MULTIKULTURISME DALAM NASIONALISME INDONESIA BARU
A. Makna Nasionalisme
1. Pengertian Nasionalisme adalah Nasionalisme
adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan
kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian
masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam
terhadap bangsa itu sendiri. Nasionalisme
merupakan jiwa bangsa Indonesia yang akan terus melekat selama bangsa Indonesia
masih ada. Nasionalisme bukanlah suatu pengertian yang sempit bahkan mungkin
masih lebih kaya lagi pada zaman ini
2. Ciri-ciri
nasionalisme di atas dapat ditangkap dalam beberapa definisi nasionalisme
sebagai berikut :
a.
Nasionalisme ialah cinta pada
tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama.
b.
Nasionalisme ialah suatu
keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.
c.
Nasionalisme ialah suatu
kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan
adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul
daripada bagian-bagiannya.
d.
Nasionalisme adalah dogma yang
mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu
sendiri.
B. Identitas Nasional
Pengertian Identitas Nasional adalah Kepribadian
atau Jati diri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan
bangsa tersebut dengan bangsa lain. Asal Identitas Nasional dapat di lihat
melalui Agama, Budaya, Pengalaman
sejarah, Kesepakatan bersama.
Identitas nasional penting dalam interaksi antar
bangsa (baik individu maupun kelompok/negara). Fungsi identitas nasional adalah identitas diperlukan dalam interaksi antar bangsa
(baik individu maupun kelompok/negara), Identitas nasional sebuah bangsa menentukan status
dan peranan bangsa tersebut di dunia internasional, Pola interaksi antar
identitas dalam suatu masyarakat bangsa menunjukkan struktur sosial masyarakat
tersebut.
C. Nasionalisme Indonesia
Pengertian
Nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat
suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan
cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut
merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Demikian
juga ketika kita berbicara tentang nasionalisme. Nasionalisme merupakan jiwa
bangsa Indonesia yang akan terus melekat selama bangsa Indonesia masih ada.
Ciri-ciri
definisi nasionalisme sebagai berikut :
1.
Nasionalisme ialah cinta pada
tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama.
2.
Nasionalisme ialah suatu
keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise
bangsa.
3.
Nasionalisme ialah suatu
kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan
adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul
daripada bagian-bagiannya.
4.
Nasionalisme adalah dogma yang
mengajarkan bahwa individu hanya hidup
untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.
Nasionalisme
tersebut berkembang terus memasuki abad 20 dengan kekuatan-kekuatan berikut :
1. keinginan
untuk bersatu dan berhasil dalam me-nyatukan wilayah dan rakyat;
2. perluasan
kekuasan negara kebangsaan;
3. pertumbuhan
dan peningkatan kesa-daran kebudayaan nasional dan
4. konflik-konflik
kekuasaan antara bangsa-bangsa yang terangsang oleh perasaan nasional.
D. Modal Sosial untuk Mewujudkan Visi Nasionalisme Indonesia Baru
Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang
dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru dalam
masyarakat. Oleh karena itu modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen
utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, saling kepercayaan dan
saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal sosial memegang
peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan
masyarakat modern. Modal sosial merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi
pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas
demokrasi, Berbagai permasalahan dan penyimpangan yang terjadi di berbagai
negara determinan utamanya adalah kerdilnya modal sosial yang tumbuh di tengah
masyarakat. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong,
memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas, dan
menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Pengertian dari modal sosial dapat diartikan
sebagai sumberdaya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas, baik
antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan emosional berupa
kepercayaan, hubungan-hubungan timbal balik, dan jaringan-jaringan sosial,
nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna
untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Modal sosial akan
tumbuh dan berkembang kalau digunakan bersama dan akan mengalami kepunahan
kalau tidak dilembagakan secara bersama, oleh karena itu, pewarisan nilai modal
sosial dilakukan melalui proses adaptasi, pembelajaran, serta pengalaman dalam
praktek nyata.
Blakeley
dan Suggate, dalam Suharto (2007) menyatakan bahwa unsur-unsur modal sosial
adalah:
1. Kepercayaan,
tumbuhnya sikap saling percaya antar individu dan antar institusi dalam
masyarakat;
2. Kohesivitas,
adanya hubungan yang erat dan padu dalam membangun solidaritas masyarakat;
3. Altruisme,
paham yang mendahulukan kepentingan orang lain;
4. Perasaan
tidak egois dan tidak individualistik yang mengutamakan kepentingan umum dan orang lain
di atas kepentingan sendiri;
5. Gotong-royong,
sikap empati dan perilaku yang mau menolong orang lain dan bahu-membahu dalam
melakukan berbagai upaya untuk kepentingan bersama; dan
6. Jaringan,
dan kolaborasi sosial, membangun hubungan dan kerjasama antar individu dan antar
institusi baik di dalam komunitas sendiri / kelompok maupun di luar
komunitas/kelompok dalam berbagai kegiatan
yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Hasbullah
(2006) mengetengahkan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian
modal sosial yang telah ada, yaitu:
1.
Participation
in a network.
Kemampuan
sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial,
melalui berbagai variasi hubungan yang saling Ragam Jurnal Pengembangan
Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 45 berdampingan dan dilakukan atas dasar
prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom),
dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat
untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan
sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu
kelompok.
2.
Reciprocity.
Kecenderungan
saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok
itu sendiri. Pola pertukaran terjadi dalam suatukombinasi jangka panjang dan
jangka pendek dengan nuansa altruism tanpamengharapkan imbalan. Pada masyarakat
dan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas
kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang
tinggi.
3. Trust.
Suatu
bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang
didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti
yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung. Paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri
dan kelompoknya (Putnam, 1993). Tindakan kolektif yang didasari saling percaya
akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi
terutama dalam konteks kemajuan bersama. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk
bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
4. Social norms.
Sekumpulan
aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas
sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak
tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam
konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika
melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena
merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan
masyarakat. Oleh karenanya norma sosial disebut sebagai salah satu modal
sosial.
5. Values.
Sesuatu
ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok
masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia
tumbuh dan berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu
serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada
akhirnya membentuk pola cultural.
6.
Proactive
action.
Keinginan
yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi
senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu
kegiatan masyarakat. Anggota kelompok melibatkan diri dan mencari kesempatan
yang dapat memperkaya hubungan-hubungan sosial dan menguntungkan kelompok.
Perilaku inisiatif dalam mencari informasi berbagai pengalaman, memperkaya ide,
pengetahuan, dan beragam bentuk inisiatif lainnya baik oleh individu mapun
kelompok, merupakan wujud modal sosial yang berguna dalam membangun masyarakat
Perkembangan
paradigma dan teori pembangunan telah mengalami perubahan sejak 30 tahun lalu. Perubahan ini dipicu
oleh ketidak puasan
pada perkembangan pembangunan
di banyak negara berkembang dan negara miskin di benua Asia dan Afrika. Paradigma pembangunan
yang ada sebelumnya telah menjerumuskan negara-negara tersebut dalam kemiskinan
akibat lemahnya kontrol negara terhadap pengaruh dan intervensi negara asing
dalam bidang perekonomian, perdagangan, industri, budaya, dan politik, yang
berimbas pada lemahnya kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah yang
berpihak pada kepentingan masyarakat. Perubahan paradigma yang terjadi
kemudian, banyak negara belum juga berdampak positif bagi masyarakat. Upaya
penanggulangan kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa dari keterbelakangan
senantiasa tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini erat kaitannya
dengan tidak dimasukkannya modal sosial sebagai faktor penting dalam
mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kebijakan. Kenyataan ini menumbuhkan
kesadaran akan pentingnya dimensi kultural dan pendayagunaan peran
lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat untuk mempercepat dan
mengoptimalkan proses-proses pembangunan. Fukuyama (2002) misalnya menyebutkan
faktor kultural, khususnya modal sosial menempati posisi yang sangat penting
sebagai faktor yang menentukan kualitas masyarakat.
1. Modal
Sosial dan Pembangunan Manusia
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa
bangsa yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif
dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan
kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang
banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Dalam
konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai pengaruh yang besar sebab
beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara
lain kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama,
mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran
kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling
mempercayai, kohesifitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal
dalam membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling
menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat. Situasi ini akan
memperbesar kemungkinan percepatan perkembangan individu dan kelompok dalam
masyarakat tersebut. Bagaimanapun juga kualitas individu akan mendorong
peningkatan kualitas hidup masyarakat itu berarti pembangunan manusia paralel
dengan pembangunan sosial.
2. Modal
Sosial dan Pembangunan Sosial
Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan
membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah.
Dengan saling percaya, toleransi, dan kerjasama mereka dapat membangun jaringan
baik di dalam kelompok masyarakatnya maupun dengan kelompok masyarakat lainnya.
Pada masyarakat tradisional, diketahui memiliki asosiasi-asosiasi informal yang
umumnya kuat dan memiliki nilai-nilai, norma, dan etika kolektif sebagai sebuah
komunitas yang saling berhubungan.
Hal ini merupakan modal sosial yang dapat
mendorong munculnya organisasi-organisasi modern dengan prinsip keterbukaan,
dan jaringan-jaringan informal dalam masyarakat yang secara mandiri dapat
mengembangkan Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012
47 pengetahuan dan wawasan dengan tujuan
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama dalam kerangka pembangunan
masyarakat. Berkembangnya modal sosial di tengah masyarakat akan menciptakan
suatu situasi masyarakat yang toleran, dan merangsang tumbuhnya empati dan
simpati terhadap kelompok masyarakat di luar kelompoknya. Hasbullah (2006)
memaparkan mengenai jaringan-jaringan yang memperkuat modal sosial akan
memudahkan saluran informasi dan ide dari luar yang merangsang perkembangan
kelompok masyarakat. Hasilnya adalah lahirnya masyarakat peduli pada berbagai
aspek dan dimensi aktifitas kehidupan, masyarakat yang saling memberi perhatian
dan saling percaya. Situasi yang mendorong kehidupan bermasyarakat yang damai, bersahabat,
dan tenteram.
3. Modal
Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial sangat tinggi pegaruhnya terhadap
perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (2002) menunjukkan
hasil-hasil studi di berbagai negara yang menunjukkan bahwa modal sosial yang
kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat
rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh
antar sesama pelaku ekonomi. Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan
ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan dan
perekonomian yang dijalankan pelaku ekonomi Cina dalam menjalankan usahanya
memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh
koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong
pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun melewati
batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara. Budaya gotong-royong, tolong
menolong, saling mengingatkan antar individu dalam entitas masyarakat desa
merefleksikan semangat saling memberi (reciprocity), saling percaya (trust),
dan adanya jaringan-jaringan sosial (sosial networking). Hal ini membangun
kekompakan pada masyarakat desa untuk bersama-sama dalam memulai bercocok tanam
bersama-sama untuk menghindari hama, membentuk kelompok tani untuk bersama-sama
menyelesaikan permasalahan dan mencari solusi bersama dalam rangka meningkatkan
perekonomian pertanian. Pembangunan industri pada masyarakat dengan modal
sosial tinggi akan cepat berkembang karena modal sosial akan menghasilkan
energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan
di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan menumbuhkembangkan dunia usaha.
Investor asing akan tertarik untuk menanamkan
modal usaha pada masyarakat yang menjunjung nilai kejujuran, kepercayaan,
terbuka dan memiliki tingkat empati yang tinggi. Modal sosial, berpengaruh kuat
pada perkembangan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, jasa, konstruksi,
pariwisata dan lainnya.
4. Modal
Sosial dan Pembangunan Politik
Modal Sosial yang tinggi, menurut Putnam (2002)
membawa dampak pada tingginya partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai
bentuknya. Akibat positif yang dihasilkan adalah pemerintah akan memilki
akuntabilitas yang lebih kuat (Hasbullah,2006). Tingginya modal sosial akan
mendorong efektifitas pemerintahan,
beragam determinan memungkinkan negara berfungsi secara lebih efektif dan
memiliki legitimasi. Modal sosial tinggi yang dimiliki masyarakat lebih dapat
memfasilitasi hubungan antara negara dan rakyat. Hubungan yang baik antara
pemerintah dan masyarakat akan menjamin stabilitas politik negara. Di tingkat
lokal, modal sosial dapat menjembatani hubungan pemerintah daerah dan
masyarakat dalam menyebarkan informasi dan mengimplementasikan program-program
48 Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan (Inayah) pembangunan. Kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah, keterbukaan pemerintah pada masyarakat, adanya
komitmen dan keinginan yang kuat antara pemerintah daerah dan masyarakat untuk
membangun, serta adanya partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan akan
mendorong terciptanya pembangunan sistem pemerintahan yang baik dimana
akuntabilitas dan transparansi pemerintahan berimbang dengan akses dan kontrol
masyarakat terhadap pemerintahan. Hal ini juga dapat mendorong demokrasi tumbuh
dari bawah dan memungkinkan pembangunan politik tidak hanya pada arus pusat
tapi juga lokal. Di samping itu, negara melalui sistem pemerintahan yang baik
dapat mendorong menguatnya modal sosial yang mendukung berkembangnya
kepercayaan, nilai-nilai, dan norma yang baik dengan menciptakan situasi yang
kondusif dalam mempererat jaring-jaring sosial di dalam masyarakat dan
merangsang tumbuhnya sikap proaktif masyarakat dalam pembangunan.
E. Otonomi Daerah dan Pluralisme Budaya Indonesia
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos
yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan
demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985). Hal itu berarti
bahwa pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk
mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta
perangkat pelaksanaannnya.
Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah
dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan
pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri,
perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Daerah otonomi adalah
wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian
jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi
daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi,
berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas
kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan
kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh
provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur
daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota
yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan,
maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa
mendatang. Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999,
dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk
lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan
kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan
bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu,
keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang
secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka
prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 adalah sebagai berikut :
1.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang
terbatas.
2.
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata
dan bertanggung jawab.
3.
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi
yang terbatas.
4.
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontribusi (campur
tangan/ikut andil) negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antar daerah.
5.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah
Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7.
Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai
wakil daerah.
8.
Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan
kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah
adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie
dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah
adalah :
1. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah
yang mendalam kepada
rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
2. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat
di daerah terutama dalam bidang perekonomian
Istilah Pluralisme secara singkat didefinisikan
sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (berkenaan dengan sistem sosial dan
politiknya). Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan bahwa pluralism
dipahami sebagai:
1. Suatu teori yang menentang kekuasaan monolitis
(tunggal); dan sebaliknya mendukung desentralisasi (Penyerahan
wewenang oleh pemerintahan pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama
yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan
bahwa kekuasaan itu dibagi bersamasama diantara sejumlah partai politik.
2. Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau
kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman
kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya Definisi
yang pertama mengandung pluralisme politik, sedangkan definisi yang kedua mengandung
pengertian pluralisme sosial.
Sedangkan
Pluralisme Budaya sering
disamakan dengan istilah multikulturalisme, dua istilah tersebut memang
memiliki makna yang mirip. Akan tetapi, multikulturalisme merupakan paham atau
ideology yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap
keanekaragaman budaya adalah hal yang ada dalam suatu wilayah.
Ada pula istilah pluralitas kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat, pluralism kebudayaan adalah dua macam tradisi kebudayaan atau lebih
yang membagi masyarakat kedalam golongan sosial yang berbeda-beda.
Pluralisme Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai
: sikap menerima baik keanekaan kebudayaan, gaya hidup yang berbeda-beda di
dalam suatu masyarakat, dan sikap percaya bahwa keanekaan ini memperkaya
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Konjtaraningrat Pluralitas Budaya merupakan dua macam tradisi kebudayaan atau lebih yang membagi masyarakat kedalam
golongan sosial yang berbeda-beda. Pluralitas budaya lokal adalah kebudayaan
yang dimiliki masyarakat lokal didalam negara indonesia.Masyarakat lokal adalah
masyarakat yang mendiami suatu wilayah dengan batas-batas geografis.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat
dengan adanya kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam suku bagsa dan etnik
dengan kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan yang berbeda satu sama lain
tersebut hidup di bawah naungan Negara Indonesia. Menurut Parsudi Suparlan,
secara garis besar ada tiga macam kebudayaan dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk, yaitu sebagai berikut :
1. Kebudayaan nasional Indonesia yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
2. Kebudayaan suku bangsa, terwujud pada kebudayaan
suku bangsa dan menjadi
unsur pendukung bagi lestarinya kebudayaan suku bangsa tersebut.
3. Kebudayaan umum lokal yang berfungsi dalam
pergaulan umum (ekonomi,
politik, social, dan emusional) yang berlaku dalam lokal-lokal di daerah.
Puncak-puncak keanekaragaman kebudayaan suku
bangsa yang ada diIndonesia memperhatikan adanya prinsip-prinsip kesamaan dan
saling kesesuaian satu sama lain. Prinsip- prinsip tersebut menjadi landasan
terciptanya kebudayaan nasional Indonesia tanpa menghilangkan perbedaan
sepenuhnya. Perbedaan budaya Indonesia disebabkan adanya pebedaan dalam sejarah
perkembangan budaya masing-masing suku bangsa.perbedaan tersebut juga hasil
adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda-beda.
Dampak Positif Dan Negativ Pluralitas Budaya
1. Dampak Negatif
Dampak negative dari pluralitas budaya di Indonesia , antara lain
adanya sistem nilai dan orientasi relegi yang berbeda dapat memberikan konflik
social antaretnis. Konflik social ini bukanlah bias berkembang menjadi konflik
berdarah dalam skala yang luas dan dpat memakan korban jiwa ataupun
memakan korban harta benda. Misalnya, konflik di Kalimantan barat, Kalimantan
tengah, Ambon, Maluku, atau Poso.
Selain itu juga karena sentimen kesukubangsaan seperti konflik yang
ditujukan kepada orang Cina, sepertipada peristiwa kerusuhan 1998.Konflik
terjadi karena perebutan sumber ekonomi yang sengaja diciptakan dngan
melibatkan sentiment kesukubangsaan.Kehormatan yang dianggap sudah dirusak
dapat membuat seseorang melakukan apasaja untuk membalas rasa sakit hatinya.
2. Dampak Positif
Bahas lokal dapat memberikan tambahan istilah bagi bangsa Indonesia,
kearifan budaya local dapat memperkaya strategi pembangunan sesuai lokasinya,
atau teknologi tradisiaonal dapat menjadialternatif bagi pengembangan dan
pemasyarakatan.
Dengan adanya pluralitas budaya, maka kita memahami perasaan
kebersamaan. Adanya perbedaan tidak harus membuat masyarakat berpisah, justru
itu menjadi hal yang dapat dijadikan dasar untuk bersatu . Paham
multikulturalisme merupakan antisifikasi terhadap bebbagai konflik social
dengan latar belakang perbedaan budaya. Multikulturalisme lebih cenderung
sebagai paham atau ideology yang menganjurkan masyarakat untuk menerima
dan menganggap perbedaan budaya adalah hal yang wajar didalam suatu wilayah.
Multikulturalisme mengajarkan hidup ditengah-tengah perbedaan.
F. Persepsi terhadap Pluralisme
Budaya Indonesia
1.
Pluralisme Sebagai Doktrin
Pluralisme
Adalah doktrin yang mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat, tidak aa satupun
“sebab” yang bersifat tunggal atau ganda
bagi perubahan suatu masyarakat, pluralisme masyarakat menyakini adanya
banyak sebab yang dapat menimbulkan
gejala social atau perubahan dalam masyarakat.
Pluralisme
merupakan doktrin yang pada awalnya timbuk sekitar tahun 1920 an dan hidup
kembali di akhir tahun (1960-1980). Pemunculan kembali ideology itu dikarenakan
tidak ada satupun gaya simbolik budaya yang mampu menciptakan dominasi budaya
dalam suatu masyarakat yang beragam.
Konsep
pluralisme di maknai oleh pemerintah sebagai proses “Beganing” atau kompromi
terhadap para pemimpin dari berbagai kelompok (etnik, rasa tau kelompok
lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dll.
Pluralisme
di anjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau sebuah proses yang
mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarkat yang semakin modern
dan kompleks agar setiap individu dapat berpartisipasi dalam setiap pengambilan
keputusan.
Adapun
prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap individu dan kelompok melalui
peraturan dan perundang undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check
and balances. Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa taka da satu
kelompok pun yang memnduduki kekuasaan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu
berganti setidak-tidaknya dilakukan melakukan pengeruh indovidu atau kelompok
terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengembilan keputusan.
2.
Pluralisme Sebagai Alat Pemersatu
Bangsa
Disinilah
Pancasila berfungsi sebagai pemersatu bagi pluralisme dan multikulturalisme.
Artinya kita masing-masing saling berbeda-beda namun satu dalam kebersamaan
cita-cita dan paham bernegara sebagai sesama wargangara. Oleh karena itu
Pancasila adalah asas bersama yang tunggal bagi seluruh warganegara yang
bhineka, yang menjadikannya identitas bangsa ini.
Adalah ada benarnya bila kita menegakan Pancasila di samping merupakan nilai
budaya, identitas bangsa, filsafat negara, dan ideologi nasional, Pancasila
merupakan platform nasional yang dengan penuh toleransi diterima semua agama
sebagai konsensus nasional. Pancasila adalah paham pemersatu sekaligus
kebijakan nasional untuk mempertahankan persatuan nasional.
Untuk
itulah, hal yang perlu dilakukan, pertama kita harus bisa mempertebal rasa
kebangsaan kita sebagai Bangsa Indonesia. Caranya dengan mengungkap kebesaran,
kejayaan, kedigdayaan masa lampau serta sekaligus mengungkap kembali betapa
kita mampu merebut kembali kemerdekaan dari penjajah. Itulah kebanggaan
nasional yang membuat kita mampu berjalan tegak, tidak tunduk dan membungkuk.
Kedua,
pendidikan nasional kita harus bertumpu pada upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa, dengan demikian cinta tanah air menjadi dasar dan subtansi proses
nation and character building.
Ketiga,
kita harus mampu proaktif mendisain wujud globalisasi. Berarti kita harus
menjadi bangsa yang digdaya, mampu membedakan antara modernisasi dengan
westernisasi, mampu menolak segala dominasi mancanegara yang mengakibatkan kita
tersubordinasi. Untuk itulak kita harus memiliki metastrategi yang jelas dan
tegas.
Keempat,
doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyaaatan harus memberi warna pada setiap
kebijakan nasional dan produk perundang-undangan. Kita harus menjadi tuan di
negeri sendiri dan tahta hanyalah untuk rakyat.
Kelima,
para pemimpin di badan-badan negara harus mampu menjadi panutan bagi
masyarakat. Keenam, pemerintah harus mampu mengatasi ketimpangan antara daerah
terutama kemiskinan dan penangguran. Ketujuh, otonomi daerah tidak boleh
berubah makna menjadi eksklusivutisme atau isolasionalisme kedaerahan. Dan
kedelapan, media massa harus ikut beranggungjawab mencerdaskan kehidupan
bangsa.
3. Membangun Rasa Pluralisme di Negara Indonesia
Setiap
manusia memerlukan manusia lain dalam berbagai tingkatan kelembagaan. Negara
merupakan lembaga manusia yang paling luas, yang berfungsi untuk menjamin agar
manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang melampaui kemampuan
lingkungan-lingkungan social lebih kecil. Di suatu Negara terutama di Indonesia
memiliki berbagai macam budaya dimana kesemua perbedaan itu menjadi satu karena
adanya rasa pluralisme dan patriotisme yang telah tertanam di tiap-tiap diri
bangsa Indonesia itu sendiri.
Karena
adanya berbagai macam perbedaan itu muncul rasa saling menghormati dan
toleransi yang mengakibatkan semakin kuatnya rasa pluralisme suatu bangsa itu.
Sehingga muncul kemudahan terhadap masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya
dengan dibantu oleh masyarakat lain sehingga muncul hubungan timbal balik antar
sesama masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Kita
ketahui Indonesia memiliki beberapa agama, dimana masyarakatnya sendiri
memiliki keyakinan yang kuat tentang agamanya masing-masing, selain itu masalah
agama dan kepercayaan ini telah di atur dalam UUD 1945 pasal 29, jadi setiap
warga negara memiliki hak dan kewajiban terhadap agama yang diyakininya.
Kewajiban dari setiap manusia adalah melaksankan perintah dan syara’ sesuai
dengan apa yang mereka yakini, kemudian haknya adalah masyarakat itu harus
menghormati dan menghargai apa-apa yang yang diyakini dan dipedomani oleh
masyarakat yang memiliki beda keyakinan dengan mereka.
4. Mewujudkan Nilai-Nilai Pluralisme Berdasarkan
Pancasila
Sebagai
nilai, pancasila memuat suatu daya tarik bagi manusia untuk diwujudkan,
mengandung suatu keharusan untuk dilaksanakan. Nilai merupakan cita-cita yang
menjadi motivasi bagi segala sikap, tingkah laku, dan segala manusia yang
mendukungnya. Oleh karena itu sikap pluralisme terhadap bangsa sangat
diperlukan karena tanpa adanya sikap itu, maka masyarakat hanya mementingkan
dirinya sendiri saja kemudian muncul sikap egois dan berkurangnya sikap
toleransi serta sikap saling menghargai antar sesama, walaupun itu dalam
lingkungan keluarga sendiri.
Setelah
memahami nilai-nilai pancasila, sebagai yang harus diwujudkan serta pedoman
untuk melaksanakannya, kita masih perlu menata dan menyusun serta mengatur
sistem kehidupan bangsa Indonesia bagi terwujudnya nilai-nilai pancasila.
Misalnya dalam mengusahakan persatuan bangsa Indonesia, kita perlu menyusun dan
mengatur interaksi antar warga Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku,
golongan, agama serta budaya. Demikian juga bagaimana mengatur kehidupan
beragama agar kebebasan kehidupan beragama bisa terjamin.
Seperti
halnya semboyan Negara kita yaitu “ bhineka tunggal ika”, walaupun berbeda
tetapi tetap satu jua. Dengan adanya perbedaan itu muncul suatu rancangan baru
yang pada akhirnya terbentuklah rasa nasionalisme dan rasa patriotism terhadapa
tanah air Indonesia. Usaha-usaha ekstern, yang diharapkan bagi pelaksanaan
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bersama bangsa indoneasia.
Bila
telah di tangkap atau dipahami serta tampak bernilai bagi bangsa Indonesia,
nilai-nilai tersebut akan memberi daya tarik bagi bangsa Indonesia untuk
mewujudkannya. Namun nilai-nilai pancasila tampaknya masih terlalu umum dan
abstrak untuk dapat di tangkap oleh bangsa Indonesia pada umunya, maka masih
perlu dijabarkan agar mudah di pahami dan tampak bernilai bagi bangsa Indonesia.
G. Urgensi dan Kebutuhan akan Konseling Multikultural di Indonesia
1.
Memahami Pendidikan Multikultural
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan
Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan
pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari
aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara
sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi
munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural
terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan
berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam
usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan
multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan
multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman
budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai
proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan
multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya
terhadap harkat dan martabat manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam
perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara
yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di
Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara
sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman
kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat
tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire,
pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi
realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan
tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat
yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran
yang dialaminya. Pendidikan multikultural (multicultural education)
merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana
tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan
multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya
seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank, -salah seorang
pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan
multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi
pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom)
sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat
hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar
mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi
diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau
mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan
interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi
individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya
mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference),
atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang
dari kelompok minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan
multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama,
pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha
meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu,
pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang
sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia,
meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi
kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap
nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat
seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan
ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas
dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat
sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis
dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman
paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga
tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa
kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan
tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi
keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti
ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan
kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui
batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari
pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya
memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan
“pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural
melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap
"indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar
dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural
mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan
mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian
menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai
pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan
multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan
egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia
senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap
sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak
bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya
terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh
karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan
membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak
didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan
kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah,
lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih
untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah
seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global
diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa
mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
2.
Urgensi
Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Sebagaimana
diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini
cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya,
pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih
menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif,
establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan
pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi. Oleh karena
itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar
komprehensif dan integral.
Salah
satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda
tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia
menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan
lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin
nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang
sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan
pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia
dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang
hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia
yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan
manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas,
sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik.
Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi
kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan,
sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat
selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang
akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan,
kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi
pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara
menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan,
dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada
sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong
royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
2. Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan
dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.
Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya,
kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus dibayar
mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku.
Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang
dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan
keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah
pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai
yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa
nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan
multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
3. Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang
berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia
sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus
mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut kecerdasan ganda
(multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ganda yang perlu
dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan
logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan
fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan
lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi,
jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi
bisnis.
4. Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme
yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian
sudah tidak ada lagi.
Dengan
demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun
karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di
lingkungan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulasman dan Setia
Gumilar (2013). Teori-Teori Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setya., Alo Liliweri.
(2003). Dasar-Dasar Komuniukasi Antarbudaya. Jakarta: Pustaka Pelajar
2. Supadjar, Damardjati
(1997). Antropologi Pancasila. Yogyakarta: Pusat Study Pancasila UGM
3. Ketut Rindjin (2012).
Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4. Darmodiharjo, Darji dan
Nyoman Dekker (1979). Pokok-Pokok Demokrasi Pancasila. Malang: Lembaga
Penerbitan Universitas Brawijaya.
5. Depdiknas (2003).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Depdiknas.
6. Latif, Yudi (2011).
Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Akualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
7. Mungin Eddy Wibowo
(2002). Konseling Perkembangan: Paradigma Baru dan Relevansinya di Indonesia.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling
Pada FIP-UNNES 13 Juli 2002. Semarang: UNNES