Minggu, 19 Juni 2016

KONSELING MULTIKULTURAL DI SEKOLAH




KONSELING MULTIKULTURAL DI SEKOLAH

Berbicara tentang konseling multikultural di sekolah, terbentuknya berbagai kelompok dalam kehidupan manusia merupakan wujud dari hakikat kemanusiaan, khususnya dari dimensi kesosialannya. Jika berbicara mengenai konseling multikultural yang berada di berbagai macam seting, begitu halnya dengan seting sekolah maka akan membahas berbagai macam sisi dari konseling multikultural di sekolah.
Sementara budaya bisa didefinisikan dengan beberapa cara. Definisi meliputi “variabel etnografik seperti etnisitas, kewarganegaraan, agama dan bahasa, seperti juga variabel demografik dari umur, gender, tempat tinggal dan sebagainya, variabel status seperti latar belakang sosial, ekonomi dan pendidikan dan afiliasi atau keanggotaan formal atau informal dalam cakupan luas”. Budaya membentuk perilaku, pemikiran dan persepsi, nilai, tujuan, moral, dan proses kognitif kita”. Hal itu bisa terjadi baik dalam tahap sadar maupun tidak sadar.
Fokus yang paling mencolok dari multikulturalisme adalah keunikan dan konsep kelompok yang terpisah yang memfasilitasi perhatian pada perbedaan individual. Oleh karena itu, konseling multikultural dapat dilihat secara umum sebagai konseling “dimana konselor dan kliennya berbeda”. ( Gladding, 2012: 99).
Proses konseling multikultural di sekolah harus terwujudkan dalam program konseling perkembangan komprehensif yang sesuai dengan latar belakang budaya yang berberda-beda dari siswa di sekolah. Tantangan bagi konselor profesional yang bekerja di sekolah ada dua. Pertama, mereka harus mencapai tingkat kompetensi kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan semua siswa menjadi seragam.
Praktik konseling di sekolah mungkin akan di bahas dengan kondisi siswa dengan berbagai macam budayanya. Dalam hal ini guru BK maupun guru yang lainnya mempunyai peranan untuk membuat siswa dengan siswa lainnya yang multikultural beriringan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Namun, mengaplikasikan konsep multikultural dalam proses konseling tentunya belum nampak terlihat dilapangan termasuk di sekolah belum terlaplikasi secara menyeluruh.
A.    Konteks Budaya dan Konseling Multikultural di Sekolah
Meningkatnya diversifikasi masyarakat AS telah menciptakan tantangan bagi konselor pada umumnya dan konselor sekolah dalam prakteknya, masyarakat AS dalam kelompok ras dan etnis (VREGs : Visible racial and ethnic group). Konselor yang dimaksud adalah konselor sekolah dengan kompetensi multikultural, dengan semua pengetahuan dan pemahaman serta kepekaan yang masuk dan bekerja secara efektif dengan siswa dari budaya yang berbeda, mereka harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan dan mempengaruhi struktur sosial yang memberikan hak istimewa (Sciarra, 2004: 147). Dinamika multikulturalisme ini merupakan faktor penting dalam masyarakat dan di sekolah kita.
Budaya mayoritas jelas memiliki kepentingan dalam membatasi kekuatan budaya lain. Tanggapan budaya minoritas dengan distribusi kekuasaan bervariasi: beberapa bercita-cita untuk keanggotaan dalam budaya yang dominan, sementara membenci lain dan perjuangan melawan ketidakadilan itu. Kedinamisan multikultural merupakan faktor penting dalam masyarakat dan di sekolah-sekolah. Konselor sekolah harus memahami perbedaan kekuasaan dalam masyarakat dan dimensi sejarah sosial ras dari mana itu berasal. Bagaimana daya diferensial dimainkan, tidak hanya dalam proses konseling, tetapi juga dalam sistem pendidikan, memiliki konsekuensi penting bagi konselor sekolah yang bekerja sama dengan siswa dari berbagai budaya.
Konseling multikultural menuntut konselor sekolah profesional dalam konteks budaya yang sesuai untuk melakukan konseling. Konselor sekolah profesional sepenuhnya harus mempertimbangkan bahasa, nilai-nilai, keyakinan, kelas sosial, tingkat akulturasi, ras, dan etnis siswa mereka, dan hanya menggunakan intervensi dan teknik yang konsisten dengan nilai-nilai budaya konseling (Moore and Thomas, dalam T. Erford, 2004: 639). Proses konseling multikultural di sekolah melibatkan pergeseran paradigma, yang mengarah pada penerimaan yang benar dan menghormati siswa dalam kaitannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.  Konselor sekolah profesional memahami latar belakang budaya yang beragam dari konseli. Hal tersebut mencakup keseluruhan, namun tidak terbatas pada proses belajar bagaimana konselor sekolah sendiri memiliki dampak  identitas budaya/etnis atau nilai-nilainya dan keyakinan tentang proses konseling (American School Counselor Association, 1999).
Konselor sekolah profesional dapat mengenali beberapa budaya dan subkultur dalam populasi siswa mereka. meskipun ini menambah kompleksitas konstruksi, memahami dan menghargai budaya dan multidimensi yang memberikan konselor sekolah wawasan berharga profesional mengenai pengertian diri siswa mereka, bahasa dan komunikasi pola, gaun, nilai-nilai, keyakinan, penggunaan ruang dan waktu, hubungan dengan keluarga dan orang lain yang signifikan, makanan, bermain, bekerja, dan penggunaan pengetahuan (Whitefield, McGrath & Coleman, 1992, dalam Erford, 2004:640). Konselor profesional sekolah menghargai dan memahami perbedaan di sekolah pada beberapa daerah seperti, ras, etnik, gender, usia, kekhasan, bahasa, orientasi seksual dan status ekonomi sosial. Konselor profesional sekolah bekerja untuk meyakinkan bahwa siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda memiliki akses untuk kebutuhan dan peluang layanan (ASCA, 1999).
Locke (2003, dalam Schmidt, 2008: 47) menjelaskan konseling profesional di sekolah-sekolah harus menambahkan dimensi dari perubahan kelembagaan dan peran konselor harus memastikan bahwa sekolah mereka masuk, mendorong, dan mendukung beragam populasi, keluarga, dan budaya siswa.  Locke menyebutkan beberapa pandangan yang diperlukan untuk perubahan kelembagaan:
  1. Komitmen yang kuat dengan sekolah dan sistem pendidikan sekolah terhadap budaya siswa yang beragam.
  2. Pemahaman oleh sekolah mengenai tanggung jawab mereka untuk mengajarkan nilai-nilai budaya kepada siswa.
  3. Dukungan oleh sekolah kepada konselor yang aktif mencari cara untuk mengubah kebijakan dan program untuk lebih melayani siswa yang beragam dan keluarga mereka.
  4. Upaya yang jelas oleh sistem sekolah dan sekolah untuk berkomunikasi bahwa mereka menghargai keragaman budaya.
  5. Perencanaan strategis dan evaluasi berkelanjutan kebijakan sekolah, program, dan proses yang terkait dengan pendidikan semua siswa, termasuk dari mereka yang berbeda budaya.
Tantangan bagi konselor profesional yang bekerja di sekolah ada dua. Pertama, mereka harus mencapai tingkat kompetensi kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan semua siswa menjadi seragam. Kedua, mereka harus mencapai kualitas kepemimpinan dan keterampilan untuk membantu sekolah mereka dalam menilai, mengatur, dan mengevaluasi program, kebijakan, dan prosedur untuk lebih melayani semua siswa dengan budaya yang beragam. Menggunakan dan menggabungkan keterampilan kepemimpinan konselor untuk merancang dan melaksanakan program-program yang komprehensif untuk melayani siswa, orang tua, dan guru sambil membantu masalah internal yang ada di sekolah tentang diskriminasi, prasangka, kelalaian, dan pencegah lain untuk menciptakan lingkungan yang menghormati dan inklusif untuk belajar.
Proses konseling multikultural di sekolah harus terwujudkan dalam program konseling perkembangan komprehensif yang sesuai dengan latar belakang budaya yang berberda-beda dari siswa di sekolah. Untuk merancang suatu program konseling, konselor sekolah profesional harus mempertimbangkan manfaat berikut (Moore and Thomas, dalam T. Erford, 2004: 641):
  1. Strategi-strategi yang meningkatkan kepekaan dan kesadaran dari warga sekolah terhadap perbedaan budaya, budaya populasi orang yang beragam, dan meningkatkan iklim sekolah dan masyarakat.
  2. Keterampilan konsultasi yang mengidentifikasi faktor-faktor dalam perilaku dan kebijakan yang menghambat proses belajar siswa dengan budaya yang beragam.
  3. Pendekatan yang meyakinkan bahwa semua hak siswa dihormati dan semua kebutuhan siswa terpenuhi.
  4. Intervensi konseling yang memaksimalkan potensi siswa (ASCA, 1999).
B.     Kompetensi Konseling Multikultural
Konselor profesional sekolah harus terus bekerja ke arah multikultural konseling dengan kompetensi sebagai berikut:
1.      Meningkatkan kesadaran budaya sendiri dan budaya orang lain melalui artikel, buku, konservasi, kegiatan, refleksi, dan pengalaman.
2.      Menyadari dan bekerja untuk menghilangkan hambatan pribadi dan sekolah yang luas untuk konseling multikultural yang efektif.
3.      Menahan diri dari menggunakan buku resep dan pendekatan stereotip kepada siswa saat konseling dari kelompok ras atau budaya tertentu.
4.      Menunjukkan penguasaan berbagai pendekatan dan teknik konseling individu dan kelompok yang dievaluasi berdasarkan kebutuhan siswa sesuai masing-masing budaya dan etnis siswa yang beragam.
5.      Menghormati dukungan adat dan sistem penyembuhan dari semua siswa.
6.      Memahami cara-cara khusus ras, etnis dan budaya dapat mempengaruhi akademik, karir siswa dan pengembangan pribadi/sosial.
7.      Memahami kemungkinan stres bagi siswa beragam budaya. Hal tersebut mungkin termasuk masalah akulturasi, pengembangan identitas, harga diri, pandangan dunia, nilai-nilai, isolasi sosial, prasangka, penindasan, peluang, dan diskriminasi.
8.      Asumsi peran ganda akan membantu berdasarkan kebutuhan siswa. Hal tersebut mungkin termasuk penasihat, advokat, fasilitator sistem pendukung adat, fasilitator sistem penyembuhan adat, konsultan, dan agen perubahan.
9.      Menyediakan sumber daya siswa yang mencerminkan keragaman populasi.
10.  Mempromosikan program sekolah secara luas dan berpeluang dalam pengembangan staf  termasuk komunitas sekolah yang mencerminkan populasi yang beragam.
Selanjutnya dijelaskan menurut Association for Multicultural Counseling and Development (AMCD, Multicultural Counseling Competencies meliputi:
1.    Kesadaran Konselor akan Nilai-Nilai Budaya yang dimiliki dan Biasnya
a.    Sikap dan Keyakinan
1)      Konselor yang handal percaya bahwa kesadaran budaya sendiri dan kepekaan diri sendiri terhadap warisan budaya sangat penting.
2)      Konselor yang handal menyadari bagaimana latar belakang budaya mereka sendiri dan pengalaman memiliki sikap dipengaruhi, nilai-nilai, dan bias tentang proses psikologis.
3)      Konselor yang handal mampu mengenali batas-batas kompetensi multikultural dan keahlian mereka.
4)      Konselor yang handal mengenali sumber-sumber ketidaknyamanan dengan perbedaan yang ada antara mereka dan klien dalam hal ras, etnis dan budaya.

b.   Pengetahuan
1)      Konselor yang handal memiliki pengetahuan khusus tentang warisan mereka sendiri ras dan budaya dan bagaimana pribadi dan profesional mempengaruhi definisi dan bias normalitas / kelainan dan proses konseling.
2)      Konselor yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan, rasisme, diskriminasi, dan stereotip mempengaruhi mereka secara pribadi dan dalam pekerjaan mereka. Hal ini memungkinkan individu untuk mengakui sendiri sikap rasis, keyakinan, dan perasaan mereka. Meskipun standar ini berlaku untuk semua kelompok, konselor Putih itu mungkin berarti bahwa mereka memahami bagaimana mereka dapat manfaat secara langsung atau tidak langsung dari rasisme individu, institusi, dan budaya model-model pembangunan identitas yang dituangkan di kulit putih.
3)      Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang dampak sosial mereka pada orang lain. Mereka memiliki pengetahuan tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gaya mereka mungkin berbenturan dengan atau mendorong proses konseling dengan orang dari warna atau orang lain yang berbeda dari diri mereka sendiri didasarkan pada Dimensi A, B dan C dan bagaimana untuk mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi pada orang lain.

c.    Keterampilan
1)      Konselor yang handal mencari pendidikan, konsultasi, dan pengalaman pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan efektivitas dalam bekerja dengan populasi budaya yang berbeda. Mampu mengenali batas-batas kompetensi mereka, mereka (a) mencari konsultasi, (b) mencari pelatihan lebih lanjut atau pendidikan, (c) merujuk kepada individu yang lebih berkualitas atau sumber daya, atau (d) terlibat dalam kombinasi ini.
2)      Konselor yang handal terus berusaha untuk memahami diri mereka sebagai ras dan kebudayaan dan secara aktif mencari identitas non rasis.

2.    Kesadaran Konselor Atas Pandangan Hidup Klien
a.    Sikap dan Keyakinan
1)   Konselor yang handal menyadari reaksi positif dan negatif emosi mereka terhadap kelompok ras dan etnis lainnya yang dapat membuktikan merugikan hubungan konseling. Mereka bersedia untuk kontras keyakinan dan sikap mereka sendiri dengan orang-orang dari klien mereka secara budaya berbeda tidak menghakimi.
2)   Konselor yang handal sadar stereotip mereka dan praduga bahwa mereka dapat memegang terhadap kelompok-kelompok minoritas ras dan etnis lainnya.

b.        Pengetahuan
1)      Konselor yang handal memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu dengan mana mereka bekerja. Mereka sadar akan pengalaman hidup, warisan budaya, dan latar belakang sejarah klien mereka secara budaya berbeda. Kompetensi khusus ini sangat terkait dengan "minoritas model pengembangan identitas" yang tersedia dalam literatur.
2)      Konselor yang handal memahami bagaimana ras, budaya, etnis, dan sebagainya dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan kejuruan, manifestasi gangguan psikologis, membantu mencari perilaku, dan kelayakan atau ketidaktepatan pendekatan konseling.
3)      Konselor yang handal memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosial politik yang melanggar pada kehidupan ras dan etnis minoritas. Masalah imigrasi, kemiskinan, rasisme, stereotyping, dan ketidakberdayaan dapat mempengaruhi harga diri dan konsep diri dalam proses konseling.

c.         Keterampilan
1)      Konselor yang handal harus membiasakan diri dengan penelitian yang relevan dan penemuan terbaru tentang kesehatan mental dan gangguan mental yang mempengaruhi berbagai kelompok etnis dan ras. Mereka harus aktif mencari pengalaman pendidikan yang memperkaya pengetahuan mereka, pemahaman, dan keterampilan lintas budaya untuk perilaku konseling lebih efektif.
2)      Konselor yang handal menjadi aktif terlibat dengan individu minoritas di luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, fungsi sosial dan politik, perayaan, pertemanan, bertetangga, dan sebagainya) sehingga perspektif mereka minoritas lebih dari seorang akademisi atau membantu latihan.

3.    Strategi-Strategi Intervensi Budaya yang Tepat
a.    Keyakinan dan Sikap
1)      Konselor yang handal menghormati keyakinan dan nilai-nilai agama dan / atau spiritual klien, termasuk atribusi dan tabu, karena mereka mempengaruhi pandangan dunia, fungsi psikososial, dan ekspresi tertekan.
2)      Konselor yang handal menghargai praktek membantu adat dan jaringan menghormati bantuan-hidup di kalangan masyarakat.
3)      Konselor yang handal menilai bilingualisme dan tidak memandang bahasa lain sebagai penghambat konseling (monolingualism mungkin pelakunya).

b.   Pengetahuan
1)      Konselor yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit dari karakteristik generik konseling dan terapi (budaya terikat, terikat kelas, dan monolingual) dan bagaimana mereka dapat berbenturan dengan nilai-nilai budaya berbagai kelompok budaya.
2)      Konselor yang handal menyadari hambatan institusional yang mencegah minoritas dari menggunakan layanan kesehatan mental.
3)      Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang potensi bias dalam instrumen penilaian dan prosedur penggunaan dan menafsirkan temuan mengingat karakteristik budaya dan bahasa klien.
4)      Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga, hirarki, nilai-nilai, dan keyakinan dari berbagai perspektif budaya. Mereka memiliki pengetahuan tentang masyarakat di mana kelompok budaya tertentu mungkin berada dan sumber daya di masyarakat.
5)      Konselor yang handal harus menyadari praktik diskriminasi terkait di tingkat sosial dan masyarakat yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis penduduk yang dilayani.

c.    Keterampilan
1)      Konselor yang handal mampu terlibat dalam berbagai tanggapan seporsi verbal dan nonverbal. Mereka dapat mengirim dan menerima pesan verbal dan nonverbal secara akurat dan tepat. Mereka tidak terikat pada satu metode atau pendekatan untuk membantu, tetapi mengakui bahwa gaya dan pendekatan mungkin membantu budaya terikat. Ketika mereka merasakan bahwa gaya seporsi mereka terbatas dan berpotensi tidak pantas, mereka dapat mengantisipasi dan memodifikasinya.
2)      Konselor yang handal mampu melatih keterampilan intervensi kelembagaan atas nama klien mereka. Mereka dapat membantu klien menentukan apakah suatu "masalah" berasal dari rasisme atau bias dalam orang lain (konsep paranoia yang sehat) sehingga klien tepat dalam personalisasi masalah.
3)      Konselor yang handal tidak menolak untuk mencari konsultasi dengan dukun atau pemuka agama dan spiritual dan praktisi dalam pengobatan klien budaya yang berbeda pada saat yang tepat.
4)      Konselor yang handal bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta oleh klien dan, jika tidak layak, membuat rujukan yang tepat. Masalah serius muncul ketika keterampilan linguistik konselor tidak cocok dengan bahasa klien. Ini menjadi kasus, konselor harus (a) mencari penerjemah dengan pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai atau (b) mengacu pada konselor bilingual berpengetahuan dan kompeten.
5)      Konselor yang handal memiliki pelatihan dan keahlian dalam penggunaan instrumen penilaian dan pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami aspek teknis dari instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan kebudayaan. Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan instrumen tes untuk kesejahteraan budaya klien yang berbeda.
6)      Konselor yang handal harus hadir sebagai serta bekerja untuk menghilangkan bias, prasangka, dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan memberikan intervensi, dan harus mengembangkan kepekaan terhadap isu-isu penindasan, seksisme, heterosexism, elitisme dan rasisme.
7)      Konselor yang handal bertanggung jawab dalam mendidik klien mereka untuk proses intervensi psikologis, seperti tujuan, harapan, hak-hak hukum, dan orientasi konselor.


C.      Standar Nasional ASCA dan Konseling Multikultural
Kode etik American School Counselor Association, 2005) terdiri dari pendahuluan, pernyataan tujuan, delapan bagian masing-masing dengan pengenalan aspiratif diikuti oleh standar perilaku, dan daftar istilah. Pembukaan dalam kode etik  berpendapat bahwa “konselor mengakui keragaman dan merangkul pendekatan antarbudaya, mendukung individu-individu  dalam konteks sosial dan budaya”. Dibandingkan dengan kode etik tahun  1995 dan etika Kode Profesi pelayanan sosial lainnya, pemaparan pembukaannya lebih kolektif mencerminkan pandangan dunia, menggantikan setiap individu dengan anggota-anggota (seperti kode etik APA, yang ACA ketergantungan pada kegagalan individu untuk mengenali seluruh kelompok), menonjolkan beragam konteks di mana orang menempatkan dan menggarisbawah komunikasi dua arah untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Serta menerangkan bahwa dahulu Konselor hanya melayani beberapa kapasitas, pandangan-pandangan mengenai ketentuan izin peran nontradisional.
Pengenalan dari bagian prinsip-prinsip berisi dua pernyataan aspirasi. Diluar pemahaman budaya orang-orang yang mereka layani. Pada bagian A menyarankan “konselor untuk menelaah identitas budaya mereka sendiri dan bagaimana pengaruh nilai-nilai dan keyakinan tentang proses konseling mereka "(ACA, 2005, p. 4). Pernyataan ini menyatukan inti  prinsip yang etis dengan dua dimensi multibudaya kompetensi:  pandangan kesadaran klien, bias serta nilai-nilai konselor (Herlihy & Watson, 2003; Sue & Sue, 2003).
Bagian Kompetensi menegaskan pentingnya membahas kerahasiaan dengan kepekaan dan keahlian untuk membangun kepercayaan dengan beragam budaya setiap individu. Bagian Hubungan Profesional mengesahkan advokasi sebagai kegiatan profesional untuk menghilangkan hambatan dan meningkatkan hidup, meskipun relevansi advokasi dalam porsi yang terpinggirkan dan populasi yang kurang beruntung tidak tersirat secara eksplisit. Kode etik mendorong kerjasama multidisiplin dalam bagian kerahasiaan, secara tidak langsung mendukung bagaimana konselor praktek di internasional telah  lama diketahui: intervensi tepat ditentukan oleh fenomena dalam konteks tuntutan perspektif dan kerjasama dari lembaga profesional lainnya. (Stevens & Gielen, 2007). Pada tahap akhir, bagian Penilaian dan Diagnosis memuat kepekaan budaya dalam penggunaan perangkat penilaian penting dan tidak terpisahkan dari  nilai kesejahteraan mereka.
1.      Kompetensi
Pada bagian batas-batas kompetensi serta  pada pendidikan berkelanjutan mengharapkan konselor pada perbaikan kesadaran perbaikan diri, kepekaan, dan keahlian yang dibutuhkan untuk melayani beragam populasi. Meskipun standar-standar ini menuntut lebih  tidak seperti pada waktu  tahun 1995  yang berkomitmen untuk menjadi budaya kompeten, mereka tidak melakukan perbaikan pada batas-batas kompetensi yang multikultural dan internasional dengan tepat. Konselor didorong ke sebuah paradoks: kompetensi yang merugikan oleh pelaksanaan  yang ada, tetapi pelebaran batas-batas kompetensi untuk melayani membutuhkan beragam populasi (misalnya, bekerja bersama-sama dengan penyembuh adat untuk meringankan gejala somatik klien depresi (Herlihy & Watson, 2003; Pettifor, 2005).
Namun, pada bagian pengeluaran biaya konselor untuk menangani  klien untuk menyusun intervensi yang kompatibel dengan keadaan mereka, menyiratkan otonomi ketika mengadaptasi praktek mereka untuk populasi yang beragam dan pengaturannya. Pada bagian prinsip-prinip sebelumnya juga mendukung kompetensi multikultural dengan mengakui variasi budaya dalam dukungan sosial dan mengizinkan konselor untuk menentukan bersama klien mereka mengenai kelayakan yang  melibatkan keluarga dan anggota masyarakat dalam intervensi.

2.      Hubungan profesional
Pada bagian prinsip-prinsip sebelumny tersirat,  mengarahkan konselor untuk memodifikasi prosedur persetujuan, kapan menjadi ancaman untuk melemahkan koflik hubungan profesional dengan dengan tradisi budaya. Meskipun dilarang mengembangkan hubungan non professional, pada bagian prinsip-prinsip juga menegaskan  interaksi yang nonprofessional dengan klien sehingga dapat diterima dan dapat menghasilkan. Standar ini memberdayakan konselor yang mencari penghubung untuk memasukkan harapan lokal dan adat-istiadat dalam praktek mereka. Daftar contoh interaksi nonprofessional, seperti menghadiri kegiatan-kegiatan formal (pameran, bedah buku, seminar-seminar dsb) atau membeli produk yang ditawarkan. Itu juga panduan konselor dalam menentukan terlebih dahulu apakah ya  atau tidak untuk memulai interaksi nonprofessional.
Sebaliknya, kerugian tidak disengaja disebabkan oleh interaksi nonprofessional harus diatasi. Sesuai dengan praktek multikultural kompeten, bagian prinsip-prinsip sebelumnya menyatakan sanksi advokasi di tingkat individu, kelompok, kelembagaan dan sosial agar menghilangkan hambatan bagi kesejahteraan dan pertumbuhan. Misalnya, memberikan (seperti pada bagian kerahasiaan) konselor pilihan untuk mengubah tempat kerja, kebijakan yang mungkin berbahaya (misalnya, kurangnya layanan terjemahan bagi penutur non-bahasa Inggris). Kesimpulan sementara menyatakan, standar ini berusaha untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang mengurangi.
Kehidupan orang yang terpinggirkan dan peran bingkai nontradisional (misalnya, agen perubahan sosial) sebagai adaptasi budaya yang cocok yang  dimaksud dari kode etik, meskipun mereka berhati-hati terhadap gangguan penilaian profesional, konflik yang penting  dan berisiko untuk klien. Mempertimbangkan tindakan seorang konselor yang bekerja di sebuah pusat kesehatan mental yang berfungsi di komunitas imigran yang ia milik. Di tinjauan tiap tahunnya, konselor telah mendoktrin pemimpin setempat, beberapa di antaranya adalah klien, untuk mengatur sebuah kelompok sipil yang rencana melobi kota dan negara untuk pajak untuk bisnis pemula. Meskipun konselor percaya bahwa kemerdekaan ekonomi dapat menyebabkan adaptasi dan pemberdayaan, dia prihatin bahwa penilaian profesional nya mungkin telah menglami kesenjangan.
Demikian pula, pada bagian prinsip-prisip dalam penerimaan penghargaan dengan jelas menyatakan bahwa praktik-praktik ini memiliki tempat multikultural dan kerja internasional, tetapi bahwa konselor harus membahas keprihatinan mereka mengenai integritas hubungan profesional. Dalam persetujuan  kerja internasional, pada bagian hubungan profesional sebelumnya menugaskan  konselor untuk berkonsultasi dengan ahli dan mematuhi hukum yang berlaku apabila menggunakan teknologi di luar batas negara. Dalam menampung mereka, terutama mereka  yang tidak mampu berbahasa Inggris, pada bagian teknologi dan persetujuan sebelumnya  World Wide Web mewajibkan konselor untuk berbincang dengan klien tentang tradisi budaya atau linguistik yang mungkin dapat berdampak pada layanan penyaluran dan menawarkan jasa penerjemah, jika layak. Pada bagian  membentuk hubungan dan pada kerja tim interdisipliner menekankan nilai kolegial interaksi dengan para pihak ahli yang diikutsertakan kerja sama. Anehnya, Bagian C5 berbunyi, "konselor tidak membeda-bedakan... secara yang memiliki dampak negatif" (American Counseling Association, 2005p. 10), menyiratkan bahwa tidak mungkin konsekuensi netral atau bahkan konsekuensi diskriminasi positif.

3.      Kerahasiaan
Pada bagian sebelumnya sangat menyarankan  untuk berkomunikasi dengan klien pada keputusannya untuk mengungkapkan informasi rahasia yang diberikan dalam arti privasi perberbeda budaya. Meskipun kualifikasi tidak mendukung pelanggaran pelatihan utama, ini menyiratkan bahwa konselor dan klien memiliki otonomi relatif dalam membangun keseimbangan antara integritas profesional dan nilai-nilai budaya. Namun, Bagian B.5.b merekomendasikan kepekaan umum terhadap keragaman keluarga (misalnya, hukuman, pengawasan anak-anak) sementara mewajibkan konselor untuk menegakkan hukum hak-hak dan tanggung jawab orang tua dan wali.

4.      Penilaian dan Diagnosis
Beragam contoh dari penyalahgunaan langkah-langkah psikometrik, dibangun oleh kualifikasi  pada sebagian besar kelompok-kelompok homogen, dengan beragam populasi budaya  memiliki profil yang terbatas hanya dalam bahasa Inggris saja (Herlihy & Watson, 2003;Sue & Sue, 2003). Bagian penilaian dan diagnosis menetapkan bahwa penilaian harus menghasilkan reliabel dan  kuantitatif atau kualitatif data yang valid, peningkatan atas versi tahun1995, yang tersirat superioritas pendekatan "objektif" penilaian. Kadang-kadang, akurasi dalam penilaian dengan beragam secara budaya orang memerlukan penggunaan metode subjektif, nonlinier, seperti dengan Afrika Barat yang berkomunikasi dalam narasi kaya simbolis. Dalam paralel mode, Bagian penilaian dan diagnosis, mewajibkan konselor untuk mengevaluasi kesesuaian penilaian teknik dan alat untuk populasi yang beragam, menginterpretasikan hasil tes dalam kontekstual faktor-faktor yang jelas, dan mengkomunikasikan setiap keberatan tentang aplikasi budaya.
Namun, peringatan generik ini menyisakan kesan klien pada belas kasihan konselor khususnya  bias yang terjadi dan menyarankan bahwa mungkin tidak tepat penilaian secara budaya ditoleransi selama dilaporkan. Para peneliti di negara berkembang sering menyewakan sarjana jurusan berbahasa Inggris untuk menterjemahkan  instrumen yang dibangun,diatur, dan divalidasi di Amerika Serikat. Terjemahan ini tidak sesuai dengan prosedur standar (misalnya, transliterasi, pengulangan terjemahan), mereka juga  dievaluasi kesetaraannya. Seorang konselor Amerika  terlibat dalam seperti tes menerjemahkan  tugas,  mengakui disekitarnya  bahwa sumber daya  perlu membatasi kekakuan ilmiah, namun kekhawatiran tentang masa depan dengan pengaplikasian hubungan psikometrik yang tidak sesuai ukuran.
Bagian penilaian dan diagnosis ini menyediakan bayangan petunjuk untuk mempertimbangkan faktor-faktor sosiodemokrasi  ketika mendiagnosa dan untuk menahan diri dari mendiagnosis jika hal itu mungkin menyebabkan kerusakan. Standar ini tidak menginformasikan konselor tentang bagaimana untuk menanamkan keragaman ke dalam model medis yang dibawah diagnosis, yang instalasi risiko lebih lanjut untuk klien telah rentan (menurut, Rekapitulasi Ketidaksetaraan Dalam Hubungan Profesional, Menginterpretasikan Gejala Sebagai Patologis  Serta Sebagai Kompromi Adaptif; Herlihy & Watson, 2003; Pedersen, 2002;Pettifor, 2005; Sue & Sue, 2003).
Dalam APA standar 1,02 pada menyelesaikan dilema etika, kode Etika (American Counseling Association, 2005) tidak mengizinkan bertanggung jawab atas ketidaktaatan ketika konselor menentukan mereka harus menyimpang dari etika dan standar hukum yang menempatkan klien pada risiko. Meskipun pembatasan ini dan inkonsistensi sesekali dan generalisasi, kode memiliki kemajuan secara substansial sejak 1995 dalam memandu multikultural dan internasional praktek (Kocet, 2006). Itu juga mengungkapkan apresiasi terhadap kolektifitas sebagai individualistis pandangan dunia, menekankan kolaboratif solusi untuk etika ambiguitas dan konflik, dan berbicara secara aktif ketika meramu perilaku budaya sensitif dan kompeten. Kode etik ini memungkinkan kewajaran jumlah fleksibilitas untuk menetapkan parameter sesuai budaya praktek tanpa bayangan yang berlebihan. Akhirnya, walaupun tidak lengkap, kode etik ini berisi beberapa standar internasional dengan aplikasi yang jelas.

D.      Hubungan Antar Kelompok yang Beragam di Sekolah
Kelompok konseling dalam konteks multikultural. Lebih banyak program konseling yang menekankan multikultural konseling; banyak membutuhkan kursus pada subjek. Tentu saja dalam masyarakat hari ini, pemahaman budaya perbedaan adalah suatu keharusan, terutama untuk konselor yang memimpin kelompok dengan beragam populasi. Serikat Corey (2008), "kerja kelompok multikultural melibatkan strategi yang menumbuhkan pemahaman dan apresiasi terhadap keanekaragaman dalam bidang-bidang seperti sebagai budaya, etnis, ras, jenis kelamin, kelas, agama, dan seksual". Kerja kelompok (2004) dan Salazar's terkemuka multikultural kelompok (2009). Juga, beberapa artikel yang sangat baik pada multikultural konseling dapat ditemukan dalam Jurnal untuk spesialis dalam kerja kelompok.
Isu-isu yang multikultural dalam kelompok, dalam berpikir tentang kelompok-kelompok multikultural atau dalam kelompok-kelompok keragaman, pemimpin harus menyadari beberapa situasi tertentu. Dalam bagian kedua dari bagian ini, kita membahas multikultural kelompok yang dibentuk untuk mengeksplorasi dan memahami perbedaan. Pertama, kita fokus pada apa yang paling sering terjadi mengenai beragam populasi.
Sering, pemimpin harus siap untuk berurusan dengan perbedaan seperti ras, agama, dan orientasi seksual. Anggota dari berbagai latar belakang budaya dan sosial akan memiliki perspektif yang berbeda dan nilai-nilai dan kebutuhan pemimpin siap untuk berurusan dengan perbedaan-perbedaan ini jika perbedaan menyebabkan ketegangan atau kebingungan di antara anggota.
Jika timbul ketegangan antara atau antara anggota karena perbedaan kebudayaan, sering tujuan utama grup tidak dapat ditangani dengan sampai masalah ini diselesaikan. Ketika perbedaan jelas hadir, pemimpin harus memutuskan apakah akan fokus pada perbedaan-perbedaan yang muncul. Keputusan untuk menunjukkan perbedaan budaya antara anggota sangat tergantung pada tujuan dari grup. Jika konselor bekerja dengan sekelompok relawan mahasiswa pada tugas perencanaan mahasiswa pesta untuk favorit pensiun guru, dan anggota yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, perbedaan budaya.
Pemimpin akan mungkin tidak berfokus terlalu lama pada perbedaan budaya, karena mereka kemungkinan besar akan tidak memainkan peran utama dalam perencanaan kehidupan. Namun, dalam kelompok sekolah yang berfokus pada persahabatan yang mencakup beragam poin yang dapat di lihat dari budaya, pemimpin mungkin ingin menunjukkan perbedaan budaya yang mempengaruhi gaya interpersonal dan memfasilitasi pertukaran dari perspektif budaya.
Saling hubungan antaranggota kelompok sangatlah di utamakan. Sebaliknya hubungan antar anggota dan pemimpin kelompok tidaklah sedemmikian penting. Jika dalam kelompok itu yang ada hanyalah hubungan antar anggota dan pemimpin saja, sedangkan hubungan antar anggota sama sekali tidak terasa, maka sebenarnya dinamika kelompok yang dimaksud telah lenyap, kehidupan kelompok yang (terhadap komandan) atau sekumpulan murid (terhadap guru), atau sekumpulan penonton (terhadap lakon).
Dalam saling hubungan yang dinamis antaranggota kelompok, masing-masing anggota itu berkepentingan untuk bergulat dengan suasana antarhubungan itu sendiri, khususnya suasana perasaaan yang tumbuh di dalam kelompok itu. Suasana perasaan itu meliputi baik rasa di terima atau di tolak, rasa cinta, rasa benci, rasa berani dan takut dan sebagainya yang semuanya itu menyangkut sikap, reaksi dan tanggapan para anggota yang berdasrkan keterlibatan dalam saling hubungan mereka terhadap kelompok.
Multikulturalisme di sekolah dalam hal ini profesi dengan relatif kecil jumlah orang-orang dari kelompok-kelompok budaya beragam yang masuk konseling profesi (ACA, 2009), sangat penting bahwa membantu mengembangkan profesi lingkungan yang menarik lebih banyak konselor warna. Meningkatkan keragaman budaya di antara konselor bersama dengan baik pelatihan di multikultural konseling penting jika budaya beragam klien akan merasa nyaman mencari dan mengikuti melalui konseling.
Selain itu, jika konseling akan profesi kesempatan yang sama, konselor harus lulus dari program pelatihan dengan lebih dari keinginan untuk membantu semua orang. Sebagai sebuah profesi, akan mencapai kompetensi dalam konseling klien beragam ketika setiap lulusan masing-masing program pelatihan memiliki strategi belajar konseling (1) yang bekerja untuk berbagai macam klien, (2) bekerja sama dengan klien dari latar belakang, (3) memperoleh yang mendalam penghargaan untuk keragaman, dan (4) mengakuisisi identitas sebagai penasihat yang mencakup perspektif multikultural (Lihat D'Andrea & Heckman, 2008).
Akan melihat cukup penekanan ditempatkan pada isu-isu keadilan sosial dan multikultural. Yang merupakan isu-isu, mempertimbangkan profesi konseling apa yang bisa lakukan untuk mendorong lebih ramah budaya profesional yang akan menarik lebih banyak individu warna dan program pelatihan dapat lakukan untuk memastikan bahwa semua individu merasa nyaman dengan proses konseling.
Berdasarkan pembahasan mengenai konseling multikultural di sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa konselor sekolah harus mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilannya dalam memahami beragam budaya yang ada di lingkungan siswa. Pengembangan keprofesionalan tersebut haruslah sesuai dengan berbagai standar dan kompetensi konseling multikultural di sekolah sesuai dengan yang diterbitkan oleh ASCA. Beberapa isu multikultural baik individu maupun kelompok yang terjadi di lingkungan sekolah harus diperhatikan oleh konselor sekolah yang disesuaikan dengan evaluasi kebutuhan siswa yang beragam budaya, sehingga dalam pemberian intervensi konseling dapat menggunakan worldview siswa dan juga konselor harus di mendampinginya ke arah yang tepat sesuai dengan budaya yang berlaku dimana siswa tersebut berada.




DAFTAR PUSTAKA

Arredondo, P., Toporek, M. S., Brown, S., Jones, J., Locke, D. C., Sanchez, J. And Stadler, H. 1996. Operationalization of the Multicultural Counseling Competencies. AMCD: Alexandria, VA.
Erford, B. T. 2004. Professional School Counseling: A Handbook of Theories, Programs & Practices. Texas: CAPS Press.
Gielen, Uwe. P. Uwe., Draguns, Juris. G., and Fish, Jefferson M (Eds). 2008. Principles of Multicultural Counseling and Therapy. New York: Routledge Taylor & Francis Group.
Gladding, Samuel. T. 2012. Konseling Profesi Yang Menyeluruh, Jakarta: Indeks.
Schimdt, John. J. 2008. Counseling in School: Comprehensive Programs of Responsive Services for All Students. 5th Ed. USA: Pearson.
Sciarra, Daniel T. 2004. School Counseling: Foundations and Contemporary Issues. Canada: Thomson, Brooks/Cole.

1 komentar:

  1. If you're looking to burn fat then you certainly need to start following this totally brand new custom keto meal plan.

    To create this keto diet service, licenced nutritionists, fitness trainers, and chefs united to provide keto meal plans that are efficient, painless, cost-efficient, and delightful.

    Since their launch in January 2019, hundreds of people have already completely transformed their body and well-being with the benefits a professional keto meal plan can offer.

    Speaking of benefits; in this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones given by the keto meal plan.

    BalasHapus