Minggu, 19 Juni 2016

MEMAHAMI KEBUDAYAAN DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA




MEMAHAMI KEBUDAYAAN DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

2.1 Pengertian Kebudayaan
Penggunaan istilah "kebudayaan" dapat dikatakan longgar dan pengertiannya juga berganda (ambiguous), yaitu mulai cakupan pengertian yang sempit hingga cakupan yang sangat luar biasa luas. Luasnya cakupan itu tidak hanya terjadi dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga penggunaannya sebagai istilah dalam wacana iimu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan sosial (socialsciences).
Secara etimologis, kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dan daya (Sidi Gazalba dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:17). Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan. Sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Sekalipun akar kata budaya diderivasi dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kebudayaan berkenaan dengan hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal.
A.L Kroeber dan Clyde Kluckhohn mengumpulkan kurang lebih 161 definisi tentang kebudayaan (Musa Asy'ari dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:17). Akan tetapi, definisi klasik mengenai kebudayaan yang hingga kini menjadi sumber rujukan dikemukakan oleh E.B. Tylor, seorang antropolog terkemuka, dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture, yang terbit pada tahun 1924, "Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat."
Selanjutnya menurut Andreas Eppink dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:18), kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial, religius, dan Iain-Iain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Dalam perspektif sosiologi, kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Alvin L. Bertrand dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:18) adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Termasuk dalam kebudayaan adalah segala bentuk bangunan, peralatan, dan bentuk-bentuk fisik yang lain; di samping teknik, lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok. Berikut ini adalah beberapa definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli (dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:18).
a.        Krober dan Klukhon (1950) memandang kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia.
b.       Linton dalam bukunya The Cultural Background of Personality menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari sebuah tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
c.        Herskovits memandang kebudayaan sebagai bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
d.       Bronislaw Malinowski mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan kehidupan manusia yang integral yang terdiri atas berbagai peralatan dan barang-barang konsumen, berbagai peraturan untuk kehidupan masyarakat, ide-ide dan hasil karya manusia, keyakinan dan kebiasaan manusia.
e.        C. Klukhuahn dan W.H. Kelly mencoba merumuskan definisi kebudayaan sebagai hasil tanya jawab dengan para ahli antropologi, sejarah, hukum, psikologi yang implisit, eksplisit, rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.
f.        Dawson dalam buku Age of The Gods mengatakan bahwa kebudayaan adalah cara hidup bersama {Culture is common way of life).
g.      J.P.H. Dryvendak mengatakan bahwa kebudayaan adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beragam berlaku dalam masyarakat tertentu. Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
h.      Ki Hajar Dewantara mendefinisikan kebudayaan sebagai "buah budi manusia, yaitu hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai."
i.        Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.
j.        Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir.
k.  Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
l.        Kebudayaan dapat dimaknai sebagai berarti kumpulan segala usaha dan upaya manusia yang dikerjakan dengan mempergunakan hasil pendapat untuk memperbaiki kesempurnaan hidup (Sidi Gazalba, 1998:35).
Secara garis besar, semua definisi itu dapat dikelompokkan dalam enam kelompok, sesuai sudut pandang mereka. Kelompok pertama pendekatan deskriptif, seperti yang dilakukan oleh Tylor; kedua dari pendekatan normatif oleh Ralph Linton; ketiga dari pendekatan psikologi oleh Kluckkhonh; keempat dari pendekatan struktural oleh Turrney; kelima dari pendekatan genetik oleh Bidney; keenam melihat dan pendekatan historis.
Definisi-definisi di atas mewakili pandangan yang melihat kebudayaan sebagai pemilik wilayah cakupan yang amat luas, sekaligus memandang kebudayaan sebagai sistem besar, fungsional dan menjadi penentu bagi seluruh aspek kehidupan sosial. Di sini, kebudayaan mempunyai peluang besar untuk lebih bersifat masif. Kebudayaan adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di masyarakat. Dengan demikian,dalam pengertian luas, kebudayaan adalah makna, nilai, adat, ide, dan simbol yang relatif. Adapun dalam pengertian sempit, kebudayaan adalah memiliki kandungan spiritual dan intelektual yang tinggi. Oleh karena itu, ia menjadi elitis, adi luhung, berstandar tertinggi. Kebudayaan lebih merupakan suatu yang seharusnya. Dalam pengertian luas, kebudayaan mewakili pandangan bahwa kebudayaan adalah kenyataan objektif sehingga kenyataan budaya itu bisa ditemukan di dalam institusi dan tradisi. Adapun dalam arti sempit, kebudayaan mewakili pandangan bahwa kebudayaan merupakan kenyataan subjektif. Kebudayaan adalah produk dari tafsiran pribadi-pribadi.
Bertrand dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:20) lebih jauh mencoba memilah antara masyarakat dan kebudayaan. la melukiskan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terorganisasi secara mantap untuk memelihara keadaan yang diperlukan untuk hidup bersama secara harmonis. Suatu masyarakat bisa berfungsi karena anggota-anggotanya menyepakati aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan dengan segala derivatnya inilah dalam pengertian yang lebih umum disebut kebudayaan kelompok masyarakat.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan seni. Seseorang yang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya akan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, dan ini membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak dan luas. Banyak aspek budaya yang turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan manusia. Beberapa alasan sulitnya seseorang dalam berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya bahwa budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. “Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Adapun perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.2 Unsur Kebudayaan
2.2.1 Macam-macam Unsur Kebudayaan
Para pakar banyak mengemukakan unsur komponen atau unsur kebudayaan, antara lain Melville J. Herskovits, Bronislaw Malinowski, dan Cateora. Melville J. Herskovits  dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:38) menyebutkan bahwa kebudayaan memiliki empat unsur pokok,yaitu:
a.    alat-alat teknologi;
b.    sistem ekonomi;
c.    keluarga;
d.    kekuasaan politik.
Bronislaw Malinowski mengatakan empat unsur pokok yang meliputi:
a.    sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antar anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya;
b.    organisasi ekonomi;
c.    alat dan lembaga atau petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama);
d.   organisasi kekuatan (politik).
Sementara itu, menurut Cateora (antropolog), berdasarkan wujudnya tersebut budaya memiliki beberapa elemen atau komponen sebagai berikut.
a.    Kebudayaan materiil
Kebudayaan materiil mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan materiil adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan materiil juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
b.    Kebudayaan nonmateriil
Kebudayaan nonmateriil adalah ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
c.    Lembaga sosial
Lembaga sosial dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam konteks berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem sosial yang terbentuk dalam suatu negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan sosial masyarakat. Di Indonesia, misalnya, kota dan desa di beberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah tinggi, apalagi bekerja di satu instansi atau perusahaan. Akan tetapi, di kota-kota besar, seorang wanita yang memiliki karier dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
d.   Sistem kepercayaan
Cara masyarakat mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu akan memengaruhi sistem penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan memengaruhi dalam kebiasaan, cara memandang hidup dan kehidupan, cara berkonsumsi, sampai cara berkomunikasi.
e.    Estetika
Estetika berhubungan dengan seni dan kesenian, musik, cerita, dongeng,  hikayat, drama dan tari-tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Di Indonesia, misalnya, setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran agar pesan yang akan disampaikan mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerahan, setiap membangun bangunan jenis apa saja, masyarakatnya meletakkan janur kuning dan buah-buahan, sebagai simbol yang arti di setiap daerah berbeda. Akan tetapi, dikota besar seperti Jakarta, masyarakatnya tidak menggunakan cara tersebut.
f.    Bahasa
Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi. Setiap wilayah, bagian, dan negara memiliki perbedaan bahasa yang sangat kompleks. Dalam ilmu komunikasi, bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sifat unik dan kompleks yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi, keunikan dan kekompleksan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.

2.2.2 Hubungan Antarunsur Kebudayaan
Isi unsur kebudayaan akan berbeda antara kebudayaan satu dan kebudayaan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor geografis. Setiap isi dari unsur kebudayaan tidak bersifat statis, tetapi akan berubah sesuai dengan tingkat kebutuhan dan proses adaptif yang diperlukan sebab kebudayaan berfungsi mempermudah kehidupan manusia. Adaptasi berkenaan dengan cara manusia mengatur hidupnya untuk menghadapi berbagai kemungkinan di dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai kebutuhan dan hambatan dalam memenuhinya menuntut manusia untuk beradaptasi. Manusia harus mampu memelihara keseimbangan yang terus-menerus berubah antara kebutuhan hidupnya dan potensi yang terdapat di lingkungan tempat dia tinggal dan hidup. Inilah tugas utama sebuah "kebudayaan".
Adapun menurut penalaran E. B. Tylor dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:40), setiap kebudayaan di mana pun akan mengandung unsur-unsur kebudayaan yang terdiri atas tujuh unsur, yaitu sistem pengetahuan (kognitif), kekerabatan, sistem teknologi dan peralatan hidup, sistem religi, sistem mata pencaharian hidup, bahasa dan kesenian. Antara unsur satu dengan lainnya saling berkaitan tidak dapat berdiri sendiri. Relasi antarkomponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.    Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat dan mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat perdesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
1.        alat-alat produktif;
2.        senjata;
3.        wadah;
4.        alat-alat menyalakan api;
5.        makanan;
6.        pakaian;
7.        tempat berlindung dan perumahan;
8.        alat-alat transportasi.

b.    Sistem mata pencaharian (aspek ekonomi)
Perhatian para antropolog masa awal pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah mata pencaharian tradisional, diantaranya:
1.        berburu dan meramu;
2.        beternak;
3.        bercocok tanam di ladang;
4.        menangkap ikan.

Kemudian, arah kajiannya meliputi sistem ekonomi yang lebih luas. Ahli antropologi berasumsi bahwa motivasi seseorang dalam melakukan kegiatan ekonomi sangat beragam. Penggunaan sumber daya yang dimiliki manusia dimotivasi oleh berbagai tujuan, antara lain: a subsistence fund, a replacement fund, a ceremonial fund, a social fund, dan a rent fund.
Sistem produksi (mode of production) pada dasarnya merupakan strategi adaptasi masyarakat terhadap lingkungan. Faktor-faktor produksi (means of production) meliputi tanah/teritori, tenaga kerja, teknologi, dan modal.
Pertukaran/sistem distribusi yang berkembang di berbagai kebudayaan di dunia dapat difokuskan atas tiga prinsip, yaitu prinsip pasar, redistribusi, dan resiprositas (Karl Polanyi, 1957 dalam Sulasman & Setia Gumilar, 2013:41). Resiprositas terbagi atas tiga tingkat, yaitu resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas seimbang (balanced reciprocity), dan resiprositas negatif (negative reciprocity).
Salah satu alat pertukaran yang banyak digunakan di dunia adalah uang. Fungsi uang antara lain sebagai alat pertukaran, standar nilai, dan alat pembayaran. Mata uang yang memiliki ketiga fungsi tersebut disebut a general purpose money, sedangkan mata uang yang tidak memenuhi ketiga fungsi disebut a special purpose money.

c.   Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:41) mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri atas beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya.
Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar, seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Pada masyarakat umum, kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain, seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
"Pranata dan struktur sosial" ini berfungsi sebagai pengontrol dalam menjaga keberlangsungan struktur sosial yang bersumber pada kebudayaan. Selain itu, kebudayaan memberi 'warna' atau 'karakter' terhadap struktur sosial yang ada sehingga struktur sosial yang terdapat pada kebudayaan tertentu akan tampak 'khas' apabila dibandingkan dengan struktur sosial yang terdapat pada kebudayaan yang berbeda. Dengan demikian, struktur sosial merupakan'operasionalisasi'dari pranata sosial yang telah disesuaikan dengan lingkungan sosial yang ada dalam kehidupan nyata pendukung kebudayaan yang bersangkutan.

d.   Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik melalui tulisan, lisan, maupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Secara umum, fungsi bahasa adalah alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Adapun secara khusus, fungsi bahasa adalah mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah kuno, dan mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahasa merupakan hal yang mendasari banyak dari karya antropologi kognitif. Asumsinya adalah bahwa kategori itu terkodekan dalam struktur dan ciri-ciri pembeda kebahasaan yang digunakan oleh suatu bangsa. Dengan demikian, telaah tentang julukan dan klasiftkasi kebahasaan terkandung dalam ranah-ranah budaya, seperti penyakit, warna, kerabat, tumbuhan, dan sebagainya, yang akan langsung mengantar kita pada kategori kognitif yang digunakan oleh warga masyarakat menata ranah-ranah itu, bahkan dalam memikirkannya. Akan tetapi, seperti telah ditunjukkan oleh banyak penulis, bahasa mungkin sangat kurang andal sebagai petunjuk untuk mengetahui pola-pola pemikiran kognitif para penggunanya. Alasan pertama adalah, seperti yang dikemukakan oleh Harris ada banyak ambiguitas (ketaksaan) fungsional yang tak terhapuskan. Ketaksaan (memiliki dua makna) ini sejak awal telah terkandung dalam keseluruhan tuturan sehari-hari, dan dalam bentuk komunikasi yang lebih khusus, seperti puisi, kritik sastra, seni, dan sebagainya (Kaplan & Manners dalam Sulasman & Setia Gumilar (2013:43).

e.    Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia terhadap keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

f.    Sistem kepercayaan (religi)
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagat raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagat raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Agama dan sistem kepercayaan lainnya sering terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: religion, yang berasal dari bahasa Latin religare,yang berarti"menambatkan") adalah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan agama sebagai berikut:
... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.
Sebagai akar kata dari religion, unsur religi merupakan salah satu unsur universal dari kebudayaan. Karakteristik utama religi adalah kepercayaan pada makhluk dan kekuatan supranatural. Masyarakat di dunia memiliki beragam konsepsi tentang makhluk supranatural, tetapi dapat diklasifikasikan atas tiga kategori, yaitu dewa-dewi, arwah leluhur, dan makhluk supranatural lain/bukan manusia. Makhluk-makhluk supranatural itu dianggap menguasai dunia atau bagian tertentu dari dunia.
Selain keyakinan adanya makhluk dan kekuatan supranatural, komponen penting lainnya dari religi adalah ajaran, emosi keagamaan, sistem upacara religi, dan umat/pengikut religi. Pada aspek ajaran, agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman Tuhan" dalam agama Yudeo-Kristiani atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang, agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian.
Sebagian kepercayaan tergolong agama samawi. Tiga agama besar, Yahudi, Kristen, dan Islam, dikelompokkan sebagai agama Samawi atau agama Abrahamik. Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama, sekaligus perbedaan mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.
Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, merupakan agama monoteistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa. Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen, seperti St.Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 - 2,1 miliar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia. Adapun Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak memengaruhi kebudayaan TimurTengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 miliar pemeluk agama Islam di dunia.
Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang" dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Sebagian agama tradisional lahir dari filsafat atau falsafah hidup, yang dikembangkan para agamawan atau filsuf. Pengaruh mereka cukup besar; bahkan bisa dianggap menyerap ke dalam kebudayaan atau menjadi agama negara, seperti agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketenteraman hati pada saat bermasalah, tertimpa musibah,"dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia.
Agama dan filosofi sering saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia banyak berasal dari India dan Cina, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi. Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahayana yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, Cina, Mongolia, Jepang, Korea, dan Cina selatan sampai Vietnam. Theravada Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.
Agama Hindu dari India mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, memengaruhi, baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.
Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politiktercipta.Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu ataupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di Cina.
Sistem kepercayaan pun muncul pada era modern dalam banyak bentuk. Misalnya "American Dream". American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia adalah sebuah kepercayaan yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa melalui kerja keras, pengorbanan,dan kebulatantekad,tanpa memedulikan status sosial, seseorang bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Gagasan ini berakar dari keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah "kota di atas bukit" (atau "city upon a hill”), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"), yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.
Ada dua upacara ritual penting yang sering dilakukan masyarakat di dunia, yaitu upacara peralihan (Rites of Passage) dan upacara intensifikasi (Rites of Intensification). Upacara peralihan adalah upacara ritual yang berkaitan dengan peralihan dari satu tahap kehidupan manusia kepada tahap kehidupan berikutnya. Kelahiran, masa pubertas, perkawinan, dan kematian merupakan tahap-tahap yang dianggap penting dalam kehidupan manusia. Adapun upacara intensifikasi adalah upacara yang dilakukan ketika suatu kelompok dilanda krisis. Upacara ini mempersatukan semua orang dalam kelompok untuk mengatasi masalah bersama-sama. Religi memiliki fungsi psikologis dan sosial. Religi berperan penting dalam pengendalian sosial serta memelihara solidaritas sosial. Fungsi lain dari religi terkait dengan bidang pendidikan.
g.    Institusi keluarga dan pernikahan
            Agama sering memengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Banyak gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma memercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, tetapi memperbolehkannya.

h.    Sistem ilmu dan pengetahuan
Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan yang bersifat empiris (trial and error). Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
1.        pengetahuan tentang alam;
2.        pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya;
3.        pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia;
4.        pengetahuan tentang ruang dan waktu.
Di samping itu, terdapat beberapa aspek dari kebudayaan, yaitu integrasi kebudayaan, fokus kebudayaan, dan etos kebudayaan.

2.3 Faktor-Faktor Personal dan Hubungan Antarpribadi yang Mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya.
             Komunikasi Antarbudaya sebagai sesuatu yang penting tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor yang paling utama yaitu dari sisi personal individu yang melaksanakan komunikasi antarbudaya tersebut. Yaitu diantaranya ialah sebagai berikut :
2.3.1 Faktor Personal
Berbicara mengenai faktor personal selalu dikaitan dengan faktor psikologis seperti persepsi, memori dan motivasi. Faktor psikologis muncul dari dalam diri (disposisi) untuk ditampilkan sebagai respon terhadap stimulus yang datang dari luar diri (Alo Liliweri, 2012:). Ada beberapa hal lain yang berkenaan dengan faktor personal yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi, yaitu:
a.      Kekuatan pribadi (personality strenght)
Ciri-ciri utama personal akan mempengaruhi komunikasi interkultural sebagai konsep diri, memperlihatkan diri, penerimaan diri, dan relaksasi sosial.
1.       Konsep diri (self concept) berkenaan dengan cara bagaimana seseorang menggambarkan dirinya sendiri.
2.       Memperlihatkan diri (self-disclosure) berkenaan dengan kemauan individu untuk membuka diri dan menyatakan informasi yang tepat berkisar diri mereka sendiri untuk rekan/teman imbangannya (counterparts).
3.       Penerimaan diri (self-monitoring) berkenaan dengan menggunakan perbandingan informasi sosial untuk mengontrol dan memodifikasi perkenalan diri mereka sendiri dan perilaku ekspresif (expressive behavior).
4.       Relaksasi sosial (social relaxation) adalah kemampuan untuk menyatakan sedikit kecemasan (little anxiety) dalam komunikasi. Komunikator yang efektif semestinya mengetahui diri mereka sendiri yang baik dan kesadaran diri mereka, dan memulai sikap positif. Individu-individu semestinya cepat tanggap untuk memiliki kepribadian yang ramah (tamah) dalam komunikasi interkultural.

b.      Keterampilan-keterampilan komunikasi (communication skills)
Individu semestinya memiliki kecakapan verbal dan nonverbal dalam berperilaku. Keterampilan-keterampilan komunikasi interkultural membutuhkan keterampilan menyampaikan pesan, perilaku yang fleksibel, pengelolaan interaksi, dan keterampilan-keterampilan sosial.
1.      Keterampilan-keterampilan menyampaikan pesan (message skills) berkenaan dengan kemampuan untuk memahami dan menggunakan kemampuan berbahasa serta umpan balik.
2.      Perilaku yang fleksibel (behavioral flexibility) adalah suatu kemampuan untuk menyeleksi perilaku yang pantas dalam berbagai macam konteks perilaku.
3.      Pengelolaan interaksi (interaction managemant) adalah suatu cara penanganan aspek-aspek prosedur pada percakapan, seperti kecakapan untuk memulai percakapan. Pengelolaan interaksi menekankan pada kemampuan interaksi orang lain dalam menyesuaikan diri, seperti penuh perhatian (attentiveness) dan mau mendengarkan (responsiveness).
4.      Keterampilan-keterampilan sosial (social skills) adalah mengidentifikasikan pemeliharaan (maintenance) dan empati (empathy). Empathy adalah suatu kemampuan memikirkan persamaan gagasan dan per­asaan emosi yang sama terhadap orang lain. Mengidentifikasi pemeli­haraan adalah kemampuan untuk memelihara teman/rekan imbangan (counterparts) sebagai ciri-ciri untuk memahami secara teliti komunika­si balikan (communicating back) terhadap identitas seseorang. Dalam perkataan lain, komunikator yang kompoten semestinya dapat menguraikan atau berurusan (deal) dengan bermacam-macam orang dalam situasi yang berbeda.

c.       Penyesuaian psikologis (psychological adjustment)
Komunikator yang efektif semestinya mampu menyesuaikan diri pada suatu iklim (acclimate) lingkungan yang baru. Mereka semestinya dapat menangani perasaan-perasaan "culture shock", seperti frustasi, stress, dan pengasingan diri (alienation) dalam situasi kasus berarti-dua (ambiguous) terhadap pengalaman-pengalaman baru.

d.      Kesadaran budaya (cultural awareness)
Hal yang sangat kompoten dalam komunikasi interkultural adalah pemahaman individu terhadap kebiasaan sosial (social customs) dan sistem sosial (social system) pada sekumpulan besar budaya (host cultural). Memahami bagaimana seseorang memikirkan dan berkelakuan yang esensiil (essential) untuk komunikasi yang efektif dengan mereka.
Rintangan-rintangan komunikasi (communication barriers) interkul­tural menurut LaRay M. Barna (1997), menunjukkan ada enam rintangan komunikasi interkultural, yaitu: (1) kecemasan, (2) menyamakan sesuatu padahal sebenarnya berbeda, (3) etnosentrisme, dan (4) stereotipe dan prasangka.
1.    Kecemasan (anxiety)
Penghalang yang pertama adalah kecemasan yang tinggi. Ketika seseorang cemas karena tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, kondisi semacam ini akan menghalangi seseorang dalam melakukan komunikasi interkultural. Seperti misalnya, seseorang mungkin akan mengalami kecemasan ketika memasuki kampus yang asing baginya, atau pekerjaan yang asing baginya. Dalam kondisi cemas seperti ini seseorang mungkin akan berbuat kesalahan karena terlalu memusatkan perhatian agar tidak berbuat kesalahan, sehingga tampak canggung.
2.      Menganggap sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda (assuming
similarity instead of difference)
Rintangan yang kedua adalah mengangggap sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda. Jika seseorang yang pernah pindah (transferred) dari satu perguruan tinggi ke yang lain, mungkin mengalami rintangan ini. Pada perguruan tinggi pertama sebagai contoh, pendaftaran dilakukan dengan cara tertentu. Sedang pada perguruan tinggi yang lain dilakukan dengan cara yang lain pula. Oleh sebab itu anggapan yang sama dalam melakukan pendaftaran akan menyebabkan seseorang menjadi cemas dan melakukan kesalahan atau memerlukan banyak waktu ekstra, demikian pula dalam hal budaya, ketika seseorang mengasumsikan persamaan interkultur padahal sebenarnya kultur itu berbeda, maka mereka sebenarnya telah terjebak pada tindakan tidak memperhatikan perbedaan.


3.    Etnosentrisme (ethnocentrism)
Rintangan yang ketiga bagi komunikasi interkultural yang efektif adalah etnosentris, yaitu secara negatif menghakimi bagian-bagian dari kultur lain dengan standar kultur diri sendiri. Sikap atau perilaku etnosentris timbul karena seseorang terlalu percaya akan keunggulan kultur diri sendiri dan memandang rendah kultur. bentuk lain yang sedikit lebih ekstrim dari etnosentris ditandai dengan label "nearsightedness" budaya, yaitu mengira kultur diri sendiri menjadi induk yang diwarisi oleh kultur lain. Nearsightedness budaya sering mengakibatkan seseorang membuat asumsi bahwa pemikiran yang sederhana adalah sama dengan segala sesuatudi mana-mana. Sebagai contoh "Eurocentric etnosentris", seseorang hanya mengenali liburan barat di sekolah yang mendasarkan kurikulum hanya pada sejarah barat, musik, dan seni. Istilah "Barat" dan "Timur" telah diberi label Eurocen etnosentris. Asia adalah timur Eropa, tetapi untuk Asia "Tirnur" identitasnya tergantung pada Eropa.
Etnosentris ekstrim bisa berdampak negatif berupa mendorong seseorang ke arah penolakan kesempurnaan dan pengetahuan yang bersumber dari budaya lain. Hal itu bisa menyebabkan terhalangnya komunikasi dan merintangi pertukaran gagasan dan ketrampilan antar individu. Oleh sebab itu setiap individu yang cenderung bersikap etnosentris akan memiliki kecenderungan untuk menolak dan membatasi.
4.    Stereotipe dan Prasangka (Stereotypes and prejudice)
Sampai dengan tahun 2000 mungkin ada 6 milyar manusia di atas muka bumi - diantaranya tidak ada yang sama persis. Orang-orang bisa memiliki badan yang besar dan kecil, dan memiliki warna kulit yang beragam. Kita memakai pakaian yang berbeda dan mempunyai ide yang berbeda tentang kecantikan (beauty). Banyak di antara kita percaya akan adanya satu Tuhan (in one Cod), sementara orang lain percaya akan adanya banyak Tuhan, dan masih ada orang lain yang tidak percaya adanya Tuhan. Banyak orang yang kaya dan banyak pula yang sangat menyedihkan atau miskin. Kita dapat dengan mudah melihat adanya orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda satu sama lain, tapi bagaimana perbedaan-perbedaan dapat menjadi dasar munculnya prasangka?
Stereotipe dan prasangka adalah suatu dinding penghalang bagi komunikasi interkultural. Istilah stereotipe merupakan perluasan istilah yang umum digunakan untuk mengacu pada judgment negatif atau positif yang dibuat dan ditujukan kepada individu-individu didasarkan pada beberapa pengamatan atau keyakinan anggota kelompok, dimana prasangka (prejudice) berkenaan dengan kebencian atau kecurigaan yang irasional terhadap suatu kelompok, ras, agama, atau orientasi seks. Istilah-istilah tersebut terkait dengan pembuatan judgment tentang individu-individu didasarkan atas anggota kelompok.
Istilah "stereotyping" pertama kali digunakan oleh jurnalis Walter Lippman pada tahun 1922 yang menjelaskan judgment tentang orang lain yang dibuat berdasarkan keanggotaan kelompok etnis mereka. Sekarang, istilah stereotipe digunakan secara lebih luas yang berkenaan dengan judgment yang dibuat berdasarkan pada beberapa anggota kelompok. Para psikolog telah mencoba menjelaskan tingkah laku stereotipe sebagai kesalahan otak kita membuat persepsi terhadap orang lain yang memiliki kesamaan membuat kesalahan otak kita dalam mempersepsikan terhadap ilusi yang bersifat visual (Nisbett, 1980).
Apa yang kita lihat, banyak kesiapan tersedia untuk membayangkan (image) adalah apa yang bisa kita harapkan untuk melihat. Kita dapat menolak informasi apapun yang bertentangan yang mengandung harapan. Dalam persepsi kita membaca "Paris in the spiring", tapi secara actual has an extra "the". As we don't expect to see a doublr "the", we do not perceive it. Melalui cara yang sama, jika kita mengharapkan bahwa para pemimpin perusahan adalah Pria Kulit Putih yang tinggi dan langsing, kita tidak dapat menerima wanita cacat, dan orang-orang dari kelompok warna kulit yang lain.
Stereotipe digunakan oleh semua kelompok. Sampai sekarang ini, isyarat untuk menunjukkan "Jepang" (Japanese) di dalam bahasa isyarat Amerika adalah dengan mengacungkan jari kelingking (little finger) di depan kelopak mata sebagai tanda yang menunjukkan "si mata sipit" (a slanted eye). Dalam bahasa isyarat Jepang, tanda untuk "orang asing" (foreigner) adalah jari telunjuk membuat suatu gerak lingkar disekitar mata yang menandakan "si mata bulat" (round eye). Meskipun anda mungkin berpikir tentang stereotipe sebagai hal yang mengarah pada judgment negatif, stereotipe dapat juga bersifat positif. Sebagaian orang melakukan stereotipe positif terhadap individu-individu lain berdasarkan pada keanggotaan kelompok profesional mereka. Seperti misalnya, beberapa orang berasumsi bahwa semua para doktor adalah bijaksana dan cerdas.
Pengaruh-pengaruh negatif terhadap komunikasi (negative effects on communications) paling tidak melalui empat cara, yaitu: (a) stereotipe-menimbulkan asumsi bahwa suatu keyakinan yang dipegang secara luas adalah benar, padahal belum tentu benar, misalnya orang Arab adalah kaya, maniak dalam seks dan berpikir teroris-terrorist minded, (b) stereotipe menyebabkan kita berasumsi bahwa suatu keyakinan yang dipegang dengan teguh adalah benar tentang semua orang dalam suatu kelompok tertentu, misalnya jika suatu kelompok distereotipkan sebagai kelompok yang tidak jujur ini berarti bahwa tiap individu yang berada dalam kelompok itu adalah tidak jujur, (c) stereotipe dapat menimbulkan 'self-fulfilling prophecy' bagi orang-orang yang distereotipkan, dan (d) stereotipe menggiring kita untuk menginterpretasikan perilaku individu dari kaca mata perceptual stereotipe. Oleh karena itu stereotipe dapat merintangi komunikasi.
Sementara stereotipe dapat berarti positif atau negatif, sedangkan prasangka {prejudice) berkenaan dengan ketidak-sukaan {dislike), kebencian atau kecurigaan {suspican or hatred) yang irasional terhadap kelompok, ras, agama, atau orientasi seksual (Rothenberg, 1992). Orang-orang di dalam kelompok tidak dipandang sebagai individu apa adanya, tapi dipandang sesuai dengan karakteristik yang nampak membuat mereka sebagai bagian dari kelompok.
Para psikolog telah mengidentifikasikan individu memiliki prasangka yang tinggi sebagai kepribadian yang otoriter - authoritarian personali­ty (Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson & Sanford, 1950), adalah in­dividu yang cendrung melakukan overgeneralize and thinks in bipolar terms, seperti: Orang yang sangat konvensional, moralistik, dan anti-kritik {uncritical) terhadap atasan mereka, bahkan ketika menghadapi informasi konflik yang baru.
Meskipun secara terbuka prasangka secara individual dan kelompok ada, pemerintah juga mendukung prejudice terhadap warga negaranya melalui sebuah kebijakan yang mereka tetapkan. Di Amerika selama Perang Dunia II, propaganda pemerintah menghadapi negara Jerman dan Jepang. Penawanan ribuan warga Amerika keturunan Jepang {Jap­anese-Americans) sepanjang peperangan juga meningkatkan perasaan prasangka terhadap kelompok ini. Amerika Serikat bukanlah satu-satu-nya pemerintah yang mengijinkan adanya prejudice. Kebijakan Jepang yang tidak mengijinkan orang-orang non-Jepang menjadi warga negara telah menciptakan warga negara kelas dua (a second-class citizenry) bagi keturunan Korea yang hidup di Jepang. Stereotipe, prasangka, dan rasisme terus berlanjut dan menjadi kuat dengan kehadirannya di dalam media masa. Stereotype, Prejudice, dan Racism dapat ditemu­kan di media cetak, buku-buku dari buku anak-anak sampai dengan buku-buku di pergurun tinggi {children's books to college brochures), serta di berbagai media elektronik. Film-film dan program-program televisi dari kelompok budaya popular, masih menampilkan kelompok-kelompok minoritas dan kelompok asing (minorities and foreign groups) dengan cara-cara stereotipe.

2.3.2 Faktor Hubungan Antarpribadi
Faktor hubungan antarpribadi juga memberi pengaruh pada komunikasi antarbudaya, diantaranya ialah (Alo Liliweri, 2011):
a.      Sifat antarbudaya yang berpengaruh terhadap interaksi
Paul Watzlawick, Janet Beavin, dan Don Jacson (1967) mengatakan ada perbedaan antara isi dan relasi komunikasi meliputi informasi yang terkanding dalam pesan. Misalnya tentang apa yang diucapkan secara lisan atau ditulis diatas kertas. Sedangkan relasi komunikasi berkaitan dengan bagaimana pesan itu disampaikan, bagaimana isi pesan itu disimpulkan sehingga meningkatkan kualitas relasi hubungan antarpribadi.

b.      Masalah kredibilitas
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pengiriman pesan seorang komunikator agar diterima oleh seorang komunikan, antara lain ialah Kredibilitas, Objekklivitas, dan Keahlian.
Unsur diatas sangat tergantung atas faktor-faktor dimana kebudayaan itu diapresiasi. Kredibilitas tidak hanya meliputi kepercayaan kepada seorang pembicara, tetapi juga meliputi sifat-sifat asli kredibilitas itu sendiri. Kredibilitas komunikator itu sendiri terletak pada pribadi seseorang yang mampu mempengaruhi sikap seseorang terhadap orang lain apalagi hal tersebut dapat ditampilkan dalam percakapan dengan sesama.

c.       Derajat kesamaan komunikator dan komunikan
Untuk kesamaan dan ketidaksamaan dalam derajat pasangan komunikator dan komunikan dalam komunikasi, Everett M. Rogers mengetengahkan istilah homophily dan heterophily yang dapat memperjelas hubungan komunikator dan komunikan dalam proses Komunikasi Antar Pribadi.
Homophily adalah sebuah istilah dimana orang-orang yang berinteraksi memiliki kesamaan sifat dan atribut seperti kepercayaan, nilai, pendidikan, status sosial, dan lain-lain. Heterophily adalah kebalikan dari homophily, yang didefinisikan sebagai derajat pasangan orang-orang yang berinteraksi yang berada dalam sifat-sifat tertentu.
Everett M. Rogers dan Philip K. Bhownik dalam Homophilt Heterophily Rational Concepts for Communication Research, menyatakan sistem yang lebih tradisional ditandai oleh derajat homophily yang lebih tinggi dalam Komunikasi Antar Pribadi dan norma-norma di desa menjadi lebih modern akan menjadi lebih heterophily.
Homophily dan komunikasi efektif saling memperkuat satu sama lain. Lebih sering berkomunikasi, lebih besar kemungkinan untuk menjadi homophilt. Lebih bersifat homophily, lebih besar kemungkinan untuk berkomunikasi secara efektif.

d.      Kemampuan menyampaikan pesan verbal antarpribadi
Perilaku verbal sebenarnya adalah komunikasi verbal yang biasa kita lakukan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan kata-kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.
Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan fikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentatifkan berbagai aspek realitas individu kita. Dengan kata lain, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang mewakili kata-kata itu. Misalnya kata rumah, kursi atau mobil. Realitas apa yang mewakili setiap kata itu?. Begitu banyak ragam rumah, ada rumah bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana, rumah hewan, rumah tembok, rumah bilik, dan yang lainnya. Begitu juga kursi, ada kursi jok, kursi kerja, kursi plastik, kursi malas, dan sebagainya. Kata mobil-pun ternyata tidak sederhana, ada sedan, truk, minibus, ada mobil pribadi, mobil angkutan dan sebagainya.
Bila kita menyertakan budaya sebagai variable dalam proses komunikasi tersebut, maka masalahnya akan semakin rumit. Ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri, proses komunikasi akan jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan akhirnya proses komunikasi juga menyulitkan.



Setiap diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya harus mengikut sertakan pembahasaan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas masalah-masalah khusus tentang bahas asing, penerjemahan bahasa dan dialek serta logat sub kultur dan sub kelompok. Untuk itu bila kita membicarakan berbagai dimensi budaya kitra juga akan membicarakan bahasa verbal dan relevansinya dengan pemahaman kita tentang budaya. ( Mulyana & Rakhmat, 2005)
Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambing terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman–pengalaman dalam suatu komunitas geografis dan budaya.
Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk alat berpikir. Maka bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Kemempuan menyampaikan pesan verbal antarbudaya.
Menurut Ohoiwutun (1997) dalam Liliweri (2013:94-97), dalam berkomunikasi antarbudaya ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu;1) kapan orang berbicara; 2) apa yang dikatakan; 3) hal memperhatikan; 4) intonasi; 5) gaya kaku dan puitis serta 6) bahasa tidak langsung. Keenam hal tersebut adalah saat yang tepat bagi seseorang untuk menyampaikan pesan verbal dalam komunikasi antarbudaya.
1.      Kapan orang berbicara
Jika kita berkomunikasi antarbudaya perlu diperhatikan ada kebiasaan (habits) budaya yang mengajarkan kepatutan kapan seorang harus atau boleh berbicara. Orang Timor, Batak, Sulawesi, Ambon, Irian, mewarisi sikap kapan saja bisa berbicara, tanpa membedakan tua dan muda, artinya berbicara semaunya saja, berbicara tidak mengenal batas usia. Namun orang Jawa dan Sunda mengenbal aturan atau kebiasaan kapan orang berbicara, misalnya yang lebih muda mendengarkan lebih banyak daripada yang tua, yang tua lebih bayak berbicara dari yang muda. Perbedaan norma berbahasa ini dapat mengakibatkan konflik antarbudaya hanya karena salah memberikan makna kapan orang harus berbicara.
2.      Apa yang dikatakan
Laporan penelitian Tannen (1984-an) menunjukan bahwa orang-orang New York keturunan Yahudi lebih cenderung berceritera dibanding dengan teman-temannya di California. Ceritera mereka (New York Yahudi) selalu terkait dengan pengalaman dan perasaan pribadi .Masing-masing anggota kelompok kurang tertarik pada isi ceritera yang di-kemukakan anggota kelompok lainnya.
3.      Hal memperhatikan
Konsep ini berkaitan erat dengan gaze atau pandangan mata yang diperkenankan waktu berbicara bersama-sama. Orang-orang kulit hitam biasanya berbicara sambil menatap mata dan wajah orang lain, hal yang sama terjadi bagi orang Batak dan Timor. Dalam berkomunikasi ‘memperhatikan’ adalah melihat bukan sekedar mendengarkan. Sebaliknya oran Jawa tidak mementingkan ‘melihat’ tetapi mendengarkan. Anda membayangkqan jika seorang Jawa sedang berbicara dengan orang Timor yang terus menerus menatap mata orang Jawa ,maka si Jawa merasa tidak enak dan bahkan menilai orang Timor itu sangat kurang ajar. Sebaliknya orang Timor merasa dilecehkan karena si Jawa tidak melihat dia waktu memberikan pengarahan.
4.      Intonasi
Masalah intonasi cukup berpengaruh dalam berbagai bahasa yang berbeda budaya. Orang kadang di Lembata/Flores memakai kata bua berarti melahirkan namun kata yang sama kalau di tekan pada huruf akhir’a’-bua’(atau buaq), berarti berlayar; kata laha berarti marah tetapi kalau disebut tekanan di akhir ‘a’-lahaq merupakan maki yang merujuk pada alat kelamin laki-laki.


5.      Gaya kaku atau puitis
Ohoiwutun (1997:105) menulis bahwa jika anda membandingkan bahasa Indonesia yang diguratkan pada awal berdirinya Negara ini dengan gaya yang dipakai dewasa ini, dekade 90-an maka anda akan dapati bahwa bahasa Indonesia tahun 1950-an lebih kaku. Gaya bahasa sekarang lebih dinamis lebih banyak kata dan frase dengan makna ganda, tergantung dari konteksnya. Perbedaan ini terjadi sebagai akibat perkembangan bahasa. Tahun 1950-an bahasa Indonesia hanya dipengaruhi secara dominan oleh bahasa Melayu.
Dewasa ini puluhan bahasa daerah, teristimewa bahaqsa Jawa dengan puluhan juta penutur aslinya, telah ikut mempengaruhi ‘formula’ berbahasa Indonesia. Anehnya bila berkunjung ke Yunani anda akan mengalami gaya berbahasa Yunani seperti yang kita alami di Indonesia sekarang ini. Disebut aneh karena Yunani tidak mengalami pengaruh berbagai bahasa dalam sejarah perkembangan bahasanya seperti yang dialami Indonesia.
6.      Bahasa tidak langsung
Setiap bahasa mengajarkan kepada para penuturnya mekanisme untuk menyatakan sesuatu secara langsung atau tidak langsung. Jika anda berhadapan dengan orang Jepang, maka anda akan menemukan bahwa mereka sering berbahasa secara tidak langsung, baik verbal maupun non verbal. Dalam berbisnis, umumnya surat bisnis Amerika, menyatakan maksudnya dalam empat paragraf saja.

e.       Kemampuan menyampaikan pesan non verbal antarpribadi
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya; bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan kecuali rangsangan verbal dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpamenyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.
Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan penggunaan dan pengaturan ruang.
Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya ini biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial; di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.
Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak penting. Dan beberapa suku Indian Amrika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurangsopanan. Seorang guru sekolah kulit putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat kepadanya.
Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya – apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita: bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non verbal tersebut.
1.      Konsep Waktu
Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya waktu. Kebanyakan budaya Barat memandang waktu sebagai langsung dan berhubungan dengan ruang dan tempat. Kita terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Sebaliknya, sukuIndian Hopi tidak begitu memperhatikan waktu. Mereka percaya bahwa setiap hal – apakah itu manusia, tumbuhan, atau binatang memiliki sistem waktunya sendiri-sendiri.
Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banayak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi.
2.      Penggunaan Ruang
Cara orang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi antar-personal disebut proksemika (proxemics). Proksemika tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Kita mungkin tahu bahwa orang-orang Arab dan orang-orang Amerika Latin cenderung berinteraksi lebih dekat kepada sesamanya daripada orang-orang Amerika Utara. Penting disadari bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila kita berbicara dengan orang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran apa yang bakal terjadi, menghindari pelanggaran-pelanggaran tersebut, dan meneruskan interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan. Kita mungkin mengalami perasaan-perasaan yang sulit kita kontrol; kita mungkin menyangka bahwa orang lain tidak tahu adat, agresif, atau menunjukkan nafsu seks ketika orang itu berada pada jarak yang dekat dengan kita, padahal sebenarnya tindakannya itu merupakan perwujudan hasil belajarnya tentang bagaimana menggunakan ruang, yang tentu saja dipengaruhi oleh budayanya.
Kita juga cenderung menentukan hierarki sosial dengan mengatur ruang. Duduk di belakang meja sambil berbicara dengan seseorang yang sedang berdiri biasanya merupakan tanda hubungan atasan-bawahan, dan orang yang duduk itulah atasannya. Perilaku yang serupa juga dapat digunakan untuk menunjukkan ketidaksetujuan, kekurangajaran, atau penghinaan, bila orang melanggar norma-norma budaya. Kesalahpahaman mudah terjadi dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya ketika dua orang, masing-masing berperilaku sesuai dengan budayanya masing-masing, tak memenuhi harapan pihak lainnya. Bila kita tetap duduk sedangkan kita diharapkan berdiri, kita dikira orang melanggar norma budaya dan menghina pribumi atau tamu, padahal kita tidak menyadari hal tersebut.
Menurut Tubbs and Moss (1996), sistem komunikasi non verbal berbeda dari satu budaya ke budaya lain seperti juga sistem verbal. Di beberapa negara, suatu anggukan kepala berarti ”tidak”, di sebagian negara lainnya, anggukan kepala sekedar menunjukkan bahwa orang mengerti pertanyaan yang diajukan. Petunjuk-petunjuk non verbal ini akan lebih rumit lagi bila beberapa budaya memperlakukan faktor-faktor non verbal seperti penggunaan waktu dan ruang secara berbeda.
Isyarat-isyarat vokal seperti volume suara digunakan secara berbeda dalam budaya-budaya yang berbeda, begitu juga dengan ekspresi emosi. Misalnya, orang Italia dan orang Inggris lebih terbiasa mengekspresikan kesusahan dan kemarahan daripada orang Jepang, karena bagi orang Jepang merupakan suatu kewajiban sosial untuk tampak bahagia dan tidak membebani teman-teman mereka dengan kesusahan. Menurut Gudykunst dan Ting Tommey (1988), dalam beberapa budaya penampilan emosi terbatas pada emosi-emosi yang ”positif” dan tidak mengganggu harmoni kelompok.
Alo Liliweri (2013:98-99) mengatakan bahwa ketika berhubungan antarpribadi maka ada beberapa faktor dari pesan non verbal yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Ada beberapa bentuk perilaku non verbal yakni: (1) kinesik; (2) okulesik; (3) haptiks; (4) proksemik; dan (5) kronemik.
1.      Kinesik, adalah studi yang berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh, dll. Tampaknya ada perbedaan anatara arti dan makna dari gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan tersebut.
2.      Okulesik, adalah studi tentang gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan satu makna tertentu, seperti kasih sayng, marah, dll. Orang Amerika Utara tidak membenarkan seorang melihat wajah mereka kalau mereka sedang berbicara. Sebaliknya, orang Kamboja yakin bahwa setiap pertemuan didahului oleh pandangan mata pertama, namun melihat seorang adalah sesuatu yang bersifat privacy sehingga tidak diperkenankan memandang orang lain dengan penuh nafsu.
3.      Haptik, adalah studi tentang perabaan atau memperkenankan sejauh mana seseorang memegang dan merangkul orang lain. Banyak orang Amerika Utara merasa tidak nyaman ketika seseorang dari kebudayaan lain memegang tangan mereka dengan ramah, menepuk belakang dan lain-lain. Ini menunjukkan – derajat keintiman: fungsional/profesional, sosial dan sopan santun, ramah tamah dan baik budi, cinta dan keintiman, dan daya tarik seksual.
4.      Proksemik, studi tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, sebagaimana dikategorikan oleh Hall pada tahun 1973, kecenderungan manusia menunjukkan bahwa waktu orang berkomunikasi itu harus ada jarak antarpribadi, terlalu dekat atau terlalu jauh. Makin dekat artinya makin akrab, makin jauh arinya makin kurang akrab.
5.      Kronemik, adalah studi tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap kalu suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau peradaban maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktu kemudian menghailkan pengertian tentang orang malas, malas bertanggungjawab, orang yang tidak pernah patuh pada waktu.
2.4 Efek Komunikasi Antarbudaya
2.4.1 Apa itu Efektivitas Komunikasi Antarbudaya?
Tujuan komunikasi adalah menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Secara umum, tujuan komunikasi antarbudaya adalah untuk menyatakan identitas sosial dan menyembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari seseatu yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya dalam kebudayaan, serta sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri. Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubahpersepsi dan sikap orang lain, bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia.
Berbagai pengalaman atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan komunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain. Banyak masalah komunikasi antarbudaya timbul hanya karena orang kurang menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam komunikasi antarbudaya.
Menurut William Howell (1982) dalam Alo Liliweri (2013:254) setiap individu mempunyai tingkat kesadaran dan kemampuan yang berbeda-beda dalam komunikasi antarbudaya. Berikut bagan Hubungan antara kesadaran dan kemampuan berkomunikasi antarbudaya:
1.
SADAR bahwa
TIDAK MAMPU
2
SADAR bahwa
MAMPU
3
TIDAK SADAR
bahwa
TIDAK MAMPU
4
TIDAK SADAR bahwa
MAMPU

Peraga ini menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi antara budaya itu ditentukan pula oleh apakah setiap individu sadar bahwa ia mampu berfikir, merasakan bahwa seluruh tindakan komunikasi (action of commucation) yang dia lakukan itu berhasil menciptakan komunikasi yang efektif.
Para ahli komunikasi antarbudaya mengemukakan berbagai konsep tentang efektifitas komunikasi antarbudaya yang meliputi (Alo Liliweri, 2013:257):
a.       kemampuan seseorang untuk menyampaikan semua maksud atau isi hati secara profesional sesuai dengan kemampuan dan kompetisi yang dia tampilkan secara prima.
b.      kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara baik, misalnya mampu mengalih bahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat, jelas dalam suasana bersahabat.
c.       kemampuan seseorang untuk menyesuaikan kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang sedang dihadapinya meskipun dia harus berhadapan dengan pelbagai tekanan dalam proses adaptasi tersebut.
d.      kemampuan seseorang untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan diri atau bisa megelola beragai tekanan kebudayaan lain terhadap dirinya.
Komunikasi itu tidak ditentukan hanya karena setiap orang sudah melakukan interaksi, relasi dan komunikasi sesuai dengan peranan (komunikasi). Seorang insinyur, ilmuwan, ahli keuangan, atau manajer telah berkomunikasi dengan orang lain secara propesional sesuai dengan kompetensi mereka masing-masing, namun apabila para profesional tersebut tidak mampu mengendalikan diri menghadapi tekanan perbedaan antar subkultur berdasarkan profesi, maka komunikasi itu belum efektif. Kunci dari efektivitas komunikasi adalah kemampuan seorang komunikator untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan interaksi, relasi dan komunikasi di antara dua kebudayaan yang berbeda.

2.4.2 Aksioma Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Setiap orang yang berkomunikasi antarbudaya menginginkan hasil yang efektif. Efektivitas itu tergantung pada sejauh mana orang memahami aksioma-aksioma efektivitas komunikasi antarbudaya.
Apabila konsep-konsep komunikasi antarbudaya digali lebih dalam maka kita akan menemukan beberapa bentuk atau beberapa modus perilaku komunikasi yang efektif, yaitu (Alo Liliweri, 2013:258):
a.      Efektifitas hubungan dan komunikasi antarbudaya
Banyak orang menganggap enteng bila terlibat dalam komunikasi antarbudaya. Mereka tidak sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak peluang untuk meraih keuntungan sosial atau ekonomi, namun terpaksa hilang karena kurangnya keterampilan berkomunikasi.
Thibaut dan Kelly (1995) melalui teori pertukaran sosial pernah mengemukakan, banyak orang dalam pergaulan sosial ingin memperoleh ganjaran sosial sebesar-besarnya. Ungkapan basa-basi yang sekedar menyatakan penghargaan terhadap hubungan sosial saja tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah motivasi antar pribadi yang ada dibalik hubungan sosial itu sehingga mampu memberikan atribusi bagi pengembangan hubungan sosial dan kepuasan antar pribadi. Jadi, efektivitas komunikasi terletak pada kepuasan seorang untuk melakukan suatu tindakan simbolis tertentu yang menggambarkan tidak hanya maksud atau gagasan melainkan juga motivasi untuk bertindak.
Efektifitas komunikasi antarbudaya didahului oleh hubungan antarbudaya. Hubungan antarbudaya bukan terjadi sekilas, melainkanterus menerus sehingga kualitasnya berubah dan mengalami kemajuan kearah kualitas hubungan yang baik dan semakin baik. Kualitas itu mengemuka ketika anda dapat membedakan pengalaman berhubungan antarbudaya dengan orang yang berbeda-beda, sehingga anda mengambil keputusan untuk mewujudkan tindakan simbolis tertentu.

b.      Efektivitas komunikasi antarbudaya dan iklim komunikasi antarbudaya yang positif.
Gundykunst (1977) mengemukakan bahwa efektivitas komunikasi antarbudaya kerap kali ditentukan oleh iklim komunikasi yang positif. Gundykunst, Wiseman, dan Hammer (1977) sepakat mengatakan bahwa efektifitas komunikasi antarbudaya baru terlihat dan teruji dalan suatu kondisi atau iklim yang melibatkan pertemuan antar dua atau tiga orang dari kebudayaan yang berbeda. Jadi benarlah menurut Haris dan Moran (1991) iklim komunikasi merupakan pintu gerbang yang melapangkan proses komunikasi. Iklim komunikasi yang positif akan mendukung fungsi komunikasi, sedangkan komunikasi yang negatif akan menghambat fungsi komunikasi. Iklim komunikasi yang positif maupun negatif ditentukan oleh tiga faktor berikut:
1.      Faktor derajat kognitif
Komunikasi antarbudaya mengharuskan setiap pelakunya berusaha mendapatkan, mempertahankan, mengembangkan aspek-aspek kognitif bersama. Saya harus mengetahui keberadaan budaya yang menjadi latar belakang kehidupan saya, saya pun harus berusaha untuk mendapatkan dan memahami latara belakang budaya orang lain. Pengetahuan itu diperoleh dari informasi tentang kebudayaan orang lain, pengalaman pergaulan yang terus menerus sehingga pengalaman itu dapat mempengaruhi persepsi dan sikap saya terhadap dia. Dengan kata lain, saya memahami konsep diri saya yang meliputi identitas pribadi dan identitas sosial.
Identitas Pribadi meliputi aspek-aspek yang unik yang saya miliki. Saya melihat diri saya yang ingin membaharui relasi antara saya dengan orang lain. Identitas pribadi itu berasal dari pengalaman pribadi saya yang unik. Sedangkan identitas sosial merupakan ciri khas kelompok budaya yang saya peroleh dari pengalaman bergaul dengan kelompok budaya saya. Aspek kognitif ini demikia penting untuk menghindari harapan-harapan yang negatif dalam pergaulan antarbudaya. Ada empat akibat negatif interaksi antarbudaya:
a.       betapa orang sering cemas dan takut menampilkan konsep diri (identitas pribadi atau identitas sosial). Orang selalu menyembunyikan ”keaslian”pribadi dan budaya di saat mereka berkomunikasi. Akibatnya orang yang berkomunikasi ragu-ragu dan kurang mengontrol setiap kata yang diucapkan nya, dan mungkin kurang mampu menggunakan isyarat-isyarat non verbal.
b.      orang sering merasa cemas dan takut kalau apa yang dia lakukan berakibata negatif sehingga menggangu relasi dengan orang lain. Sering seseorag takut kalu orag lain akan mengusai atau memanfaatkan diri kita.
c.       adakalanya orang sering merasa cemas dan takut kalau dievaluasi oleh orang lain. Orang pun menjadi cemas dan takut kalau dia ditolak, kurang disukai, kurang dihargai dan lain-lain.
d.      seseorang sering merasa cemas dan takut terhadap evaluasi dari kelompok dia sendiri, akibatnya dia menjadi takut kalu dia dianggap atau dinilai oleh anggota kelompoknya bahwa tampilan dirinya sangat memalukan identitas sosial budaya.

2.      Perasaan positif (positif feeling)
Berdasarkan pengalaman kogitif tersebut maka setiap orang yang berkomunikasi antarbudaya selalu menghindari prasangka yang terhadap orang lain. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya perlu memelihara perasaan positf, misalnya perasaan percaya, nyaman, aman, prihatin, dan mengurangi perasaan cemas. Perasaan positif dapat membantu seorang komunikator: pertama, meningkatkan kesadaran dan kemampuan untuk menyatakan pesan secara terbuka (disclosure). Kedua, kesadaran dan kemampuan untuk berempati antarbudaya dalam mengembangkan perasaan yang terlibat penuh dari hati kehati yang memudahkan penyesuaian-penyesuaian antarbudaya.

3.      Tindakan yang menunjukkan kemampuan
Hal ini merupakan dimensi terakhir dari iklim komunikasi yang positif, yang kita sebut tingkat perilaku. Jika ingin komunikasi yang positif, maka harus bisa menunjukkan tindakan positif itu dengan verbal dan non verbal. Buktikan bahwa anda mampu mengatakan dan menuliskan sebuah pesan tertentu kepada orang lain, bahwa apa yang dikatakan dan ditulis itu sangat positif mendukung orang lain. Melalui pesan non verbal anda pun harus mampu menunjukkan pesan-pesan melalui tatapan mata dan gerak-gerik anggota tubuh, semua itu mengatakan bahwa anda memeliki perasaan positif. Jadi, iklim positif harus didukung oleh tindakan yang menggambarkan suatu tindakan yang bersumber dari:
a.       kebiasaan berperilaku tertentu, misalnya ”script” yakni perilaku yang otomatis, baik sebagai pernyataan atas identitas pribadi maupun identitas kelompok budaya.
b.      kebiasaan untuk menggambarkan maksud komunikasi yang diinginkan, bahwa apakah suatu tindakan komunikasi itu bersifat memberi informasi, memberi intruksi, atau sekedar mengibur atau menyenangkan orang lain.
c.       kebiasaan untuk menggambarkan seluruh perasaan, emosi yang kita miliki. Jadi ada tindakan simbolis untuk menyatakan bahwa kita memiliki pengetahuan, pengalaman yang cukup, persepsi dan perasaan yang positif terhadap sesama.

c.       Identifikasi variabel komunikasi antarbudaya
Berbagai penelitian komunikasi antarbudaya selalu mempersoalkan variabel-variabel komunikator, komunikan, pesan, media, efek, atau umpan balik, serta konteks komunikasi (Alo Liliweri, 2013:263).
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya, adalah seorang yang mengambil inisiatif untuk menyatakan maksud dan isi hatinya terhadap seseorang dari latar belakng budaya yang berbeda. Disamping itu seorang komunikator berusaha memperoleh, mempertahankan, mengembangkan diri dan menyesuaikan dengan komunikasi. Ini berarti mengenai tiga komponen penting bagi penciptaan kompetensi komunikator, yakni motivasi berkomunikasi antarbudaya.
Pesan, yaitu pesan yang berisi maksud, pikiran, dan gagasan seorang komunikator. Pesan bisa berbentuk verbal dan Non verbal yang dapat dipahami bersama. Pesan-pesan antarbudaya itu bisa ditampilkan dalam bentuk bahasa verbal yang dimengerti, isyarat-isyarat non verbal (gerakan anggota tubuh, ruang-ruang jarak dalam budaya masing-masing, serta campuran kata-kata dan gerakan serta suara) antarbudaya yang dapat dimaknakan bersama. Pesan juga berbentuk berkomunikasi, tampilan peragaan simbol-simbol pakaian, makanan, rumah, peralatan rumah tangga, tata cara/ kebiasaan, dll.
Media antarbudaya yang oleh komunikator dapat dilakukan melalui pemilihan media yang menghubungkan perbedaan dua atau lebih budaya. Media itu bisa merupakan pilihan bentuk komunikasi, cara dan kebiasaan berkomunikasi antarpribadi, antar kelompok, komunikasi publik dan komunikasi massa.
Komunikan yakni sasaran komunikasi yang berbeda kebudayaan dengan komunikator.
Efek yaitu bentuk-bentuk dari dampak seperti;
1.      Apakah efek itu langsung dan khusus yang mendukung dan memenuhi kebutuhan yang diinginkan.
2.      Apakah pemenuhan itu bersifat pribadi atau kelompok.
3.      Apakah pemenuhan itu bentuk waktu sekarang, memenuhi apa yang paling dibutuhkan.
4.      Apakah umpan balik itu negatif, positif atau campuran antara positif dan negatif.
5.      Apakah umpan balik itu membuktikan adanya pengaruh terhadap emosi antarbudaya.
6.      Apakah efek itu bernuansa santai, serius, mudah ditanggapi dan dinamis.
7.      Apakah efek itu juga terasa adil dan terpercaya.
Conteks/setting komunikasi antarbudaya, yakni bentuk-bentuk komunikasi yang berbeda satu sama lain karena peranan dan fungsi unsur-unsur komunikasi.

d.      Keterampilan komunikasi dan manusia terisolasi
Ada empat faktor yang membentuk keterampilan berkomunikasi antarbudaya, yakni: (1) bagaimana mengubah diri menjadi lebih sadar tentang hakikat interaksi antarbudaya; (2) besikap toleransi terhadap interaksi dan pesan-pesan yang seringkali bersikap mendua; (3) bersikap empati; dan (4) kemampuan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dalam interaksi antarbudaya.

2.4.3  Bagaimana Menerangkan Efektivitas Antarbudaya?
Menurut para ahli, ada dua faktor yang paling berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya, yakni (a) variabel kognitif dan (b) variabel gaya pribadi; serta (c) variabel-variabel lain. (Alo Liliweeri, 2013:265)

a.      Variabel Kognitif
Efektivitas komunikasi antarbudaya umumnya dan perilaku antarbudaya khususnya ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, dan pikiran yang membentuk konsep antarbudaya. Menurut Ruben (1977), seseorang yang bekerja dalam satu organisasi, melaksanakan komunikasi antarbudaya secara intensif hanya jika dia mempunyai apresiasi terhadap pekerjaan dan tugas yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, perhatian terhadap kebudayaan tetaplah penting dalam proses komunikasi antarbudaya.

b.      Variabel Gaya Pribadi
Perilaku yang berdasarkan gaya pribadi sering disebut orientasi diri (self-oriented). komunikasi antarbudaya yang berdasarkan orientasi diri dapat mengubah efektivitas komunikasi menjadi komunikasi yang disfungsional. Berikut bentuk gaya pribadi yang sering tampil dalam komunikasi antarpribadi.
1.      Etnosentrisme
Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau keunggulan dari suatu kelompok orang yang menganggap kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul. Etnosentrisme dapat mengurangi efektivitas komunikasi antarbudaya.
2.      Toleransi, Sikap Mendua dan Keluasan
Komunikasi antarbudaya mengandung sifat mendua, karena kita menghadapi dua ketidakpastian kebudayaan, yakni kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Keadaan ini sering dijumpai dalam beragam konteks komunikasi yakni, konteks antar pribadi, kelompok, organisasi, publik dan komunikasi massa. Apabila kita menghadapi situasi yang mendua maka kita telah bersikap toleransi terhadap situasi itu.
3.      Empati
Kemampuan untuk berkomunikasi antarbudaya tergantung atas bagaimana cara kita meletakkan diri dalam kerangka sikap orang lain. Kalau mau menciptakan kerangka itu maka kita telah membuat suatu jaringan untuk menciptakan efektivitas komunikasi antarbudaya. Empati yang dimaksutkan agar mulai mengertikan dan memahami orang lain “dari dalam”, dari kerangka pikir (gagasan yang dia komunikasikan), perasaan dan perbuatan. Tindakan empati dapat dilakukan melalui kegiatan mendengar secara aktif dan akurat.
4.      Keterbukaan
Keterbukaan pribadi (self flexibility) merupakan faktor penting untuk menciptakan relasi antar pribadi yang maksimum. Dengan keterbukaan bukan berarti bahwa setiap orang harus membuka diri seluas-luasnya, namun membuka kesempatan untuk sama-sama mengetahui imformasi tentang diri maupun tentang lawan bicara.
5.      Kompleksitas Kognitif
Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan pribadi untuk mengetahui, dan memahami orang lain. Secara umum dapat dilakukan bahwa kompleksitas kognitif seorang itu berada pada taraf multipleks maka dia akan melihat sesuatu secara lebih luas dan dia mampu memberikan gambaran tentang pelbagai perbedaan tentang apa yang dilihatnya secara mendalam.
6.      Kenyamanan Antarpribadi
Kita dapat merasa hubungan antarpribadi dalam keadaan nyaman dan tenang jika perasaan itu dikaitkan dengan penyesuaian interaksi antarbudaya dari taraf minimum hingga ketaraf yang maksimum (Norton dan Dodd, 1984). kepercayaan dan interaksi antar pribadi (Tucker and Baier, 1985), berkaitan dengan prinsip efektivitas. Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda.
7.      Kontrol Pribadi
Efektivitas komunikasi antarbudaya sangat tergantung pada sejauhmana anda mengontrol pribadi terhadap lingkungan sekitar. ada hubungan yang signifikan antara kontrol pribadi dan tampilan pribadi dengan penyesuaian budaya. Temuan itu mempertanyakan bagaimana cara anda memandang kemampuan anda sendiri untuk dapat terlibat dalam proses adaptasi antarbudaya yang pada gilirannya menentukan efektivitas komunikasi antarbudaya.
8.      Kemampuan Inovasi
Inovasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan teknologi baru melakukan sistem sosial suatu masyarakat. Jika konsep inovasi ini dihubungkan dengan difusi (Everet M.Rogers) maka kemampuan inovasi meliputi kemampuan seorang yang kita sebut inovator guna menerima dan menyebarluaskan informasi yang kemudian dengan metode dan teknik tertentu disebarluaskan kesasaran yang dituju.
9.      Harga Diri
Harga diri (self esteem) sangat menentukan efektivitas antarbudaya. Manakala pertahanan hargadiri itu makin tinggi maka komunikator makin sulit berkomunikasi dengan komunikan, sebaliknya juga, jika perasaan “rendah diri”menyenyelimuti komunikator maka keadaan psikologis itu dapat menghambat komunikasi antarbudaya (Bannett, 1977). Oleh karena itu percaya diri (self confidience) dan inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri sangat menentukan efektivitas komunikasi antarbudaya (Tucker dan Baier 1985).
10.  Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi
Kecemasan komunikasi antarpribadi, kecemasan dalam kelompok, serta kecemasan atas publisitas dapat berdampak atas penyesuaian antarbudaya yang pada gilirannya mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. semakin tinggi tingkat keprihatinan terhadap komunikasi maka semakin rendah efektivitas komunikasi antarbudaya (Dodd, 1987).

c.       Variabel-Variabel Lain
Variabel-variabel lain yang dimaksud yaitu komunikasi antarpribadi, keramahtamahan, motivasi akultulasi, umur, pekerjaan, keanggotaan dalam suatu organisasi, kemampuan berbahasa (Kim, 1977); termasuk memperlihatkan perhatian pada orang lain/ kemampuan interaktif (Ruben, 1977), motivasi positif, harapan positif, kepercayaan yang dimiliki, kemampuan untuk melacu, sikap terhadap minuman keras, komunikasi keluarga (Tucker dan Baier, 1985), tingkat kesamaan atau perbedaan dengan kebudayaan sendiri, kedekatan dengan kebudayaan sendiri (Gundykunst dan Kim, 1984).

2.4.4  Adaptasi Perilaku Komunikasi ke dalam Efektivitas Antarbudaya
Ada 3 sasaran komunikasi antarbudaya yang selalu dikehendaki dalam proses komunikasi antarbudaya, yakni (a) agar kita berhasil melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan orang –orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, (b) agar kita dapat meningkatkan hubungan antarpribadi dalam suasana antarbudaya, dan (c) agar tercapai penyesuaian antarpribadi. (Alo Liliweri, 2013:276)
Salah satu tujuan hidup bersama adalah berkomunikasi sehingga di antara kita saling mendukung demi pencapaian tugas-tugas yang dikehendaki bersama. Keberhasilan dalam tugas dapat di dukung oleh komunikasi antarbudaya yang dilakukan secara terbuka, berfikir positif, saling mendukung, bersikap empati. Akibatnya adalah kita meningkatkan semangat saling memberi dan menerima perbedaan sesuai dengan prinsip kebudayaan masing-masing.
Manfaat pada aspek relasi adalah bagaimana orang berkomunikasi dengan anda, dapat mengatakan tentang apa yang anda pikirkan, apa yang anda rasakan, apa yang anda lakukan. Beberapa pertanyaan muncul dalam relasi antarpribadi komunikasi antarbudaya, misalnya; apakah mereka suka kepada anda? Apakah anda dapat melanjutkan kerjasama tersebut? memahami dan mengerti tentang kesejawatan, kesetiakawanan merupakan dua faktor yang penting dalam hubungan atau relasi antar pribadi. Dampaknya adalah, kita mencapai salah satu tujuan dari studi komunikasi antarbudaya yakni meningkatkan pengertian dan mengurangi ketegangan antarpribadi-antarbudaya.
Sasaran ketiga yang perlu dipahami dalam komunikasi antarbudaya adalah terciptanya penyesuaian antarpribadi. Perlu diketahui bahwa karena mereka yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya sering bergaul dengan frekuensi yang tinggi maka prasangka-prasangka budaya yang sebelumnya telah terbentuk perlahan-lahan berkurang. Jadi anda dengan komunikan memulai suatu proses hidup bersama misalnya menyesuaiakan diri antarbudaya, makin terbuka dengan sesama, dan sebagainya.

2.5      Realita Pertemuan Budaya
Seiring mengecilnya dunia akibat globalisasi-kapitalisme dan perkembangan teknologi informasi, maka kemungkinan bertemunya antar orang- orang dari berbagai belahan dunia semakin besar pula. Pertemuan yang tidak harus secara real fisik melainkan dapat melalui media-media simbolik transmisioner semacam: telepon, televise atau internet. Pertemuan yang tidak mungkin dihindari jika masih ingin exsist daripada mengambil pilihan lain yaitu menghindar (withdrawl) dan kemudian tertinggal lalu terpuruk pada akhirnya. Pertemuan yang bukan hanya antar orang-perorang semata, melainkan sesungguhnya juga pertemuan antarbudaya.
Akibatnya adalah persoalan benturan budaya semakin mengemuka. Persoalan yang tidak sekedar menuntut perpecahan melainkan lebih pada pemahaman dan kesadaran: akan keberagaman budaya yang membawa pada kemampuan: beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan yang luas, mengatasi konflik interpersonal, dan memenangkan globalisasi.
Diakui hubungan antarbudaya adalah suatu tantanga besar bagi manusia. Di dalamnya terdapat kepastian akan adanya perbedaan yang kadang menyakitkan terutama ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan dan kepastian akan kemungkinan mengalami konflik serta keharusan menerima perbedaan. Contoh yang sangat kecil saja, di dalam budaya Jawa memberikan sesuatu kepada siapapun terutama kepada orang yang lebih tua dengan menggunakan tangan kiri adalah hal yang sangat tidak sopan. Sebaliknya hal ini sendiri bukanlah suatu hal yang bernilai bagi orang-orang dari budaya barat. Selanjutnya menjadi persoalan ketika orang Jawa pergi ke Eropa dan pada suatu ketika si anak penjual korang memberikan korannya dengan tangan kiri. Disinilah kemungkinan konflik muncul dan menuntut kesadaran akan perbedaan budaya.
Di sisi lain tantangan tersebut sesungguhnya juga memberikan kesempatan besar bagi umat manusia. Kesempatan untuk menambah wacana sekaligus mengaktualisasikan potensi dan keunikan masing-masing. Kesempatan untuk menampilkan warna masing-masing dan membuat lebih indah taman dunia dengan bunga yang beraneka warna.
Namun demikian untuk dapat menemukan kesempatan tersebut mensyaratkan adanya keberanian membuka diri sekalipun keberanian dan kejujuran untuk melihat diri dan budaya sendiri. Ketakutan, kekolotan, dan seringkali kesombongan diri yang kaku, merasa budaya sendiri yang benar (ethnocentrism) kadang yang malah muncul dan menghalangi penilaian diri yang jujur yang ujungnya menghambat diri untuk maju.
Sangat mungkin menghadapi kepastian konflik tersebut, ada individu yang lebih memilih menghindari konflik dengan jalan menghindari pertemuan dengan individu dari latar budaya lain dan sebaliknya memilih hanya berdiam dalam kelompoknya (In his own cultural group). Dengan hanya bergaul dan mengembangkan eksistensi diri pada kelompoknya sendiri member individu tersebut rasa aman, terhindar dari kesulitan adaptasi karena sudah adanya kesamaan identitas dan lepas dari kemungkinan konflik karena tidak ada perbedaan kebiasaan. Namun dengan mengembangkan hidup hanya pada satu kelompok sesungguhnya malah berarti membeda-bedakan diri dan menjadikan orang lain semakin berbeda dan hal ini pada dasarya malah menciptakan kemungkinan konflik lain semakin berbeda dan hal ini pada dasarnya malah menciptakan kemungkinan konflik yang lebih besar. Selain itu individu tersebut juga akan kehilangan banyak informasi serta wacana baru yang menjadi kunci untuk exist di dunia yang tak pernah berhenti berubah ini. Terlebih penting individu itu kehilangan kesempatan untuk belajar dan beraktualisasi diri yang lebih baik. Maka dari itu, kesadaran yang disertai keberanian untuk menerima perbedaan adalah hal yang jauh lebih indah dan menjadi satu-satunya syarat untuk melangkah maju tanpa memaksakan diri untuk menjadi seragam.
Dengan keberanian untuk membuka diri hubungan dengan banyak manusia dari berbagai macam budaya, berarti kita mengembangkan diri, mendapat banyak wacana baru, menambah lebih banyak saudara ataupun relasi, dan itu berarti membuka pintu kesempatan. Membuka diri memiliki makna mau memehami orang lain, menerima budaya lain, dan siap untuk berbeda (Johnson, 1993).
Pemaparan di atas memberikan gambaran ringkas betapa kompleksnya masalah hubungan manusia dalam konteks antarbudaya, namun sekaligus menawarkan suatu kesempatan luar biasa besar bagi kemajuan kemanusiaan dan peradaban. Sementara bagi akademisi, hal tersebut merupakan persoalan baru yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam dalam kerangka ilmiah, khususna bagi cabang-cabang humaniora. (Tria Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2012:1-3).






















DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri. 2013.  Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sulasman dan Setia Gumilar. 2013. Teori-Teori Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setya.

Tria Dayakisni dan Salis Yuniardi. 2012. Psikologi Lintas Budaya: Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar