di seputar banyaknya upaya
bantuan.
· Serangkaian
kontak dari waktu ke waktu yang didefinisikan bersifat terapi.
· Peserta
yang pada berbagai titik pada waktunya secara fisik hadir atau hanya
dibayangkan. Para peserta yang hadir secara simbolis ini dapat mencakup makhluk
gaib serta manusia.
· Sebagianbesar
kehadiran laten penyembuh, terapis, dan konselor lainnya yang mungkin akan diminta
untuk bergabung dalam upaya terapi (“referral”) atau yangdapat berfungsi
sebagai alternatif potensial (“healer shopping”).
Dalam kerangka umum dianut di sini,
diakui bahwa banyak bentuk konseling modern dan intervensi psikoterapi yang
sangattertanam dalam seni penyembuhan tradisional.Prince (1980) mampu
membedakan beberapa komponen universal psikoterapi dalam berbagai intervensi
yang dipraktikkan pada seluruh budaya di seluruh wilayah dunia.Komponen-komponen
ini termasuk pandangan dunia yang dibagikan oleh penyembuh dan penderita,
kemampuan untuk memberikan penjelasan yang bermakna budaya dari penderitaan
atau disfungsi, dan penggunaan pengaruh sosial melalui saran dan cara-cara
lainnya.Namun mengalihkan komponen eksternal ini, Prince menyoroti mobilisasi
dari mekanisme penyembuhan diri bersifat endogen (berasal dari dalam) atau perbaikan
diri penderita, sering kali dalam bentuk keadaan kesadaran yang berubah-ubah,
sebagai unsurpsikoterapi yang paling penting dan berlaku secara universal.
Dengan kata lain, penyembuh akan berhasil hanya jika tindakan simbolisnya
menemukan resonansi dalam hati-pikiran penderita, memenuhi harapan implisit dan
eksplisitnya, memobilisasi harapan, dan berhubungan dengan mekanisme dan sumber
daya untuk mengatasi kesulitan yang sudah ada. Budaya adalah media dan
melaluinya proses pengaruh sosial ini terjadi.
Dalam volume ilmiahnya Care of the Psyche: A History of
Psychological Healing, sejarawan medis Stanley W. Jackson (1999) telah
menelusuri unsur-unsur penting dari penyembuhan psikologis dalam tradisi Barat
dari zaman dahulu hingga zaman modern. Menurut Jackson, “pengobatan berbicara”
secara tradisional termasuk penekanan pada hubungan penyembuh-penderita;
penyembuh yang berwibawa dan penuh perhatian; dan penggunaan hadiah atau
hukuman, saran dan bujukan, penjelasan, interpretasi, dan bimbingan.Penyembuh
menawarkan penghiburan dan kenyamanan bagi penderita dan memberikan dukungan
atas upaya klien “untuk mengungkapkan sesuatu.”Pengakuan, menceritakan rahasia,
dan perubahan dalam pemahaman dan pengamatan diri klien juga telah menjadi segi
penting dari intervensi psikoterapi yang sukses atas berabad-abad. Perlu
ditambahkan bahwa banyak proses terapi ini juga dapat ditemukan dalam pertemuan
penyembuhan non-Barat, walaupun pengaruh dan penjelasan budaya biasanya
menentukan elemen-elemen ini yang merupakan kepentingan utamadan yang ditentukan
dan di antaranya diabaikan untuk pertemuan antara penyembuh dan penderita.
Telah lama diakui bahwa sifat hubungan penyembuh-penderita
atau konselor-klien cenderung menjadi unsur penting dalam penyembuhan dan
konseling yang sukses (Jackson, 1999).Penelitian modern mengenai efektifitas
psikoterapi mendukung ini; hal ini menunjukkan bahwa klien merespons atas semua
pada kualitas hubungan mereka dengan terapis daripada teknik-teknik dan metode psikoterapi
spesifik yang dia gunakan (Wampold,2001). Carl G. Jung (1970) mengakui hal ini
bertahun-tahun yang lalu:
Orang
dapat dengan mudah melihat apa artinya bagi pasien ketika ia bisa menceritakan
rahasia pengalamannya pada seorang dokter yang penuh pengertian dan simpatik.
Pikiran sadarnya menemukan dukungan moral dalam diri dokter terhadap pengaruh
yang tidak dapat dikendalikan darikompleks traumatisnya. Dia tidak lagi berdiri
sendiri dalamperjuangan dengan kekuatan-kekuatan elemental ini, tetapi seseorang
yang ia percayamengulurkan tangan, memberinya kekuatan moral untuk memerangi
tiraniemosi yang tidak terkontrol.... Bagi saya sendiri, saya akan...
menyebutnya [dokter itu] kepentingan manusia dan pengabdian pribadinya. Semua adalah
sifat dari tidak adanya metode, juga itu tidak pernah bisa menjadi sifat; semuanya
adalah kualitas moraldari kepentingan terbesar dalam semua metode psikoterapi.
(hal. 132-133)
Namun demikian, penelitian lintas-budaya
tentang penyembuhan menunjukkan bahwa banyakhubungan antara penyembuh asli dan
klien mereka memiliki kualitas campuran emosional atau menjaga jarakdan lebih lanjut
lagi, sehingga hubungan itu sering kali berdurasi singkat (Jilek & Draguns,
buku ini).Dukun Ladakhi di India barat laut, misalnya, mungkin berteriak pada
pasien mereka, mencoba mengintimidasi mereka,dan bahkan memukul mereka.Pasien
biasanya menangani hal ini dengan mudah karenakeyakinan budaya mereka yang semi-Buddha
memberitahu mereka bahwa lhayang
berkuasa (roh, dewa)yang mendiami tubuh dukun dapat bertindak secara
berubah-ubah (Gielen,pengamatan pribadi, 1980-1981).Di antara Yoruba dari
Afrika barat,tabib-peramal tradisional atau Babalwobahkan
tidak tahu masalah pasien selama sesi ramalannya (beberapa masalah kerahasiaan
di sini!). Sebaliknya, ia melakukan ritual-ritual tertentu untuk menentukan
apakah perantara supranatural yang bekerja siap melepaskan kendali mereka pada
penderita.Sama halnya, interaksi antara penyembuh spiritualis Meksiko dan
pasien mereka cukup bersifat impersonal (Spires-Robin &
McGarrahan,1995).Keaslian spiritual penyembuh dan kekuatan penyembuhannya terungkap
melaluikeadaan transnya daripada melalui kemampuannya untuk secara sadar
berempati dengan pasiennya.Dari sudut pandang psikodinamik, penyembuh tanpa sadar
sedang bekerja di sini sedangkan bentuk-bentuk psikoterapi modern menekankan
wawasan dan bimbingan secara sadar dan ego-sintonik.
Penekanan Carl Rogers pada kemampuan
terapis untuk berempati dengan klien dan mengadopsi kerangka acuannya tidak
relevan dalam banyak ritual penyembuhan tradisional yang bukan berdasarkan
instruksi otoritatif dan langsung dari sang penyembuh dan kemampuannya untuk
mengumpulkan bantuan makhluk dan kekuasaan spiritual yang tak terlihat,
melaksanakanprosedur-prosedur ritual yang berlaku secara budaya, dan memohon
kehadiran anggota-anggota masyarakat kepada siapa pasien “terikat kembali”
selama kegiatan ritual penyembuh. Penyembuhan tradisional sering bersifat
publik karena tujuan implisit atau eksplisitnya adalah reintegrasi pasien ke
masyarakat (Jilek & Draguns, buku ini). Yang terbaik, penyembuhan holistik
seperti itu secara simultan mencapai (re-) integrasi psikologis batin pasien, (re-)
integrasinya ke dalam masyarakat, dan (re-) integrasinya ke dalamalam semesta simbolik-religius
masyarakat itu. Orang, masyarakat, dan budaya menjadi utuh lagi, yang merupakan
makna asli dari istilah penyembuhan.Namun,terlepas dari kontribusi yang
berpotensi positif dari penyembuh tradisional, terdapat kekurangan studi
penelitian yang cermat yang mengevaluasi kemampuan penyembuh tradisional untuk
mengurangi tekanan fisik dan emosional dalam klien mereka.Perlu ditambahkan
bahwa baik pemujaan romantis penyembuh tersebut ataupun deskripsi negatif dukun
sebagai gadungan yang terganggu secara psikopatologisbersifat berguna bagi penilaian
obyektif terhadap kekuatan, kelemahan,dan keampuhan terapi mereka (Jilek &
Draguns, buku ini).
Perspektif Ekologi dan Etika dalam Konseling dan Penyembuhan
Sementara
sebagian besar bentuk psikoterapi dan konseling modern didasarkan pada model
individualistis dari perubahan kepribadian, dalam banyak situasi model-model
perubahan komunal yang dipahami lebih luas dapat membuktikan nilai yang lebih
besardaripada fokus eksklusif atau dominan dalam mengadakan sesi konseling
dengan klien individu.Jilek dan Draguns (buku ini), misalnya, membahas
kebangkitan kembali dan transformasi secara terencana dari upacara arwah
pelindung Salish oleh para penyembuh tradisional.Ritual-ritual ini dirancang
untuk menetralkan berbagai masalah sosial dan kejiwaan yang menimpa masyarakat
Indian Salish di bagian barat Kanada dan Amerika Serikat. Beberapa temuan penulis
menggarisbawahi pentingnya terapi-terapi ritual bersama dalam masyarakat yang
memperkuat kekompakan mereka, meningkatkan hubungan keluarga, memerangi pola-polaumum
demoralisasi dan anomi (keadaan masyarakat yang ditandai oleh pandangan sinis
(negatif) terhadap sistem norma, hilangnya kewibawaan hukum, dan disorganisasi
hubungan antara manusia), dan mengurangi perilaku antisosial. Bab Jilek dan
Draguns juga mendukung pendapat bahwa kerjasama psikiater/psikoterapis/konselor
dengan penyembuh asli dan figur otoritas adat mungkin sangat penting dalam
banyak lingkungan sosial budaya non-Barat (untuk contoh orang Afrika baru-baru
ini, lihat Wessells & Monteiro, 2004). Hal ini berlaku terutama ketika
profesional kesehatan mental modern dipisahkan dari klien mereka dengan jurang
budaya dan dengan perasaan klien akanskeptisisme atau ketidakpercayaan mereka.
Pelajaran yang lebih umum di sini adalah
bahwa fokus eksklusif pada bentuk-bentuk individualistis dari psikoterapi dan
konseling cenderung menjadi nilai terbatas dalam memerangi kekuatan-kekuatan
ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang meluas dan merusak (Denham, buku ini;
Wohl, 2000). Hal ini berlaku baik pada penyembuhan adat dalam komunitas kecil non-Barat
seperti Indian Salish di Kanada dan intervensi psikososial dalam sistem sekolah
modern skala besar di Amerika Serikat dan di tempat lain. Mengikutibatas penalaran
ini, para psikolog multikultural dan spesialis kesehatan mental seperti Coleman
dan Lindwall (buku ini) telah bergerak menuju pengadopsian perspektif ekologi
berorientasi sistem yang mendukung perluasan ruang lingkup bimbingan multikultural
dan program konseling sekolah.Mereka berpendapat tegas bahwa konselor sekolah
yangmempersiapkan siswa mereka untuk bersaing secara efektif dalam ekonomi
global sambil membantu mengurangi kesenjangan prestasi yang ada
yangmencerminkan perbedaan ras dan golongan yang menonjol.Secara keseluruhan,
mereka meminta profesi konseling sekolah multikultural untuk mengadopsi
pendapat lebih banyak aktivis untuk meningkatkan dampaknya di kalangan kaum muda.Dalam
pandangan mereka, profesi konseling perlu menempatkan kegiatan individualistik
dalam konteks politik dan sosial yang lebih luas sementara bekerja dalam nilai-nilai
demokrasi yangdihormati masyarakattetapi yang sering dilanggar dalam praktiknya.Orang
dapat melihat dalam pendekatan ini kesamaan tertentu pada perspektif sistem
sosial dan gayaintervensi yang berorientasi politik yang telah dikembangkan
para psikolog komunitas itu selama bertahun-tahun.
Dari awal, aktivitas-aktivitas konseling,
terapi, dan penyembuhan telah diliputi dengan nilai-nilai, pertimbangan, dan
dilema etika.Keprihatinan dengan nilai-nilai melekat dalam upaya konseling dan
terapi dan tidak dapat dihindari dalam ilmu pengetahuan.Di berbagai negara
Barat, respons terhadap asosiasi kesehatan mental profesional atas terjadinya dilema
moral berulang kaliadalah dengan mengembangkan kode etik yangdiharapkan untuk
dipatuhi anggota asosiasi.Namun di beberapa negara non-Barat seperti Kuwait,
tidak ada kode etik profesional yang belum dikembangkan bagi para konselor, dan
sehingga mereka cenderungmengadopsi secara informal bagian-bagian
peraturanBarat yang dapat diterapkan yang mereka kenal (Gielen & Al-Khawajah,
buku ini).Hal ini tetap menjadi pertanyaan terbuka tentang apakah kode
etik-profesional yang dapat diterima secara universaluntuk bagi profesional
kesehatan mental akan segera dikembangkan—dan apakah pengembangan tersebut akan
diperlukan dari sudut pandang sensitif-budaya (Pettifor, 2007).
Apakah kode etik dan pedoman profesional
yang ada di Amerika Serikat dan di tempat lain di dunia Barat memuaskan?
Stevens (buku ini) tidak berpikir demikian. Misalnya, ia mengamati bahwa
pendekatan American Psychological Association (APA) pada praktek etis tetap
“konservatif, hierarkis, dan mementingkan diri sendiri.” Perhatian yang berlebihan
pada persetujuan yang diinformasikan, penyimpanan catatan sebaik-baiknya, pemindahan,
dan penghentian dapat dengan mudah menggangguintervensi yang tepat waktu dan
efektif dalam situasi darurat, dengan melayani secara efektif populasi
internasional dan beragam budaya yang asing denganpendekatan yang agak
legalistik dari para profesional kelas menengah Amerika, dan dengan membantu
kelompok-kelompok yang lebih memilih gaya pengambilan keputusan yang lebih
terukur, berorientasi kolektivistis (kebersamaan). Selain itu, dengan mengetahui
penghindaran tuntutan hukum terapis dan kepatuhan terhadap otoritas hukum atas
komitmen mereka pada kesejahteraan klien mereka, sistem Amerika menciptakan berbagai
kontradiksi dalam dasar etika dari terapi itu sendiri.
Penyembuh, Terapis, dan Konselor
Dukun dan Penyembuh Tradisional Lainnya
Komunitas
yang paling dikenal mencari makan (berburu dan berkumpul)—suatu bentuk
masyarakat yang bersifat universal sampai sekitar 12.000 tahun yang lalu—yang
akrab dengan adat kebiasaan perdukunan. Masyarakat yang mencari makan biasanya
terdiri dari kumpulan dari beberapa lusin hingga beberapa ratus kaum kerabat. Para
pengumpul makanan memiliki sedikit harta, karena mereka bergerak ke sana kemari
dalam mengejar binatang buruan dan tanaman pangan, dan sejumlah kecil mereka
tidak memungkinkan untuk banyaknya spesialisasi peran. Shamanisme (perdukunan)
biasanya merupakan kegiatan paruh waktu dan termasuk aktivitas yang dibagi oleh
masyarakat industri berskala besar antara obat-obatan dan agama, serta
konseling dan terapi.Bahkan ada beberapa lukisan menggoda di gua-gua Prancis
selatan yang menunjukkan bahwa, sekitar 15.000 sampai 17.000 tahun yang lalu,
nenek moyang orang Eropa modern mungkin sudah dipandu oleh praktik-praktik
magis dan pengalaman spiritual dukun yang, berpakaian seperti binatang, mungkin
menari-narisendiri dalam keadaan perubahan kesadaran (Curtis, 2006).
Dalam masyarakat yang mencari makan skala
kecil, antara penggembala nomaden, dan di banyak masyarakat desa pertanian
tradisional, shaman, yang disebut
dukun, tabib pria, dan tabib wanita berfungsi sebagai penyembuh medis, penyembuh
spiritual, biksu dan biksuni, konselor, terapis, dan psikiater, sering kali
semuanya sekaligus. Meskipun dalam masyarakat industri modern peran-peran ini
biasanya ditempati oleh para praktisi yang terpisah satu sama lain menurut
gelar, pelatihan profesional, dan pandangan dunia, dukun menghuni dunia kesatuan
di mana tubuh, pikiran, dan jiwa dianggap dihuni dan dikuasai oleh kekuatan
primordial dan sering kali tidak kasat mata dan makhluk yang bertanggung jawab
atas kehidupan dan kematian, kesehatan dan penyakit, dan kesejahteraan dan
tekanan fisik-emosional (Vitebsky, 1995).
Dukun berfungsi sebagai perantara antara
dunia makhluk tak kasat mata yang kuat dan dunia manusia dan hewan yang terlihat
tetapi kurang kuat.Sering kali makhluk-mahluk tak kasat mata ini diyakini
mendirikan rintangan dan mengirim penyakit dan kesusahan bagi manusia yang tidak
taat atau tidak menyenangkan hati mereka.Memasuki keadaan trans secara sengaja,
dukun menjadi corong suara bagi arwah-arwah yang marah atau dia bertempur dengan
mereka bagi jiwa yang hilang dari pasien yang sakit—semuanya di bawah ancaman
pemotongan fisik visioner (yang dapat ditafsirkan sebagai simbol fragmentasi-ego
sementara). Tentu tidak mudah untuk menjadi dukun, dan menjadi dukun biasanya
disertai dengan penderitaan fisik dan mental, penyakit, disorientasi, perilaku
buruk yang hiruk-pikuk, berbicara dalam bahasa roh, berhalusinasi, jatuh sakit,
dan terancam oleh banyak roh agresif yang mendiami dukun dalam keadaan tanpa
sadar. Selain itu, pengembangan batin dan jabatan dukun dipandu oleh arwah-arwah
yang mengawasi secara suportif yang dapat dianggap sebagai ego-ideal dan
pelindung terhadap serangan penampakan setan ego-alien.
Dukun adalah pendahulu intelektual dari konseling
dan terapi zaman sekarang, walaupun beberapa dari kita mungkin menyadari sulitnya
mengenalidiri sendiri dalam hiruk pikuk teriakan dan gerak isyarat tangan dari
seorang dukun Peru yang mengalami penglihatan secara gamblang di bawah pengaruh
ayahuasca, obat halusinogen yang diturunkandari
tanaman (lihat Winkelman & Roberts, 2008, untuk penelitian tentang
penggunaan zat halusinogen dalam psikoterapi). Pelatihan rasionalistik modern kita
sebagai konselor dan terapis mencegah kita memanfaatkan keadaan perubahan
kesadaran dengan carayang mencolok ini (meskipun Timothy Leary bertentangan). Aksi
dukun menyebabkan pertemuan yang sering terjadi tetapi cukup terkontrol dengan
apa yang dipandang orang Jungian sebagai kekuatan pola dasar dunia bawah tanah,
berbeda dengan mahasiswa dalam profesi bimbingan modern yang diharapkan
mematuhi model rasionalistik ilmu itu. Dukun secara tegas disebut makhluk gaib dalam
menjalankan peran mereka sebagai penyembuh, dansifat-sifat yang berguna untuk
panggilan ini adalah imajinasi yang jelas/kemampuan menghipnotis diri sendiri yang
tinggi, kemampuan terlatih untuk mengalami keadaan perubahan kesadaran kapan
pun, mungkin kesadaran akan kecakapan memainkan pertunjukan, dan stabilitas
psikologis yang wajar. Sebaliknya, spesialis kesehatan mental memilih profesi
mereka secara sukarela, dididik dalammodel-model pelatihan yanglebih bijaksana,
berilmu, dan terkendali, dan perilaku profesional mereka dibatasi oleh jaringan
hukum, kode etik, dan wujud kesalahan dan pelaksanaan.Namun, harapan yang terbentuk
secara kultural serta sistem kepercayaan individu adalah hal penting untuk
menentukan siapa yang lebih efektif dalam mengurangi penderitaan klien
mereka.Sering kali kekuatan iman klien serta sifat harapannya yang menentukan
keberhasilan atau kegagalan dari suatu pertemuan penyembuhan.
Ketika masyarakat menjadi lebih besar,
lebih kompleks, dan semakin melek huruf, dan meningkatnya perbedaan peran yang berkembang
sebagai konsekuensi dari pengenalan pertanian dan munculnya kota-kota, berbagai
fungsi yang telah dipersatukan dalam pribadi dukun atau penyembuh asli diambil
alih dengan cara-cara terpisah oleh para imam, dokter, dan, akhirnya, filsuf.
Dalam konteks ini, agama, kedokteran, dan filsafat dapat dilihat sebagai benih
yang dari waktu ke waktu akan berkembang untuk menciptakan taman psikologi,
psikiatri, terapi, konseling, dan berbagai profesi bimbingan.
Haruskah
Kita Mengadaptasi
Konseling Tradisional untuk Memenuhi Kebutuhan Klien Nontradisional atau Menguji Konseling
Nontradisional
untuk Menguraikan
Beberapa Pendekatan Tradisional?
Olehkarena
konseling tradisional dikembangkan dari perspektif Eropa
untuk digunakan dengan orang-orang dari latar belakang budaya Eropa, para
profesional sekarang setuju akanpentingnya memodifikasi teknik-teknik konseling tradisional agar sesuai dengan
orang-orang dari berbagai latar
belakang budaya. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah mempelajari beberapa
keterampilan konseling tradisional dan melihat seberapa
baik keterampilan
itu berlaku pada
setiap kelompok budaya tertentu. Beberapa penelitian
telah dilaksanakan
di bidang ini, namun jauh lebih banyak lagi yang
tetap harus dipelajari, terutama
karena ada segudangteknik konseling dan kelompok budaya tertentu. Pendekatan
lain adalah mempelajari tradisi-tradisi bantuantradisional dalam kelompok budaya tertentu dan juga
bekerja bersama dengan tabib tradisional atau belajar dari mereka dan mengembangkan
teknik-teknik konseling baru yang sesuai dengan kelompok budaya klien. Pendekatan ini
menyerukan konselor agar menjadi antropolog budaya, belajar tentang budaya-budaya lain melalui perjalanan, film, membaca, dan
hubungan pribadi. Pendekatan ini lebih menantang dan menghendaki konselor agar
terus terbuka untuk terhadap baru dalam
memandang dunia dan teknik-teknik
baru. Akhirnya pendekatan ini harus terbukti lebih berhasil karena menggunakan sendiri pandangan dunia dan nilai-nilai klien, tetapi
telah ada, dan terus ada, penelitian yang relatif sedikit yang berfokus pada teknik konseling tradisional. Dalam buku ini, “teknik konseling tradisional” mengacu pada metode-metode konseling yang telah dikembangkan oleh dan untuk
kelompok budaya dan, jika tersedia, teknik-teknik ini dijelaskan.
Terapis dan Konselor
Dalam
budaya tradisional, para penyembuh cenderung mengatasi seluruh disfungsi
manusia. Di era modern, orientasi holistik terhadap penyembuhan ini telah
semakin terganggu dan menegang, jika tidak dapat diperbaiki lagi akan hilang.
Fragmentasi dan spesialisasi telah menggantikan kesatuan yang tidak dibedakan—sebagai
subdisiplin di dalam dan di luar pengobatan, psikologi, konseling, perawatan,
kerja sosial, dan pelayanan keagamaan yang melengkapi pelayanan masing-masing
dan sering melayani, dan bahkan bersaing untuk klien yang sama.
Dalam filsafat, René Descartes menarik
garis tajam antara tubuh dan pikiran.Pada beberapa abad berikutnya,
sekularisasi peradaban Baratsebagian besar menyingkirkan masalah-masalah
spiritual dari lingkup intervensi biomedis dan psikologis berbasis ilmiah,
sehingga memperluas pemisahan gereja dan negara bagian menjadi individu pada
bidang intrapsikis.Dalam babnya di buku ini, Michele Hirsch mengembangkan lebih
lanjut beberapa aspek mengenai topik ini.
Menanggapi penggolongan pengalaman
manusia ini, muncullah konseling dan terapi.Bidang ini sementara dapat didefinisikan
sebagai “metode bekerja dengan pasien/klien untuk membantu mereka memodifikasi,
mengubah, atau mengurangi faktor-faktor yang mengganggu kehidupan yang efektif”
(Fabrikant, 1984, hal. 184).Munculnya psikoterapi sebagai modalitas spesifik dari
pengobatan tekanan manusia dapat ditelusuri hingga dekade terakhir abad ke-19.
Sebagai penemu psikoanalisis, Sigmund Freud secara luas dianggap sebagai tokoh penting
dalam perkembangan ini, meskipun tidak ada seorang pun yang dapat
diidentifikasi sebagai penemu, pengukuh, atau praktisi yang pertama kali
dikenal (Ellenberger, 1970). Sebaliknya, awal psikoterapi dapat dianggap
sebagai perkembangan zeitgeist yang
berlaku, yang menekankan pada introspeksi, individualisme, dan perluasan praktik
ilmiah pada fenomena mental dan subjektif.Terapi bermula pada waktu otoritas
kepercayaan tradisional dan pemimpin religius secara bertahap terkikis oleh
perubahan sosial budaya secara konstan dan seiring dengan peningkatan ilmu
pengetahuan.
Selain itu masalah spiritual itu tersisihkan
dan masalah medis memainkan peran yang kurang kontrol dalam terapi dan
konseling Barat—berbeda dengan tradisional penyembuhan—berbagai pendekatan
menjamur, berkaitan dengan berbagai lingkup pikiran, perasaan, dan perilaku
yang lebih luas.Berikut adalah tiga contoh, secara berurutan bagaimana hal itu
berkembang.Psikoanalisis dan beberapa pendekatan terkait memiliki akar dalam
psikiatri dan kedokteran, dengan tinjauan psikopatologi seperti yang dihasilkan
oleh kondisi mental dan otak secara sadar dan tanpa sadar dan model penyakit
perilaku bermasalah sebagai gejalapenyebab yang mendasari yang perlu diobati
(lihat Rubin, buku ini). Pendekatan perilaku dan kognitif terutama terkait
dengan psikologi, dengan tinjauan perilaku normal dan abnormal yang dihasilkan
dan mampu diubah oleh proses-proses psikologis yang sama, dan dengan
ketergantungan pada bukti eksperimental dari keampuhan pengobatan (lihat
Tanaka-Matsumi, buku ini). Pendekatan sistem keluarga telah bertumbuh terutama
dalam pekerjaan sosial, dengan tinjauan perilaku abnormal seperti yang
dihasilkan oleh pola interaksional problematik dan hierarki kegagalan fungsi
dalam keluarga dan konteks sosial yang lebih besar, dan dengan minat khusus
dalam masyarakat miskin, imigran, dan budaya yang berbeda. Sementara para
praktisi dari semua profesi konseling dan terapi dapat ditemukan di semua
pendekatan ini (dan yang lain), asal-usul konseptual dan disipliner dari
masing-masing bentuk konseling atau terapi memiliki efek berkelanjutan pada
subkultur pengobatan yang telah dikembangkan.
Kesamaan pelatihan di seluruh dunia
mengarah padapembagian pandangan dunia internasional tersebut. Dengan demikian,
para psikoanalis dari Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Asia, dan Afrika
berbagi satu sama lain lebih banyak pandangan umum tentang terapi daripada yang
mereka lakukan dengan para terapis perilaku, kognitif, atau sistemik dari
negara mereka sendiri. Selain itu, semua pendekatan ini harus disesuaikan
dengan kondisi setempat; dan apabila terapis bukan asli dari budaya itu,
penggunaan konsultan budaya (di dalam atau di luar sesi) dapat membantu.
Sebagai contoh, salah satu dari kami
(Jefferson Ikan) adalah terapis untuk seorang wanita depresi di Brasil yang
suaminya telah meninggalkan dirinya.Wanita itu harus bekerja dan memilikidua kemungkinan
bimbingan karier sama-sama bisa diterimanya. Pilihan pertama akan menjadi salah
satu pilihan yang lebih baik di Amerika Serikat, tetapi terapis tidak bertindak
berdasarkan asumsi tersebut. Sebaliknya, ia mengundang salah satu pengawasnya (yaitu
seorang psikolog berlisensi dengan praktik swasta) untuk hadir pada beberapa
sesi. Ternyata pilihan kedua jauh lebih baik di Brazil, dan wanita itu dibimbing
sesuai dengan pilihan itu.
Sebagian besar profesional kesehatan
mental telah membuka diri pada berbagai pendekatan teoritis untuk konseling dan
terapi.Hal ini jelas bahwa tidak setiap pendekatansama-sama dapat diterima dan
meyakinkan bagi para profesional dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.Bentuk-bentuk
psikoanalisa Freud termasuk varietas Klein dan Lacanian, misalnya, mendominasi
di kalangan terapis Argentina.Dengan cara sebaliknya, hal itu akan dianggap
tidak dapat diterima bagi sebagian besar profesional China yang mungkin memperhatikan
potensi benturan antara psikoanalisis dan pemikiran Konfusianisme mengenai kesopanan,
pengendalian diri, keengganan untuk mengungkapkan pikiran seksual, sifat
nonseksual secara pasti dari hubungan ibu-anak, dan pentingnya pusat dari hsiao (berbakti kepada orangtua).
Sebaliknya, pendekatan kognitif-perilakutampaknya bergerek lebih mudah
melintasi batas-batas budaya (lihat Gielen & Al-Khawajah, Tanaka-Matsumi, keduanya
dalam buku ini).Selain itu, para profesional multikultural lainnya mengadopsi
pendekatan eklektik sementara mengarahkan tujuan pada integrasi dari berbagai
pendekatan dan teknik Barat dan Timur (misalnya, Kuriansky, buku ini).Pendekatan
“toolbox” ini tidak hanya bersifat multikultural tetapi juga multimodal,
multidimensional, dan multidisipliner.
Situasi Konseling dan Terapi Multikultural
Profesional
kesehatan mental perlu membuka diri pada beragam situasi multikultural sebelum
mereka dapat sepenuhnya menghargai dasar budaya dari pekerjaan mereka. Dalam
buku ini, jenis-jenis situasi multikultural dan non-Barat digambarkan sebagai
berikut:
1. Penyembuh
dan klien keduanya adalah anggota dari budaya non-Barat yang sama(misalnya,
Gielen & Al-Khawajah; Jilek & Draguns; Sussman, semuanya dalam buku
ini).
2. Seorang
konselor non-Barat yang terlatih dalam teknik-teknik Barat menerapkannya dalam lingkungan
non-Barat (misalnya, Al-Khawajah di Kuwait, Tanaka-Matsumidi Jepang, keduanya
dalam buku ini).
3. Psikiater
imigran Austria yang terlatih secara Barat membimbing orang-orang tua dari
negara “Dunia Pertama” Kanada (kelompok penduduk asli Amerika) saat mereka menciptakan
kembali dan mengubah ritual adat yang dirancang untuk mengintegrasikan kembali para
pemuda terasing dalam masyarakat mereka (Jilek &Draguns, buku ini).
4. Spesialis
kesehatan mental Barat memberikan konseling (misalnya, Denham, buku ini) dan
intervensi psikososial singkat (misalnya, Kuriansky, buku ini) kepada klien
semi-Barat atau non-Barat. Klien tersebut mencakup mereka yang menderita
kenangan traumatis dan mereka yang menghadiriceramah, lokakarya, dan sesi
pelatihan singkat.
5. Seorang
psikolog konseling bikultural yang menggabungkan Timur dan Barat menasihati
pasangan bikultural dan dwiagama yang mengalami bermacam-macam konflik perkawinan,budaya,
agama, dan psikologis (Laungani, buku ini).
6. Seorang
psikoterapis Amerika membahas integrasinya dari pendekatan Barat (yaitu, psikoanalitik)
dengan pendekatan Timur (yaitu, Buddha) (Rubin, buku ini). Teknik meditasi umat
Buddha disarankan untuk meningkatkan keterampilan mendengarkan dari
psikoterapis. Kuriansky(buku ini) telah mengarah pada integrasi pendekatan Timur
dan Barat serta dalam pendekatan “toolbox”, yang mencakup berbagai macam teknik
yang berasal dari bermacam-macam tradisi budaya dan teoritis.
7. Sebuah
tim spesialis kesehatan mental dari kelompok minoritas menciptakan program
konseling yang sensitif budaya yang cocok untuk remaja dari latar belakang
etnokultural yang sama (Koss-Chioino, Baca, & Vargas, buku ini).
Berbagai situasi terapi dan konseling
multikultural yang dianalisis dalam buku ini jauh melampaui situasi prototipe
yang dijelaskan dan dikritik dalam beberapa buku konseling multikultural yang banyak
dibaca. Dalam buku-buku ini, yang (kurang lebih) bermaksud baik tetapi tidak
sensitif budaya, para spesialis konseling Amerika Eropa gagal berinteraksi
secara efektif dengan klien dan mahasiswa kelompok minoritas karena ketertutupan
budaya, etnosentrisme, dan/atau rasisme implisit konselor (untuk contoh, lihat
Sue & Sue, 2008). Walaupun situasi seperti itu tidak diragukan lagi terjadi
dan perlu secara kritis dianalisis dan diperbaiki, dunia multikultural saat ini
menyajikan berbagai kompleksitas yang tidak cukup banyak dibahas oleh
contoh-contoh tersebut.Pettifor (2007, hal. 322), misalnya, berkomentar bahwa “pelatihan
mahasiswa internasional untuk menjadi konselor dan psikolog merasakan diskriminasi
rasial ketika literatur dan kuliah tentang keanekaragaman selalu menempatkan
orang minoritas sebagai klien dan orang utama sebagai profesional.” Dengan kata
lain, bidang konseling dan terapi multikultural perlu bergerak melampaui
analisis dan tinjauan mengenaihubungan klien kelompok minoritas-konselor Euro-Amerika
dan dasar-dasar sosial politik mereka. Sebaliknya, kita memerlukan kerangka
teoritis yang dapat mencakup beragam interaksi budaya terstruktur antara
penyembuh/terapis/konselor dan klien mereka di seluruh dunia.
Penelitian di masa depan mungkin,
misalnya, menyelidiki berbagai situasi di mana seorang spesialis kesehatan
mental dari satu latar belakang minoritas berinteraksi dengan klien dari latar
belakang minoritas lain. Suatu contoh adalah konselor Amerika Korea kelas
menengah di Los Angeles yang menasihati klien Amerika Afrika yang miskin.
Mengingat sejarah yang terkadangkontroversial antara dua komunitas etnis dan
budaya serta perbedaan kelas sosial antara konselor dan klien, kita mungkin
meramalkan potensi masalah yang berpusat pada isu-isu kepercayaan, kesesuaian budaya,
persepsi rasial, dan gaya verbal dan nonverbal yang berhubungan dengan
masing-masing lainnya. Contoh itu juga harus mengingatkan kita bahwa perbedaan
kelas sosial antara konselor dan konseli kadang-kadang lebih mengganggu
konseling yang efektif daripada perbedaan etnis atau ras yang dirasakan.Dengan
demikian, “obat berbicara“ cenderung lebih dapat diterima oleh kelas menengah
atas daripada klien kelas pekerja, beberapa di antaranya malah mungkin lebih
suka pengobatan fisik atau pengakuan dan diskusi didukung alkohol dengan
“mates“(Australia) atau teman-temanmereka di bar setempat.
Satu atau dua patah kata juga harus diucapkan
tentang kemampuan multilinguistikdari profesi kesehatan mental serta pengetahuan
sosial budaya dan geografis dasar mereka tentang imigran dan kelompok minoritas.Tinjauan
meta-analisis Griner dan Smith (2006)mengenaiintervensi kesehatan mental yang disesuaikan
budaya menemukan bahwa ketika intervensi dilakukan dalam bahasa pertama klien, biasanya
sangat efektif.Selain itu, intervensi seperti itu paling menjanjikan ketika
diarahkan pada kelompok-kelompok yang relatif homogen (lihat juga Draguns dan
Tanaka-Matsumi, keduanya dalam buku ini).Suatu contoh yang bagus dari
intervensi tersebut adalah terapi kelompok dengan remaja Amerika Meksiko dan Meksiko
dijabarkan oleh Koss-Chioino, Baca, dan Vargas dalam buku ini.
Secara umum, bukti penelitian
menunjukkan bahwa konselor yang berjuang untuk kompetensi multikultural harus
mempertimbangkan belajar bahasa (dan budaya) klien mereka. Beberapa konselor
Anglo di daerah barat daya Amerika Serikat mungkin belajar bahasa Spanyol agar
pelayanan optimal kepada klien Latino(a)mereka. Namun dalam situasi lain, memperoleh
kompetensi multilinguistiksecara menyeluruh tidak hanya tujuan yang realistis: konselor
sekolah di banyak sekolah New York, misalnya, cenderung berinteraksi dengan mahasiswa
imigrandan anggota keluarga mereka dari puluhan negara. Akibatnya, profesional
kesehatan multikultural kadang kala harus menyediakan sendiri jasa penerjemah
(atau anggota keluarga bilingual), seperti yang dapat dilihat dalam analisis Denham
(buku ini) mengenai interaksi antara para profesional Australia berbahasa
Inggris dan klien pengungsi Kosovo berbahasa Albania.Tambahan pula, penerjemah
yang bagus, tidak hanya berperan sebagai jembatan budaya permulaan antara
konselor dan klien mereka, tetapi juga memperkenalkan konselor kepada banyak
unsur yang lebih rumit dari budaya klien dan cara-cara hidup di dunia. Dalam cara
ini dan lainnya, mereka dapat berfungsi sebagai “perantara budaya.” Hal yang
sama juga kadang-kadang berlaku bagi anak-anak bilingual yang bertindak sebagai
penerjemah antara orangtua imigran monolingual dan pekerja sosial atau
psikolog. Namun, situasi seperti itu melibatkan potensi komplikasi dan
kelemahan karena dapat mengurangi otoritas orangtua dan menyebabkan kerancuan
peran dalam keluarga yang sudah di bawah tekanan.
Ketika psikoterapis bertemuklien imigran
dan pengungsi, mereka harus menginformasikan diri mereka sendiri tentang latar
belakang geografis dan sosial budaya klien mereka (Denham, buku ini). Di
Amerika Serikat, hal ini menjadi lebih sulit karena fakta bahwa geografi jarang
diajarkan di sekolah-sekolah tinggi danperguruan tinggi. Percakapan (U. P. G.) saya
dengan klien dari beberapa profesional kesehatan mental berbasis di New York
telah meyakinkan saya bahwa setidaknya beberapa profesional itu—yang semuanya
berpraktik di salah satu kota yang paling multietnis di bumi itu—masih cukup
awam tentang sebagian besar dunia di luar Amerika Serikat. Tidak mengherankan,
beberapa klien menyatakan kepada saya bahwa mereka telah kehilangan kepercayaan
pada konselor atau terapis yang mereka anggap (mungkin benar) kurang berpengetahuan
budaya yang diperlukan untuk secara memadai memahami situasi mereka dan konflik
di dalam dan luarnya.
Pelajaran yang muncul dari laporan
tersebut adalah jelas: para profesional kesehatan multikultural yang kompeten perlu
memperoleh pengetahuan sosial budaya dan geografisyang luas tentang dunia pada
umumnya. Beberapa hal ini dapat dilakukan dengan cara yang sangat menyenangkan:
bepergian ke luar negeri; menonton film asing; membaca novel, ceramah tentang perjalanan,
dan sejarah dunia oleh penulis non-Barat; menghadiri acara-acara multikultural;
berpartisipasi dalam perayaan keluarga beragam budaya, upacara keagamaan,
festival, dan sebagainya; berinteraksi dengan mahasiswa dan rekan asing;berteman
dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya; mencoba masakan asing;
dan melakukan penelitian bersama-sama dengan rekan-rekan di luar negeri adalah
semua kegiatan yang dapat menyenangkan sekaligus memperkaya dan mendidik kita
tentang berbagai jenis kebudayaan manusia dan prestasi mereka. Pada waktunyakita
juga belajar tentang kebenaran penting bahwa orang-orang dari latar belakang
budaya yang samamungkin berbeda dalam kepribadian dan pandangan hidup mereka.
Kesadaran tersebut sangat membantu dalam mengurangi kecenderungan alami kita dan
yang sulit dihindari untuk terlibat dalam stereotip budaya.Ironisnya, stereotip
tersebut juga kadang-kadang merupakan reaksi tanpa disadari untuk pada
pertemuan diskusi tentang karakteristik budaya yang diakui dari berbagai
kelompok etnis dalam literatur ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Anak Agung NgurahAdhiputra (2013). Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Colin Lago (2006) Race,
Culture and Counseling, England : McGraw-Hill House
Uwe
P. Gielen, Juris G. Draguns, Jefferson M. Fish (2008) Principles
of Multicultural Counseling and TherapyAn Introduction. New York: Taylor
& Francis Group, LLC.
Wanda M.L. Lee, John A. Blando, Nathalie D. Mizelle,
Graciela L. Orozco (2007) Introduction to
Multicultural Counseling for Helping Professionals. New York : Routledge
Taylor & Francis Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar