A. Benturan Peradaban
Selain
pengenalan terhadap seluk beluk budaya lokal dan sikap-sikap yang menyertai
perbedaan antar budaya, isu dalam kajian antar budaya umumnya dan konseling
lintas budaya khususnya juga berkaitan dengan pergeseran hubungan antar
peradaban yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu. Dalam hal ini,
siapapun yang terlibat dalam kajian antar budaya dituntut untuk memiliki
persepektif global. Mungkin persepektif ini tidak
langsung berkaitan dengan pemahaman konselor terhadap perilaku klien, tetapi
memberikan perspektif terhadap bagaimana seorang konselor lintas-budaya
memposisikan diri dalam perkembangan global.
Sebagai
contoh dalam perkembangan terakhir yaitu serangan terhadap gedung WTC (World
Trade Center) dan pentagon pada tanggal
11 september 2001 beserta implikasi-implikasi global yang menyertainya, kita dapat mengerti Amerika Serikat
dan sekutu baratnya segera mengangkat
peristiwa itu sebagai serangan terhadap peradaban barat dan bahkan peradaban
dunia. Kia juga dapat
mendeteksi, betapa stereotip, prasangka
dan bias-bias barat terhadap Islam
yang secara historis diwariskan dari generasi ke generasi dan bahkan cenderung
skizophrenik (Amstrong, 2001,
dalam Dedi Supriadi, 2001: 47) seakan-akan mendapatkan pembenaran kembali.
Dalam suasana meliputi prasangka seperti
ini, adalah persoalan besar bagi mayoritas masyarakat Barat untuk mengambil
posisi yang obyektif dan jujur terhadap komunitas Muslim; barangkali termasuk pula di
sekolah-sekolah yang sebagian siswanya adalah Muslim.
Telah
dikemukakan diatas bahwa multikulturalisme adalah pengakuan terhadap adanya pluralisme budaya yang perlu
dipelihara sebagai khazanah kekayaan kebudayaan
umat manusia. Karena ada pengakuan, maka kebudayaan yang beragam itu hidup
sejajar dalam harmoni dan toleransi sekalipun selalu ada yang menjadi “Budaya
utama” atau budaya mayoritas yang menjadi mainstream
dalam suatu komunitas, multikulturalisme memastikan adanya hak hidup, pengakuan
dan bahkan perlunya tindakan afirmatif terhadap budaya kelompok minoritas. Ide
multikulturalisme bertolak dari kepercayaan tentang perlu adanya saling
pengertian,harmoni, dan perdamaian, bukan konflik.
Dalam
publikasi yang menghebohkan yang dimuat dalam jurnal Foreign Affairs (1993 a:
22-40), Huntington mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai
dengan ambruknya tembok Berlin
pada tahun 1989 dan berakhirnya 72 tahun sejarah Uni Soviet maka konflik Timur
Barat berakhir dan Barat yang dipimpin oleh Amerika keluar sebagai pemenang.
Secara agak berlebihan, Francis Fukuyama menandai kemenangan mutlak Liberalisme
atau Sosialisme ini sebagai “akhir sejarah” dalam karyanya “The End of History”.
Diantara
peradaban-peradaban tersebut, akan terjadi persaingan untuk merebut hegemoni
dunia. Dari pola-pola hubungan yang terjadi antar peradaban selama ini, ia
menyatakan bahwa akan
ada tiga kekuatan di masa depan yang dominan yaitu peradaban barat, islam, dan
konfusius. Barat
meliputi Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia sebagai sebuah torn country,
Selandia Baru dan kedalam kekuatan ini akan bergabung Rusia dengan
Negara-negara Eropa Timur dengan ciri Slavik serta Amerika Latin. Islam merujuk
pada Negara-negara dengan mayoritas muslim termasuk Indonesia. Konfusius adalah
Cina dan Negara-negara disekitarnya yang berciri kebudayaan Cinic seperti Korea
dan Jepang. Dihitung dari jumlah penduduknya, kekuatan barat dan sekutunya
mewakili sekitar 30-40% penduduk dunia, sedangkan Islam dan Kofusius akan
mewakili 60% penduduk dunia (Huntington,2001: 132, dalam Dedi Supriadi,2001:
50).
Sejak
dilontarkan pada tahun 1993, paradigma Huntington hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Salah
satu bagian yang penting yang perlu dicatat dalam paradigma ini adalah sebagai akibat
terjadinya konflik antar peradaban, ada kecenderungan dewasa ini yang
mengarahkan dunia pada “Monokulturalisme global” dengan memberlakukan
Universalitas budaya barat khususnya Amerika Serikat.
Tesis
Huntington tersebut mendapatkan reaksi yang cukup luas sehingga ia merasa perlu
untuk menjelaskan kembali posisinya dalam jurnal yang sama. “If not
civilization, What?” (1993 b). Dalam jawabannya Ia bertolak dari paradigma Thomas
S. Khun (1970) tentang anatomi
revolusi keilmuan. Huntington yakin bahwa paradigma itulah yang paling mampu
menjelaskan perkembangan ke depan. Sedemikian yakinnya, ia menyatakan bahwa
kerjasama ekonomi dan kebudayaan sekalipun hanya terjadi antara kebudayaan
dalam rumpun peradaban yang serupa. Misalnya, ia musahilkan kerjasama ekonomi
antara ekonomi Islam dan Barat yang secara mendasar memiliki ciri-ciri yang
berbeda.
Untuk
menyegarkan ingatan kita, pokok paradigma Thomas S. Kuhn yang dirujuk oeh Huntington
ialah bahwa sepanjang sejarah, determinan
utama perkembangan ilmu bukanlah akumulasi informasi keilmuan sebagaimana
diyakini oleh banyak orang, melainkan terjadinya revolusi paradigma. Revolusi paradigma
terjadi pada saat paradigma yang ada menjadi usang dan tidak mampu lagi
menjelaskan fenomena yang dihadapinya. Menurut dia, pada suatu masa dapat saja
terdapat lebih dari satu paradigma
yang digunakan dalam posisi yang saling bersaing dan memiliki pengikut yang luas
di kalangan para ilmuwan. Berdasarkan paradigma Kuhn ini, Huntington menyatakan
bahwa “paradigma Perang Dingin” (the cold
war paradigm) dan kategori yang berkaitan dengannya (misalnya konflik
Timur-Barat, hubungan Utara-Selatan, Dunia Ketiga untuk menunjuk pada
negara-negara berkembang) tidak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena yang
terjadi pada pasca Perang Dingin. Oleh sebab itu, dikenal istilah “paradigma
peradaban” (the civilization paradigm)
sebagai penggantinya.
Dengan segala kontroversi yang menyertainya, paradigma
tersebut diakui dapat membantu dalam membaca berbagai pergeseran global
berkenaan dengan hubungan antar-peradaban yang terjadi selama 10 tahun
terakhir, yang untuk sebagian mungkin merupakan semacam self fulfilling prophecy belaka dari tesis Huntington. Maksudnya
bahwa karena tulisan Huntington, maka orang percaya akan terjadinya benturan
peradaban. Karena percaya, maka hal itu kemudian diwujudkan dalam bentuk
tindakan. Dari kacamata ini, bisa dipetakan berbagai perkembangan yang terjadi
di dunia. Misalnya hubungan RRC-AS yang sensitif, ditolaknya Turki untuk
bergabung ke dalam masyarakat Eropa karena dianggap tidak memiliki kontribusi pada peradaban Barat,
latihan perang Turki-Israel yang di masa lalu mustahil dapat terjadi,
berubahnya politik luar negeri Australia dari “pro-Asia” di zaman Paul Keating
menjadi “pro-Amerika dan Eropa” di zaman PM John Howard sekarang yang mengambil
jarak dari negara tetangga terdekatnya yaitu Indonesia. Dalam konteks benturan
peradaban, Australia dan Turki oleh Huntington disebut sebagai “the torn countries” bersama Rusia dan
Meksiko.
Seperti
telah disebutkan di atas, sudut pandang yang sama dapat digunakan untuk membaca
peristiwa ditubrukkannya tiga pesawat Boeing ke gedung WTC dan Pentagon yang
dibalas dengan serangan ke Afganistan dengan dali untuk memberangus teroris,
melalui operasi yang disebutnya “Operation
Infinite Justice” (Operasi Keadilan Tanpa Batas) sebagai pengganti “Operation Crusade” (Operasi Perang
Salib) yang diprotes komunitas Muslim Amerika. Dapat dilihat pula, bagaimana
Amerika dan sekutu Baratnya merespons peristiwa ini dengan mengangkat
panji-panji yang disebutnya perang terhadap peradaban Barat dan bahkan dunia,
persis diisyaratkan oleh Huntington. “The
very phrase ‘world community’ has become a euphemism to give legitimacy to the
actions of the west” (h.40). Kalaupun benar Osama bin Laden dan kelompok Al-Khaedah-nya berada di belakang
serangan terhadap WTC dan Pentagon (kalau bukan justru Israel dari jaringan
Zionismenya yang mengglobal sebagaimana disinyalir oleh sementara pihak karena
lebih mungkin bila dilihat dari kecanggihan dan tingkat presisi serangan itu),
maka ia dan jaringannya hanya mewujudkan paradigma Huntington tersebut. Itulah
yang dimaksud dengan “self-fulfilling
prophecy”. Apa yang dikemukakan oleh Huntington juga diisyaratkan oleh
Karen Armstrong (2001a: 5, dalam Dedi Supriadi, 2001: 53), “kini tampak bahwa
Perang Dunia (Barat) melawan Uni Soviet (yang telah berakhir) akan digantikan
oleh Perang Dunia melawan Islam.
Huntington
mengingatkan bahwa negara-negara non-Barat akan berusaha menjadi modern tanpa
harus menjadi Barat atau menempuh jalan yang telah dilalui oleh Barat –
sebagaimana telah dilakukan dengan sukses oleh Jepang, Korea, Singapura, dan
RRC sebagai kekuatan yang sedang menggeliat. Sebagai bagian dari modernitas
itu, negara-negara non-Barat akan terus berusaha untuk membangun ekonomi,
teknologi, keterampilan, dan persenjataannya sehingga dapat menyaingi Barat. Langkah
yang ditempuh oleh India, Pakistan, Iran, dan Irak dengan membangun
persenjataan nuklirnya yang menggunakan teknologi RRC dan Korea Utara dapat
dianggap sebagai upaya menyaingi superioritas militer Barat. Pada saat yang
sama, mereka akan berusaha menyesuaikan modernitas dengan kebudayaan dan
nilai-nilai tradisionalnya. Keadaan ini akan menuntut Barat untuk mengakomodasi
peradaban modern non-Barat yang kekuatan-nya menyaingi Barat namun didasari
nilai-nilai dan kepentingannya dalam kaitan dengan peradaban-peradaban lain,
Barat berusaha untuk mempertahankan kekuatan ekonomi dan militernya. Inilah
yang kemudian melahirkan konflik peradaban yang terjadi pada setiap titik persinggungan
atar-peradaban, terutama antara aliansi Islam – Konfusius melawan Barat. “The conflicts of the future will occur along
the cultural faults lines separating civilizations” (h. 25), dan bahwa “A Cunfucion – Islamic connection has emerged
to challenge Western interests values and power” (h.46).
Dari
posisi kajian antar-budaya, analisis Huntington perlu digaris-bawahi karena
arahnya berlawanan dengan semangat multikulturalisme yang sedang tumbuh di
banyak negara. Benturan antar-peradaban akan menyeret dunia pada berbagai
konflik yang sama dasyatnya dengan Perang Dunia (baca, misalnya LaFeber, 1980),
dan peradaban Barat akan berusaha untuk menjadi kekuatan yang paling dominan di
dunia melalui tema-tema propaganda yang disebutnya “universalitas peradaban barat”
untuk menciptakan monokulturalisme global (Huntington, 2001: 616-617). Akan
tetapi pada akhirnya ia juga menerima ide bahwa multikulturalisme global adalah
sesuatu yang tidak dapat dicegah. Dalam nada yang kurang yakin, ia menulis:
Beberapa orang
Amerika mempropagandakan multikulturalisme di dalam Negara mereka, sebagian
mempropagandakan universalisme di luar negeri; dan sebagian lagi
mempropagandakan keduanya. Propaganda multikulturalisme di dalam negeri
tersebut menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dan Barat; universalisme di luar
negeri menjadi ancaman bagi Barat dan dunia. Monokulturalisme global ingin
menjadikan Amerika seperti dunia. Sebuah Negara Amerika yang multicultural
tampaknya tidak mungkin diwujudkan karena “Negara-negara Amerika non-Barat”
bukanlah Amerika. Sebuah dunia multicultural tidak mungkin dihindari karena
kekuasaan global tidak mungkin terwujud. Preservasi Amerika dan Barat menuntut
pembaruan identitas Barat. Keamanan dunia memerlukan adanya peneriamaan
terhadap multikulturalitas global (Huntington, 2001: 632).
Meskipun
yakin benar akan terjadinya benturan peradaban, memang ia masih memberi ruang
bagi terjadinya kerjasama antar-peradaban dalam suatu pola hubungan yang
berdampingan secara damai. Menurut dia, sisi lain dari konflik tersebut adalah
keharusan Barat untuk memiliki perngertian yang mendalam tentang asumsi-asumsi
dasar filosofis dan keagamaan yang mendasari peradaban-peradaban non-Barat dan
cara orang-orang dalam peradaban-peradaban tersebut melihat kepentingan mereka
sendiri. Barat harus berusaha untuk mengidentifikasi elemen-elemen kesamaan
antara peradabannya sendiri dengan peradaban-peradaban lain. Karena itu,
mengakhiri artikel pertamanya, ia menulis, “for
the relevant future, there will be no universal civilization, but instead a
world of different civilizations, each of which will have to learn to co-exist
with the others” (1993 a: 49).
B. Model Untuk Memetakan
Konflik Peradaban
Dengan
mengacu kepada adanya tarikan antara monokulturalisme dan multikulturalisme pada
tataran lokal/ nasional hingga regional/ global, sebuah model untuk memetakan spektrum
benturan antar-peradaban dan dinamikanya dapat dilukiskan (Supriadi, 2001: 57)
sebagai ilustrasi pada gambar 1.1.
Gambar 1.1. Model hipotetik memetakan spektrum
dinamika benturan peradaban.
Model
ini dapat membantu kita memahami potensi-potensi konflik intra – dan antar –
peradaban, kebudayaan, atau kelompok masyarakat. Kuadran A
(monokulturalisme-nasional) adalah kondisi masyarakat/ negara/ kebudayaan yang
memiliki sifat-sifat (relatif) homogen dengan potensi konflik yang (relatif)
kecil. Kalaupun isu multikulturalisme muncul di sini, maka hal itu lebih pada
bagaimana meningkatkan harmoni antar-kelompok masyarakat yang ada. Kuadran
B (multikulturalisme-nasional) mewakili keadaan negara-negara
multi-etnik/ budaya yang sedang bergerak atau telah secara tegas mengakui
prularisme budaya masyarakatnya, namun justru karena itu pula, terdapat potensi
bagi terjadinya konflik-konflik internal. Isu-isu multikulturalisme menonjol di
sini, dan Indonesia berada dalam kuadran ini.
Konteks
paradigma Huntington berada pada Kuadran C dan D. Konflik peradaban
timbul apabila ada pemaksaan bagi terjadinya monokulturalisme-global (kuadran
D) dan menolak multikulturalisme-global (kuadran C). Hanya negara, kelompok negara,
atau tujuan-tujuan tertentu; bisa politik, ekonomi, kebudayaan, atau bahkan
keagamaan. Saat ini, Barat adalah satu-satunya kekuatan yang memiliki kemampuan
dan ambisi untuk menciptakan monokulturalisme-global melalui dalil-dalil
universalitas peradabannya, meskipun di dalam negerinya mengakui
multikulturalisme-nasional. Akan tetapi usaha kearah itu akan membangkitkan
perlawanan dari kekuatan-kekuatan yang menghendaki dipeliharanya
multikulturalisme-global (Kuadran C).
C. Titik Balik Peradaban : Harapan
Menuju Arah Baru
Isu
utama yang menjadi perhatian para konselor multikultural di Amerika Serikat,
terutama mereka yang memiliki sudut pandang emik, adalah dominasinya
teori-teori yang berdasarkan nilai-nilai budaya Eropa/ Amerika Utara. Beberapa
kepercayaan dominan dari Eropa/ Amerika Utara adalah nilai-nilai individual,
pemecahan masalah yang berorientasi pada tindakan, etika kerja, metode ilmiah,
dan penekanan pada jadwal waktu yang ketat (Axelson, 1999). Liabilitas dari
nilai-nilai ini dalam konseling adalah bahwa teori-teori yang dibuat
disekitarnya tidak selalu berlaku untuk klien yang berasal dari tradisi budaya
yang lain (Lee 2006; Nwachuku & Ivey, 1991; Sue, 1992). Jika fakta ini
tidak dikenali dan dihadapi, dapat terjadi bias dan kegagalan dalam relasi
konselor-klien (Pendersen, 1987).
Isu
kedua dalam konseling multikultural adalah sensitifitas terhadap budaya secara
umum dan khusus. Pendersen (1982) percaya bahwa sangat penting bagi konselor
untuk sensitif terhadap tiga area berikut dalam isu budaya:
1. Pengetahuan
akan cara pandang klien yang berbeda budaya
2. Kepekaan
terhadap cara pandang pribadi seseorang dan bagaimana seseorang merupakan
produk dari pengkondisian budaya, dan
3. Keahlian
yang diperlukan untuk bekerja dengan klien yang berbeda budaya.
Ketiga area ini telah digunakan AMCD
sebagai dasar untuk mengembangkan Multicultural
Counseling Competencies pada tahun 1992 dan pengoperasiannya (Arredondo et
al, 1996). Sebelum perkembangan ini, Pedersen (1977, 1978) telah terlebih
dahulu mengembangkan model segi tiga untuk membantu konselor mencapai
pengertian yang lebih dalam terhadap budaya secara umum. Empat area dalam model
tersebut adalah “memandang masalah dari perspektif budaya klien; mengantisipasi
perlawanan dari klien yang berbeda budaya; mereduksi sikap melawan dengan cara
mempelajari respon perlawanan pribadi; dan mempelajari kemampuan untuk
memulihkan, untuk keluar dari kesulitan ketika mengkonseling orang yang berbeda
budaya” (1978, p. 481). Dalam model ini, seorang antikonselor, yang berfungsi
seperti alter ego dan dengan sengaja berusaha untuk memberontak, bekerja dengan
konselor dan klien dalam sesi kaset video. Interaksi dan umpan balik yang
dihasilkan melalui proses ini membantu menghancurkan dinding penghalang dan
mendorong pengertian dan sensitivitas yang lebih baik dalam diri konselor
(Parker, Archer, & Scott, 1992).
Model lain untuk memahami budaya
tertentu dibuat oleh Nwachuku dan Ivey (1991). Mereka mengusulkan agar konselor
terlebih dahulu mempelajari suatu budaya dan nilai-nilai budaya tersebut
sebelum mencoba untuk mengedaptasi sebuah teori bagi klein tertentu. Teknik
awal dalam mencapai tujuan ini adalah menonton film-film popular yang berfokus
pada keberagaman tentang budaya tertentu. Pinterits dan Atkinson (1998) membuat
daftar beberapa film yang bisa membantu konselor untuk mengerti perbedaan
budaya dan merasakan masalah yang ada dalam budaya-budaya ini secara langsung.
Isu ke tiga dalam konseling multikultural
adalah memahami cara kerja sistem budaya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Konselor yang memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang sistem budaya biasanya
akan lebih ahli dalam membantu anggota dari kelompok budaya tertentu. Konselor
semacam ini mampu berbagi cara pandang yang sama dengan klien, membuat
intervensi yang lebih baik dan pantas, tetapi tetap mempertahankan integritas
personal. Tipe sensitivitas budaya semacam ini membutuhkan “partisipasi aktif
dari pikah praktisi” termasuk kesadaran diri (Brinson, 1996, p. 201).
Isu keempat dalam konseling multikultural
adalah menyediakan layanan konseling lintas budaya yang efektif. Sue (1978)
membuat lima panduan untuk konseling lintas budaya yang efektif, yang masih
aplikatif hingga sekarang:
1.
Konselor mengenali nilai-nilai dan kepercayaan
yang mereka pegang sehubungan dengan tingkah laku manusia yang diinginkan dan
diterima. Mereka kemudian akan dapat mengintegrasikan pengertian ini ke dalam
tingkah laku dan perasaan yang tepat.
2.
Konselor menyadari kualitas dan transisi
dari teori konseling yang umum dan bersifat kultural. Tidak ada metode
konseling yang bebas dari pengaruh budaya
3.
Konselor mengerti lingkungan sosial
politik yang telah mempengaruhi kehidupan para anggota kelompok minoritas. Manusia
adalah produk dari keadaan di mana mereka hidup
4.
Konselor mampu berbagi cara pandang dari
klien dan tidak menyatakan keabsahannya
5.
Konselor benar-benar kreatif dalam
praktik konseling. Mereka dapat menggunakan beragam keahlian konseling dan
menerapkan teknik konseling tertentu pada gaya hidup dan pengalaman tertentu.
Lebih
jauh lagi Sue (1978) menyarakan sebuah bingkai kerja untuk konseling
multikultural yang berdasarkan pada konsep dua dimensi, dengan lokus kontrol
pada poros horizontal dan lokus tanggung jawab pada poros vertikal. Keempat kuadran
mempresentasikan tingkatan dan macam-macam interaksi dan bisa terjadi di antara
variabel-variabel ini dengan klien dari budaya yang berbeda.
Gambar 1.2.
Representasi grafik dari cara pandang dunia
Isu terakhir dari konseling multikultural adalah
perkembangan penggunaan teori-teori konseling. Bias kultural terjadi pada
konselor dari kalangan mayoritas maupun minoritas (Wendel, 1997) dan dulu telah
masuk dalam teori-teori konseling. Untuk menghadapi bias, teori-teori konseling
yang terbatas secara budaya, dan untuk membantu melampaui batasan kulutral,
McFadden (1999) dan sejumlah pendidik konselor terkemuka telah menemukan adanya
kesadaran tetang perlunya konseling multikultural. Model McFadde adalah
perspektif lintas budaya yang berfokus pada tiga dimensi utama yang harus
dikuasai konselor. Yaitu:
1. Cultural
– historial, yaitu konselor harus menguasai pengetahuan akan budaya klien
2. Psikososial,
yaitu konselor harus memahami etnik, performa, percakapan, tingkah laku
kelompok sosial dari klien agar bisa memiliki komunikasi yang bermakna
3. Saintifik
– ideological, yaitu konselor harus munggunakan pendekatan konseling yang tepat
untuk menghadapi masalah yang terkait dengan lingkungan regional, nasional, dan
internasional.
Penjelasan tentang
teori-teori yang telah ada dan tingkat penerapannya pada populasi dan masalah
tertentu juga telah menjadi popular (misalnya, Corsini dan Wedding, 2008; Sue,
Ivey, & Pedersen, 1996; Vontress, 1996). Konseling eksistensial adalah
salah satu pendekatan yang seperti perspektif lintas budaya MCFadden, utuh dan
bisa diterapkan pada “semua kelompok budaya dan sosial ekonomi” (Epp, 1998,
p.7). sebagai pendekatan teoritis, ini berhadapan dengan makna dan relasi
antar-manusia dan dengan isu paling tinggi yaitu hidup dan mati.
Perkembangan
menggembirakan lainnya dalam konseling multikultural adalah pembaharuan
penekanan pada teori yang dirancang secara khusus untuk budaya yang
berbeda-beda (Lee, 2006). Sebagai contoh, psikoterapis Asia tradisional, yang
telah ada dari 3000 tahun yang lalu, menjadi semakin popular di Barat
belakangan ini (Walsh, 2000). Banyak dari tradisi ini menekankan pada
eksistensial dan kesehatan transpersonal serta perkembangan patologi, serta
menerapkan teknik-teknik seperti meditasi dan yoga. Efeknya menguntungkan pada
pertumbuhan psikologis dan kesehatan, baik digunakan sendiri maupun digunakan
bersama dengan pendekatan lain.
1. Relevansi Kebutuhan Konseling
Lintas Budaya di Indonesia
Pada
bagian pembahasan ini, secara khusus dikemukakan relevansi konseling lintas-budaya di Indonesia. Dari pengamatan
penulis di lapangan dan serangkaian diskusi dengan para konselor sekolah
diketahui bahwa semakin sering persoalan-persoalan yang bersumber dari
keragaman budaya klien muncul dan sulit dipecahkan dalam proses pendidikan dan
konseling sekolah; sementara para konselor itu, dan bahkan sistem persekolahan
belum secara sengaja disiapkan untuk menghadapi keadaan tersebut. Perilaku malasuai
(maladjustment) siswa untuk tingkat tertentu sangat terkait dengan dari mana ia
berasal dan ke mana afiliasi kelompoknya, apakah itu etnik asal daerah, atau
bahkan status sosial-ekonomi keluarganya.
Hal
serupa terjadi di luar persekolahan. Ketika terjadi berbagai gejolak daerah
(Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Timor
Timur), banyak penduduk mengungsi dan mengalami stres berat. Pemerintah
kemudian meluncurkan program rehabilitasi sosial melalui layanan konseling
bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi dan Lembaga Sosial Masyarakat
(LSM). Dilaporkan bahwa tidak banyak orang atau lembaga yang secara khusus
mempunyai cukup kepakaran untuk menangani persoalan-persoalan seperti itu. Mereka
menyadari bahwa prinsip-prinsip yang lazim digunakan dalam konseling dan
prikologi saja tidak cukup untuk menangani masalah-masalah yang bersifat
lintas-budaya, tanpa adanya pengertian yang memadai tentang karakteristik
budaya populasi yang dilayaninya. Dalam konteks yang relevan, kegagalan
Indonesia (sehingga lepas kembali) bersumber pula dari ketidak mampuan kita
untuk memahami dan memperlakukan manusia Timtim secara tepat. Misalnya, untuk
dan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, mereka serta-merta diperlakukan
seperti anak-anak di bagian Indonesia lainnya yang secara historis memang
diikat oleh nasionalisme Indonesia, sementara akar kesejarahan orang Timtim
berbeda sehingga tidak ada nasionalisme Indonesia di Timtim (Rahardjo, 1999
dalam Supriadi, 2001: 67).
Pada
dua dasawarsa terakhir, perhatian terhadap topik-topik kajian yang sifatnya
multi-, antar-, trans-, atau lintas-budaya semakin berkembang di banyak negara.
Banyak buku, artikel jurnal, tesis, disertasi dan penelitian-penelitian
dilakukan untuk menelaah masalah ini. Misalnya: impact of culture and Context on Psychosocial Adaption: The Cultural and Contextual Guides Process,
Jody L. Swartz-Kulstad and William E. Martin jr. Journal of counseling & development,
99; Multicultural Counseling, Eric
Digest, Author: Locke, Don C, 93; dan Issues
in Multicultural Counseling Highlights: An Eric/ Caps Digest, Author:
Bolton-Brownlee, Ann, 87; dsbnya. Perkembangan yang cepat di Negara-negara lain
tersebut tampaknya belum banyak berimbas ke Indonesia. Belum banyak
kajian-kajian, publikasi, apalagi praktik berorientasi lintas budaya di
Indonesia.
Pada
tahun 1996 di adakan konferensi internasional tentang pendidikan multikultural
di IKIP Bandung (sekarang UPI) yang bekerjasama dengan La Trobe University,
Australia. Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Dr. Dedi Supriadi (2001), dimana
uraiannya lebih dimaksudkan untuk membuka wacana kearah topik konseling lintas
budaya di Indonesia, khususnya di UPI, (belum membahas konseling lintas budaya
dalam bentuk teknik-teknik yang bersifat preskriptif). Penulis perlu melihat
adanya kajian-kajian litas budaya yang berspektif global di kembangkan di UPI
dan di kampus-kampus negeri maupun swasta di seluruh wilayah Indonesia melalui
sebuah pusat kajian yang bernama, misalnya: “Pusat Kajian Antar-Budaya” (Center for Studies on Interculturel Issues)
atau “Pusat Kajian Budaya Baru” (Center for
Studies on the New Cultures).
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, relevansi kebutuhan konseling lintas budaya di
Indonesia, dari pengamatan dan pengalaman penulis dalam mengangkat judul Tesis
(2001) yang berjudul: Pengembangan Model Bimbingan berbasis Budaya Lokal untuk
Meningkatkan Kreativitas Anak (suatu studi pada siswa SD di Kota Denpasar) dan
judul Disertasi (2004) yang berjudul: Model Layanan Bimbingan Keterampilan
Hidup Berbasis Nilai Budaya Lokal (studi pemberdayaan generasi muda di desa
Baha Kabupaten Badung, Provinsi Bali). Kemudian pengamatan di lapangan dan
serangkaian diskusi dengan para konselor di sekolah (SLTP dan SMU) diketahui
bahwa semakin sering persoalan-persoalan yang bersumber dari keragaman budaya
klien muncul dan sulit dipecahkan dalam proses pendidikan dan konseling di
sekolah.
Sunaryo
Kartadinata (1996) mengemukakan bahwa konselor berperan dan berfungsi sebagai
seorang Psychoeducator, maka harus memahami kompleksitas interaksi
individu-lingkungan dalam ragam konteks sosial dan budaya; menguasai ragam
bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada intervensi
intrapersonal tetapi juga interpersonal dan litas budaya.
Sedangkan
Mohamad Surya (1997) mengemukakan bahwa bimbingan dalam suasana harmoni budaya
bangsa, pernyataan ini mempunyai implikasi bahwa kebudayaan hendaknya dijadikan
sebagai suatu pendekatan dalam pelaksanaan bimbingan. Pola bimbingan yang
ditawarkan adalah pola bimbingan yang holistik dengan fokus sasaran utamanya
adalah pemberdayaan pribadi, berpusat pada keluarga dengan berakar pada nilai
religi, bernuansa pendidikan, dan dalam harmoni budaya bangsa. Adapun pola-pola
bimbingan yang dimaksud, yaitu: Pertama,
pola bimbingan yang holistik mempunyai makna bahwa layanan yang terkait. Kedua, fokus sasaran bimbingan diarahkan
pada pemberdayaan pribadi sebagai sumber kekuatan daya manusiawi. Ketiga, bimbingan yang berpusat pada
keluarga. Keempat, pola bimbingan
yang bernuansa pendidikan dalam arti dilandasi oleh paradigma dan nilai-nilai
pendidikan karena pada hakekatnya bimbingan merupakan proses pendidikan, dan Kelima, bimbingan dalam suasana harmoni
budaya bangsa.
Selanjutnya
Djawad Dahlan (2002) mengemukakan bahwa terdapat berbagai nilai yang perlu
dilestarikan dan dipelihara dari generasi ke generasi dan sama sekali tidak
dapat diabaikan dalam menata kehidupan di era globalisasi yang untuh. Nilai-nilai
tersebut diungkapkan oleh Malik Fadjar (1999) dalam butir-butir yang menyatu,
berkelindari, disebutkan olehnya, antara lain nilai: (1) shilaturrahmi, berupa cinta kasih sesama manusia, sesama warga negara
Indonesia; (2) ukhuwah, berupa
semangat persaudaraan yang tidak terikat oleh berbagai identitas suku, ras dan
agama; (3) musyawah, persamaan yang
berpandangan bahwa harkat dan martabat manusia adalah sama, tanpa memandang
jenis kelamin, suku dan kebangsaannya; (4) adil,
yang mengandung makna seimbang dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu
atau orang; (5) husnudzdzan (baik
sangka), yang memandang manusia dilahirkan atas fitrah yang suci; (6) tawadhu, yang mewujudkan sikap rendah
hati yang lahir dari keinsafan bahwa kesempurnaan tidak dimiliki oleh manusia;
(7) tepat janji, yang merupakan ciri
khas manusia terpuji; (8) lapang dada,
yaitu adanya kesediaan menghargai pendapat dan pandangan orang lain; (9) amanah, menupakan ciri khas manusia yang
dapat dipercaya, karena memiliki tanggung jawab yang tinggi; (10) harga diri, yang menunjukkan sikap
rendah hati, tidak mudah memelas; (11) hemat,
dalam arti tidak menaham hak orang lain, dan (12) dermawan, yang menunjukkan sikap penolong bagi sesama manusia.
2. Konseling Internasional
Konseling adalah fenomena yang sering kali dieja
dalam bahasa Inggris dengan dua I (counselling).
Perspektif kultural tentang konseling yang digunakan di Amerika Serikat
hanyalah satu dari sekian banyak perspektif. Bahkan, beberapa benua memiliki
asosiasi konseling mereka sendiri (khususnya, Afrika-African Counseling Association, http://www.geocities.com/kim1122a
dan Eropa-European Association for
Counselling, http://www.eacnet.org/prospectus.html,
dan European Branch of the American
Counseling Association, http://www.online-infos.de/eb-aca/about.html).
Sejumlah negara lain juga mempunyai asosiasi konseling sendiri (contohnya,
Inggris, Australia, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Turki, dan Kanada). Sebagai
tambahan, praktik konseling berkembang di sejumlah daerah, terutama Hongkong,
di mana asosiasi konseling berkembang pesat.
Lebih jauh lagi, ada asosiasi terapis internasional
yang menjunjung teori-teori tertentu, seperti Adlerian, Analisis Transaksional
(TA), dan terapi realitas. Dibeberapa negara yang tidak memiliki asosiasi konseling
formal, seperti Italia, ada banyak lembaga pelatihan teori (Gemignani &
Gilberto, 2005). Terakhir, ada Internasional
Association for Counselling (IAC; http://www.iac-irtac.org),
yang menyelenggarakan pertemuan tahunan di negara-negara seluruh dunia dan
menerbitkan Internasional Journals for
the Advancement of Counseling.
Lebih dari 20 tahun yang lalu, Super (1983)
mempertanyakan apakah konseling seperti yang dipraktikkan di Amerika Utara,
bisa diadabtasikan ke negara lain. Analisis budaya dan konseling menyimpulkan,
bahwa negara aman dan makmur memandang konseling sebagai cara untuk
mempromosikan minat dan kemampuan individu. Negara yang ekonominya kurang maju
dan berada di bawah ancaman pihak asing, memandang pelayanan konseling sebagai
cara untuk menghubungkan individu dengan area tertentu yang dibutuhkan untuk
bertahan secara budaya (Super, 1954). Pengetahuan tentang perbedaan budaya
semacam ini, harus diperhatikan dalam konseling internasional, terutama yang
berhubungan dengan konseling khusus (Watkins, 2001).
Pengetahuan semacam ini sangatlah krusial dalam
melakukan konseling internasional. Sebagai contoh, di Polandia, konseling karir
lebih dihargai dari pada bentuk konseling lainnya, karena sifat negara tersebut
sebagai negara berkembang (Richard Lamb, komunikasi pribadi, 7 juni, 1997). Di
negara lain, seperti Jepang, konseling bersifat terapiutik dan psikososial;
misalnya, memberikan konseling tentang menjadi seorang ayah kepada pria Jepang
(Seto, Becker, & Akutsu, 2006). Namun, Jepang masih kurang memiliki standar
lisensi yang seragam dan keamanan kerja menjadi masalah (Iwasaki, 2005). Sebaliknya,
Malaysia, konseling mengambil model dari Amerika Serikat, kecuali bahwa strata
terminal awalnya adalah sarjana (sama seperti di Jepang). Lebih jauh lagi,
hampir semua sarjana ditugaskan di lingkungan sekolah di mana mereka
berkualifikasi untuk mengajar satu subjek sekaligus memberi konseling.
Apa pun pengetahuan mereka tentang konseling,
pelajar internasional yang masuk ke perguruan tinggi dan universitas di Amerika
Serikat mungkin segan menerima layanan konseling (Mori, 2000). Keseganan ini
terjadi walaupun pada faktanya, banyak mahasiswa yang mengalami stres yang
tidak biasa. Ini termasuk “kesulitan dengan bahasa, akademis, interpersonal, finansial,
dan intrapersonal” (p. 137). Anggota keluarga dan teman-teman yang biasanya
dijadikan tempat bergantung sekarang tidak ada, dan ketakutan dipandang sebagai
pecundang dan dipulangkan, menambah stres harian bagi mereka (Boyer &
Sedlacek, 1989). Sudah ada bukti empiris bahwa pelajar intenasional mengalami stres
lebih hebat dibanding pelajar yang berasal dari Amerika, dan krisis ini sering
mencapai puncaknya pada 6 bulan pertama mereka di sekolah (Schneller &
Chalungsooth, 2002).
Untuk membantu pelajar internasional yang
menggunakan layanan konseling. Mori (2000) menyarankan beberapa area fokus:
a. Mengembangkan
teknik menajemen stress
b. Mempelajari
keahlian komunikasi asertif
c. Menyadari
benar-benar sistem belajar di Amerika, dan
d. Mengembangkan
keahlian merencanakan hidup dan karir
Henkin (1985) mengajukan beberapa panduan praktik
untuk konselor dalam berinteraksi di tingkat internasional. Selain membangun
struktur yang tegas untuk layanan konseling dan menjelaskan prosesnya pada klien,
Henkin merekomendasikan agar konselor mendidik diri
mereka sendiri tentang budaya kliennya, termasuk pentingnya keluarga dan
kehidupan komunitas. Jelas, “pendekatan Barat jika langsung diterapkan pada
orang-orang dari Timur, bisa menimbulkan konsekuensi negatif” (Raney &
Cinarbas, 2005, p. 157). Apa yang diperlukan adalah “integrasi antara
pendekatan barat dan pendekatan konseling setempat” yang mungkin melibatkan
keluarga dan teman dalam sesi konseling bersama dengan praktik religius klien
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Gladding,
S.T. 2012. Konseling: Profesi yang
Menyeluruh (Terjemahan). Edisi keenam. Jakarta: PT. Indeks.
Adhiputra, Anak Agung
Ngurah.2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
assalamamulaikum sahabat ku semoga berada dalam kondisi sehat
BalasHapussaya saya mahasiswa di program pascasarjana IAIN BATUSANGKAR tahun 2, ingin berbagi dan membagi kepada sahabat saya,
maaf saya lupa gimana kabarnya semoga sehat dan lancar selalu kegiatannya.. saya ingin mohon bantuan apakah ada buku gratis atau jurnal yang bisa download ada tentang konseling budaya.
pada saat ini saya membahas tesis berjudul efektititas layanan mediasi dalam penyelesaian sengketa di nagari 7 koto talago, kec. guguak. kabupaten lima puluh kota. sama dosen saya di minta mencari judul 50 buku konselng budaya..
waalaikumsalam
semoga bantuannya dibalasi oleh ALLAH,,
aamiin
email saya jumadilrahman5@gmail.com
wa 081266940131.