Minggu, 19 Juni 2016

PERSPEKTIF GLOBAL KONSELING MULTIKULTURAL



A. Benturan Peradaban
Selain pengenalan terhadap seluk beluk budaya lokal dan sikap-sikap yang menyertai perbedaan antar budaya, isu dalam kajian antar budaya umumnya dan konseling lintas budaya khususnya juga berkaitan dengan pergeseran hubungan antar peradaban yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu. Dalam hal ini, siapapun yang terlibat dalam kajian antar budaya dituntut untuk memiliki persepektif global. Mungkin persepektif ini tidak langsung berkaitan dengan pemahaman konselor terhadap perilaku klien, tetapi memberikan perspektif terhadap bagaimana seorang konselor lintas-budaya memposisikan diri dalam perkembangan global.

 
Sebagai contoh dalam perkembangan terakhir yaitu serangan terhadap gedung WTC (World Trade Center) dan pentagon pada tanggal 11 september 2001 beserta implikasi-implikasi global yang menyertainya, kita dapat mengerti Amerika Serikat dan sekutu baratnya segera mengangkat peristiwa itu sebagai serangan terhadap peradaban barat dan bahkan peradaban dunia. Kia juga dapat mendeteksi, betapa stereotip, prasangka dan bias-bias barat terhadap Islam yang secara historis diwariskan dari generasi ke generasi dan bahkan cenderung skizophrenik (Amstrong, 2001, dalam Dedi Supriadi, 2001: 47) seakan-akan mendapatkan pembenaran kembali. Dalam suasana  meliputi prasangka seperti ini, adalah persoalan besar bagi mayoritas masyarakat Barat untuk mengambil posisi yang obyektif dan jujur terhadap komunitas Muslim; barangkali termasuk pula di sekolah-sekolah yang sebagian siswanya adalah Muslim.
Telah dikemukakan diatas bahwa multikulturalisme adalah pengakuan terhadap adanya pluralisme budaya yang perlu dipelihara sebagai khazanah kekayaan kebudayaan umat manusia. Karena ada pengakuan, maka kebudayaan yang beragam itu hidup sejajar dalam harmoni dan toleransi sekalipun selalu ada yang menjadi “Budaya utama” atau budaya mayoritas yang menjadi mainstream dalam suatu komunitas, multikulturalisme memastikan adanya hak hidup, pengakuan dan bahkan perlunya tindakan afirmatif terhadap budaya kelompok minoritas. Ide multikulturalisme bertolak dari kepercayaan tentang perlu adanya saling pengertian,harmoni, dan perdamaian, bukan konflik.
Dalam publikasi yang menghebohkan yang dimuat dalam jurnal Foreign Affairs (1993 a: 22-40), Huntington mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan ambruknya tembok Berlin pada tahun 1989 dan berakhirnya 72 tahun sejarah Uni Soviet maka konflik Timur Barat berakhir dan Barat yang dipimpin oleh Amerika keluar sebagai pemenang. Secara agak berlebihan, Francis Fukuyama menandai kemenangan mutlak Liberalisme atau Sosialisme ini sebagai “akhir sejarah” dalam karyanya “The End of History”.
Diantara peradaban-peradaban tersebut, akan terjadi persaingan untuk merebut hegemoni dunia. Dari pola-pola hubungan yang terjadi antar peradaban selama ini, ia menyatakan bahwa akan ada tiga kekuatan di masa depan yang dominan yaitu peradaban barat, islam, dan konfusius. Barat meliputi Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia sebagai sebuah torn country, Selandia Baru dan kedalam kekuatan ini akan bergabung Rusia dengan Negara-negara Eropa Timur dengan ciri Slavik serta Amerika Latin. Islam merujuk pada Negara-negara dengan mayoritas muslim termasuk Indonesia. Konfusius adalah Cina dan Negara-negara disekitarnya yang berciri kebudayaan Cinic seperti Korea dan Jepang. Dihitung dari jumlah penduduknya, kekuatan barat dan sekutunya mewakili sekitar 30-40% penduduk dunia, sedangkan Islam dan Kofusius akan mewakili 60% penduduk dunia (Huntington,2001: 132, dalam Dedi Supriadi,2001: 50).
Sejak dilontarkan pada tahun 1993, paradigma Huntington hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Salah satu bagian yang penting yang perlu dicatat dalam paradigma ini adalah sebagai akibat terjadinya konflik antar peradaban, ada kecenderungan dewasa ini yang mengarahkan dunia pada “Monokulturalisme global” dengan memberlakukan Universalitas budaya barat khususnya Amerika Serikat.
Tesis Huntington tersebut mendapatkan reaksi yang cukup luas sehingga ia merasa perlu untuk menjelaskan kembali posisinya dalam jurnal yang sama. “If not civilization, What?” (1993 b). Dalam jawabannya Ia bertolak dari paradigma Thomas S. Khun (1970) tentang anatomi revolusi keilmuan. Huntington yakin bahwa paradigma itulah yang paling mampu menjelaskan perkembangan ke depan. Sedemikian yakinnya, ia menyatakan bahwa kerjasama ekonomi dan kebudayaan sekalipun hanya terjadi antara kebudayaan dalam rumpun peradaban yang serupa. Misalnya, ia musahilkan kerjasama ekonomi antara ekonomi Islam dan Barat yang secara mendasar memiliki ciri-ciri yang berbeda.
Untuk menyegarkan ingatan kita, pokok paradigma Thomas S. Kuhn yang dirujuk oeh Huntington ialah bahwa sepanjang sejarah, determinan utama perkembangan ilmu bukanlah akumulasi informasi keilmuan sebagaimana diyakini oleh banyak orang, melainkan terjadinya revolusi paradigma. Revolusi paradigma terjadi pada saat paradigma yang ada menjadi usang dan tidak mampu lagi menjelaskan fenomena yang dihadapinya. Menurut dia, pada suatu masa dapat saja terdapat lebih dari satu paradigma yang digunakan dalam posisi yang saling bersaing dan memiliki pengikut yang luas di kalangan para ilmuwan. Berdasarkan paradigma Kuhn ini, Huntington menyatakan bahwa “paradigma Perang Dingin” (the cold war paradigm) dan kategori yang berkaitan dengannya (misalnya konflik Timur-Barat, hubungan Utara-Selatan, Dunia Ketiga untuk menunjuk pada negara-negara berkembang) tidak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada pasca Perang Dingin. Oleh sebab itu, dikenal istilah “paradigma peradaban” (the civilization paradigm) sebagai penggantinya.
Dengan segala kontroversi yang menyertainya, paradigma tersebut diakui dapat membantu dalam membaca berbagai pergeseran global berkenaan dengan hubungan antar-peradaban yang terjadi selama 10 tahun terakhir, yang untuk sebagian mungkin merupakan semacam self fulfilling prophecy belaka dari tesis Huntington. Maksudnya bahwa karena tulisan Huntington, maka orang percaya akan terjadinya benturan peradaban. Karena percaya, maka hal itu kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan. Dari kacamata ini, bisa dipetakan berbagai perkembangan yang terjadi di dunia. Misalnya hubungan RRC-AS yang sensitif, ditolaknya Turki untuk bergabung ke dalam masyarakat Eropa karena dianggap tidak memiliki kontribusi pada peradaban Barat, latihan perang Turki-Israel yang di masa lalu mustahil dapat terjadi, berubahnya politik luar negeri Australia dari “pro-Asia” di zaman Paul Keating menjadi “pro-Amerika dan Eropa” di zaman PM John Howard sekarang yang mengambil jarak dari negara tetangga terdekatnya yaitu Indonesia. Dalam konteks benturan peradaban, Australia dan Turki oleh Huntington disebut sebagai “the torn countries” bersama Rusia dan Meksiko.  
Seperti telah disebutkan di atas, sudut pandang yang sama dapat digunakan untuk membaca peristiwa ditubrukkannya tiga pesawat Boeing ke gedung WTC dan Pentagon yang dibalas dengan serangan ke Afganistan dengan dali untuk memberangus teroris, melalui operasi yang disebutnya “Operation Infinite Justice” (Operasi Keadilan Tanpa Batas) sebagai pengganti “Operation Crusade” (Operasi Perang Salib) yang diprotes komunitas Muslim Amerika. Dapat dilihat pula, bagaimana Amerika dan sekutu Baratnya merespons peristiwa ini dengan mengangkat panji-panji yang disebutnya perang terhadap peradaban Barat dan bahkan dunia, persis diisyaratkan oleh Huntington. “The very phrase ‘world community’ has become a euphemism to give legitimacy to the actions of the west” (h.40). Kalaupun benar Osama bin Laden dan kelompok Al-Khaedah-nya berada di belakang serangan terhadap WTC dan Pentagon (kalau bukan justru Israel dari jaringan Zionismenya yang mengglobal sebagaimana disinyalir oleh sementara pihak karena lebih mungkin bila dilihat dari kecanggihan dan tingkat presisi serangan itu), maka ia dan jaringannya hanya mewujudkan paradigma Huntington tersebut. Itulah yang dimaksud dengan “self-fulfilling prophecy”. Apa yang dikemukakan oleh Huntington juga diisyaratkan oleh Karen Armstrong (2001a: 5, dalam Dedi Supriadi, 2001: 53), “kini tampak bahwa Perang Dunia (Barat) melawan Uni Soviet (yang telah berakhir) akan digantikan oleh Perang Dunia melawan Islam.
Huntington mengingatkan bahwa negara-negara non-Barat akan berusaha menjadi modern tanpa harus menjadi Barat atau menempuh jalan yang telah dilalui oleh Barat – sebagaimana telah dilakukan dengan sukses oleh Jepang, Korea, Singapura, dan RRC sebagai kekuatan yang sedang menggeliat. Sebagai bagian dari modernitas itu, negara-negara non-Barat akan terus berusaha untuk membangun ekonomi, teknologi, keterampilan, dan persenjataannya sehingga dapat menyaingi Barat. Langkah yang ditempuh oleh India, Pakistan, Iran, dan Irak dengan membangun persenjataan nuklirnya yang menggunakan teknologi RRC dan Korea Utara dapat dianggap sebagai upaya menyaingi superioritas militer Barat. Pada saat yang sama, mereka akan berusaha menyesuaikan modernitas dengan kebudayaan dan nilai-nilai tradisionalnya. Keadaan ini akan menuntut Barat untuk mengakomodasi peradaban modern non-Barat yang kekuatan-nya menyaingi Barat namun didasari nilai-nilai dan kepentingannya dalam kaitan dengan peradaban-peradaban lain, Barat berusaha untuk mempertahankan kekuatan ekonomi dan militernya. Inilah yang kemudian melahirkan konflik peradaban yang terjadi pada setiap titik persinggungan atar-peradaban, terutama antara aliansi Islam – Konfusius melawan Barat. “The conflicts of the future will occur along the cultural faults lines separating civilizations” (h. 25), dan bahwa “A Cunfucion – Islamic connection has emerged to challenge Western interests values and power” (h.46).
Dari posisi kajian antar-budaya, analisis Huntington perlu digaris-bawahi karena arahnya berlawanan dengan semangat multikulturalisme yang sedang tumbuh di banyak negara. Benturan antar-peradaban akan menyeret dunia pada berbagai konflik yang sama dasyatnya dengan Perang Dunia (baca, misalnya LaFeber, 1980), dan peradaban Barat akan berusaha untuk menjadi kekuatan yang paling dominan di dunia melalui tema-tema propaganda yang disebutnya “universalitas peradaban barat” untuk menciptakan monokulturalisme global (Huntington, 2001: 616-617). Akan tetapi pada akhirnya ia juga menerima ide bahwa multikulturalisme global adalah sesuatu yang tidak dapat dicegah. Dalam nada yang kurang yakin, ia menulis:
Beberapa orang Amerika mempropagandakan multikulturalisme di dalam Negara mereka, sebagian mempropagandakan universalisme di luar negeri; dan sebagian lagi mempropagandakan keduanya. Propaganda multikulturalisme di dalam negeri tersebut menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dan Barat; universalisme di luar negeri menjadi ancaman bagi Barat dan dunia. Monokulturalisme global ingin menjadikan Amerika seperti dunia. Sebuah Negara Amerika yang multicultural tampaknya tidak mungkin diwujudkan karena “Negara-negara Amerika non-Barat” bukanlah Amerika. Sebuah dunia multicultural tidak mungkin dihindari karena kekuasaan global tidak mungkin terwujud. Preservasi Amerika dan Barat menuntut pembaruan identitas Barat. Keamanan dunia memerlukan adanya peneriamaan terhadap multikulturalitas global (Huntington, 2001: 632).

Meskipun yakin benar akan terjadinya benturan peradaban, memang ia masih memberi ruang bagi terjadinya kerjasama antar-peradaban dalam suatu pola hubungan yang berdampingan secara damai. Menurut dia, sisi lain dari konflik tersebut adalah keharusan Barat untuk memiliki perngertian yang mendalam tentang asumsi-asumsi dasar filosofis dan keagamaan yang mendasari peradaban-peradaban non-Barat dan cara orang-orang dalam peradaban-peradaban tersebut melihat kepentingan mereka sendiri. Barat harus berusaha untuk mengidentifikasi elemen-elemen kesamaan antara peradabannya sendiri dengan peradaban-peradaban lain. Karena itu, mengakhiri artikel pertamanya, ia menulis, “for the relevant future, there will be no universal civilization, but instead a world of different civilizations, each of which will have to learn to co-exist with the others” (1993 a: 49).

B. Model Untuk Memetakan Konflik Peradaban
Dengan mengacu kepada adanya tarikan antara monokulturalisme dan multikulturalisme pada tataran lokal/ nasional hingga regional/ global, sebuah model untuk memetakan spektrum benturan antar-peradaban dan dinamikanya dapat dilukiskan (Supriadi, 2001: 57) sebagai ilustrasi pada gambar 1.1.






 










Gambar 1.1. Model hipotetik memetakan spektrum dinamika benturan peradaban.

Model ini dapat membantu kita memahami potensi-potensi konflik intra – dan antar – peradaban, kebudayaan, atau kelompok masyarakat. Kuadran A (monokulturalisme-nasional) adalah kondisi masyarakat/ negara/ kebudayaan yang memiliki sifat-sifat (relatif) homogen dengan potensi konflik yang (relatif) kecil. Kalaupun isu multikulturalisme muncul di sini, maka hal itu lebih pada bagaimana meningkatkan harmoni antar-kelompok masyarakat yang ada. Kuadran B (multikulturalisme-nasional) mewakili keadaan negara-negara multi-etnik/ budaya yang sedang bergerak atau telah secara tegas mengakui prularisme budaya masyarakatnya, namun justru karena itu pula, terdapat potensi bagi terjadinya konflik-konflik internal. Isu-isu multikulturalisme menonjol di sini, dan Indonesia berada dalam kuadran ini.
Konteks paradigma Huntington berada pada Kuadran C dan D. Konflik peradaban timbul apabila ada pemaksaan bagi terjadinya monokulturalisme-global (kuadran D) dan menolak multikulturalisme-global (kuadran C). Hanya negara, kelompok negara, atau tujuan-tujuan tertentu; bisa politik, ekonomi, kebudayaan, atau bahkan keagamaan. Saat ini, Barat adalah satu-satunya kekuatan yang memiliki kemampuan dan ambisi untuk menciptakan monokulturalisme-global melalui dalil-dalil universalitas peradabannya, meskipun di dalam negerinya mengakui multikulturalisme-nasional. Akan tetapi usaha kearah itu akan membangkitkan perlawanan dari kekuatan-kekuatan yang menghendaki dipeliharanya multikulturalisme-global (Kuadran C).

C. Titik Balik Peradaban : Harapan Menuju Arah Baru
Isu utama yang menjadi perhatian para konselor multikultural di Amerika Serikat, terutama mereka yang memiliki sudut pandang emik, adalah dominasinya teori-teori yang berdasarkan nilai-nilai budaya Eropa/ Amerika Utara. Beberapa kepercayaan dominan dari Eropa/ Amerika Utara adalah nilai-nilai individual, pemecahan masalah yang berorientasi pada tindakan, etika kerja, metode ilmiah, dan penekanan pada jadwal waktu yang ketat (Axelson, 1999). Liabilitas dari nilai-nilai ini dalam konseling adalah bahwa teori-teori yang dibuat disekitarnya tidak selalu berlaku untuk klien yang berasal dari tradisi budaya yang lain (Lee 2006; Nwachuku & Ivey, 1991; Sue, 1992). Jika fakta ini tidak dikenali dan dihadapi, dapat terjadi bias dan kegagalan dalam relasi konselor-klien (Pendersen, 1987).
Isu kedua dalam konseling multikultural adalah sensitifitas terhadap budaya secara umum dan khusus. Pendersen (1982) percaya bahwa sangat penting bagi konselor untuk sensitif terhadap tiga area berikut dalam isu budaya:
1.    Pengetahuan akan cara pandang klien yang berbeda budaya
2.    Kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang dan bagaimana seseorang merupakan produk dari pengkondisian budaya, dan
3.    Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan klien yang berbeda budaya.

Ketiga area ini telah digunakan AMCD sebagai dasar untuk mengembangkan Multicultural Counseling Competencies pada tahun 1992 dan pengoperasiannya (Arredondo et al, 1996). Sebelum perkembangan ini, Pedersen (1977, 1978) telah terlebih dahulu mengembangkan model segi tiga untuk membantu konselor mencapai pengertian yang lebih dalam terhadap budaya secara umum. Empat area dalam model tersebut adalah “memandang masalah dari perspektif budaya klien; mengantisipasi perlawanan dari klien yang berbeda budaya; mereduksi sikap melawan dengan cara mempelajari respon perlawanan pribadi; dan mempelajari kemampuan untuk memulihkan, untuk keluar dari kesulitan ketika mengkonseling orang yang berbeda budaya” (1978, p. 481). Dalam model ini, seorang antikonselor, yang berfungsi seperti alter ego dan dengan sengaja berusaha untuk memberontak, bekerja dengan konselor dan klien dalam sesi kaset video. Interaksi dan umpan balik yang dihasilkan melalui proses ini membantu menghancurkan dinding penghalang dan mendorong pengertian dan sensitivitas yang lebih baik dalam diri konselor (Parker, Archer, & Scott, 1992).
Model lain untuk memahami budaya tertentu dibuat oleh Nwachuku dan Ivey (1991). Mereka mengusulkan agar konselor terlebih dahulu mempelajari suatu budaya dan nilai-nilai budaya tersebut sebelum mencoba untuk mengedaptasi sebuah teori bagi klein tertentu. Teknik awal dalam mencapai tujuan ini adalah menonton film-film popular yang berfokus pada keberagaman tentang budaya tertentu. Pinterits dan Atkinson (1998) membuat daftar beberapa film yang bisa membantu konselor untuk mengerti perbedaan budaya dan merasakan masalah yang ada dalam budaya-budaya ini secara langsung.
Isu ke tiga dalam konseling multikultural adalah memahami cara kerja sistem budaya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku. Konselor yang memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang sistem budaya biasanya akan lebih ahli dalam membantu anggota dari kelompok budaya tertentu. Konselor semacam ini mampu berbagi cara pandang yang sama dengan klien, membuat intervensi yang lebih baik dan pantas, tetapi tetap mempertahankan integritas personal. Tipe sensitivitas budaya semacam ini membutuhkan “partisipasi aktif dari pikah praktisi” termasuk kesadaran diri (Brinson, 1996, p. 201).
Isu keempat dalam konseling multikultural adalah menyediakan layanan konseling lintas budaya yang efektif. Sue (1978) membuat lima panduan untuk konseling lintas budaya yang efektif, yang masih aplikatif hingga sekarang:
1.    Konselor mengenali nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang sehubungan dengan tingkah laku manusia yang diinginkan dan diterima. Mereka kemudian akan dapat mengintegrasikan pengertian ini ke dalam tingkah laku dan perasaan yang tepat.
2.    Konselor menyadari kualitas dan transisi dari teori konseling yang umum dan bersifat kultural. Tidak ada metode konseling yang bebas dari pengaruh budaya
3.    Konselor mengerti lingkungan sosial politik yang telah mempengaruhi kehidupan para anggota kelompok minoritas. Manusia adalah produk dari keadaan di mana mereka hidup
4.    Konselor mampu berbagi cara pandang dari klien dan tidak menyatakan keabsahannya
5.    Konselor benar-benar kreatif dalam praktik konseling. Mereka dapat menggunakan beragam keahlian konseling dan menerapkan teknik konseling tertentu pada gaya hidup dan pengalaman tertentu.
Lebih jauh lagi Sue (1978) menyarakan sebuah bingkai kerja untuk konseling multikultural yang berdasarkan pada konsep dua dimensi, dengan lokus kontrol pada poros horizontal dan lokus tanggung jawab pada poros vertikal. Keempat kuadran mempresentasikan tingkatan dan macam-macam interaksi dan bisa terjadi di antara variabel-variabel ini dengan klien dari budaya yang berbeda.


 











Gambar 1.2. Representasi grafik dari cara pandang dunia

Isu terakhir dari konseling multikultural adalah perkembangan penggunaan teori-teori konseling. Bias kultural terjadi pada konselor dari kalangan mayoritas maupun minoritas (Wendel, 1997) dan dulu telah masuk dalam teori-teori konseling. Untuk menghadapi bias, teori-teori konseling yang terbatas secara budaya, dan untuk membantu melampaui batasan kulutral, McFadden (1999) dan sejumlah pendidik konselor terkemuka telah menemukan adanya kesadaran tetang perlunya konseling multikultural. Model McFadde adalah perspektif lintas budaya yang berfokus pada tiga dimensi utama yang harus dikuasai konselor. Yaitu:
1.    Cultural – historial, yaitu konselor harus menguasai pengetahuan akan budaya klien
2.    Psikososial, yaitu konselor harus memahami etnik, performa, percakapan, tingkah laku kelompok sosial dari klien agar bisa memiliki komunikasi yang bermakna
3.    Saintifik – ideological, yaitu konselor harus munggunakan pendekatan konseling yang tepat untuk menghadapi masalah yang terkait dengan lingkungan regional, nasional, dan internasional.
Penjelasan tentang teori-teori yang telah ada dan tingkat penerapannya pada populasi dan masalah tertentu juga telah menjadi popular (misalnya, Corsini dan Wedding, 2008; Sue, Ivey, & Pedersen, 1996; Vontress, 1996). Konseling eksistensial adalah salah satu pendekatan yang seperti perspektif lintas budaya MCFadden, utuh dan bisa diterapkan pada “semua kelompok budaya dan sosial ekonomi” (Epp, 1998, p.7). sebagai pendekatan teoritis, ini berhadapan dengan makna dan relasi antar-manusia dan dengan isu paling tinggi yaitu hidup dan mati.
Perkembangan menggembirakan lainnya dalam konseling multikultural adalah pembaharuan penekanan pada teori yang dirancang secara khusus untuk budaya yang berbeda-beda (Lee, 2006). Sebagai contoh, psikoterapis Asia tradisional, yang telah ada dari 3000 tahun yang lalu, menjadi semakin popular di Barat belakangan ini (Walsh, 2000). Banyak dari tradisi ini menekankan pada eksistensial dan kesehatan transpersonal serta perkembangan patologi, serta menerapkan teknik-teknik seperti meditasi dan yoga. Efeknya menguntungkan pada pertumbuhan psikologis dan kesehatan, baik digunakan sendiri maupun digunakan bersama dengan pendekatan lain.

1. Relevansi Kebutuhan Konseling Lintas Budaya di Indonesia
Pada bagian pembahasan ini, secara khusus dikemukakan relevansi konseling lintas-budaya di Indonesia. Dari pengamatan penulis di lapangan dan serangkaian diskusi dengan para konselor sekolah diketahui bahwa semakin sering persoalan-persoalan yang bersumber dari keragaman budaya klien muncul dan sulit dipecahkan dalam proses pendidikan dan konseling sekolah; sementara para konselor itu, dan bahkan sistem persekolahan belum secara sengaja disiapkan untuk menghadapi keadaan tersebut. Perilaku malasuai (maladjustment) siswa untuk tingkat tertentu sangat terkait dengan dari mana ia berasal dan ke mana afiliasi kelompoknya, apakah itu etnik asal daerah, atau bahkan status sosial-ekonomi keluarganya.
Hal serupa terjadi di luar persekolahan. Ketika terjadi berbagai gejolak daerah (Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Timor Timur), banyak penduduk mengungsi dan mengalami stres berat. Pemerintah kemudian meluncurkan program rehabilitasi sosial melalui layanan konseling bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Dilaporkan bahwa tidak banyak orang atau lembaga yang secara khusus mempunyai cukup kepakaran untuk menangani persoalan-persoalan seperti itu. Mereka menyadari bahwa prinsip-prinsip yang lazim digunakan dalam konseling dan prikologi saja tidak cukup untuk menangani masalah-masalah yang bersifat lintas-budaya, tanpa adanya pengertian yang memadai tentang karakteristik budaya populasi yang dilayaninya. Dalam konteks yang relevan, kegagalan Indonesia (sehingga lepas kembali) bersumber pula dari ketidak mampuan kita untuk memahami dan memperlakukan manusia Timtim secara tepat. Misalnya, untuk dan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, mereka serta-merta diperlakukan seperti anak-anak di bagian Indonesia lainnya yang secara historis memang diikat oleh nasionalisme Indonesia, sementara akar kesejarahan orang Timtim berbeda sehingga tidak ada nasionalisme Indonesia di Timtim (Rahardjo, 1999 dalam Supriadi, 2001: 67).
Pada dua dasawarsa terakhir, perhatian terhadap topik-topik kajian yang sifatnya multi-, antar-, trans-, atau lintas-budaya semakin berkembang di banyak negara. Banyak buku, artikel jurnal, tesis, disertasi dan penelitian-penelitian dilakukan untuk menelaah masalah ini. Misalnya: impact of culture and Context on Psychosocial Adaption: The Cultural and Contextual Guides Process, Jody L. Swartz-Kulstad and William E. Martin jr. Journal of counseling & development, 99; Multicultural Counseling, Eric Digest, Author: Locke, Don C, 93; dan Issues in Multicultural Counseling Highlights: An Eric/ Caps Digest, Author: Bolton-Brownlee, Ann, 87; dsbnya. Perkembangan yang cepat di Negara-negara lain tersebut tampaknya belum banyak berimbas ke Indonesia. Belum banyak kajian-kajian, publikasi, apalagi praktik berorientasi lintas budaya di Indonesia.
Pada tahun 1996 di adakan konferensi internasional tentang pendidikan multikultural di IKIP Bandung (sekarang UPI) yang bekerjasama dengan La Trobe University, Australia. Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Dr. Dedi Supriadi (2001), dimana uraiannya lebih dimaksudkan untuk membuka wacana kearah topik konseling lintas budaya di Indonesia, khususnya di UPI, (belum membahas konseling lintas budaya dalam bentuk teknik-teknik yang bersifat preskriptif). Penulis perlu melihat adanya kajian-kajian litas budaya yang berspektif global di kembangkan di UPI dan di kampus-kampus negeri maupun swasta di seluruh wilayah Indonesia melalui sebuah pusat kajian yang bernama, misalnya: “Pusat Kajian Antar-Budaya” (Center for Studies on Interculturel Issues) atau “Pusat Kajian Budaya Baru” (Center for Studies on the New Cultures).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, relevansi kebutuhan konseling lintas budaya di Indonesia, dari pengamatan dan pengalaman penulis dalam mengangkat judul Tesis (2001) yang berjudul: Pengembangan Model Bimbingan berbasis Budaya Lokal untuk Meningkatkan Kreativitas Anak (suatu studi pada siswa SD di Kota Denpasar) dan judul Disertasi (2004) yang berjudul: Model Layanan Bimbingan Keterampilan Hidup Berbasis Nilai Budaya Lokal (studi pemberdayaan generasi muda di desa Baha Kabupaten Badung, Provinsi Bali). Kemudian pengamatan di lapangan dan serangkaian diskusi dengan para konselor di sekolah (SLTP dan SMU) diketahui bahwa semakin sering persoalan-persoalan yang bersumber dari keragaman budaya klien muncul dan sulit dipecahkan dalam proses pendidikan dan konseling di sekolah.
Sunaryo Kartadinata (1996) mengemukakan bahwa konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang Psychoeducator, maka harus memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam konteks sosial dan budaya; menguasai ragam bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada intervensi intrapersonal tetapi juga interpersonal dan litas budaya.
Sedangkan Mohamad Surya (1997) mengemukakan bahwa bimbingan dalam suasana harmoni budaya bangsa, pernyataan ini mempunyai implikasi bahwa kebudayaan hendaknya dijadikan sebagai suatu pendekatan dalam pelaksanaan bimbingan. Pola bimbingan yang ditawarkan adalah pola bimbingan yang holistik dengan fokus sasaran utamanya adalah pemberdayaan pribadi, berpusat pada keluarga dengan berakar pada nilai religi, bernuansa pendidikan, dan dalam harmoni budaya bangsa. Adapun pola-pola bimbingan yang dimaksud, yaitu: Pertama, pola bimbingan yang holistik mempunyai makna bahwa layanan yang terkait. Kedua, fokus sasaran bimbingan diarahkan pada pemberdayaan pribadi sebagai sumber kekuatan daya manusiawi. Ketiga, bimbingan yang berpusat pada keluarga. Keempat, pola bimbingan yang bernuansa pendidikan dalam arti dilandasi oleh paradigma dan nilai-nilai pendidikan karena pada hakekatnya bimbingan merupakan proses pendidikan, dan Kelima, bimbingan dalam suasana harmoni budaya bangsa.
Selanjutnya Djawad Dahlan (2002) mengemukakan bahwa terdapat berbagai nilai yang perlu dilestarikan dan dipelihara dari generasi ke generasi dan sama sekali tidak dapat diabaikan dalam menata kehidupan di era globalisasi yang untuh. Nilai-nilai tersebut diungkapkan oleh Malik Fadjar (1999) dalam butir-butir yang menyatu, berkelindari, disebutkan olehnya, antara lain nilai: (1) shilaturrahmi, berupa cinta kasih sesama manusia, sesama warga negara Indonesia; (2) ukhuwah, berupa semangat persaudaraan yang tidak terikat oleh berbagai identitas suku, ras dan agama; (3) musyawah, persamaan yang berpandangan bahwa harkat dan martabat manusia adalah sama, tanpa memandang jenis kelamin, suku dan kebangsaannya; (4) adil, yang mengandung makna seimbang dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau orang; (5) husnudzdzan (baik sangka), yang memandang manusia dilahirkan atas fitrah yang suci; (6) tawadhu, yang mewujudkan sikap rendah hati yang lahir dari keinsafan bahwa kesempurnaan tidak dimiliki oleh manusia; (7) tepat janji, yang merupakan ciri khas manusia terpuji; (8) lapang dada, yaitu adanya kesediaan menghargai pendapat dan pandangan orang lain; (9) amanah, menupakan ciri khas manusia yang dapat dipercaya, karena memiliki tanggung jawab yang tinggi; (10) harga diri, yang menunjukkan sikap rendah hati, tidak mudah memelas; (11) hemat, dalam arti tidak menaham hak orang lain, dan (12) dermawan, yang menunjukkan sikap penolong bagi sesama manusia.

2. Konseling Internasional
Konseling adalah fenomena yang sering kali dieja dalam bahasa Inggris dengan dua I (counselling). Perspektif kultural tentang konseling yang digunakan di Amerika Serikat hanyalah satu dari sekian banyak perspektif. Bahkan, beberapa benua memiliki asosiasi konseling mereka sendiri (khususnya, Afrika-African Counseling Association, http://www.geocities.com/kim1122a dan Eropa-European Association for Counselling, http://www.eacnet.org/prospectus.html, dan European Branch of the American Counseling Association, http://www.online-infos.de/eb-aca/about.html). Sejumlah negara lain juga mempunyai asosiasi konseling sendiri (contohnya, Inggris, Australia, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Turki, dan Kanada). Sebagai tambahan, praktik konseling berkembang di sejumlah daerah, terutama Hongkong, di mana asosiasi konseling berkembang pesat.
Lebih jauh lagi, ada asosiasi terapis internasional yang menjunjung teori-teori tertentu, seperti Adlerian, Analisis Transaksional (TA), dan terapi realitas. Dibeberapa negara yang tidak memiliki asosiasi konseling formal, seperti Italia, ada banyak lembaga pelatihan teori (Gemignani & Gilberto, 2005). Terakhir, ada Internasional Association for Counselling (IAC; http://www.iac-irtac.org), yang menyelenggarakan pertemuan tahunan di negara-negara seluruh dunia dan menerbitkan Internasional Journals for the Advancement of Counseling.
Lebih dari 20 tahun yang lalu, Super (1983) mempertanyakan apakah konseling seperti yang dipraktikkan di Amerika Utara, bisa diadabtasikan ke negara lain. Analisis budaya dan konseling menyimpulkan, bahwa negara aman dan makmur memandang konseling sebagai cara untuk mempromosikan minat dan kemampuan individu. Negara yang ekonominya kurang maju dan berada di bawah ancaman pihak asing, memandang pelayanan konseling sebagai cara untuk menghubungkan individu dengan area tertentu yang dibutuhkan untuk bertahan secara budaya (Super, 1954). Pengetahuan tentang perbedaan budaya semacam ini, harus diperhatikan dalam konseling internasional, terutama yang berhubungan dengan konseling khusus (Watkins, 2001).
Pengetahuan semacam ini sangatlah krusial dalam melakukan konseling internasional. Sebagai contoh, di Polandia, konseling karir lebih dihargai dari pada bentuk konseling lainnya, karena sifat negara tersebut sebagai negara berkembang (Richard Lamb, komunikasi pribadi, 7 juni, 1997). Di negara lain, seperti Jepang, konseling bersifat terapiutik dan psikososial; misalnya, memberikan konseling tentang menjadi seorang ayah kepada pria Jepang (Seto, Becker, & Akutsu, 2006). Namun, Jepang masih kurang memiliki standar lisensi yang seragam dan keamanan kerja menjadi masalah (Iwasaki, 2005). Sebaliknya, Malaysia, konseling mengambil model dari Amerika Serikat, kecuali bahwa strata terminal awalnya adalah sarjana (sama seperti di Jepang). Lebih jauh lagi, hampir semua sarjana ditugaskan di lingkungan sekolah di mana mereka berkualifikasi untuk mengajar satu subjek sekaligus memberi konseling.
Apa pun pengetahuan mereka tentang konseling, pelajar internasional yang masuk ke perguruan tinggi dan universitas di Amerika Serikat mungkin segan menerima layanan konseling (Mori, 2000). Keseganan ini terjadi walaupun pada faktanya, banyak mahasiswa yang mengalami stres yang tidak biasa. Ini termasuk “kesulitan dengan bahasa, akademis, interpersonal, finansial, dan intrapersonal” (p. 137). Anggota keluarga dan teman-teman yang biasanya dijadikan tempat bergantung sekarang tidak ada, dan ketakutan dipandang sebagai pecundang dan dipulangkan, menambah stres harian bagi mereka (Boyer & Sedlacek, 1989). Sudah ada bukti empiris bahwa pelajar intenasional mengalami stres lebih hebat dibanding pelajar yang berasal dari Amerika, dan krisis ini sering mencapai puncaknya pada 6 bulan pertama mereka di sekolah (Schneller & Chalungsooth, 2002).
Untuk membantu pelajar internasional yang menggunakan layanan konseling. Mori (2000) menyarankan beberapa area fokus:
a.      Mengembangkan teknik menajemen stress
b.      Mempelajari keahlian komunikasi asertif
c.      Menyadari benar-benar sistem belajar di Amerika, dan
d.     Mengembangkan keahlian merencanakan hidup dan karir
Henkin (1985) mengajukan beberapa panduan praktik untuk konselor dalam berinteraksi di tingkat internasional. Selain membangun struktur yang tegas untuk layanan konseling dan menjelaskan prosesnya pada klien, Henkin merekomendasikan agar konselor mendidik diri mereka sendiri tentang budaya kliennya, termasuk pentingnya keluarga dan kehidupan komunitas. Jelas, “pendekatan Barat jika langsung diterapkan pada orang-orang dari Timur, bisa menimbulkan konsekuensi negatif” (Raney & Cinarbas, 2005, p. 157). Apa yang diperlukan adalah “integrasi antara pendekatan barat dan pendekatan konseling setempat” yang mungkin melibatkan keluarga dan teman dalam sesi konseling bersama dengan praktik religius klien tersebut.









DAFTAR PUSTAKA

Gladding, S.T. 2012. Konseling: Profesi yang Menyeluruh (Terjemahan). Edisi keenam. Jakarta: PT. Indeks.

Adhiputra, Anak Agung Ngurah.2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.


1 komentar:

  1. assalamamulaikum sahabat ku semoga berada dalam kondisi sehat
    saya saya mahasiswa di program pascasarjana IAIN BATUSANGKAR tahun 2, ingin berbagi dan membagi kepada sahabat saya,
    maaf saya lupa gimana kabarnya semoga sehat dan lancar selalu kegiatannya.. saya ingin mohon bantuan apakah ada buku gratis atau jurnal yang bisa download ada tentang konseling budaya.
    pada saat ini saya membahas tesis berjudul efektititas layanan mediasi dalam penyelesaian sengketa di nagari 7 koto talago, kec. guguak. kabupaten lima puluh kota. sama dosen saya di minta mencari judul 50 buku konselng budaya..
    waalaikumsalam
    semoga bantuannya dibalasi oleh ALLAH,,
    aamiin
    email saya jumadilrahman5@gmail.com
    wa 081266940131.

    BalasHapus