Minggu, 19 Juni 2016

PRINSIPP –PRINSIP KONSELING DAN TERAPI MULTIKULTUR











PRINSIP –PRINSIP KONSELING DAN TERAPI MULTIKULTUR






















Prinsip-prinsip Konseling dan Terapi Multikultur
Budaya menyembunyikan lebih dari yang diungkapkan dan anehnya dari apa yang disembunyikan, budaya menyembunyikan paling efektif dari pengikutnya sendiri. Bertahun-tahun studi telah meyakinkan saya bahwa pekerjaan sesungguhnyabukanlah memahami budaya asing tetapi memahami budaya kita sendiri.
Edward T. Hall, TheSilence Language
Memberikan saran dan bimbingan kepada penderita bingung dan tidak tahu arah, mendukung secara emosional, sosial, dan spiritual, dan berusaha menyembuhkan orang-orang yang hancur dalamjiwa, pikiran, dan tubuh adalah upaya manusia selama ribuan tahun. Selama bertahun-tahun, berbagai macam penyembuh dan konselor seperti dukun, tabib pria dan wanita, dokter, herbalis, imam, biksuni, biarawan, biarawati, pastor pengakuan dosa, pengusir setan, ahli hipnotis, ahli frenologi (ilmu tentang kepribadian seseorang melalui bentuk tengkoraknya), paranormal penyembuh, peramal, astrolog, dan, baru-baru ini, psikolog,psikiater, pekerja sosial, konselor, dan psikoterapis telah menawarkan layanan kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Di masa lalu, para penyembuh dan penderita sering berbagi pandangan umum yang membantu mendukung harapan bersama tentang sifat ikatan mereka, makna penting upaya-upaya penyembuhan dan konseling, serta sarana dan tujuan akhir dari upaya mereka.Namun sekarang, persoalannya upaya ini lama-lama makin berkurang.
Karena banyak masyarakat terus bersifat lebih beragam,multikultural, dan kompleks, mereka membutuhkan konselor, psikoterapis, pekerja sosial, dan penyembuh yang mampu berinteraksi secara efektif dengan klien dari berbagai macam latar belakang budaya, etnis, sosial, politik, dan agama. Para spesialis kesehatan mental saat ini sering diminta untuk mengkonselingpara anggota dari berbagai subkultur dan kelompok minoritas, imigran,pengungsi, mahasiswa asing, anggota yang lebih beragam dari budaya mayoritas, dan orang-orang bikultural/multikultural yang dapat membawa berbagai pengalaman hidup dan keyakinan budaya yang membingungkan ke dalam pertemuan terapi yang kadang-kadang sama sekali berbeda dari pengalaman hidup dan keyakinan budaya para terapis.
Situasi ini membutuhkan jenis “mobilitas psikokultural”khusus dari para spesialis kesehatan mentalyang tidak hanya harus mampu berpikir dalam berbagai perspektif kognitif, sosial budaya, dan teoritis, tetapi juga harus memperoleh kemampuan untuk memutuskan perspektif mana yang paling tepat untuk situasi yang mana. Pengetahuan diri serta pengetahuan tentang budaya lain, sikap positif terhadap pengalaman baru, keterampilan multilinguistik, dan kemampuan untuk memahami masalah manusia secara umum dan dilema di balik pakaian budaya yang tampaknya eksotis dari beberapa klien seseorang semuanya adalah karakteristik konselor-terapis multikultural yang baik. Kemampuan-kemampuan ini harus disertai dengan perasaan belas kasih dengan orang-orang yang tertindas dan kesepian, cemas, sedih, marah, dan bingung,serta kemampuan untuk berkomunikasi, dan menentramkan, klien-klien dengan karakteristik yang berbeda fisik, kepribadian, sistem kepercayaan, dan pengalaman hidup. Seorang terapis multikultural yang baik yang secara mental fleksibel, menjauhkan keyakinan etnosentris dalam keunggulan yang unik dari budaya, agama, dan gaya hidupnya, mampu melihat budayanya “dalam (multi)perspektif,”memahami beberapa harapan dan keraguan klien yang tak terucapkan, dan juga pengalaman dan menunjukkan kehangatan dan perhatian kepada berbagai macam orang. Singkatnya, terapis harus mampu menganut pepatah lama “Tidak ada manusia yang asing bagi saya,” meskipun sebenarnya, tidak ada orang yang sepenuhnya dapat hidup menurut teladan yang tersirat dalam pepatah ini.
Mengingat tuntutan yang kompleks, buku kami dirancang untuk membiasakan para profesional kesehatan mental dan mahasiswa mereka dengan pemikiran ilmiah sosial terbaru tentang peran budaya dalam konteks intervensi terapeutik dan konseling yang lebih luas. Selain itu, karena globalisasi adalah kecenderungan yang meresap pada zaman kita, kita percaya bahwa perspektif global yang menganggap kelompok minoritas Amerika serta arus budaya internasional akan terbukti sangat membantu dalam berpraktik terapi dan konseling multikultural. Tentu saja, membaca buku tidak dapat menggantikan penyelaman konselor sesungguhnya ke dalam budaya dan bahasa asing, tetapi ini bisa mengasah kepekaannya dan memperluas cakrawala budayanya.Namun demikian, beberapa konselor dan terapis Barat pernah mengamati manifestasi keputusasaan seorang pemuda IndianSalish di Kanada atau pengalaman kompleks wanita-wanita modern berpendidikan yang berjalan di balik kerudung melewati jalan-jalan di Kuwait City.Membaca buku ini tidak bisa menggantikan pengalaman aktual, tetapi dapat memberikan pengenalan reflektif untuk berbagai situasi manusia dan pertemuan terapi.

Konsep Budaya

Dalam ilmu-ilmu sosial modern, konsep budaya telah sering digunakan sebagai istilah utama untukmenyebut bagian dari lingkungan yang telah dibuat oleh manusia.Budaya secara simultan bersifat fisik, perilaku, dan mental, dan ada baik di luar maupun di dalam diri kita.Menurut pernyataan antropolog Kroeber dan Kluckhohn (1952),
Budaya terdiri dari pola, eksplisit dan implisit, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan ditularkan oleh simbol-simbol, yang merupakan prestasi khusus kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam artefak-artefak; inti penting dari budaya terdiri dari ide-ide tradisional dan terutama nilai-nilainya yang melekat; di satu sisi, sistem budaya dapat dianggap sebagai hasil dari tindakan, di sisi lain sebagai elemen pengaturan dari tindakan lebih lanjut. (hal. 181)
Budaya terdiri dari sistem-sistem kompleks yang fungsional namun kadang-kadang bertentangan yang terdiri dari harapan yang berpola sosial; peran sosial yang terkoordinasi;urutan tindakan yang tercatat; narasi yang menyenangkan secara historis, jelas, dan emosional; sistem komunikasi verbal dan nonverbal; dan nilai-nilai, norma, sikap, gambaran, metafora, dan tujuan yang sama. Secara bersama-sama, semua itu membantu para anggota masyarakat untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan hidup dan, lebih umum, untuk bertahan hidup.Oleh karena itu, sistem penyembuhan telah berkembang di mana-mana untuk menolong individu mengatasi tekanan fisik dan emosional dalam membantu adaptasi dan kelangsungan hidup. Seperti yang ditunjukkan Sussman dalam buku ini, sejumlahkomponen yang sama dapat dilihat dalam sistem penyembuhan dan medis di seluruh dunia, meskipun keragaman keyakinan dan praktik medis tertentu banyak ditemukan di seluruh dunia. Komponen-komponen itu termasuk sistem klasifikasi penyakit, keyakinan etiologis, praktik pengobatan, harapan tentang penyakit dan hasil pengobatan, spesialis penyembuhan yang ditunjuk, norma-norma terkaitdengan mencari pengobatan dan manajemen penyakit, dan norma-norma mengenai konsultasi dengan spesialis penyembuhan.Daftar ini dapat diperluas untuk mencakup sistem-sistem penyembuhan yang berhubungan dengan individu yang mungkin secara fisik sakit, secara mental-perilaku “sakit”, atau secara spiritual “sakit” atau yang menunjukkan beberapa kombinasi keluhan ini. Dalam masyarakat modern, sistem kesehatan mental telah sebagian menyimpang dari sistem medis, walaupun banyak kesamaan dan banyak tumpang tindih ada di antaranya.
Bab Sussman juga mengingatkan kita bahwa antropolog telah membahas konsep budaya untuk jangka waktu yang lebih lama daripada psikolog.Antropolog cenderung mendukung konsepsi budaya yang lebih kompleks dan diinformasikan secara lintas-budaya daripada banyak terapis dan konselor yang hanya selama beberapa dekade terakhir mulai kritis memeriksa dampak budaya yang meresap pada kegiatan profesional mereka. Akibatnya, spesialis kesehatan mental harus belajar dari antropolog budaya dan medis untuk membentuk perspektif yang lebih luas dan mengurangi bahaya visi terobosan profesional (lihat juga dua bab oleh Fish dalam hal ini).
Penting sekali untuk menjelaskan bahwa khususnya dalam masyarakat multikultural modern, individu hanya menghayati aspek-aspek yang dipilih dari banyak budaya yang mengelilingi mereka.Selain itu, individu dapat menjadi anggota beberapa budaya dan subkultur sekaligus. Seorang mahasiswa Amerika Tionghoa yang lahir di Kota New York, misalnya, dapat berbicara bahasa Kanton dengan orangtuanya, bahasa Inggris dengan guru-gurunya, dan Kanton atau Mandarin “China-Inggris” dengan beberapa temannyawalaupun dia mungkin hanya dapat mengenali beberapa huruf China.Dia mungkin telah menghayati beberapa aspek kepercayaan China tentang pentingnya hsiao atau “hao” (berbaktikepada orangtua) namun juga dapat mendukung keyakinan yang tampaknya bertentangan mengenai keinginan otonomi perilaku dan emosional sebagai seorang remaja. Hal yang terakhir ini mungkin akan mencerminkan pengaruh gabungan dari banyak temannya, media massa, dan bahkan buku teks psikologi perkembangan. Dia mungkin membenci beberapa tekanan eksternal dan internal yang datang dengan menjadi anggota dari “model minoritas” keberhasilan tinggi namun secara diam-diam bangga akan hal itu. Mungkin dia sangat menghargai warisan China-nya namun menolak berbagai aspeknyakarena kuno, tidak adil, ketinggalan zaman, atau semata-mata tidak relevan.Sama halnya, ia mungkin telah menghayati—entah disadari atau tidak—banyak aspek budaya khas Amerika tetapi menolak yang lain. Seandainya ia harus memilih untuk memasuki terapi, ada kemungkinan identitas bikulturalnya dan perasaan kompleksnya tentang hal itu akan menjadi fokus penting dari diskusi. Namun demikian, tidak ada yang sederhana tentang identitas bikultural sepertinya, yang sekaligusdapat membingungkan, memperkaya, menghambat, dan membebaskan.
Kemungkinan konselor-terapis China bikultural secara intuitif akanmengenali beberapa kompleksitas dan perasaan ambivalen ini tetapi seorang spesialis kesehatan mental non-Asia Timur monokultural, akan mendapati sulit untuk sepenuhnya memasuki kerangka pikirannya. Konseling dan terapimultikultural bukanlah untuk mereka yang lemah hati: Mereka menuntut semua persyaratan keterampilan dan emosional yang melekat dalam profesi kesehatan mental, ditambah pula lapisan tambahan kompleksitas yang berkaitan dengan harapan budaya yang sangat beragam, pengalaman, mode komunikasi, dan cara-cara hidup di dunia.
Pendapat tentang “budaya yang diinternalisasi” menggarisbawahi bahwa individu bukanlah salinan dari masyarakat sekitar mereka.Sementara mereka dipengaruhi secara meluas oleh hal itu, kepribadian, pola perilaku, pikiran, emosi, dan identitas mereka merefleksikan pengaruh-pengaruh biologis, psikologis, dan sosial budaya secara simultan (Hirsch, buku ini). Apalagi, banyak orang akan percaya bahwa makhluk dan kekuatan gaib daripada anggota kelompok mereka yang kasat mata telah menciptakan dan/atau bertanggung jawab atas tubuh, pikiran, dan jiwa mereka (misalnya, Jilek & Draguns; Sussman, keduanya dalam buku ini). Yang lain akan menampilkan gejala-gejala fisik yang memiliki substratum fisik yang mendasari namun mempunyai signifikansi.
Sepertiditunjukkan dalam kutipan oleh Edward Hall pada awal bab ini, budaya banyak bekerja di luar lingkup kesadaran kita. Kita yang paling mungkin menjadi sadar akan asumsi budaya kita ketika budaya itu dilanggar atau ketika kita terjun ke dalamlingkungan budaya yang berbeda dari yang lazim kita kenal. Kesadaran budaya berkembang pesat pada berbagai perbandingan budaya dan kontradiksi yang memancing emosi. Namun, beragam norma budaya yang ada di seluruh dunia tidak mewajibkan kita untuk menerima relativisme budaya secara keseluruhan (Kuriansky, buku ini; Tanaka-Matsumi, buku ini). Dalam situasi konseling, misalnya, konselor dan klien dapat berbagi berbagai perspektif dan keyakinan, namun pertemuan mereka masih dapat meleset oleh karena perbedaan yang tampaknya kecil dalam harapan perilaku.Ada kearifan dalam komentar dari pepatah petani Vermont yang menyatakan, “Orang-orang sebagian besar sama, tetapi apa perbedaan yang ada, adalah sangat penting.”
Para ilmuwan sosial yang membahas variabilitas lintas-budaya dari perilaku manusia telah mengadopsi berbagai pendapat teoritis.Relativisme budaya seperti yang ditekankan Fish (buku ini) bahwa berbagai variasi keyakinan dan perilaku dapat diamati di seluruh masyarakat. Sebaliknya, para universalis lebih berfokus dengan menemukan proses-proses psikologis yang samadi bawah perilaku yang berpola secara kultural. Para ahli psikoanalisis seperti Rubin (buku ini) mendalilkan bahwa pola-pola kepribadian tertentu, mekanisme pertahanan ego, proses berpikir, dan motif-motif dasar dapat ditemukan di seluruh dunia. Dalam buku ini, baik para relativis dan universalis diberi suara untuk sepenuhnya mewakili berbagai pendapat mengenai isu sentral ini. Dengan kata lain, para kontributor padabuku ini berkaitan dengan proses-proses psikologis universal yang konon mendasari bentuk-bentuk intervensi yang tampil cukup berbeda dan juga beberapa dari lebih banyak manifestasi budaya khusus dari penyembuhan dan konseling.
Para peneliti lintas-budaya lainnya telah berfokus pada sejumlah dimensi nilai yang bersamanya budaya dan subkultur dapat diurutkan. Ini termasuk lima dimensi nilai Hofstede (lihat Draguns, buku ini) serta “dimensi konteks” penting yang membedakan antara kutubbudaya konteks tinggi (misalnya, budaya kota kecil Jepang tradisional) dan budaya konteks rendah (misalnya, budaya Amerika modern, terutama di dalam atau di sekitar pusat-pusat kota metropolitan).
Anggota budaya konteks rendah diajarkan untuk mengkomunikasikan pikiran dan emosi mereka secara eksplisit dan percaya pada prinsip-prinsip umum yang dapat digunakan untuk menciptakan makna dan ketertiban dalam struktur sosial moral masyarakat (misalnya, kebebasan, keadilan, dan pengejaran kebahagiaan).Sebaliknya, komunikasidalam budaya konteks tinggi cenderung tidak langsung, implisit, tergantung pada konteks, tak terucapkan, dan nonverbal.Pola komunikasi seperti ini sangat mungkinterjadi dalam budaya yang relatif homogen dan kolektivistis di mana pemahaman yang tak terucapkandibagikan secara luas.Karena budaya modern menjadi semakin heterogen dalam hal etnis dan gaya hidup, pola komunikasi konteks tinggi menjadi lebih disfungsional dan sulit untuk dipertahankan. Hal ini terutama berlaku ketika anggota subkultur yang berbeda mencoba menyampaikan makna emosional yang pelik dan harapan sosial yang rumit satu sama lain.
Perbedaan antara budaya konteks rendah dan tinggi-konteks sering membuktikan pentingnya memahami kesalahpahaman lintas-budaya tertentu dalam situasi konseling/terapi. Terapis dan konselor darilatar belakang budaya konteks rendah, misalnya, mungkin akanmenyadari sulitnya “membaca” klien yang matang dalam budaya konteks tinggi. Mereka ingin klien mereka menguraikan apa yang mengganggu mereka sehingga mereka bersama-sama bisa mulai mengerahkan tenaga untuk bekerja. Namun, klien mungkin berharap bahwa seorang konselor yang hebat “tidak perlu diberitahu,”bahwa ia harus bersikap empatik dan dengan demikian mampu memahami perasaan dan harapan klien melalui semacam osmosis emosional. Mereka mungkin berpikir: Jika dia tidak dapat memahami makna dan pesan saya yang tak terucapkan, kenapa dia menyebut dirinya seorang terapis? Dalam situasi seperti itu, baik terapis maupun klien akan mudah merasa kecewa tanpa sepenuhnya menyadari asal-usul budaya dari frustrasi mereka. Penghentian terapi secara dini oleh klien bukan merupakan hasil yang biasa dalam situasi seperti itu.

Etnis, Ras, Agama, dan Identitas Gender dalam Dunia Multikultural

Telah dikatakan bahwa setiap orang dalam beberapa hal samaseperti semua orang lain(sifat manusia yang sama), dalam beberapa hal seperti banyak orang lain (karakteristik kelompok), dan dalam hal-hal tertentu tidak seperti orang lain (individu yang unik, Kluckhohn, Murray, & Schneider, 1953). Dengan cara analogi, kita dapat mendalilkan bahwa identitas subjektif seseorang meliputi kesadaran seseorang bahwa dia sama seperti semua (atau hampir semua) orang lain (“Saya seorang manusia dengan persepsi, pikiran, dan perasaan manusia dan bukan binatang, tanaman, objek tak bernyawa, hantu, atau setan “), seperti beberapa orang lain (“saya seorang wanita Maya dan ibu rumah tangga yang sudah menikah, berbeda dari campuran ras dan budaya Ladinos, anggota kelompok minoritas yang berbahasa Maya daripada berbahasa Spanyol, dan penghuni Guatemala “), dan seperti tidak ada orang lain (“saya orang yang unik dengan nama tertentu dan pribadi yang menghuni tubuh yang unik “). Penekanan khusus buku ini adalah pada berbagai identitas kelompok yang dibentuk secara kultural bersama-sama dengan asosiasi, pikiran, gambaran, penanda linguistik, narasi sejarah, dan perasaan bahwa orang-orang berkaitan dengan identitas etnis, ras, agama, dan politik mereka.Terutama dalam masyarakat kolektivistis, identitas kelompok tersebut membentuk inti dari lokasi subjektif dan simbolik seseorang dalam ruang dan waktu sosial budaya.
Budaya memberikan anggotanya berbagai identitas yang kadang-kadang wajib dan adakalanya opsional.Oleh karena itu, identitas gender biasanya wajib, meskipun orang-orang dari jenis kelamin biologis yang sama diperbolehkan untuk memenuhi identitas ini dengan konten yang agak berbeda. Demikian pula, identitas rasial di Amerika yang sampai saat ini dianggap kekal dan tidak dapat dihindari: “Satu tetes darah hitam” secara otomatis mengubah seseorang menjadi Negro dan dengan demikian orang yang sangat tidak beruntung, yang lebih jauh lagi, dianggap oleh sebagian besar orang kuli putih memiliki karakteristik mental dan perilaku tertentu (terutama yang tidak menguntungkan). Sebaliknya, di Brazil, orang telah mengadopsi lebih dari 100 label untuk gabungan (biologis) orang-orang yang terlihat berbeda “ras” (Fish, buku ini). Dengan demikian, identitas rasial yang dibentuk secara sosial, bervariasi dalam cara-cara yang kompleks melintasi batas-batas budaya, umumnya didasarkan pada teori-teori biologi yang menyesatkan, dan sering tertanam dalam hierarki sosial budaya dan sosial ekonomi yang tidak dapat dengan mudah dihindari oleh individu.
Munculnya bentuk-bentuk modern dari pluralisme budaya di Kanada, Australia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan sebagian Eropa Barat telah memperlunak atau profil beberapa identitas, menjadikannya lebih lunak, dapat dirundingkan, dan kadang-kadang bahkan opsional. Identitas etnis khususnya telahdidefinisikan ulang dalam berbagai cara di Amerika Serikat dan di tempat lain. Sedangkan untuk beberapa generasi sebelumnya identitas etnis keluarga imigran (kulit putih) diharapkan akan melebur dalam perjalanan dua generasi, saat ini banyak orang Amerika bangga menampilkan identitas etnis ditulis dengan  memakai tanda penghubung, meskipunmereka mungkin telah kehilangan banyak warisan linguistik dan budaya mereka. Selain itu, karena meningkatnya perkawinan antara orang-orang dari latar belakang etnis, agama, dan “ras” yang berbeda, kami menemukan di antara generasi muda banyak orang dengan identitas etnis-linguistik-agama-rascampuran dan kompleks.Di seluruh dunia hibridisasi budaya terus terjadi dan menciptakan peningkatan jumlah individu dengan identitas budaya campuran dan kompleks.
Identitas etnis baru dan “super-identitas” terus-menerus dibuat, walaupun identitas itu sering mencakup konsepsi yang bertentangan dan implikasi yang menyesatkan tentang asal-usul biologis/ras.Kategori budaya juga sering kali berbeda dari kategori sensus, menciptakan kebingungan lebih lagi. Kategori “Hispanik,” misalnya, awalnya diciptakan oleh Biro Sensus Amerika sebagai kategori ras, mencerminkan keyakinan rakyat Amerika, untuk menyebut orang-orangasal Amerika Latin—meskipun Hispanik sangat beragam dalam penampilan fisik (dan hampir 200 juta orang di Brazil berbahasa Portugis, bukan Spanyol). Selanjutnya, kategori sensus berubah untuk menegaskan bahwaHispanik adalah kelompok etnis yang bisa menjadi “ras apa pun”—menciptakan paradoks tentang suatu ras yang bisa saja ras apapun.
Sejumlah besar orang Meksiko dan Amerika Tengah memiliki persentase jauh lebih besar keturunan New World daripada penduduk asli Amerika; namun, mereka tidak dapat mengklasifikasikan diri mereka sebagai “Indian” karena mereka bukan anggota dari daftar resmi suku-suku yang diakui di Amerika Serikat. Empat puluh dua persen orang-orang yang mengklasifikasikan diri Hispanik memilih “Others” (lainnya) sebagai ras mereka—menunjukkan bahwa kategori itu tidak secara kultural sesuai dengan individu yang dimaksudkan untuk diklasifikasikan. Selanjutnya, “Other” telah menjadi kategori sensus yang tumbuh paling cepat (Departemen Pertanian Amerika Serikat, 2006)—menyatakan bahwa cara-cara sensus mengklasifikasikan penduduk Amerika itu tidak sesuai dengan cara-cara orang Amerika mengklasifikasikan diri mereka sendiri.
Mengutip contoh lain dari ketidaklogisan, label “Amerika Asia” secara tradisional menyebut orang-orang asal Asia Timur sementara diam-diam mengabaikan imigran Asia lainnya seperti Rusia dari Siberia, Turki dari Anatolia, Uzbek dari Asia Tengah, Kurdi dari Irak, orang-orang Yahudi dari Israel, dan masih banyak lagi. Baru-baru ini, label “Amerika Asia” tampaknya berkembang menyertakan imigran Asia Selatan—baik secara langsung dari India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka dan tidak langsung dari Karibia dan belahan dunia lainnya—dan keturunan mereka. Identitas budaya kelompok minoritas “Desi” tampaknya terbentuk, sejajar dengan kelompok Hispanik/Latino, sehinggaanak-anak imigran Pakistan Muslim dan imigran India Hindu memandang dirinya (dan dipandang oleh orang Amerika lainnya) sebagai anggotakelompok etnis yang sama bahkan meskipun negara asal mereka siap sedia dalam masalah ketidaksepakatan nuklir.
Dengan demikian, identitas etnis dan ras mengacu pada internalisasi subjektif seseorang dari satu atau lebih label yang tersusun secara kultural yang dapat mencakup ide-ide kontradiktif namun juga membangkitkan emosi yang kuat yang bersifat kondusif pada konflik antarkelompok yang serius serta interaksi yang tidak memuaskan antara klien dan konselor-terapis.
Kita semua membawa berbagai identitas berbeda-beda yang diaktifkan dalam konteks yang berbeda.Apalagi, arti penting identitas dapat berubah dari waktu ke waktu.Dalam psikoterapi, misalnya, identitas etnis yang berbeda dari terapis dan klien mungkin cukup penting dalam tahap awal tetapi (sementara) memudar setelah aliansi terapi yang sukses telah dibuat.
Secara terkait, klien Amerika Afrika mungkin diam-diam menguji terapis kulit putih pada awal terapi, untuk melihat apakah dia cukup bebas dari prasangka dan menunjukkan pemahaman dan kepekaan terhadap budaya Amerika Afrika dan isu-isu keanggotaan kelompok minoritas.Orang Amerika kulit hitam yang tidak melacak asal-usul mereka pada perbudakan di Amerika Serikat mungkin bereaksi cukup berbeda dari orang-orang yang melakukannya. Berikut adalah suara seorang mahasiswa asal India Barat yang mengkritik tren terbaru di Amerika Serikat yang memberi label banyak orang berkulit gelap seperti dirinya orang “Amerika Afrika”:
Saya benar-benar tidak menyukai label “Amerika Afrika.”Bahkan, saya tidak pernah berada di Afrika ataupun memiliki anggota keluarga saya yang berada di sana selama enam generasi terakhir. Saya seorang Trinidad [“dengan kartu hijau”], bukanAmerika Afrika.Saya punya beberapa kerabat India Timur dan tahu lebih banyak tentang adat Hindu daripada apa pun tentang Afrika. Saya lebih suka disebut kulit hitam dari Afrika atau sesuatu lainnya.
Sebagaimanaditunjukkan dalam kutipan tersebut, identitas etnis-ras—seperti identitas yang lain—sering diperdebatkan walaupun membangkitkan emosi yang kuat dan kadang-kadang konfliktual.Demikian juga, dua orang yang menerapkan label identitas yang sama pada diri mereka sendiri mungkin tetap menghubungkan label itu pada pikiran, perasaan, dan gambaranyang cukup bervariasi tentang apakah makna label itu seharusnya baik bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Menggunakan analogi musik, kita mungkin berpikir bahwa identitas memberikan tema budaya yang diikuti oleh deretan tak berujung darivariasi individu yang kurang atau lebih harmonis. Dengan demikian, identitasyang dibentuk secara budaya dan individual, berinteraksi dengan identitas orang lain, muncul dan tenggelam dalam situasi tertentu, lebih atau kurang berubah-ubah dalam hal karakter, dan “dipenuhi” dengan konten yang melimpahsecara sadar maupun bawah sadar. Mengingat bahwa identitas budaya merupakan jembatan antara kepribadian individu seseorang dan lingkungan sosial budayanya, intervensi kesehatan mental sering menyebabkan definisi ulang danrestrukturisasi identitas seseorang.
Sementara di Amerika Serikat label ras dan identitas menjadi pusat dari banyak diskusi multikultural, di negara-negara Eropa seperti Prancis atau Inggris pertanyaan tentang ras sering memilikipengaruh pengendali untuk pertimbangan agama-etnis (serta orang-orang dari kelas sosial). Mengingat kebangkitan identitas Islamdi seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara, memperluas ketegangan politik antara wilayah-wilayah ini dan Barat, dan kegagalan dari banyaknegara Eropa untuk sepenuhnya mengintegrasikan para imigran Afrika Utara dan Timur Tengah ke dalam masyarakat mereka, identifikasi keagamaan telah berperan dalam menonjolkan kesenjangan ekonomi, budaya, dan politik yang ada di antara sejumlah besar anggota masyarakat Eropa dan anggota keluarga imigran.Konselor multikultural dalam masyarakat ini harus dipersiapkan secara khusus untuk menangani masalah-masalah keagamaan yang timbul dalam pertemuan terapi dengan wawasan dan kepekaan.Ini tidak mudah dilakukan karena psikologi modern dan ilmu-ilmu sosial lainnya cenderung mendorong konsepsi sekuler, ilmiah, dan relativistik dari sifat manusia.Banyak ahli kesehatan mental mungkin merasa sulit berempati dan secara intuitif memahami klien-klien yang melibatkan pergumulan pribadi, identitas inti, dan eksistensi mereka kaitannya denganperjalanan pribadi atau bersamamenuju keselamatan.Tugas ini dibuat bahkan lebih menantang ketika sistem dan identitas kepercayaan agama klien masih asing bagi konselor.Selain itu, para konselor utama Eropa juga harus ingat bahwa banyak imigran lain dari negara-negara Muslim menganutsebagian besar kepercayaan sekuler. Selain itu, para imigran dari negara-negara Timur Tengah termasuk Kristen, Yahudi, Baha’i, Druze, dan sebagainya. Di Amerika Serikat, sebagian besar orang-orang asal Arab adalah orang Kristen. Maka, identitas agama dan etnis sering berinteraksi dengan cara-cara yang mungkin awalnya tampak mengejutkan bagi terapis luar yang kurang informasi namun terasa wajar bagi klien yang dimaksud.
Situasi terapeutik mau tidak mau dipengaruhi oleh kumpulan keluarga dan identitas gender peserta dalam pertemuan itu. Karena baik sistem keluarga dan peran gender telah berubah cepat selama beberapa dekade terakhir, dan karena di banyak negara, kepastian lama telah memberikan cara-carayang lebih berubah-ubah, toleran, tetapi juga membingungkan untuk menggambarkan diri baik sebagaianggota keluarga dan sebagai wanita atau pria (atau kadang-kadang sebagai sesuatu di antaranya), sangat penting bahwa spesialis kesehatan mental akrab denganberbagai sistem keluarga dan peran gender terkait yang ditemukan di seluruh dunia (lihat Roopnarine & Gielen 2005, untuk beberapa contoh).
Identitas gendermenetap sangat mendalam di dalam jiwa seseorang dan muncul di masa awal mereka meskipun masih berubah-ubah bentuk antara usia 2 sampai 3 tahun. Identitas itu berperan sebagai hubungan antara sebagian besar pengaruh masa kanak-kanak usia dini secara tidak sadar; bentuk-bentuk kesadaran yang ditambahkan, lebih reflektif, dan lebih seksual yang muncul pada masa remaja; dan sedikit memori dari berbagai pertemuan dengan pasangan romantis potensial atau aktual serta orang lain dari kedua jenis kelamin itu. Selain itu juga ditambahkan gambaran, metafora, dan narasi yang dihadapi melalui perhatian pada sastra, musik, dan media massa, penilaian diriklien yang kadang-kadang menyakitkan tentang dirinya sendiri sebagai wanita atau pria, dan keinginan terkait gendernya, harapan, dan kekhawatiran tentang masa depan. Keinginan, harapan, dan ketakutansering berperan sebagai ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya karena cenderung mendorong perilaku yang sesuai dengan mereka.
Karena pengaruh budaya di mana-mana terkait dengan berkembangnyakesadaran seseorang akanidentitas gender dari bayi sampai dewasa, spesialis kesehatan mental harus memiliki pemahaman informasi perkembangan dan menyeluruh mengenai peran gender, perbedaan gender, seksualitas serta manifestasinya dalam budaya-budaya yang berbeda. Skeptisme tertentu terhadap ideologi berorientasi gender yang berlaku dan sering bersaing, setidaknya menurut kami, juga dapat dianjurkan. Terutama dalam situasi multikultural, ini mungkin membuat kita secara tidak sengaja mengindoktrinasi atau menyesatkan klien kita yang memiliki pemahaman tentang tanggung jawab peran terkait keluarga dan/atau gender menyimpang jauh dari pemahaman kita sendiri.Namun demikian, pekerjaan utama kita adalah membantu klien kita hidup lebih mudah dan produktif dengan diri mereka sendiri dan orang lain yang signifikan, daripada mencoba mengubah mereka ke dalam cara hidup dan berpikir kita.

Prinsip dan Standar Etika yang Terkait dengan Multikularisme dari Asosiasi Psikologi Amerika

Prinsip E: Penghormatan Hak dan Martabat Rakyat
Para psikolog menyadari dan menghormati perbedaan peran, individu, dan budaya, termasuk yang berdasarkan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor ini ketika bekerja dengan anggota kelompok tersebut. Psikolog mencoba menghilangkan efeknya pada kecenderungan pekerjaan mereka berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan mereka tanpa sadarberpartisipasi atau membiarkan kegiatan lain berdasarkan prasangka tersebut.
2.01 Batasan Kompetensi
(b) Dimana pengetahuan ilmiah atau profesional dalam disiplinpsikologi menetapkan bahwa pemahaman tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya,asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa,atau status sosial ekonomi sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan atau penelitian mereka yang efektif, psikologmemiliki atau memperolehpelatihan, pengalaman, konsultasi, atau pengawasan yang diperlukan untukmemastikan kompetensi pelayanan mereka, atau mereka membuat rujukan yang tepat, kecuali sebagaimana yang diatur dalam Standar 2.02, Memberikan Pelayanan dalam Keadaan Darurat.
3.01 Diskriminasi Tidak Adil
Dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, psikolog tidak terlibat dalamdiskriminasi yang tidak adil berdasarkan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras,etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual,kecacatan, status sosial ekonomi, atau dasar apapun yang dilarang oleh hukum.
3.02 Pelecehan Seksual
Psikolog tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalahajakan seksual, cumbuan fisik, atau perilaku verbal atau nonverbal yang bersifat seksual, yang terjadi sehubungandengan kegiatan atau peran psikolog sebagai seorang psikolog, danyang (1) tidak diterima, ofensif, atau menciptakan tempat kerja atau lingkungan pendidikan yang mengundang permusuhan, dan psikologmengetahui atau diberitahu hal ini atau (2) cukup parah atau intens bersikap kasar kepada orang yang pantas dalam konteks tersebut. Pelecehan seksualdapat terdiri dari tindakan intens atau kejam atau beberapa tindakan gigih atau terus-menerus.
3.03 Pelecehan Lainnya
“Psikolog tidak secara sadar terlibat dalam perilaku yang melecehkan ataumerendahkan orang dengan siapa mereka berinteraksi dalampekerjaan merekaberdasarkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual, cacat, bahasa, atau status sosial ekonomi orang-orang itu.
9.02 Penggunaan Penilaian
(a)      Psikolog mengelola, menyesuaikan, menghitung skor, menafsirkan, atau menggunakanteknik penilaian, wawancara, tes, atau instrumendengan cara dan untuk tujuan yang tepat untuk memecahkan penelitian atau bukti kegunaan dan penerapan teknik-teknik yang tepat.
(b)      Psikolog menggunakan instrumen penilaian yang validitas dan keandalannya telah ditetapkan untuk digunakan dengan anggota populasi yang diuji. Ketika validitas atau keandalan itu belum ditetapkan, psikolog menjabarkankekuatan dan keterbatasan hasil tes dan interpretasinya.
(c)      Psikolog menggunakan metode-metode penilaian yang sesuaipreferensi dan kompetensi bahasa individu,kecuali penggunaan bahasa alternatif yang relevan denganmasalah penilaian.
Diadaptasi dari prinsip-prinsip Etika dan kode etik (American Psychological Association, 2002).

Prinsip Etika yang Terkait Dengan Multikulturalismedari Kode etik ACA
A.2.c. Pengembangan dan Sensitivitas Budaya
Konselor mengkomunikasikan informasi dengan cara-cara sebagaimana sehingga sesuai dengan tahapan perkembangan dan budaya. Konselor menggunakan bahasa yang jelasdan dimengerti ketika membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan persetujuan yang diinformasikan. Ketika klien memiliki kesulitan memahami bahasa yang digunakan oleh konselor, mereka menyediakan layanan yang diperlukan(misalnya, mengatur juru tafsir atau penerjemah) untuk memastikan pemahaman klien. Bekerja sama dengan klien, konselor mempertimbangkan implikasi budaya dari prosedur persetujuan yang diinformasikan itu dan, bilamana mungkin, konselor menyesuaikan praktek mereka agar sesuai.
B.1.a. PertimbanganMultikultural/Keanekaragaman
Konselor mempertahankan kesadaran dan kepekaan terhadap makna budaya dari kerahasiaan dan privasi. konselor menghormatipandangan yang berbeda terhadap pengungkapan informasi ....
C.2.a. Batasan Kompetensi
Konselor berlatih hanya dalam batasan kompetensi mereka, berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman yang diawasi, surat izin profesional negara dan nasional, dan sesuaipengalaman profesional mereka. Konselor mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan keterampilan yang terkait bekerja denganpopulasi klien yang beragam.
C.5. Nondiskriminasi
Konselor tidak membenarkan atau terlibat dalam diskriminasi berdasarkan usia, budaya, kecacatan, etnis, ras, agama/spiritualitas, gender, identitas gender, orientasi seksual, status perkawinan/kemitraan, preferensi bahasa, status sosial ekonomi, atau dasar apa pun yang dilarang oleh hukum....
E.5.b. Sensitivitas Budaya
Konselor mengakui bahwa budaya memengaruhi cara di mana masalah klien didefinisikan. Pengalaman sosial ekonomi dan budaya klien dipertimbangkan ketika mendiagnosis gangguan mental.
E.5.c. Prasangka Sejarah dan Sosial dalam Diagnosis Patologi
Konselor mengenali prasangka sejarah dan sosial dalam kesalahan diagnosis dan anggapan individu dan kelompok tertentu abnormal secara psikologis dan medis dan peran profesional kesehatan mental dalam mengabadikan prasangka ini melalui diagnosis dan pengobatan.
E.6.c. Populasi Beragam Budaya
Konselor berhati-hati ketika memilih penilaian untuk populasi beragam budaya dengan menghindari penggunaan instrumen yang kurang bersifat psikometrik yang sesuai untuk populasi klien tersebut.

Prinsip Etika yang Terkait Dengan Multikulturalisme
dari Kode etik ACA
A.2.c. Pengembangan dan Sensitivitas Budaya
Konselor mengkomunikasikan informasi dengan cara-cara sebagaimana sehingga sesuai dengan tahapan perkembangan dan budaya. Konselor menggunakan bahasa yang jelasdan dimengerti ketika membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan persetujuan yang diinformasikan. Ketika klien memiliki kesulitan memahami bahasa yang digunakan oleh konselor, mereka menyediakan layanan yang diperlukan(misalnya, mengatur juru tafsir atau penerjemah) untuk memastikan pemahaman klien. Bekerja sama dengan klien, konselor mempertimbangkan implikasi budaya dari prosedur persetujuan yang diinformasikan itu dan, bilamana mungkin, konselor menyesuaikan praktek mereka agar sesuai.
B.1.a. PertimbanganMultikultural/Keanekaragaman
Konselor mempertahankan kesadaran dan kepekaan terhadap makna budaya dari kerahasiaan dan privasi. konselor menghormatipandangan yang berbeda terhadap pengungkapan informasi ....

C.2.a. Batasan Kompetensi
Konselor berlatih hanya dalam batasan kompetensi mereka, berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman yang diawasi, surat izin profesional negara dan nasional, dan sesuaipengalaman profesional mereka. Konselor mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan keterampilan yang terkait bekerja denganpopulasi klien yang beragam.
C.5. Nondiskriminasi
Konselor tidak membenarkan atau terlibat dalam diskriminasi berdasarkan usia, budaya, kecacatan, etnis, ras, agama/spiritualitas, gender, identitas gender, orientasi seksual, status perkawinan/kemitraan, preferensi bahasa, status sosial ekonomi, atau dasar apa pun yang dilarang oleh hukum....
E.5.b. Sensitivitas Budaya
Konselor mengakui bahwa budaya memengaruhi cara di mana masalah klien didefinisikan. Pengalaman sosial ekonomi dan budaya klien dipertimbangkan ketika mendiagnosis gangguan mental.
E.5.c. Prasangka Sejarah dan Sosial dalam Diagnosis Patologi
Konselor mengenali prasangka sejarah dan sosial dalam kesalahan diagnosis dan anggapan individu dan kelompok tertentu abnormal secara psikologis dan medis dan peran profesional kesehatan mental dalam mengabadikan prasangka ini melalui diagnosis dan pengobatan.
E.6.c. Populasi Beragam Budaya
Konselor berhati-hati ketika memilih penilaian untuk populasi beragam budaya dengan menghindari penggunaan instrumen yang kurang bersifat psikometrik yang sesuai untuk populasi klien tersebut.
E.8. Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam Penilaian
Konselor menggunakan dengan hati-hatiteknik-teknik penilaianyang bernorma pada beberapa populasi selain populasi klien itu. Konselor mengetahui dampak usia, warna kulit, budaya, kecacatan, kelompok etnis, jenis kelamin, ras, preferensi bahasa, agama, spiritualitas,orientasi seksual, dan status sosial ekonomi pada pengadaan dan interpretasi tes, dan menempatkan hasil tes dalam perspektif yang benar dengan faktor-faktor lain yang relevan.
F.2.b. Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam Pengawasan
Pengawas konseling menyadari dan menunjukkan peran multikulturalisme /keragaman dalam hubungan pengawasan.
F.3.c. Pelecehan Seksual
Pengawas konseling tidak membenarkan atau mengarahkan subjek pada pelecehan seksual.
F.6.b. Menanamkan Isu-Isu/Keanekaragaman Multikultural
Pendidik konselor menanamkan materi yang terkait dengan multikulturalisme /keragaman ke dalam semua program dan lokakarya untuk pengembangan konselor profesional.
F.10.b. Pelecehan Seksual
Pendidik konselor tidak membenarkan atau mengarahkan mahasiswa pada pelecehan seksual.
F.11. KompetensiMultikultural/Keanekaragaman dalam Program Pendidikandan Pelatihan Konselor
F.11.a. Keanekaragaman Staf Pengajar
Pendidik konselor berkomitmen untuk merekrut dan mempertahankan staf pengajar yang beragam.

F.11.b. Keragaman Mahasiswa
Pendidik konselor secara aktif berusaha merekrut dan mempertahankanberagam mahasiswa. Pendidik konselor menunjukkan komitmen kepada kompetensi multikultural/keragaman dengan mengenali danmenilai beragam budaya dan jenis-jenis kemampuan mahasiswa yang dibawa pada pengalaman pelatihan. Pendidik konselor menyediakan akomodasi yang tepat yang meningkatkan dan mendukung kesejahteraan dan prestasi akademik beragam mahasiswa.
F.11.c. Kompetensi Multikultural/Keanekaragaman
Pendidik Couselor secara aktif menanamkan kompetensi multikultural/keragaman dalam praktik pelatihan dan pengawasan mereka. Mereka secara aktif melatih siswa untuk memperoleh kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan dalam kompetensi praktek multikultural. Pendidik konselor memasukkan contoh kasus, permainan peran, pertanyaan diskusi, dan kegiatan-kegiatan kelas lainnya yang meningkatkan dan menunjukkan berbagai perspektif budaya.
G.1.g. Pertimbangan Multikultural/Keanekaragaman dalam Penelitian
Ketika tepat saatnya untuk tujuan penelitian, konselor peka terhadap penggabungan prosedur-prosedur penelitian yang memperhitungkan pertimbangan budaya. Mereka mencari konsultasi jika diperlukan.
G.3.c. Pelecehan Seksual dan Peserta Penelitian
Para peneliti tidak membenarkan atau mengarahkan peserta penelitian terhadap pelecehan seksual.
Diadaptasi dari Kode etik (Asosiasi Konseling Amerika, 2005).

Apakah Prinsip dan Teknik Konseling Dasar yang Sama Berlaku pada Semua Orang Terlepas dari Latar Belakang Budaya?
Kontroversi di sini adalah antara mengambil perspektif“etik” atau “emik” (Berry, 1969). Pendekatan etik menekankan unsur-unsur universal konseling bahwa semua kelompok budaya diasumsikan untuk berbagi. Contohnya adalah: diskriminasi, pengembangan identitas, validasi dan pemberdayaan, komunikasi, perbedaan kelas sosial, akulturasi, transferensi/pemindahan, dan kontra-transferensi (Das, 1995; Lee, 1994). Pendekatan emik menekankan karakteristik adat atau spesifik dari masing-masing kelompok budaya yang mungkin berdampak pada proses konseling. Perbandingannya adalah antara suatu kelompok (cakupan secara mendalam dari budaya tertentu) versus pendekatan konseptual terhadap konseling multikultural. Banyak buku tentang konseling multikultural cenderung mengambil perspektif yang lebih emik; namun, pendekatan yang terbaik adalah campuran dari perspektif etik dan emik (Das, 1995).Buku ini mengadopsi pendekatan campuran. Bagian pertama mencakup tema-tema etik yang lebih universal pada lintas budaya (misalnya, diskriminasi, penilaian, akulturasi, pengembangan identitas) dan dua bagian berikutnya berfokus pada kelompok etnis (misalnya, penduduk asli Amerika, Amerika Afrika, Latino dan Latina, Amerika Asia, Amerika Eropa, dan Amerika Arab) dan beberapa minoritas budaya tertentu (misalnya, perempuan, pria gay dan lesbian, lanjut usia, dan orang-orang penyandang cacat). Yang baru dari edisi ini, dua pengaruh yang lebih etik, spiritualitas dan pertimbangan kelas sosial, dibahas dalam bab-bab yang berfokus pada kelompok budaya yang luas.

Beberapa BahanDasar Terapi, Konseling, dan Penyembuhan

Istilah psychotherapeia, psychotherapy, dan psychotherapeutics muncul pertama kalinya pada paruh kedua abad ke-19 di Eropa Barat.Walter Cooper Dendy (1853), misalnya, menggunakan istilah psychotherapeia untuk menyebut “pengaruh bermanfaat dari pikiran penyembuh pada seorang penderita” (Jackson, 1999, hal. 9).Istilah itu didasarkan pada kombinasi dari kata Yunani masing-masing untuk “jiwa” (psyche) dan “cenderung untuk, memberi perhatian, atau pengobatan medis” (therapeia). Yang tersirat dalam istilah itu adalah pemikiran Yunani kuno bahwa dokter, imam, dan filsuf, masing-masing dengan cara mereka sendiri, diharapkan untuk mengobati berbagai “penyakit jiwa” melalui perawatan, penghiburan, bimbingan dan pendidikan moral, nasihat, pengakuan, pemurnian simbolik, pengampunan dosa, saran, klarifikasi, dan menghilangkan ketidaktahuan tentang sifat sejati seseorang sebagai manusia.
Dalam berbagai kombinasi dan dengan nama yang berbeda, banyak kegiatan ini terus menjadi unsur dasar psikoterapi dankonseling modern. Lainnya, seperti pengakuan dan pengampunan dosa, telah dipandang rendah oleh kekuatan sekularisasi namun demikian membentuk dasar tak dikenal yang memunculkan terapi modern dan konseling.
Melintasi ruang dan waktu, situasi-situasi penyembuhan, konseling, dan psikoterapi biasanya termasuk hal-hal berikut (lihat juga Frank & Frank, 1991):
·      Orang atau sekelompok orang yang mengalami demoralisasi, penderitaan, dan/atau bingung mencari pelepasan dari tekanan mental, spiritual, dan fisik.
·      Penyembuh, terapis, atau konselor yang diakui secara sosial yang diharapkan untuk bertindak sebagai ahli dan pemandu kesehatan mental.
·      Sebuah pandangan dunia yang dibagikan (untuk berbagai tingkatan) oleh penyembuh dan klien.
·      Suatu sistem keyakinan yang mendasari secara budaya yang mendefinisikan apa yang diinginkan, diterima, dilarang, atau bahkan masuk akal dalam terapi dan konseling, serta batas-batas hubungan penyembuh-klien dan tujuan pertemuan mereka.
·      Upaya penyembuh untuk menjelaskan asal-usul penderitaan klien dalam istilah yang meyakinkan secara budaya (“penilaian dan diagnosis”). Penjelasan penyembuh mungkin mengemukakan bentuk-bentuk penyebab fisik, perilaku, mental, dan/atau spiritual-religius-magis besertaaturan dan saran yang terkoordinasi secara konseptual untuk perbaikan tekanan klien.
·      Hubungan penyembuh-penderita sebagai titik tumpu yang bergerak di seputar banyaknya upaya bantuan.
·      Serangkaian kontak dari waktu ke waktu yang didefinisikan bersifat terapi.
·      Peserta yang pada berbagai titik pada waktunya secara fisik hadir atau hanya dibayangkan. Para peserta yang hadir secara simbolis ini dapat mencakup makhluk gaib serta manusia.
·      Sebagianbesar kehadiran laten penyembuh, terapis, dan konselor lainnya yang mungkin akan diminta untuk bergabung dalam upaya terapi (“referral”) atau yangdapat berfungsi sebagai alternatif potensial (“healer shopping”).
Dalam kerangka umum dianut di sini, diakui bahwa banyak bentuk konseling modern dan intervensi psikoterapi yang sangattertanam dalam seni penyembuhan tradisional.Prince (1980) mampu membedakan beberapa komponen universal psikoterapi dalam berbagai intervensi yang dipraktikkan pada seluruh budaya di seluruh wilayah dunia.Komponen-komponen ini termasuk pandangan dunia yang dibagikan oleh penyembuh dan penderita, kemampuan untuk memberikan penjelasan yang bermakna budaya dari penderitaan atau disfungsi, dan penggunaan pengaruh sosial melalui saran dan cara-cara lainnya.Namun mengalihkan komponen eksternal ini, Prince menyoroti mobilisasi dari mekanisme penyembuhan diri bersifat endogen (berasal dari dalam) atau perbaikan diri penderita, sering kali dalam bentuk keadaan kesadaran yang berubah-ubah, sebagai unsurpsikoterapi yang paling penting dan berlaku secara universal. Dengan kata lain, penyembuh akan berhasil hanya jika tindakan simbolisnya menemukan resonansi dalam hati-pikiran penderita, memenuhi harapan implisit dan eksplisitnya, memobilisasi harapan, dan berhubungan dengan mekanisme dan sumber daya untuk mengatasi kesulitan yang sudah ada. Budaya adalah media dan melaluinya proses pengaruh sosial ini terjadi.
Dalam volume ilmiahnya Care of the Psyche: A History of Psychological Healing, sejarawan medis Stanley W. Jackson (1999) telah menelusuri unsur-unsur penting dari penyembuhan psikologis dalam tradisi Barat dari zaman dahulu hingga zaman modern. Menurut Jackson, “pengobatan berbicara” secara tradisional termasuk penekanan pada hubungan penyembuh-penderita; penyembuh yang berwibawa dan penuh perhatian; dan penggunaan hadiah atau hukuman, saran dan bujukan, penjelasan, interpretasi, dan bimbingan.Penyembuh menawarkan penghiburan dan kenyamanan bagi penderita dan memberikan dukungan atas upaya klien “untuk mengungkapkan sesuatu.”Pengakuan, menceritakan rahasia, dan perubahan dalam pemahaman dan pengamatan diri klien juga telah menjadi segi penting dari intervensi psikoterapi yang sukses atas berabad-abad. Perlu ditambahkan bahwa banyak proses terapi ini juga dapat ditemukan dalam pertemuan penyembuhan non-Barat, walaupun pengaruh dan penjelasan budaya biasanya menentukan elemen-elemen ini yang merupakan kepentingan utamadan yang ditentukan dan di antaranya diabaikan untuk pertemuan antara penyembuh dan penderita.
Telah lama diakui bahwa sifat hubungan penyembuh-penderita atau konselor-klien cenderung menjadi unsur penting dalam penyembuhan dan konseling yang sukses (Jackson, 1999).Penelitian modern mengenai efektifitas psikoterapi mendukung ini; hal ini menunjukkan bahwa klien merespons atas semua pada kualitas hubungan mereka dengan terapis daripada teknik-teknik dan metode psikoterapi spesifik yang dia gunakan (Wampold,2001). Carl G. Jung (1970) mengakui hal ini bertahun-tahun yang lalu:
Orang dapat dengan mudah melihat apa artinya bagi pasien ketika ia bisa menceritakan rahasia pengalamannya pada seorang dokter yang penuh pengertian dan simpatik. Pikiran sadarnya menemukan dukungan moral dalam diri dokter terhadap pengaruh yang tidak dapat dikendalikan darikompleks traumatisnya. Dia tidak lagi berdiri sendiri dalamperjuangan dengan kekuatan-kekuatan elemental ini, tetapi seseorang yang ia percayamengulurkan tangan, memberinya kekuatan moral untuk memerangi tiraniemosi yang tidak terkontrol.... Bagi saya sendiri, saya akan... menyebutnya [dokter itu] kepentingan manusia dan pengabdian pribadinya. Semua adalah sifat dari tidak adanya metode, juga itu tidak pernah bisa menjadi sifat; semuanya adalah kualitas moraldari kepentingan terbesar dalam semua metode psikoterapi. (hal. 132-133)
Namun demikian, penelitian lintas-budaya tentang penyembuhan menunjukkan bahwa banyakhubungan antara penyembuh asli dan klien mereka memiliki kualitas campuran emosional atau menjaga jarakdan lebih lanjut lagi, sehingga hubungan itu sering kali berdurasi singkat (Jilek & Draguns, buku ini).Dukun Ladakhi di India barat laut, misalnya, mungkin berteriak pada pasien mereka, mencoba mengintimidasi mereka,dan bahkan memukul mereka.Pasien biasanya menangani hal ini dengan mudah karenakeyakinan budaya mereka yang semi-Buddha memberitahu mereka bahwa lhayang berkuasa (roh, dewa)yang mendiami tubuh dukun dapat bertindak secara berubah-ubah (Gielen,pengamatan pribadi, 1980-1981).Di antara Yoruba dari Afrika barat,tabib-peramal tradisional atau Babalwobahkan tidak tahu masalah pasien selama sesi ramalannya (beberapa masalah kerahasiaan di sini!). Sebaliknya, ia melakukan ritual-ritual tertentu untuk menentukan apakah perantara supranatural yang bekerja siap melepaskan kendali mereka pada penderita.Sama halnya, interaksi antara penyembuh spiritualis Meksiko dan pasien mereka cukup bersifat impersonal (Spires-Robin & McGarrahan,1995).Keaslian spiritual penyembuh dan kekuatan penyembuhannya terungkap melaluikeadaan transnya daripada melalui kemampuannya untuk secara sadar berempati dengan pasiennya.Dari sudut pandang psikodinamik, penyembuh tanpa sadar sedang bekerja di sini sedangkan bentuk-bentuk psikoterapi modern menekankan wawasan dan bimbingan secara sadar dan ego-sintonik.
Penekanan Carl Rogers pada kemampuan terapis untuk berempati dengan klien dan mengadopsi kerangka acuannya tidak relevan dalam banyak ritual penyembuhan tradisional yang bukan berdasarkan instruksi otoritatif dan langsung dari sang penyembuh dan kemampuannya untuk mengumpulkan bantuan makhluk dan kekuasaan spiritual yang tak terlihat, melaksanakanprosedur-prosedur ritual yang berlaku secara budaya, dan memohon kehadiran anggota-anggota masyarakat kepada siapa pasien “terikat kembali” selama kegiatan ritual penyembuh. Penyembuhan tradisional sering bersifat publik karena tujuan implisit atau eksplisitnya adalah reintegrasi pasien ke masyarakat (Jilek & Draguns, buku ini). Yang terbaik, penyembuhan holistik seperti itu secara simultan mencapai (re-) integrasi psikologis batin pasien, (re-) integrasinya ke dalam masyarakat, dan (re-) integrasinya ke dalamalam semesta simbolik-religius masyarakat itu. Orang, masyarakat, dan budaya menjadi utuh lagi, yang merupakan makna asli dari istilah penyembuhan.Namun,terlepas dari kontribusi yang berpotensi positif dari penyembuh tradisional, terdapat kekurangan studi penelitian yang cermat yang mengevaluasi kemampuan penyembuh tradisional untuk mengurangi tekanan fisik dan emosional dalam klien mereka.Perlu ditambahkan bahwa baik pemujaan romantis penyembuh tersebut ataupun deskripsi negatif dukun sebagai gadungan yang terganggu secara psikopatologisbersifat berguna bagi penilaian obyektif terhadap kekuatan, kelemahan,dan keampuhan terapi mereka (Jilek & Draguns, buku ini).

Perspektif Ekologi dan Etika dalam Konseling dan Penyembuhan

Sementara sebagian besar bentuk psikoterapi dan konseling modern didasarkan pada model individualistis dari perubahan kepribadian, dalam banyak situasi model-model perubahan komunal yang dipahami lebih luas dapat membuktikan nilai yang lebih besardaripada fokus eksklusif atau dominan dalam mengadakan sesi konseling dengan klien individu.Jilek dan Draguns (buku ini), misalnya, membahas kebangkitan kembali dan transformasi secara terencana dari upacara arwah pelindung Salish oleh para penyembuh tradisional.Ritual-ritual ini dirancang untuk menetralkan berbagai masalah sosial dan kejiwaan yang menimpa masyarakat Indian Salish di bagian barat Kanada dan Amerika Serikat. Beberapa temuan penulis menggarisbawahi pentingnya terapi-terapi ritual bersama dalam masyarakat yang memperkuat kekompakan mereka, meningkatkan hubungan keluarga, memerangi pola-polaumum demoralisasi dan anomi (keadaan masyarakat yang ditandai oleh pandangan sinis (negatif) terhadap sistem norma, hilangnya kewibawaan hukum, dan disorganisasi hubungan antara manusia), dan mengurangi perilaku antisosial. Bab Jilek dan Draguns juga mendukung pendapat bahwa kerjasama psikiater/psikoterapis/konselor dengan penyembuh asli dan figur otoritas adat mungkin sangat penting dalam banyak lingkungan sosial budaya non-Barat (untuk contoh orang Afrika baru-baru ini, lihat Wessells & Monteiro, 2004). Hal ini berlaku terutama ketika profesional kesehatan mental modern dipisahkan dari klien mereka dengan jurang budaya dan dengan perasaan klien akanskeptisisme atau ketidakpercayaan mereka.
Pelajaran yang lebih umum di sini adalah bahwa fokus eksklusif pada bentuk-bentuk individualistis dari psikoterapi dan konseling cenderung menjadi nilai terbatas dalam memerangi kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang meluas dan merusak (Denham, buku ini; Wohl, 2000). Hal ini berlaku baik pada penyembuhan adat dalam komunitas kecil non-Barat seperti Indian Salish di Kanada dan intervensi psikososial dalam sistem sekolah modern skala besar di Amerika Serikat dan di tempat lain. Mengikutibatas penalaran ini, para psikolog multikultural dan spesialis kesehatan mental seperti Coleman dan Lindwall (buku ini) telah bergerak menuju pengadopsian perspektif ekologi berorientasi sistem yang mendukung perluasan ruang lingkup bimbingan multikultural dan program konseling sekolah.Mereka berpendapat tegas bahwa konselor sekolah yangmempersiapkan siswa mereka untuk bersaing secara efektif dalam ekonomi global sambil membantu mengurangi kesenjangan prestasi yang ada yangmencerminkan perbedaan ras dan golongan yang menonjol.Secara keseluruhan, mereka meminta profesi konseling sekolah multikultural untuk mengadopsi pendapat lebih banyak aktivis untuk meningkatkan dampaknya di kalangan kaum muda.Dalam pandangan mereka, profesi konseling perlu menempatkan kegiatan individualistik dalam konteks politik dan sosial yang lebih luas sementara bekerja dalam nilai-nilai demokrasi yangdihormati masyarakattetapi yang sering dilanggar dalam praktiknya.Orang dapat melihat dalam pendekatan ini kesamaan tertentu pada perspektif sistem sosial dan gayaintervensi yang berorientasi politik yang telah dikembangkan para psikolog komunitas itu selama bertahun-tahun.
Dari awal, aktivitas-aktivitas konseling, terapi, dan penyembuhan telah diliputi dengan nilai-nilai, pertimbangan, dan dilema etika.Keprihatinan dengan nilai-nilai melekat dalam upaya konseling dan terapi dan tidak dapat dihindari dalam ilmu pengetahuan.Di berbagai negara Barat, respons terhadap asosiasi kesehatan mental profesional atas terjadinya dilema moral berulang kaliadalah dengan mengembangkan kode etik yangdiharapkan untuk dipatuhi anggota asosiasi.Namun di beberapa negara non-Barat seperti Kuwait, tidak ada kode etik profesional yang belum dikembangkan bagi para konselor, dan sehingga mereka cenderungmengadopsi secara informal bagian-bagian peraturanBarat yang dapat diterapkan yang mereka kenal (Gielen & Al-Khawajah, buku ini).Hal ini tetap menjadi pertanyaan terbuka tentang apakah kode etik-profesional yang dapat diterima secara universaluntuk bagi profesional kesehatan mental akan segera dikembangkan—dan apakah pengembangan tersebut akan diperlukan dari sudut pandang sensitif-budaya (Pettifor, 2007).
Apakah kode etik dan pedoman profesional yang ada di Amerika Serikat dan di tempat lain di dunia Barat memuaskan? Stevens (buku ini) tidak berpikir demikian. Misalnya, ia mengamati bahwa pendekatan American Psychological Association (APA) pada praktek etis tetap “konservatif, hierarkis, dan mementingkan diri sendiri.” Perhatian yang berlebihan pada persetujuan yang diinformasikan, penyimpanan catatan sebaik-baiknya, pemindahan, dan penghentian dapat dengan mudah menggangguintervensi yang tepat waktu dan efektif dalam situasi darurat, dengan melayani secara efektif populasi internasional dan beragam budaya yang asing denganpendekatan yang agak legalistik dari para profesional kelas menengah Amerika, dan dengan membantu kelompok-kelompok yang lebih memilih gaya pengambilan keputusan yang lebih terukur, berorientasi kolektivistis (kebersamaan). Selain itu, dengan mengetahui penghindaran tuntutan hukum terapis dan kepatuhan terhadap otoritas hukum atas komitmen mereka pada kesejahteraan klien mereka, sistem Amerika menciptakan berbagai kontradiksi dalam dasar etika dari terapi itu sendiri.

Penyembuh, Terapis, dan Konselor

Dukun dan Penyembuh Tradisional Lainnya

Komunitas yang paling dikenal mencari makan (berburu dan berkumpul)—suatu bentuk masyarakat yang bersifat universal sampai sekitar 12.000 tahun yang lalu—yang akrab dengan adat kebiasaan perdukunan. Masyarakat yang mencari makan biasanya terdiri dari kumpulan dari beberapa lusin hingga beberapa ratus kaum kerabat. Para pengumpul makanan memiliki sedikit harta, karena mereka bergerak ke sana kemari dalam mengejar binatang buruan dan tanaman pangan, dan sejumlah kecil mereka tidak memungkinkan untuk banyaknya spesialisasi peran. Shamanisme (perdukunan) biasanya merupakan kegiatan paruh waktu dan termasuk aktivitas yang dibagi oleh masyarakat industri berskala besar antara obat-obatan dan agama, serta konseling dan terapi.Bahkan ada beberapa lukisan menggoda di gua-gua Prancis selatan yang menunjukkan bahwa, sekitar 15.000 sampai 17.000 tahun yang lalu, nenek moyang orang Eropa modern mungkin sudah dipandu oleh praktik-praktik magis dan pengalaman spiritual dukun yang, berpakaian seperti binatang, mungkin menari-narisendiri dalam keadaan perubahan kesadaran (Curtis, 2006).
Dalam masyarakat yang mencari makan skala kecil, antara penggembala nomaden, dan di banyak masyarakat desa pertanian tradisional, shaman, yang disebut dukun, tabib pria, dan tabib wanita berfungsi sebagai penyembuh medis, penyembuh spiritual, biksu dan biksuni, konselor, terapis, dan psikiater, sering kali semuanya sekaligus. Meskipun dalam masyarakat industri modern peran-peran ini biasanya ditempati oleh para praktisi yang terpisah satu sama lain menurut gelar, pelatihan profesional, dan pandangan dunia, dukun menghuni dunia kesatuan di mana tubuh, pikiran, dan jiwa dianggap dihuni dan dikuasai oleh kekuatan primordial dan sering kali tidak kasat mata dan makhluk yang bertanggung jawab atas kehidupan dan kematian, kesehatan dan penyakit, dan kesejahteraan dan tekanan fisik-emosional (Vitebsky, 1995).
Dukun berfungsi sebagai perantara antara dunia makhluk tak kasat mata yang kuat dan dunia manusia dan hewan yang terlihat tetapi kurang kuat.Sering kali makhluk-mahluk tak kasat mata ini diyakini mendirikan rintangan dan mengirim penyakit dan kesusahan bagi manusia yang tidak taat atau tidak menyenangkan hati mereka.Memasuki keadaan trans secara sengaja, dukun menjadi corong suara bagi arwah-arwah yang marah atau dia bertempur dengan mereka bagi jiwa yang hilang dari pasien yang sakit—semuanya di bawah ancaman pemotongan fisik visioner (yang dapat ditafsirkan sebagai simbol fragmentasi-ego sementara). Tentu tidak mudah untuk menjadi dukun, dan menjadi dukun biasanya disertai dengan penderitaan fisik dan mental, penyakit, disorientasi, perilaku buruk yang hiruk-pikuk, berbicara dalam bahasa roh, berhalusinasi, jatuh sakit, dan terancam oleh banyak roh agresif yang mendiami dukun dalam keadaan tanpa sadar. Selain itu, pengembangan batin dan jabatan dukun dipandu oleh arwah-arwah yang mengawasi secara suportif yang dapat dianggap sebagai ego-ideal dan pelindung terhadap serangan penampakan setan ego-alien.
Dukun adalah pendahulu intelektual dari konseling dan terapi zaman sekarang, walaupun beberapa dari kita mungkin menyadari sulitnya mengenalidiri sendiri dalam hiruk pikuk teriakan dan gerak isyarat tangan dari seorang dukun Peru yang mengalami penglihatan secara gamblang di bawah pengaruh ayahuasca, obat halusinogen yang diturunkandari tanaman (lihat Winkelman & Roberts, 2008, untuk penelitian tentang penggunaan zat halusinogen dalam psikoterapi). Pelatihan rasionalistik modern kita sebagai konselor dan terapis mencegah kita memanfaatkan keadaan perubahan kesadaran dengan carayang mencolok ini (meskipun Timothy Leary bertentangan). Aksi dukun menyebabkan pertemuan yang sering terjadi tetapi cukup terkontrol dengan apa yang dipandang orang Jungian sebagai kekuatan pola dasar dunia bawah tanah, berbeda dengan mahasiswa dalam profesi bimbingan modern yang diharapkan mematuhi model rasionalistik ilmu itu. Dukun secara tegas disebut makhluk gaib dalam menjalankan peran mereka sebagai penyembuh, dansifat-sifat yang berguna untuk panggilan ini adalah imajinasi yang jelas/kemampuan menghipnotis diri sendiri yang tinggi, kemampuan terlatih untuk mengalami keadaan perubahan kesadaran kapan pun, mungkin kesadaran akan kecakapan memainkan pertunjukan, dan stabilitas psikologis yang wajar. Sebaliknya, spesialis kesehatan mental memilih profesi mereka secara sukarela, dididik dalammodel-model pelatihan yanglebih bijaksana, berilmu, dan terkendali, dan perilaku profesional mereka dibatasi oleh jaringan hukum, kode etik, dan wujud kesalahan dan pelaksanaan.Namun, harapan yang terbentuk secara kultural serta sistem kepercayaan individu adalah hal penting untuk menentukan siapa yang lebih efektif dalam mengurangi penderitaan klien mereka.Sering kali kekuatan iman klien serta sifat harapannya yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu pertemuan penyembuhan.
Ketika masyarakat menjadi lebih besar, lebih kompleks, dan semakin melek huruf, dan meningkatnya perbedaan peran yang berkembang sebagai konsekuensi dari pengenalan pertanian dan munculnya kota-kota, berbagai fungsi yang telah dipersatukan dalam pribadi dukun atau penyembuh asli diambil alih dengan cara-cara terpisah oleh para imam, dokter, dan, akhirnya, filsuf. Dalam konteks ini, agama, kedokteran, dan filsafat dapat dilihat sebagai benih yang dari waktu ke waktu akan berkembang untuk menciptakan taman psikologi, psikiatri, terapi, konseling, dan berbagai profesi bimbingan.

Haruskah Kita Mengadaptasi Konseling Tradisional untuk Memenuhi Kebutuhan Klien Nontradisional atau Menguji Konseling Nontradisional untuk Menguraikan Beberapa Pendekatan Tradisional?
Olehkarena konseling tradisional dikembangkan dari perspektif Eropa untuk digunakan dengan orang-orang dari latar belakang budaya Eropa, para profesional sekarang setuju akanpentingnya memodifikasi teknik-teknik konseling tradisional agar sesuai dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah mempelajari beberapa keterampilan konseling tradisional dan melihat seberapa baik keterampilan itu berlaku pada setiap kelompok budaya tertentu. Beberapa penelitian telah dilaksanakan di bidang ini, namun jauh lebih banyak lagi yang tetap harus dipelajari, terutama karena ada segudangteknik konseling dan kelompok budaya tertentu. Pendekatan lain adalah mempelajari tradisi-tradisi bantuantradisional dalam kelompok budaya tertentu dan juga bekerja bersama dengan tabib tradisional atau belajar dari mereka dan mengembangkan teknik-teknik konseling baru yang sesuai dengan kelompok budaya klien. Pendekatan ini menyerukan konselor agar menjadi antropolog budaya, belajar tentang budaya-budaya lain melalui perjalanan, film, membaca, dan hubungan pribadi. Pendekatan ini lebih menantang dan menghendaki konselor agar terus terbuka untuk terhadap  baru dalam memandang dunia dan teknik-teknik baru. Akhirnya pendekatan ini harus terbukti lebih berhasil karena menggunakan sendiri pandangan dunia dan nilai-nilai klien, tetapi telah ada, dan terus ada, penelitian yang relatif sedikit yang berfokus pada teknik konseling tradisional. Dalam buku ini, “teknik konseling tradisional” mengacu pada metode-metode konseling yang telah dikembangkan oleh dan untuk kelompok budaya dan, jika tersedia, teknik-teknik ini dijelaskan.

Terapis dan Konselor

Dalam budaya tradisional, para penyembuh cenderung mengatasi seluruh disfungsi manusia. Di era modern, orientasi holistik terhadap penyembuhan ini telah semakin terganggu dan menegang, jika tidak dapat diperbaiki lagi akan hilang. Fragmentasi dan spesialisasi telah menggantikan kesatuan yang tidak dibedakan—sebagai subdisiplin di dalam dan di luar pengobatan, psikologi, konseling, perawatan, kerja sosial, dan pelayanan keagamaan yang melengkapi pelayanan masing-masing dan sering melayani, dan bahkan bersaing untuk klien yang sama.
Dalam filsafat, René Descartes menarik garis tajam antara tubuh dan pikiran.Pada beberapa abad berikutnya, sekularisasi peradaban Baratsebagian besar menyingkirkan masalah-masalah spiritual dari lingkup intervensi biomedis dan psikologis berbasis ilmiah, sehingga memperluas pemisahan gereja dan negara bagian menjadi individu pada bidang intrapsikis.Dalam babnya di buku ini, Michele Hirsch mengembangkan lebih lanjut beberapa aspek mengenai topik ini.
Menanggapi penggolongan pengalaman manusia ini, muncullah konseling dan terapi.Bidang ini sementara dapat didefinisikan sebagai “metode bekerja dengan pasien/klien untuk membantu mereka memodifikasi, mengubah, atau mengurangi faktor-faktor yang mengganggu kehidupan yang efektif” (Fabrikant, 1984, hal. 184).Munculnya psikoterapi sebagai modalitas spesifik dari pengobatan tekanan manusia dapat ditelusuri hingga dekade terakhir abad ke-19. Sebagai penemu psikoanalisis, Sigmund Freud secara luas dianggap sebagai tokoh penting dalam perkembangan ini, meskipun tidak ada seorang pun yang dapat diidentifikasi sebagai penemu, pengukuh, atau praktisi yang pertama kali dikenal (Ellenberger, 1970). Sebaliknya, awal psikoterapi dapat dianggap sebagai perkembangan zeitgeist yang berlaku, yang menekankan pada introspeksi, individualisme, dan perluasan praktik ilmiah pada fenomena mental dan subjektif.Terapi bermula pada waktu otoritas kepercayaan tradisional dan pemimpin religius secara bertahap terkikis oleh perubahan sosial budaya secara konstan dan seiring dengan peningkatan ilmu pengetahuan.
Selain itu masalah spiritual itu tersisihkan dan masalah medis memainkan peran yang kurang kontrol dalam terapi dan konseling Barat—berbeda dengan tradisional penyembuhan—berbagai pendekatan menjamur, berkaitan dengan berbagai lingkup pikiran, perasaan, dan perilaku yang lebih luas.Berikut adalah tiga contoh, secara berurutan bagaimana hal itu berkembang.Psikoanalisis dan beberapa pendekatan terkait memiliki akar dalam psikiatri dan kedokteran, dengan tinjauan psikopatologi seperti yang dihasilkan oleh kondisi mental dan otak secara sadar dan tanpa sadar dan model penyakit perilaku bermasalah sebagai gejalapenyebab yang mendasari yang perlu diobati (lihat Rubin, buku ini). Pendekatan perilaku dan kognitif terutama terkait dengan psikologi, dengan tinjauan perilaku normal dan abnormal yang dihasilkan dan mampu diubah oleh proses-proses psikologis yang sama, dan dengan ketergantungan pada bukti eksperimental dari keampuhan pengobatan (lihat Tanaka-Matsumi, buku ini). Pendekatan sistem keluarga telah bertumbuh terutama dalam pekerjaan sosial, dengan tinjauan perilaku abnormal seperti yang dihasilkan oleh pola interaksional problematik dan hierarki kegagalan fungsi dalam keluarga dan konteks sosial yang lebih besar, dan dengan minat khusus dalam masyarakat miskin, imigran, dan budaya yang berbeda. Sementara para praktisi dari semua profesi konseling dan terapi dapat ditemukan di semua pendekatan ini (dan yang lain), asal-usul konseptual dan disipliner dari masing-masing bentuk konseling atau terapi memiliki efek berkelanjutan pada subkultur pengobatan yang telah dikembangkan.
Kesamaan pelatihan di seluruh dunia mengarah padapembagian pandangan dunia internasional tersebut. Dengan demikian, para psikoanalis dari Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Asia, dan Afrika berbagi satu sama lain lebih banyak pandangan umum tentang terapi daripada yang mereka lakukan dengan para terapis perilaku, kognitif, atau sistemik dari negara mereka sendiri. Selain itu, semua pendekatan ini harus disesuaikan dengan kondisi setempat; dan apabila terapis bukan asli dari budaya itu, penggunaan konsultan budaya (di dalam atau di luar sesi) dapat membantu.
Sebagai contoh, salah satu dari kami (Jefferson Ikan) adalah terapis untuk seorang wanita depresi di Brasil yang suaminya telah meninggalkan dirinya.Wanita itu harus bekerja dan memilikidua kemungkinan bimbingan karier sama-sama bisa diterimanya. Pilihan pertama akan menjadi salah satu pilihan yang lebih baik di Amerika Serikat, tetapi terapis tidak bertindak berdasarkan asumsi tersebut. Sebaliknya, ia mengundang salah satu pengawasnya (yaitu seorang psikolog berlisensi dengan praktik swasta) untuk hadir pada beberapa sesi. Ternyata pilihan kedua jauh lebih baik di Brazil, dan wanita itu dibimbing sesuai dengan pilihan itu.
Sebagian besar profesional kesehatan mental telah membuka diri pada berbagai pendekatan teoritis untuk konseling dan terapi.Hal ini jelas bahwa tidak setiap pendekatansama-sama dapat diterima dan meyakinkan bagi para profesional dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.Bentuk-bentuk psikoanalisa Freud termasuk varietas Klein dan Lacanian, misalnya, mendominasi di kalangan terapis Argentina.Dengan cara sebaliknya, hal itu akan dianggap tidak dapat diterima bagi sebagian besar profesional China yang mungkin memperhatikan potensi benturan antara psikoanalisis dan pemikiran Konfusianisme mengenai kesopanan, pengendalian diri, keengganan untuk mengungkapkan pikiran seksual, sifat nonseksual secara pasti dari hubungan ibu-anak, dan pentingnya pusat dari hsiao (berbakti kepada orangtua). Sebaliknya, pendekatan kognitif-perilakutampaknya bergerek lebih mudah melintasi batas-batas budaya (lihat Gielen & Al-Khawajah, Tanaka-Matsumi, keduanya dalam buku ini).Selain itu, para profesional multikultural lainnya mengadopsi pendekatan eklektik sementara mengarahkan tujuan pada integrasi dari berbagai pendekatan dan teknik Barat dan Timur (misalnya, Kuriansky, buku ini).Pendekatan “toolbox” ini tidak hanya bersifat multikultural tetapi juga multimodal, multidimensional, dan multidisipliner.

Situasi Konseling dan Terapi Multikultural

Profesional kesehatan mental perlu membuka diri pada beragam situasi multikultural sebelum mereka dapat sepenuhnya menghargai dasar budaya dari pekerjaan mereka. Dalam buku ini, jenis-jenis situasi multikultural dan non-Barat digambarkan sebagai berikut:
1.    Penyembuh dan klien keduanya adalah anggota dari budaya non-Barat yang sama(misalnya, Gielen & Al-Khawajah; Jilek & Draguns; Sussman, semuanya dalam buku ini).
2.    Seorang konselor non-Barat yang terlatih dalam teknik-teknik Barat menerapkannya dalam lingkungan non-Barat (misalnya, Al-Khawajah di Kuwait, Tanaka-Matsumidi Jepang, keduanya dalam buku ini).
3.    Psikiater imigran Austria yang terlatih secara Barat membimbing orang-orang tua dari negara “Dunia Pertama” Kanada (kelompok penduduk asli Amerika) saat mereka menciptakan kembali dan mengubah ritual adat yang dirancang untuk mengintegrasikan kembali para pemuda terasing dalam masyarakat mereka (Jilek &Draguns, buku ini).
4.    Spesialis kesehatan mental Barat memberikan konseling (misalnya, Denham, buku ini) dan intervensi psikososial singkat (misalnya, Kuriansky, buku ini) kepada klien semi-Barat atau non-Barat. Klien tersebut mencakup mereka yang menderita kenangan traumatis dan mereka yang menghadiriceramah, lokakarya, dan sesi pelatihan singkat.
5.    Seorang psikolog konseling bikultural yang menggabungkan Timur dan Barat menasihati pasangan bikultural dan dwiagama yang mengalami bermacam-macam konflik perkawinan,budaya, agama, dan psikologis (Laungani, buku ini).
6.    Seorang psikoterapis Amerika membahas integrasinya dari pendekatan Barat (yaitu, psikoanalitik) dengan pendekatan Timur (yaitu, Buddha) (Rubin, buku ini). Teknik meditasi umat Buddha disarankan untuk meningkatkan keterampilan mendengarkan dari psikoterapis. Kuriansky(buku ini) telah mengarah pada integrasi pendekatan Timur dan Barat serta dalam pendekatan “toolbox”, yang mencakup berbagai macam teknik yang berasal dari bermacam-macam tradisi budaya dan teoritis.
7.    Sebuah tim spesialis kesehatan mental dari kelompok minoritas menciptakan program konseling yang sensitif budaya yang cocok untuk remaja dari latar belakang etnokultural yang sama (Koss-Chioino, Baca, & Vargas, buku ini).
Berbagai situasi terapi dan konseling multikultural yang dianalisis dalam buku ini jauh melampaui situasi prototipe yang dijelaskan dan dikritik dalam beberapa buku konseling multikultural yang banyak dibaca. Dalam buku-buku ini, yang (kurang lebih) bermaksud baik tetapi tidak sensitif budaya, para spesialis konseling Amerika Eropa gagal berinteraksi secara efektif dengan klien dan mahasiswa kelompok minoritas karena ketertutupan budaya, etnosentrisme, dan/atau rasisme implisit konselor (untuk contoh, lihat Sue & Sue, 2008). Walaupun situasi seperti itu tidak diragukan lagi terjadi dan perlu secara kritis dianalisis dan diperbaiki, dunia multikultural saat ini menyajikan berbagai kompleksitas yang tidak cukup banyak dibahas oleh contoh-contoh tersebut.Pettifor (2007, hal. 322), misalnya, berkomentar bahwa “pelatihan mahasiswa internasional untuk menjadi konselor dan psikolog merasakan diskriminasi rasial ketika literatur dan kuliah tentang keanekaragaman selalu menempatkan orang minoritas sebagai klien dan orang utama sebagai profesional.” Dengan kata lain, bidang konseling dan terapi multikultural perlu bergerak melampaui analisis dan tinjauan mengenaihubungan klien kelompok minoritas-konselor Euro-Amerika dan dasar-dasar sosial politik mereka. Sebaliknya, kita memerlukan kerangka teoritis yang dapat mencakup beragam interaksi budaya terstruktur antara penyembuh/terapis/konselor dan klien mereka di seluruh dunia.
Penelitian di masa depan mungkin, misalnya, menyelidiki berbagai situasi di mana seorang spesialis kesehatan mental dari satu latar belakang minoritas berinteraksi dengan klien dari latar belakang minoritas lain. Suatu contoh adalah konselor Amerika Korea kelas menengah di Los Angeles yang menasihati klien Amerika Afrika yang miskin. Mengingat sejarah yang terkadangkontroversial antara dua komunitas etnis dan budaya serta perbedaan kelas sosial antara konselor dan klien, kita mungkin meramalkan potensi masalah yang berpusat pada isu-isu kepercayaan, kesesuaian budaya, persepsi rasial, dan gaya verbal dan nonverbal yang berhubungan dengan masing-masing lainnya. Contoh itu juga harus mengingatkan kita bahwa perbedaan kelas sosial antara konselor dan konseli kadang-kadang lebih mengganggu konseling yang efektif daripada perbedaan etnis atau ras yang dirasakan.Dengan demikian, “obat berbicara“ cenderung lebih dapat diterima oleh kelas menengah atas daripada klien kelas pekerja, beberapa di antaranya malah mungkin lebih suka pengobatan fisik atau pengakuan dan diskusi didukung alkohol dengan “mates“(Australia) atau teman-temanmereka di bar setempat.
Satu atau dua patah kata juga harus diucapkan tentang kemampuan multilinguistikdari profesi kesehatan mental serta pengetahuan sosial budaya dan geografis dasar mereka tentang imigran dan kelompok minoritas.Tinjauan meta-analisis Griner dan Smith (2006)mengenaiintervensi kesehatan mental yang disesuaikan budaya menemukan bahwa ketika intervensi dilakukan dalam bahasa pertama klien, biasanya sangat efektif.Selain itu, intervensi seperti itu paling menjanjikan ketika diarahkan pada kelompok-kelompok yang relatif homogen (lihat juga Draguns dan Tanaka-Matsumi, keduanya dalam buku ini).Suatu contoh yang bagus dari intervensi tersebut adalah terapi kelompok dengan remaja Amerika Meksiko dan Meksiko dijabarkan oleh Koss-Chioino, Baca, dan Vargas dalam buku ini.
Secara umum, bukti penelitian menunjukkan bahwa konselor yang berjuang untuk kompetensi multikultural harus mempertimbangkan belajar bahasa (dan budaya) klien mereka. Beberapa konselor Anglo di daerah barat daya Amerika Serikat mungkin belajar bahasa Spanyol agar pelayanan optimal kepada klien Latino(a)mereka. Namun dalam situasi lain, memperoleh kompetensi multilinguistiksecara menyeluruh tidak hanya tujuan yang realistis: konselor sekolah di banyak sekolah New York, misalnya, cenderung berinteraksi dengan mahasiswa imigrandan anggota keluarga mereka dari puluhan negara. Akibatnya, profesional kesehatan multikultural kadang kala harus menyediakan sendiri jasa penerjemah (atau anggota keluarga bilingual), seperti yang dapat dilihat dalam analisis Denham (buku ini) mengenai interaksi antara para profesional Australia berbahasa Inggris dan klien pengungsi Kosovo berbahasa Albania.Tambahan pula, penerjemah yang bagus, tidak hanya berperan sebagai jembatan budaya permulaan antara konselor dan klien mereka, tetapi juga memperkenalkan konselor kepada banyak unsur yang lebih rumit dari budaya klien dan cara-cara hidup di dunia. Dalam cara ini dan lainnya, mereka dapat berfungsi sebagai “perantara budaya.” Hal yang sama juga kadang-kadang berlaku bagi anak-anak bilingual yang bertindak sebagai penerjemah antara orangtua imigran monolingual dan pekerja sosial atau psikolog. Namun, situasi seperti itu melibatkan potensi komplikasi dan kelemahan karena dapat mengurangi otoritas orangtua dan menyebabkan kerancuan peran dalam keluarga yang sudah di bawah tekanan.
Ketika psikoterapis bertemuklien imigran dan pengungsi, mereka harus menginformasikan diri mereka sendiri tentang latar belakang geografis dan sosial budaya klien mereka (Denham, buku ini). Di Amerika Serikat, hal ini menjadi lebih sulit karena fakta bahwa geografi jarang diajarkan di sekolah-sekolah tinggi danperguruan tinggi. Percakapan (U. P. G.) saya dengan klien dari beberapa profesional kesehatan mental berbasis di New York telah meyakinkan saya bahwa setidaknya beberapa profesional itu—yang semuanya berpraktik di salah satu kota yang paling multietnis di bumi itu—masih cukup awam tentang sebagian besar dunia di luar Amerika Serikat. Tidak mengherankan, beberapa klien menyatakan kepada saya bahwa mereka telah kehilangan kepercayaan pada konselor atau terapis yang mereka anggap (mungkin benar) kurang berpengetahuan budaya yang diperlukan untuk secara memadai memahami situasi mereka dan konflik di dalam dan luarnya.
Pelajaran yang muncul dari laporan tersebut adalah jelas: para profesional kesehatan multikultural yang kompeten perlu memperoleh pengetahuan sosial budaya dan geografisyang luas tentang dunia pada umumnya. Beberapa hal ini dapat dilakukan dengan cara yang sangat menyenangkan: bepergian ke luar negeri; menonton film asing; membaca novel, ceramah tentang perjalanan, dan sejarah dunia oleh penulis non-Barat; menghadiri acara-acara multikultural; berpartisipasi dalam perayaan keluarga beragam budaya, upacara keagamaan, festival, dan sebagainya; berinteraksi dengan mahasiswa dan rekan asing;berteman dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya; mencoba masakan asing; dan melakukan penelitian bersama-sama dengan rekan-rekan di luar negeri adalah semua kegiatan yang dapat menyenangkan sekaligus memperkaya dan mendidik kita tentang berbagai jenis kebudayaan manusia dan prestasi mereka. Pada waktunyakita juga belajar tentang kebenaran penting bahwa orang-orang dari latar belakang budaya yang samamungkin berbeda dalam kepribadian dan pandangan hidup mereka. Kesadaran tersebut sangat membantu dalam mengurangi kecenderungan alami kita dan yang sulit dihindari untuk terlibat dalam stereotip budaya.Ironisnya, stereotip tersebut juga kadang-kadang merupakan reaksi tanpa disadari untuk pada pertemuan diskusi tentang karakteristik budaya yang diakui dari berbagai kelompok etnis dalam literatur ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Anak Agung NgurahAdhiputra (2013). Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Colin Lago (2006) Race, Culture and Counseling, England : McGraw-Hill House
Uwe P. Gielen, Juris G. Draguns, Jefferson M. Fish (2008) Principles of Multicultural Counseling and TherapyAn Introduction. New York: Taylor & Francis Group, LLC.
Wanda M.L. Lee, John A. Blando, Nathalie D. Mizelle, Graciela L. Orozco (2007) Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals. New York : Routledge Taylor & Francis Group.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar