Minggu, 19 Juni 2016

KONSELING MULTIKULTURAL



KONSELING MULTIKULTURAL
1.    PENGERTIAN KONSELING MULTIKULTURAL
Menurut Gibson dan Mitchell (2011)
Amerika serikat selalu dikenal sebagai negeri dengan populasi yang sangat beragam tempat budaya - budaya selain kulit putih memberikan kontribusi masing-masing bagi keagungannya. Selama 40 tahun belakangan, perhatian semakin terarah pada keunikan dan hak-hak budaya minoritas ini. Gerakan kesetaraan hak dan gerakan hak-hak sipil, dan pelulusan legislasi juga menfokuskan perhatian pada kestaraan ras dan gender di perempat terakhir abad XX. Selain itu proyeksi pertumbuhan jumlah riil dan presentase populasi minoritas Amerika beberapa dekade mendatang turut meningkatkan urgensi pengembangan hubungan bantuan positif di antara semua budaya kita. Meningginya perhatian nasional ini juga tercermin di profesi konseling menyertai peningkatan mencolok atensi bagi kebutuhan dan isu-isu konseling multibudaya yang muncul 30 tahun terakhir.
Dewasa ini, para konselor di lingkup apapun harus paham kalau mereka sedang berfungsi di sebuah desa global. Kita harus menyadari tengah menghadapi beragam manusia, jadi bukan sekedar minoritas saat kita bicara tentang budaya. Masyarakat yang heterogen ini memiliki budayanya sendiri yang membimbing perilaku, peristiwa dan harapan mereka. Dalam konteks ini, konseling sebagai hubungan antar manusia dan profesi penolong harus dapat memberikan pengaruh nasional yang signifikan dan positif, sedangkan wilayah spesialisasi yaitu konseling pribadi, kita harus memperlihatkan secara konsisten dan konklusif bahwa kita sungguh berorientasi secara multibudaya baik dalam teori maupun praktiknya, dan bahwa kita memang efektif sebagai konselor untuk budaya apapun.
Di dalam konseling multibudaya, hasil-hasil yang ingin dicapai tidak boleh dihalangi oleh perbedaan budaya konselor dan klien. Tentunya asumsi-asumsi filosofis yang sering dinyatakan sebagai keberhargaan dan martabat yang melekat pada individu, penghargaan atas keunikan pribadi, hak individu bagi aktualisasi diri dan lain-lain, mengindikasikan komitmen kita bagi konseling yang efektif untuk semua klien apapun latarbelakang budaya, etnik religius atau sosial-ekonominya. Walaupun demikian, yang sama pentingnya dengan komitmen tersebut adalah konselor harus bergerak menuju pengejaran aktif fondasi teoritis yang tepat, dan praktik-praktik yang efektif, kalau ingin berhasil melakukan konseling klien dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Saat mengupayakan konseling dan bimbingan multibudaya yang positif dan bermakna, kita harus sadar kalau istilah multi artinya ‘banyak’, dan bahwa kita merasakan diri unik diantara banyak budaya dan latar belakang yang membentuk populasi kita. Dengan bertindak demikian, konselor akan menyadari kalau banyak karakteristik tradisional proses konseling utama (seperti keterbukaan, ekspresi emosi, berbagi perasaan terdalam) bisa sungguh menghambat efektifitas menangani klien dengan budaya lain. Karena yang paling penting untuk klien-klien multibudaya adalah  mereka merasakan kalau anda sadar dan peka terhadap keunikan mereka.
Ridley (2005,h.11) mengamati, klien multibudaya lebih banyak mengalami pengalaman tidak menyenangkan dibanyak aspek konseling  jika dibandingkan klien-klien kulit putih, seperti:
·         Diagnosis
Klien minoritas cenderung lebih banyak keliru didiagnosis ketimbang klien kulit putih. Kekeliruan diagnosis biasanya melibatkan psikopatologi yang lebih berat ketimbang yang ditunjukkan simtomnya, namun sesekali melibatkan juga psikopatologi yang kurang begitu berat. Masalahnya cara mereka merepresentasikan simtom berbeda dari klien kulit putih, sementara teori-teori psikoterapi yang beredar selama ini dibentuk dari pengalaman dan riset terhadap orang-orang kulit putih.
·         Penugasan staf
Klien minoritas cenderung diberikan pada staff profesional yunior, para profesional bahkan bukan-profesional ketimbang profesional senior atau terlatih.
·         Sifat penanganan
Klien minoritas cenderung menerima penganan berbiaya –rendah dan kurang unggulan yang terdiri atas kontak minimal, pengobatan sekadarnya atau perawatan jarak jauh, bukannya psikoterapi intensif
·         Fasilitas
Klien minoritas cenderung dirujuk ke fasilitas-fasilitas kesehatan mental seadannya, jarang dirujuk ke perawatan swasta, akibatnya mereka membanjiri fasilitas-fasilitas perawatan umum yang disediakan pemerintah yang stok obatnya terbatas dan staff pengelolanya kadang direkrut dari para sukarelawan atau pekerja sosial.
·         Durasi penangan
Klien minoritas banyak menerima penutupan konseling prematur, dikeluarkan dari terapi, atau diserahkan unit rawat jalan untuk waktu lebih lama ketimbang orang kulit putih tanpa hasil yang dievaluasi dan tanpa kejelasan sembuh
·         Sikap
Klien minoritas melaporkan lebih banyak ketidakpuasan dan kesan tidak menyenangkan ketimbang perawatan yang diberikan pada klien kulit putih.
Kaum profesional konseling perlu ingat kalau perbedaan bahasa dan dialek antara mereka dan klien berpengaruh besar bagi kesuksesan konseling. Meskipun multikulturalisme di generasi belakangan semakin diakui sebagai daya penggerak terbesar bagi perjalinan hubungan antar manusia di Amerika Serikat, namun kita tidak bisa membiarkan hal itu memburamkan kebutuhan absolut konselor untuk memahami antara budaya mereka sendiri dan budaya klien.



Menurut McLEOD (2006) h. 274-276
Remirez (1991) berpendapat bahwa tema umum yang terdapat dalam semua konseling multikultural adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat multikultural. Dia menyatakan bahwa tujuan utama dalam menghadapi klien dari berbagai kelompok etnis adalah mengembangkan “fleksibilitas kultur” (culture flexibility). Remirez (1991) menekankan bahwa bahkan anggota kelompok kultur yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang diharapkan orang lain dari kita. Pendekatan yang diambil oleh Ramirez (1991) menggunakan penyesuaian gaya dan pemahaman kultural klien oleh konselor dipertemuan awal, kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk perilaku kultural. Jelas pendekatan ini menuntut fleksibilitas kultural dan kesadaran tingkat tinggi dalam diri terapis.
Pendekatan penting lainnya dalam konseling multikultural adalah fokus pada hubungan antara persoalan personal dan realitas politik/sosial. Disini klien tidak hanya dipahami dalam terminologi psikologis murni, tapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari sebuah kultur. Perasaan, pengalaman, dan identitas dari klien dipandang dibentuk oleh mileu kultural. Sebagai contoh, Holland (1990:262) membuat perbedaan antara hilang (loss) dan dirampas (expropriation):
Dalampekerjaan saya...kita selalu kembali kepada sejarah yang sama: dipisahkan dari ibu, bergabung kembali bersama ibu yang tidak pernah kenal, meninggalkan nenek yang mereka sayangi, menemukan diri mereka berada dalam hubungan yang sama sekali berbeda dari yang pernah mereka alami sebelum ini, dilecehkan secara seksual, dimasukkan ke tempat penitipan, dan seterusnya. Bagi para pekerja dibidang ini, semua situasi tersebut adalah hal yang biasa. Itu yang namanya kehilangan. Perampasan adalah apa yang dilakukan oleh imperialisme dan neo kolonialisme—ia mencuri sejarah seseorang, mencuri semua benda dari orang kulit hitam, dari orang yang bukan anggota ras supremasi kulit putih.
Dalam karya tersebut, Holland menuliskan pengalamannya menghadapi wanita kulit hitam dari kelas pekerja di Inggris. Sayangnya, pengalaman dicurinya sesuatu oleh yang mempunyai kekuatan lebih besar merupakan tema umum dalam hidup para gay, lesbian, beda agama, menganggur, atau dilecehkan secara seksual. Kehilangan dapat ditangani dan disembuhkan melalui serangkaian terapi. Namun, perampasan hanya dapat diobati melalui tindakan sosial. Tema penguatan—dalam diri kehidupan individual, melalui kelompok self help atau melalui keterlibatan politik----merupakan inti konseling multikultural.
Dyche dan Zayas (1995) berpendapat mustahil bagi konselor untuk memasuki sesi pertama dengan pengetahuan mendetail tentang latar belakang kultural klien mereka. Lebih jauh, kedua pakar tersebut menyatakan bahwa tiap usaha untuk mendapatkan pengetahuan jenis tersebut akan berisiko tercapainya pemahaman yang terlalu teoritis dan intelektual terhadap kultur klien. Dan pada gilirannya, hal tersebut dapat berisiko,” melihat klien sebagai kultur mereka bukan sebagai diri mereka sendiri” (hlm 389). Dyche dan Zayas berpendapat akan lebih membantu apabila yang dilakukan adalah mengadopsi sikap kenaifan kultural dan hasrat terhormat, dengan tujuan bekerja bersama klien untuk menciptakan pemahaman terhadap arti latar belakang kultural bagi mereka sebagai individu. Ridley dan Lingle (1996) merujuk kepada pandangan yang sama terhadap klien, hanya saja mendiskusikannya dalam terminologi empati kultural. David dan Erickson (1990) berpendapat kulitas perhatian atau empati terhadap dunia kultur orang lain seharusnya berlandaskan sikap yang sama kepada kultur sendiri.
Karya Dyche dan Zayas (1995), Holland (1990, Martinez (1991), serta Ridley dan Dingle (1996) menunjukkan bahwa sebagian besar praktik konseling multikultural didorong oleh rangkaian prinsip atau keyakinan, bukan dilandasi oleh rangkaian teknik atau ketrampilan khusus. Konselor multikultural dapat menggunakan bentuk penyampaian yang beragam, mulai dari individual, pasangan, keluarga atau kelompok, dan memanfaatkan intervensi tertentu seperti pelatihan relaksasi, analisis mimpi, atau refleksi empatik. Dalam tiap kesempatan, konselor terus menerus mempertimbangkan kesesuaian kultural dari apa yang ditawarkannya. Konseling multikultural tidak dapat dicocokkan begitu saja dengan pendekatan aliran utama dalam konseling, seperti psikodinamik, person centered, kognitif-behavioral, atau sistemik. Sebagian konselor bekerja dengan tiap pendekatan ini, tapi ada pula yang hanya mengambil yang diperlukan dari semua pendekatan tersebut. Konseling multikutural adalah pendektan integratif yang menggunakan teori kultural dasar sebagai landasan untuk memilih ide dan teknik konseling.
Menurut Glading
Budaya dapat didefinisikan dengan beberapa cara. Definisi meliputi “variabel etnografik seperti etnisitas, kewarganegaraan, agama, dan bahasa, seperti juga variabel demografik dari umur, gender, tempat tinggal, dan sebagainya, variabel status seperti latar belakang sosial ekonomi, dan pendidikan dan affiliasi atau keanggotaan formal atau informal dalam cakupan luas” (Pedersen, 1990,p.550). Budaya “membentuk perilaku, pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan proses kognitif kita” (Cohen,1998). Hal itu bisa terjadi baik pada tahap sadar maupun tidak sadar.
Secara inklusif, akurat, dan luas, budaya didefinisikan sebagai “sekelompok orang yang mengidentifikasi atau berasosiasi satu dengan yang lain berdasarkan pada kesamaan tujuan, kebutuhan, atau latar belakang” (Axelson, 1999). Elemen bersama suatu budaya seperti ini adalah jejaring signifikan yang memberi koherensi dan arti terhadap kehidupan (Geertz,1973). Sementara sebuah budaya mendefinisikan diri secara parsial dalam kaitannya dengan kesamaan fisik, yang lain mungkinmenekankan pada kesamaan sejarah dan filosofi, dan yang lain lagi mungkin mengkombinasikan keduanya. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya dan warisan mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan pertama.
Seperti halnya budaya adalah kata yang multidimensi, istilah mutikultural juga telah terkonseptualisasi dalam beberapa cara. Tidak ada perjanjian universal tentang apa yang termasuk didalamnya, walaupun badan-badan akreditasi, seperti CA CREP, telah mendefinisikan istilah tersebut secara luas. “Kurangnya definisi multikulturalisme yang kongkret sudah menjadi masalah yang berkepajangan” (Middleteon, Flowers, & Zawaiza, 1996). Fokus yang paling mencolok dari multikulturalisme adalah keunikan dan konsep kelompok yang terpisah yang memfasilitasi perhatian pada perbedaan individual (Locke, 1998).
Oleh karena itu konseling multikultural dapat dilihat secara umum sebagai konseling “ dimana konselor dan kliennya berbeda” (Locke,1990). Perbedaan itu mungkin hasil dari sosialisasi lewat cara kultural yang unik, kejadian-kejadian hidup yang traumatis maupun yang menghasilkan perkembangan, atau produk dari dibesarkan dalam lingkungan etnik tertentu. Perdebatan yang ada dalam bidang konseling multikultural adalah seberapa luas perbedaan harus didefinisikan. Disatu sisi, sebagian pihak mendukung apa yang dikenal sebagai etic perspective, menyatakan bahwa ada kualitas universal dalam konseling yang dapat digeneralisasi pada semua kebudayaan. Sedangkan di sisi lain, emic perspective, mengasumsikan pendekatan konseling, haruslah didesain secara spesifik untuk masing-masing budaya.
“Pendekatan etik bisa dikritisi karena tidak menganggap perbedaan budaya sebagai sesuatu yang penting. Pendektan emic bisa di kritisi karena terlalu memberikan penekanan pada teknik spesifik sebagai sarana untuk klien bisa berubah” (Fischer, Jome, &Atkinson,1998). Beberapa profesional telah mencoba mencari elemen persamaan di antara kedua pendekatan ini. Sebagai contoh, Fischer dkk. (1998) menawarkan empat kondisi umum dalam semua pelayanan konseling:
·      Relasi terapeutik
·      Saling berbagi cara pandang antara klien dengan konselor
·      Ekspektasi klien untuk perubahan yang positif, dan
·      Intervensi yang dipercaya baik oleh klien maupun konselor sebagai alat untuk sembuh.
Bagaimanapun juga penawaran ini hanya menerima dukungan yang terbatas. Oleh karena itu, pada abad ke-21 ini, definisi dari konseling multikultural harus ditinjau kembali. Ada yang lebih inklusif dibandingkan yang lain. Dalam bab ini, multikulturalisme akan dihadapi dengan menggunakan pendektan emik yang harus dikombinasikan dengan faktor-faktor keberagaman. Agar bisa benar-benar memahami klien, konselor harus menyadari bahwa orang yang duduk didepannya, adalah mahkluk yang sangat kompleks dan beragam. Oleh karena itu, mengkombinasikan faktor budaya dan keragaman sebagai bagian untuk mengerti, adalah hal yang sangat esensial.
2.        MEMAHAMI KEBERAGAMAN KLIEN DALAM MASYARAKAT PLURAL
WANDA (P.35)
Saya tahu bahwa orang-orang akan berkata, "Lihat, Afrika Amerika hanya bergaul dengan radio mereka."Jadi, sebagai seorang Amerika Afrika, aku selalu takut bahwa ketika saya berjalan ke kelas, orang tidak akan melihat saya sebagai benar benar mahasiswa ....

Mahasiswi Afrika-Amerika, 24 tahun (Woodlief, Thomas, & Orozco, 2003, hal. 83) Konselor dapat mulai mengembangkan pemahaman tentang dampak potensial dari status minoritas budaya pada pengalaman psikologis klien mereka dengan memutar ke pekerjaan psikolog sosial yang telah lama tertarik untuk meneliti akar prasangka dan efek diskriminasi, stereotip, dan rasisme terhadap individu.
Kata "prasangka" berasal dari kata Latin Prae , yang berarti sebelum dan yudisium , berarti penilaian. Dengan kata lain, prasangka terjadi, misalnya, ketika praduga seseorang sebelum pengetahuan nyata dari orang yang dikenal. Gordon Allport (1954) mendefinisikan prasangka sebagai sikap negatif atau tidak suka berdasarkan generalisasi yang salah dan generalisasi yang tidak fleksibel.
Menurut teori perbandingan sosial (Festinger, 1954), orang cenderung membuat penilaian tentang diri mereka sendiri dengan membandingkan diri ke kelompok serupa, atau "kelompok acuan." Jika perbandingannya positif, mereka merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri. "Prasangka" terjadi ketika seseorang membawanya atau kelompok sendiri sebagai titik referensi positif  yang dipakai untuk menilai orang lain secara negatif. "Diskriminasi" terjadi ketika tindakan yang terjadi mendukung satu kelompok dengan mengorbankan kelompok pembanding. Sebuah contoh, jika seseorang berpikir tentang dirinya atau etnis  kelompoknya  sebagai kelompok referensi utama. Sampai-sampai dia merasa dia atau dia berhasil, dibandingkan dengan orang lain dalam referensi kelompok, dia atau harga diri nya dapat meningkat. Namun, jika ia menghakimi orang-orang dari kelompok lain sebagai tidak layak atau tidak memadai dibandingkan dengan dirinya atau kelompok etnisnya, dia sedang berprasangka. Jika ia kemudian mengambil tindakan untuk mendukung dirinya atau kelompok etnisnya dengan mengorbankan kelompok lain, misalnya, untuk melewati aturan yang tidak memungkinkan anggota kelompok lain untuk memiliki sendiri, suara, dan sebagainya, ini merupakan diskriminasi.
Salah satu definisi "stereotip" (Ho, 1990) adalah deskripsi umum dari sekelompok orang yang biasanya dikembangkan dari waktu ke waktu berdasarkan pada interaksi lintas budaya. Dalam masa ini media yang kaya televisi, DVD, dan CD, mudah untuk mengambil eksposur media sebagai interaksi yang benar-benar lintas-budaya. Seseorang yang belum pernah bertemu orang lain dari latar belakang etnis tertentu  mungkin memiliki stereotip, yaitu terbatas atau pandangan konitif yang fleksibel (Abreu, 2001) terhadap budaya yang didasarkan pada apa yang mereka telah mendengar, melihat, atau membaca, namun tidak didasarkan pada interaksi pribadi yang nyata dengan orang lain dari etnis itu.
Stereotip dapat berguna secara psikologis. Mereka dapat membantu memori dengan menyediakan perangkat untuk beberapa potongan informasi bersama-sama di bawah satu label. Hal ini bisa membantu seseorang karena membuat dunia tidak rumit, lebih dapat diprediksi, dan sebagai hasilnya, lebih nyaman.
Ketika konselor melihat usia, jenis kelamin, atau latar belakang etnis klien pada bentuk intake, mereka mungkin merasa lebih nyaman bertemu klien baru mereka karena mereka menggunakan informasi tersebut sebagai stereotip dalam mengingat semua pengalaman mereka sebelumnya dengan orang-orang dari usia yang sama, jenis kelamin, atau etnis. Namun, ada juga kekurangan dari stereotip. Jika konselor menempatkan terlalu banyak penekanan pada stereotip klien baru, konselor mungkin menganggap bahwa ia sudah tahu banyak tentang orang tersebut dan dapat mengabaikan untuk mempertimbangkan cara-cara di mana klien tidak sesuai dengan stereotip. Hal ini dapat menghasilkan penilaian dan rencana tindakan yang salah.
Ada juga efek negatif dari stereotip klien sendiri. Stereotip tersebut dapat berkontribusi untuk meningkatkan ketidakpercayaan dan keengganan untuk mengungkapkan diri dengan seorang konselor yang berbeda  kepada dirinya sendiri. Jika klien telah memasukkan stereotip negatif dalam dirinya atau selfimage sendiri, ini dapat berkontribusi terhadap rasa rendah diri dan optimisme yang terbatas untuk berubah. Proses ini telah disebut "penindasan diinternalisasi" atau "diinternalisasi rasisme”. Menurut Jones (2000), diinternalisasi rasisme terjadi ketika stigma anggota kelompok menerima gambar negatif tentang diri sendiri. Mereka mungkin menolak budaya mereka sendiri dan merangkul "orang berkulit putih" dengan mengubah tekstur rambut atau menggunakan krim pemutih. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian, anak-anak Afrika Amerika menunjuk gambar anak kulit putih lebih sering daripada anak Afrika Amerika ketika ditanya yang kedua lebih indah atau lebih pintar (dikutip di Pine & Hilliard, 1990). Salah satu interpretasi data tentang anak-anak Afrika Amerika telah diinternalisasi pesan sosial negatif mereka tentang etnis mereka. Sebuah interpretasi bersaing adalah bahwa anak-anak merespon terhadap apa yang mungkin telah mereka anggap secara sosial diinginkan atau cara yang "benar" dan bahwa mereka tidak harus percaya stereotip negatif Afrika Amerika.
Claude Steele telah mempelajari konsep "kerentanan stereotip ," efek yang mungkin terjadi ketika seseorang mencoba untuk melakukannya dengan baik dalam suasana di mana ia menyadari bahwa orang lain dari latar belakang budaya yang sama mengalami kesulitan dan dapat mengurangi penampilannya ( Watters, 1995). Kerentanan stereotip beroperasi sebagai beban tambahan pada orang yang memiliki tereotip negatif tidak kuat.
Sampai saat ini, bukti untuk fenomena ini telah ditemukan dengan Afrika Amerika diuji dengan Graduate Record Exam (GRE) pertanyaan lesan dan wanita diuji dengan soal matematika (Watters, 1995).



3.        KONSELING DAN BUDAYA
Menurut Wanda
Siapa yang memutuskan apa yang membatasi  dan apa yang teks? Siapa yang memutuskan di mana perbatasan tanah air ? Absen dan keheningan yang kuat. Ini adalah yang biasa batas membingkai sejarah tanah.

Rumah Sakit Janette Turner (Biggs, 1996, hal. 82) Populasi Amerika Serikat menjadi lebih dan lebih beragam. Tiga puluh satu persen dari populasi saat ini adalah Afrika Amerika, Latin, Asia / Kepulauan Pasifik Amerika, atau India - American (Biro Sensus Amerika, 2001), namun sebagian besar konselor Amerika Eropa mendasarkan etnis dan semua teori pendekatan  konseling utama dikembangkan oleh penduduk Eropa (Freud, Jung, Adler, Perls, dll) atau Amerika keturunan Eropa (Rogers, Skinner, Ellis, dll). Profesi Konseling pada dasarnya adalah produk budaya Amerika Eropa (Das, 1995). Sebagai bidang konseling yang bergerak ke abad ke-21, perbedaan budaya selain etnis semakin mendapat pengakuan sebagai pertimbangan penting dalam proses konseling: peran gender, orientasi seksual, penuaan, dan cacat fisik. Memahami kompleksitas latar belakang sosial dan budaya setiap klien merupakan bagian integral kesuksesan konseling. Buku ini ditulis untuk konselor pemula, konselor yang sedang berlatih, dan profesional pembantu lain yang  sebelumnya tidak memiliki pelatihan formal dalam bekerja dengan klien multikultural.
BUDAYA
Untuk memulai perjalanan menuju menjadi seorang konselor yang kompeten secara budaya, Anda harus terlebih dahulu bertanya pada diri sendiri, "Apakah budaya?" Haviland (1975) mendefinisikan budaya sebagai "seperangkat asumsi bersama di mana orang dapat memprediksi reaksi tindakan masing-masing sesuai keadaan tertentu "(hal. 6). Ketika klien dan konselor berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, apakah itu dari segi etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, kecacatan, atau usia, mereka tidak dapat berbagi asumsi yang sama tentang banyak hal, termasuk proses konseling, dan konseling dapat tidak terduga menjadi interaksi yang tidak nyaman bagi kedua belah pihak. Maka kemungkinan terjadinya sesi kedua, biarkan perubahan produktif saja, menjadi rendah.
Budaya dapat didefinisikan dalam banyak cara. Menurut Merriam-Webster (2006), itu adalah "kepercayaan adat, bentuk-bentuk sosial, dan ciri-ciri bahan kelompok ras, agama, dan sosial.
"Dalam definisi ini, apa yang adat atau normatif terhadap kelompok tertentu adalah kunci. Dalam rangka untuk memahami budaya klien, konselor harus memahami apa yang normative dalam  kelompok budaya klien. Dalam konteks ini, perilaku klien sendiri kemudian dapat dievaluasi karena dibandingkan dengan bagaimana orang lain dalam dirinya atau kelompoknya akan biasanya berperilaku. Perilaku yang tidak normal dalam satu budaya mungkin menyesuaikan dengan yang lain.
Encyclopedia Britannica (2006) mendefinisikan budaya sebagai pola terpadu dari pengetahuan manusia, kepercayaan, dan perilaku yang baik hasil dan kemampuan integral manusia untuk belajar dan transmisi pengetahuan untuk generasi-generasi. Budaya terdiri dari bahasa, ide, keyakinan, kebiasaan, hal yang dianggap tabu, kode, lembaga, alat, teknik, karya seni, ritual, upacara, dan simbol .... Sikap seorang individu, nilai-nilai, cita-cita, dan keyakinan yang sangat dipengaruhi oleh budaya (atau budaya) di mana ia tinggal.
Ada banyak aspek budaya dan banyak dari mereka, seperti bahasa, kebiasaan, nilai-nilai, keyakinan, spiritualitas, peran jenis kelamin, riwayat sosial politik, dan sebagainya, mungkin memiliki dampak dalam konseling. Ada beberapa cara bahwa budaya sangat penting dalam konseling. Pertama, konseling terjadi dalam konteks budaya, dalam kantor, sekolah, perguruan tinggi, atau organisasi lainnya, dan, di luar ini, dalam komunitas yang lebih besar atau masyarakat. Jika klien harus mencari treatmen dalam lingkungan budaya yang asing , dia mungkin bahkan enggan untuk memulai konseling. Kedua, seperti secara singkat telah disebutkan sebelumnya, penilaian yang tepat terhadap masalah klien harus mempertimbangkan budaya klien. Ketiga, konseling sendiri berbasis budaya. Konseling seperti yang telah secara tradisional diajarkan di sebagian besar negara berbahasa Inggris dikembangkan dari pengaruh sejarah dan sosial yang paling relevan dengan klien kulit putih, rambut lurus, berbadan sehat,  muda. Ada banyak kebudayaan yang tidak memiliki kata untuk konseling dan cara orang biasanya mencari bantuan dalam budaya mereka mungkin tidak menemui konselor. Akhirnya, budaya itu sendiri mungkin menjadi fokus konseling. Ketika klien akan melalui transisi budaya, ketika ada perbedaan budaya mengganggu hubungan yang erat, ketika klien telah menjadi korban rasisme budaya, seksisme, homofobia, ablism, atau usia, ketika budaya pribadi klien sangat berbeda dari masyarakat sekitarnya yang rentan, maka budaya itu sendiri dapat menjadi pusat dari proses konseling.
ETNIS
McGoldrick, Pearce, dan Giordano (1982) menjelaskan etnis sebagai rasa kebersamaan yang lebih dari ras, agama, nasional, atau asal geografis. Proses sadar dan bawah sadar berkontribusi terhadap rasa identitas dan kontinuitas sejarah. Cara lain untuk melihat etnisitas adalah sebagai nenek moyang dirasakan yang sama, baik nyata atau fiktif (Shibutani & Kwan, 1965). Dalam hal ini ada beberapa kelompok etnis yang luas dalam Amerika Serikat: penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, Latin dan Latinas, Asia Amerika, dan Amerika Eropa. Beberapa di antaranya kelompok etnis mungkin memiliki orang-orang dari berbagai ras dikelompokkan dalam diri mereka, misalnya, Latin. Apa yang menonjol di Amerika Serikat adalah bahwa anggota kelompok ini dianggap oleh orang lain sebagai memiliki nenek moyang yang sama bahkan meskipun ada banyak keragaman budaya dalam masing-masing kelompok.
RAS
"Ras membagi manusia dalam kategori yang nampak dalam jiwa kita" (Jones, 1997, hal. 339). Definisi umum  cenderung untuk memasukkan fisik atau pengelompokan genetik dan didasarkan pada biologis. Penelitian saat ini, bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada keragaman lebih sering dalam kelompok ras daripada antara kelompok ras. Istilah sebenarnya memiliki lebih dari konotasi sosial yang ditetapkan. Hal ini digunakan secara terbatas dalam buku ini, terutama ketika aspek-aspek sosial dari kelompok tersebut yang menjadi fokus diskusi.
KELOMPOK MINORITAS
Corey, Corey, dan Callanan (1988) mendefinisikan kelompok minoritas sebagai orang yang telah didiskriminasi atau mengalami perlakuan yang tidak sama. Semua kelompok etnis yang disebutkan di atas adalah kelompok minoritas dalam Amerika Serikat, kecuali beberapa sub kelompok Amerika Eropa yang secara historis telah diberikan kekuatan politik, sosial, dan ekonomi yang membedakan terhadap orang lain. Menggunakan definisi ini kelompok minoritas juga termasuk wanita, kaum gay dan lesbian, orang tua, dan orang-orang cacat karena semua kelompok-kelompok ini juga telah mengalami perlakuan yang tidak sama dalam sejarah bangsa ini.
Sebuah pandangan yang luas dari perbedaan budaya dalam konseling dan membantu profesi lainnya termasuk kebutuhan untuk menjadi sadar dan belajar tentang banyak kelompok budaya minoritas tertentu yang mungkin berbeda dari konselor dalam berbagai cara, tidak terbatas pada etnis, jenis kelamin, orientasi atau identitas seksual, usia, atau cacat.
4. PERBEDAAN PANDANGAN DUNIA DAN KETIADAAN REALITAS BUDAYA
Gladding, 2012 : 107 – 115
EROPA AMERIKA
            Sebagai kelompok Eropa Amerika adalah populasi yang sangat beragam. Walaupun Eropa secara umum adalah tempat tinggal nenek moyang mereka, ada perbedaan besar dalam warisan budaya antara orang – orang dari Swedia, Italia,Prancis, Inggris, Polandia, Jerman, Rusia dan Austria ( sebagai tambahan banyak orang dari Spanyol maupun keturunan Spanyol menganggap warisan budaya mereka secara umum berbeda dengan orang Eropa lainnya ). Orang Eropa yang baru saja tiba di Amerika Serikat juga sangat berbeda dengan keluarga – keluarga Eropa yang telah lama menetap di Amerika Utara secara turun temurun, yang banyak diantaranya sekarang ini menyebut diri mereka “Amerika” dan melupakan nenek moyang Eropa mereka ( El Nasser & Overberg, 2002 ).
Sebagai kelompok, kaum Eropa Amerika telah mengalami pencampuran melebihi kebanyakan kelompok budaya yang lainnya. Ini disebabkan antara lain oleh sejarah pernikahan dan relasi antarkelompok yang bersama – sama mempengaruhi kelompok sebagai satu kesatuan dan membuatnya lebih homogen. Kaum Eropa Amerika leboh cenderung mendukung filosofi yang “menghargai linier, analitikal, empiris, dan penyelesaian tugas” serta menekankan bahwa “semangat individualitas yang kuat harus dihargai dan otonomi dari bagian – bagian serta kebebasan bertindak lebih signifikan dari kebersamaan kelompok” ( Sue,1992,p.8 )
Banyak orang Eropa Amerika menganggungkan penggunaan metode rasional dan logis dalam memahami diri mereka sendiri dan orang lain.
AFRIKA AMERIKA
            Saat mengkonseling kaum Afrika Amerika konselor harus memahami sejarah , nilai – nilai budaya, konflik, cara menangani Afrika Amerika dan menyadari sikap dan prasangkanya sendiri terhadap kelompok ini ( Atkinson, 2004; Garretson,1993;Vontress & Epp,1997 ). Konselor yang berbeda latar budayanya akan dapat bekerja dengan efektif dalam menghadapi klien Afrika Amerika jikalau dia memahami sifat rasisme dan fakta bahwa rasisme budaya institusional, dan individual adalah masalah utama bagi kaum Afrika  Amerika yang tinggal di  masyarakat kontemporer ( Utsey,Ponterotto, Reynolds & Cancelli, 2000,p.72 ) dan bahwa diskriminasi rasial serta kepercayaan diri berhubungan terbalik. Selanjutnya konselor harus menyadari bahwa kaum Afrika Amerika adalah kaum yang sangat beragam dan memiliki tingkah laku, pikiran, dan perasaan yang beragam ( Baruth & Manning, 2007;Harper, 1994;Smith,1977 ). Oleh karena itu tidak ada satu pendekatan bantuan maupun konseling yang bisa bekerja dengan sangat baik pada semua orang.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi kaum Afrika Amerika adalah :
1.      Konseling dianggap oleh orang Afrika Amerika sebagai sebuah proses dimana klien meyerahkan kebebsan mereka dengan pertama memberitahukan urusanmu kepada orang asing kemudian keharusan untuk mendengarkan nasihat yang tidak pernah diinginkan dari orang asing ( Priest, 1991,p.215 ). Oleh karena itu banyak kaum Afrika Amerika yang tidak mau secara sukarela memberikan dirinya untuk masuk dalam hubungan konseling.
2.      Relasi yang tidak setara. Dengan sejarah perbudakan di Amerika dan umumnya diagnosis pada kaum Afrika  Amerika di pusat kesehatan mental, anggota kelompok ini yang masuk dalam relasi yang tidak setara tersebut melakukannya dengan keterpaksaan. ( Garretson,1993 )
3.      Kolektivitas di kebanyakan tradisi komunitas. Kolektivitas itu pada zaman dahulu berupa suku atau klan ( Priest 1993.p.213 ), sekarang ini berupa keluarga dan semua yang tinggal, bekerja ataupun beribadah secara berdekatan.
4.      Spritulaitas dan peran gereja dan lembaga keagamaan di budaya Afrika Amerika adalah faktor yang juga mempengaruhi anggota kelompok ini. Daripada seorang konselor, lembaga keagamaan biasanya dianggap sebagai sumber dari keseimbangan mental dan emosional. ( Priest, 1991, p.214 )
HISPANIK/LATINOS
Istilah Hispanik/Latinos keduanya digunakan untuk mendeskripsikan masyarakat heterogen yang nenek moyangnya berasal dari negara – negara Amerika berbahasa Spanyol. Meski karakteristik kaum Hispanik adalah bahasa Spanyol, Hispanik adalah kelompok yang sangat beragam. Kata Latinos mendiskripsikan masyarakat keturunan Spanyol dan Indian yang nenek moyangnya tinggal di Baratdaya Amerika Serikat yang dulu adlah bagian dari Meksiko dan di negara – negara Amerika Tengah dan Selatan dimana bahasa yang dominan biasaya Spanyol yang memiliki akar Latin ( Fontes 2002,p.31 )
Sebagai kelompok , kaum Hispanik dan Latinos biasanya segan menggunakan layanan konseling. Keseganan ini sebagian dikarenakan tradisi budaya ( contohnya harga diri ) dan sebagian lagi karena warisan budaya ( kebergantungan pada ikatan keluarga besar ). Alasan yang lebih praktis adalah jarak ke lembaga layanan (nterutama di Barat Daya ) transportasi yang tidak memadai, tidak memiliki asuransi kesehatan, dan kurangnya tenaga konseling profesional yang fasih berbahsa Spanyol dan akrab dengan budaya Hispanik dan Latinos ( Gonzales, 1997;Ruiz 1981’ Sue & Sue, 2003 )
Banyak kaum Hispanik dan Latinos harus menganggap masalah psikologis serupa dengan masalah fisik. Oleh karena itu mereka berharap agar konselor aktif, kongkrit dan fokus pada hasil. Khususnya berlaku untuk klien yang sangat Hispanik ( Ruiz, 1981 )
ASIA/KEPULAUAN PASIFIK AMERIKA
Kaum Asia/Kepulauan Pasifik Amerika meliputi kaum Cina, Jepang, Filipina, Indocina, Indian, Korea. Mereka memiliki latar belakang budaya yang sangat bervariasi. Profil demografis dari kaum Asia dan Pasifik amerika mencakup kumpulan dari 40 kelompok budaya yang berbeda ( Sandhu,1997 ,p.7). Sejak dahulu mereka mengalami deskriminasi yang hebat di Amerika Serikat dna menjadi subyek berbagai mitos ( Sue & Sue 1972,2003 ). Kombinasi berbagai faktor telah mengangkat stereotipe kaum Asia Amerika.
Karena bias dan salah pengertian kaum Asia Amerika mengalami penolakan hak kewarga negaraan, larangan untuk memiliki tanah sendiri, ditahan di kamp konsentrasi, disakiti, diperlakukan tidak adil dan dibantai ( Sue & Sue 1983,p.387 ). Ironisnya kombinasi berbagai faktor juga telah mengangkat citra positif tentang mereka. Secara kolektif mereka dideskripsikan sebagai pekerja keras dan sukses serta tidak mudah menyerah terhadap gangguan emosional maupun mental.
Salah satu faktor budaya dalam filosofis sebagian kaum Asia Amerika adalah bahwa stres dan gangguan psikologis dijelaskan dalam kerangka religius. Jika seseorang bermasalah dia mungkin kerasukan roh jahat atau menderita karena melanggar sebagian prinsip moral atau religius. Jadi tradisi religius memainkan peranan penting dalm pandangan mereka tentang asal kesehatan mental ataupun penyakit kesehatan mental. Demikian juga mereka memandang penyembuhan dalam bentuk meminta bantuan dari semacam kuasa supranatural atau penyembuhan penderita ke keadaan sehat melalui cara – cara yang tepat dan kepercayaan. ( Das,1987,p.25 )
NATIVE AMERIKA ( Asli Amerika )
            Diantara penduduk Asli Amerika ada begitu banyak keragaman , termasuk 149 bahasa, tetapi mereka memiliki kesamaanyang menekankan pada nilai – nilai seperti harmoni alam, kerja sama, holisme, kepedulian terhadap masa kini dan ketergantungan pada keluarga besar ( Heinrich et al,1990 ). Secara umum penduduk asli Amerika memiliki perasaan kuat tentang kehilangan tanah leluhur, hasrat untuk menentukan jalan hidup sendiri, konflik dengan nilai – nilai dari budaya umum Amerika Serikatdan kebingungan akan identitas diriakibat dari stereotipe pada masa lalu ( Atkinson, 2004 ). Kemarahan dari trnsgresi masa lalu oleh orang – orang yang berasal dari budaya yang berbeda adalah tema yang harus ditangani dengan tepat ( Hammersclag,1988 ). Penduduk asli Amerika memiliki tingkat bunuh diri, pengangguran, dan kecanduan alkohol yang tinggi dengan ekspektasi hidup yang rendah ( Garret & Pichette, 2000 ). Jumlah penduduk asli Ameriak yang putus sekolah di tingkat SMU tetap yang paling tinggi debandingkan dengan kelompok manapun tak peduli apa afiliasi suku atau regional mereka ( Sanders 1987,p.81 ). Secara singkat sebagai kelompok penduduk asli Amerika menghadapi banyak masalah serius ( Heinrich et al,1990,p.128 )

ARAB AMERIKA
Arab Amerika berasal dari 22 negara seperti  Mesir, lebanon, Maroko, Yaman, Tunisia, Palestina. Ada lebih dari 3,5 juta kaum Arab Amerika yang sebagian beregama kristen dan sebagian Muslim. Jadi wlaupun sebagian berama Kristen seringkali kaum Arab Amerika menganut tradisi dan nilai – nilai budaya Muslim ( Nassar Mcmillan & Hakim Larson,2003 ).
Kaum Arab Amerika sangat bervariasi. Perbedaan potensial meliputi kelas sosial, tingkat pendidikan, bahasa, nilai – nilai konservatif dari negara asal, masa imigrasi, dan tingkat akulturasi ( Abudabeh & Aseel, 1999 ). Meskipun ada variasi budaya seperti itu, ada kesamaan yang eksis, sehingga perlu perhtian khusus dari penyedia layanan..
Budaya Arab cenderung berkonteks tinggidibandingkan dengan konteks rendah seperti di masyarakat Amerika Utara. Kaum arab Amerika cukup berbeda dari kaum Amerika tradisional dalam hal mereka menekankan pada stabilitas sosial dan kolektivitas dibandingkan denganindividualitas.
Keluarga adalah elemen yang paling signifikandi kebanyakan subkultural kaum Arab Amerikadengan kehidupan individu yang didominasi oleh keluarga dan hubungan keluarga. Laki – laki adalah pemimpin dalam kehidupan keluarga dan wanita diharapkan untuk menjaga kehormatan keluarga. Pendidikan dalam kaum Arab Amerika juga dihargai dengan perkiraan 4 dari 10 kaum Arab amerika telah mendapatkan gelar sarjana atau lebih dari itu.
5.        KARAKTERISTIK KONSELOR MULTICULTURAL YANG EFEKTIF
            Sue et.al ( 1992 dalam Lago , 2006 : 123 ) menuliskan Kompetensi Konseling Multicultural di Amerika serikat dalam sebuah tabel 8.1  Rekomendasi Kunci untuk Karakteristik  Multicultural konselor yang efektif yaitu :
Dimensi
Kesadaran Konselor terhadap asumsi diri dan nilai – nilai bias
Memahami Pandangan Dunia tentang perbedaan budaya klien
Mengembangkan Strategi Intervensi dan Tekhnik yang sesuai
Sikap dan Keyakinan
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·     Memiliki kesadaran dan sensitif untuk menilai  warisan budaya dan menghormati perbedaan
·     Menyadari tentang betapa latar belakang  budaya mereka sendiri mempengaruhi proses psikologis
·     Mampu mengenali batas mereka
·     Merasa nyaan dengan adanya perbedaan antara diri mereka dengan klien

Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Menyadari reaksi emosional mereka terhadap ras dan kelompok etnis lainnya
·      Menyadari Stereotip dan gagasan prasangka
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Menghormati keyakinan spiritual dan nilai – nilai klien
·      Menghormati adat akan membantu praktek
·      Menghargai nilai bilingualisme
Pengetahuan
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Memiliki pengetahuan tentang ras/warisan budaya mereka dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi definisi normalitas dan proses konseling
·      Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang cara penindasan/rasisme/diskriminasi ( mengacu pada model perkembangan identitas kulit putih )
·      Memiliki pengetahuan tentang dampak sosial mereka pada orang lain
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Memiliki spesifikasi pengetahuan dan informasi  tentang kelompok tertentu yang bekerja dengan mereka ( mengacu pada perkembangan model identitas minoritas )
·      Memahami bagaimana ras/budaya/etnis dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian/ Pemilihan Keahlian/Gangguan Psikologis/Prilaku Help seeking
·      Memahami dan memiliki pengetahuan pengaruh sosial politik yang melanggar atas ras/etnis minoritas
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Memiliki pengetahuan yang jelas tentang batas konseling dan bagaimana hal tersebut dapat bentrokan dengan nilai – nilai minoritas
·      Menyadari hambatan institusi dalam mencegah akses minoritas terhadap pelayanan kesehatan mental
·      Memahami batas – batas prosedur assasment
·      Memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga minoritas dan masyarakat hirarki
Ketrampilan
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Mencari pendidikan konsultatif dan pengalaman pelatihan untuk memperkaya pemahaman mereka
·      Terus berusaha untuk memahami diri mereka sendiri sebagai ras/makhluk budaya dan aktif mencari identitas non rasis
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Harus membiasakan diri dengan penelitian yang relevan mengenai berbagai kelompok dan mencari peluang pendidikan yang memperkaya pengetahuan , pemahaman dan ketrampilan mereka
·      Terlibat dengan individu minoritas di aturan luar konseling sehingga perspektif informasi mereka luas
Konselor Budaya yang efektif adalah :
·      Memiliki berbagai gaya dalam memberikan bantuan
·      Mampu melatih ketrampilan intervensi
·      Bersedia untuk berkonsultasi dengan berbagai pihak lain yang membantu
·      Bertanggung jawab untuk perhatian dalam bahasa yang dibutuhkan oleh klien

Memahami klien tentu saja merupakan langkah pertama yang penting dalam bekerja dengan klien, dan memungkinkan kita untuk melihat klien dari perspektif yang mungkin tidak kita memiliki sebelumnya. Namun, setelah memahami klien sangat penting bahwa kita memiliki beberapa cara untuk menerapkan pemahaman ini. Konselor yang efektif perlu menjadi orang yang kompeten secara budaya jika ia akan terhubung dengan kliennya (Anderson, Lunnen, & Ogles, 2010 dalam Neukrug, 2012 : 22 ).
 Dua cara dalam bekerja dengan klien multicultural diantaranya menggunakan akronim RESPECFUL ( D’Andrea & Daniels, 2005 ) dan menerapkan Kompetensi Konseling Multikultural.
a.    Menggunakan akronim RESPECTFUL
Model konseling RESPECTFUL ini menyoroti 10 faktor yang harus dipertimbangkan konselor dalam menangani klien multicultural, yaitu :
R – Religious/spiritual identity ( Religius )
E – Economic class background ( Latar Belakang kelas ekonomi )
S – Sexual identity ( Jenis Kelamin )
P – Psychological development ( Perkembangan Psikologis )
E – Ethnic/racial identity ( Etnis / Identitas Rasial )
C – Chronological disposition ( Disposisi Kronologis )
T –Trauma and other threats to their personal well-being  (Trauma dan ancaman lain   
      terhadap kesejahteraan pribadi mereka )
F – Family history ( Sejarah Keluarga )
U – Unique physical characteristics (  Keunikan Karakteristik Psikis )
L – Language and location of residence, which may affect the helping process                   
      (Bahasa dan Lokasi tempat tinggal , yang dapat berdampak dalam proses layanan)
           
Dengan memahami 10 faktor diatas konselor dapat mengembangkan dirinya dalam memahami kliennya yang multicultural dan konselor multikultural yang efektif akan merasa nyaman bertanya serta berkomunikasi dengan klien mereka tentang hal berikut: Agama / identitas spiritual, latar belakang kelas Ekonomi, jenis Kelamin , Perkembangan psikologis, identitas etnis / ras, disposisi kronologis, Trauma dan ancaman lainnya untuk keberadaan mereka pribadi dengan baik, Riwayat keluarga, karakteristik fisik yang unik, Bahasa dan lokasi tempat tinggal.
b.    Menggunakan Kompetensi Konseling Multicultural
Kompetensi ini fokus terhadap ketrampilan penting yang dimiliki oleh konselor : (1) Sikap dan keyakinan yang tepat dalam arti bahwa mereka menyadari asumsi, nilai – nilai dan bias, (2) Pengetahuan yang dibutuhkan tentang budaya klien mereka sehingga mereka dapat lebih memahami kliennya, (3) repertoar ketrampilan atau alat yang dapat secara efektif diterapkan pada klien dari berbagai latar belakang (Arredondo, 1999; Sue & Sue, 2008 dalam Neukrug, 2012 : 487 )
Sikap dan Keyakinan
Konselor lintas budaya yang efektif memiliki kesadaran latar belakang budaya sendiri dan telah secara aktif mendapatkan kesadaran lebih lanjut tentang bias sendiri, stereotip, dan nilai-nilai. Meskipun konselor lintas budaya yang efektif tidak dapat memegang sistem kepercayaan yang sama dengan kliennya, ia dapat menerima berbeda pandangan dunia yang disajikan oleh penolong tersebut. Dengan kata lain, "Perbedaan tidak dilihat sebagai penyimpangan" (Sue & Sue, 2008, hal. 48). Menjadi peka terhadap perbedaan dan menyiarkan bias budaya sendiri memungkinkan konselor lintas budaya yang efektif untuk merujuk klien dari kelompok nondominant kepada konselor budaya klien sendiri ketika rujukan akan menguntungkan penolong tersebut. Sayangnya, contoh profesional kesehatan mental yang telah gagal secara budaya berbeda dari diri mereka sendiri sebagai akibat dari bias dan prasangka mereka sendiri yang umum (Sue & Sue, 2008)
Pengetahuan
Konselor lintas budaya yang efektif memiliki pengetahuan tentang kelompok dari mana klien datang dan tidak melompat ke kesimpulan tentang cara-cara klien . Selain itu, ia menunjukkan kesediaan untuk mendapatkan pengetahuan lebih mendalam tentang berbagai kelompok budaya. Konselor ini juga menyadari masalah tentang sosial politik seperti rasisme, seksisme, dan heterosexism negatif yang dapat mempengaruhi klien. Selain itu, konselor ini tahu teori betapa berbedanya nilai konseling yang mungkin merugikan bagi beberapa klien dalam hubungan konseling. Konselor ini mengerti bagaimana hambatan institusional dapat mempengaruhi kesediaan klien dari kelompok nondominant untuk menggunakan layanan kesehatan mental. Sayangnya, kurangnya pengetahuan dari kelompok budaya dapat menyebabkan konselor dan lain-lain untuk melompat ke kesimpulan yang salah.
Keterampilan
Konselor lintas budaya yang efektif mampu menerapkan, menyesuaikan, generik wawancara dan keterampilan konseling dan juga memiliki pengetahuan serta mampu mempekerjakan keterampilan khusus dan intervensi yang mungkin efektif dengan klien dari beragam kelompok budaya. Konselor ini juga memiliki pengetahuan dan memahami bahasa verbal dan nonverbal klien dan dapat berkomunikasi secara efektif.
Selain itu, konselor budaya terampil menghargai pentingnya memiliki perspektif sistemik, seperti pemahaman tentang dampak keluarga dan masyarakat pada klien; mampu bekerja sama dengan tokoh masyarakat, penyembuh rakyat, dan profesional lainnya; dan advokasi untuk klien bila diperlukan. Apa yang terjadi ketika konselor tidak memiliki keterampilan yang sesuai ketika bekerja dengan klien beragam budaya? Kemungkinan besar, klien akan putus konseling awal, merasa putus asa dan tidak puas konseling, dan / atau memiliki sedikit keberhasilan dalam konseling.                            
Karakteristik konselor multicultural yang efektif
Source: Arredondo, P., Toporek, M. S., Brown, S., Jones, J., Locke, D. C., Sanchez, J. & Stadler, H. (1996). Operationalization of the multicultural counseling competencies. Alexandria, VA: Association of Multicultural Counseling and Development. Retrieved from http://www.amcdaca.org/amcd/competencies.pdf ( Neukrug, 2012 : 650 ).
I.     Penasihat Kesadaran Nilai Budaya Sendiri dan Bias
A.    Sikap dan Keyakinan
1.      Konselor yang handal percaya bahwa kesadaran diri budaya dan sensitivitas
warisan budaya sendiri sangat penting.
2.      Konselor yang handal sadar bagaimana latar belakang budaya mereka sendiri
dan pengalaman mempengaruhi sikap, nilai, dan bias tentang proses psikologis.
3.      Konselor yang handal mampu mengenali batas-batas kompetensi dan keahlian multikultural mereka.
4.      Konselor yang handal mengenali sumber-sumber ketidaknyamanan dengan
perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam hal ras, etnis, dan budaya
B.      Pengetahuan
1.      Konselor yang handal memiliki pengetahuan khusus tentang ras mereka sendiri
dan warisan budaya dan bagaimana hal itu secara pribadi dan profesional mempengaruhi mereka. Definisi dan bias normalitas / kelainan dan proses konseling.
2.      Konselor yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan, rasisme, diskriminasi, dan stereotipe mempengaruhi mereka secara pribadi dan dalam pekerjaan mereka. Hal ini memungkinkan individu untuk mengakui sikap rasis mereka sendiri,keyakinan, dan perasaan. Meskipun standar ini berlaku untuk semua kelompok, untuk Konselor putih mungkin berarti bahwa mereka memahami bagaimana mereka mungkin memiliki secara langsung atau tidak langsung manfaat dari rasisme individu, kelembagaan, dan budaya yang dituangkan dalam model pengembangan identitas Putih.
3.      Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang dampak sosial mereka pada lain. Mereka memiliki pengetahuan tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gaya mereka mungkin bertentangan dengan atau mendorong proses konseling dengan orang berwarna atau orang lain yang berbeda dari diri mereka sendiri didasarkan pada A, B, dan C Dimensi, dan bagaimana mengantisipasi dampak yang mungkin ditimbulkannya terhadap orang lain.

C.     Keterampilan
1.      Konselor yang handal mencari pendidikan, konsultasi, dan pelatihan
pengalaman untuk meningkatkan pemahaman dan efektivitas mereka dalam bekerja dengan populasi budaya yang berbeda. Mampu mengenali batas-batas mereka kompetensi, mereka (a) mencari konsultasi, (b) mencari pelatihan lebih lanjut atau pendidikan, (c) merujuk ke kualitas individu lainnya atau sumber daya, atau (d) terlibat dalam kombinasi ini.
2.      Konselor yang handal terus mencari untuk memahami diri sendiri
sebagai ras dan kebudayaan dan secara aktif mencari identitas non rasis.
II.      Kesadaran Konselor terhadap Pandangan Klien
A.           Sikap dan Keyakinan
1.     Konselor yang handal sadar mereka positif dan negatif emosional Reaksi terhadap kelompok-kelompok ras dan etnis lainnya yang dapat membuktikan merugikan
hubungan konseling. Mereka bersedia untuk kontras keyakinan dan sikap mereka sendiri dengan orang-orang dari klien mereka secara budaya berbeda dengan cara yang tidak menghakimi.
2.    Konselor yang handal sadar stereotip dan praduga bahwa mereka simpan terhadap kelompok minoritas ras dan etnis lainnya.
B.   Pengetahuan
1.    Konselor yang handal memiliki pengetahuan yang spesifik dan informasi tentang
kelompok tertentu dengan bagaimana mereka bekerja. Mereka sadar tentang kehidupan pengalaman, warisan budaya, dan latar belakang sejarah yang berbeda budaya klien. Kompetensi khusus ini sangat terkait dengan "minoritas model-model pembangunan identitas "yang tersedia dalam literatur.
2.    Konselor yang handal memahami bagaimana ras, budaya, etnis, dan sebagainya
dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan kejuruan, manifestasi
perilaku gangguan psikologis, membantu pencarian, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian konseling pendekatan.
3.    Konselor yang handal memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosial politik yang melanggar atas kehidupan ras dan etnis minoritas. imigrasi
masalah, kemiskinan, rasisme, stereotyping, dan ketidakberdayaan dapat mempengaruhi harga diri dan konsep diri dalam proses konseling.

C.   Keterampilan
1.    Konselor yang handal harus membiasakan diri dengan penelitian yang relevan
dan temuan terbaru mengenai kesehatan mental dan gangguan mental yang mempengaruhi berbagai kelompok. Konselor etnis dan ras harus secara aktif mencari pengalaman pendidikan yang memperkaya pengetahuan mereka, pemahaman, dan keterampilan lintas budaya untuk perilaku konseling lebih efektif.
2.    Konselor yang handal menjadi aktif terlibat dengan individu minoritas
luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, sosial dan politik fungsi, perayaan, pertemanan, bertetangga, dan sebagainya) sehingga perspektif mereka minoritas lebih dari latihan akademis atau membantu.
III.         Strategi Intervensi budaya Tepat
A.  Keyakinan dan Sikap
1.    Konselor yang handal menghargai keyakinan agama dan / atau spiritual klien dan nilai-nilai, termasuk atribusi dan tabu, karena mereka mempengaruhi pandangan dunia,fungsi psikososial, dan eksresi terhadap stress.
2.    Konselor yang handal menghargai praktek membantu adat dan hormat
membantu jaringan antara komunitas warna.
3.    yang handal nilai konselor bilingualisme dan tidak memandang bahasa lain
sebagai penghambat konseling (monolingualism mungkin pelakunya).
B.   Pengetahuan
1.    Konselor yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit karakteristik generik konseling dan terapi (budaya terikat, kelas terikat, dan satu bahasa) dan bagaimana mereka dapat berbenturan dengan budaya nilai-nilai berbagai kelompok budaya.
2.    Konselor yang handal sadar hambatan kelembagaan yang mencegah minoritas
menggunakan layanan kesehatan mental.
3.    Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang potensi bias dalam penilaian
instrumen dan prosedur penggunaan dan menafsirkan fi temuan mengingat
karakteristik budaya dan bahasa dari klien.
4.     Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga, hirarki,
nilai-nilai, dan keyakinan dari berbagai perspektif budaya. Mereka memiliki pengetahuan tentang masyarakat di mana kelompok budaya tertentu mungkin berada dan sumber daya di masyarakat.
5.     Konselor yang handal harus menyadari praktik diskriminasi yang relevan di tingkat sosial dan masyarakat yang mungkin mempengaruhi psikologis kesejahteraan penduduk yang dilayani.
C.        Keterampilan
1.    Konselor yang handal mampu terlibat dalam berbagai verbal dan nonverbal
membantu tanggapan. Mereka mampu mengirim dan menerima baik lisan dan
pesan nonverbal secara akurat dan tepat. Mereka tidak terikat pada
hanya satu metode atau pendekatan untuk membantu, tetapi mengakui bahwa membantu gaya dan pendekatan mungkin budaya terikat. Ketika mereka merasakan bahwa gaya seporsi mereka terbatas dan berpotensi tidak pantas, mereka dapat mengantisipasi dan memodifikasinya.
2.    Konselor yang handal mempunyai intervensi kelembagaan
keterampilan atas nama klien mereka. Mereka dapat membantu klien menentukan apakah "Masalah" berasal dari rasisme atau bias dalam orang lain (konsep paranoia yang sehat) sehingga klien tidak tidak tepat personalisasi masalah.
3.    Konselor yang handal tidak menolak untuk mencari konsultasi dengan
dukun atau pemimpin agama dan spiritual dan praktisi di
pengobatan klien budaya yang berbeda jika diperlukan.
4.    Konselor yang handal bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa
diminta oleh klien dan, jika tidak layak, membuat rujukan yang tepat. Masalah serius muncul ketika keterampilan linguistik konselor tidak cocok bahasa
dari klien. Menjadi kasus ini, konselor harus (a) mencari penerjemah
dengan pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai atau (b) merujuk kepada konselor bilingual berpengetahuan dan kompeten.
5.    Konselor yang handal memiliki pelatihan dan keahlian dalam penggunaan
instrumen penilaian dan pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami
aspek teknis dari instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan kebudayaan.
Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan instrumen tes untuk kesejahteraan budaya klien yang berbeda.
6.    Konselor yang handal harus memperhatikan serta bekerja untuk menghilangkan
bias, prasangka, dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan
menyediakan intervensi, dan harus mengembangkan kepekaan terhadap isu-isu penindasan, seksisme, heterosexism, elitisme dan rasisme.
7.    Konselor yang handal bertanggung jawab dalam mendidik klien mereka pada
proses intervensi psikologis, seperti tujuan, harapan, hukum hak, dan orientasi konselor    
6.        PENDIDIKAN KESADARAN KULTURAL BAGI KONSELOR
Dalam Lago ( 2006 : 47 ) Budaya  sangat mempengaruhi cara seseorang mengenai keberadaanya, prilakunya, hubungan interpersonal, pengertian tentang suatu makna dan sebagainya. Scheutz ( 1944 dalam Lago 2006 : 49 ) menunjukan bahwa “semua pengetahuan dan praktik budaya yang koheren (sama) hanya sebagian yang jelas dan sama sekali tidak bebas dari kontradiksi ( perlawanan/perbedaan ). Pernyataan ini memiliki 2 implikasi yaitu (1) ketika kita melihat budaya orang lain kita memiliki ( mungkin ketidaknyamanan ) pengalaman dalam memahami fenomena yang tidak semua jelas secara langsung. (2) ketika kita meneliti diri sendiri, kita tidak mungkin menghargai inkoherens (persamaan) dan kontradiksi ( perlawanan ) yang ada kecuali kita dibantu oleh pihak luar.
Sudah banyak usaha yang dilakukan dalam gerakan konseling multikultural untuk mencari cara memfasilitasi perkembangan kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan kultural yang sesuai. Pada awalnya banyak dari pekerjaan ini yang hanya berkonsentrasi pada isu seputar rasisme. Tetapi program pendidikan yang lebih baru telah membahas agenda multikultural yang lebih luas ( Rooney, et. al, 1998 ).
Rasisme adalah bagian dari sistem nilai dan produk masyarakat kontemporer, serta mempresentasikan satu faktor yang sangat penting bagi konseling ( Thomson dan Neville, 1999 ). Perbedaan budaya antara klien dengan konselor dapat menyebabkan proses konseling terhambat dan klien mungkin memiliki kesulitan dalam menerima dan mempercayai konselor. Sebagaimana yang ditulis oleh d’Ardenne dan Mehtani ( 1989 :78, dalam McLeod, 2006 : 292 ) :
“ Klien dengan bias kultural dan rasial seumur hidupnya akan membawa luka dari pengalaman ini dalam hubungan terpeutik. Biasanya konselor berasal dari kultur mayoritas, dan akan dinisbahkan kepada masyarakat rasis kulit putih. Dengan demikian dalam pandangan klien, konselor merupakan bagian masalah sekaligus bagian dari solusi “.
Banyak pelatihan dan workshop telah dilakukakn untuk memungkinkan konselor menjadi sadar akan biasnya sendiri dan semakin mengerti kebutuhan klien dari kelompok minoritas. Dalam McLeod ( 2006 : 292 – 295 ) kasus pendidikan sistematis kesadaran rasisme dibuat oleh Lago dan Thomson ( 1989 ) yang juga menekankan bahwa pendidikan semacam ini menjadi sangat menyakitkan bagi para pesertanya. Dan mungkin akan mengakibatkan konflik dengan anggota keluarga serta temannya serta menguji kembali keyakinan dan asumsi intinya. Tuckwell ( 2001 ) telah menggambarkan bahwa yang mendasari terapi dan pendidikan lintas budaya yang dinamis sebagai pelibatan keinginan untuk menghadapi penyebaran “ancaman dari yang lain” yang eksis pada situasi tersebut.
LaFramboise dan Foster ( 1992 ) menggambarkan 4 model yang menyajikan pendidikan yang mengeksplorasi kurikulum kesadaran kultural yang lebih umum :
1.      “separate course” ( Program Pemisahan ) dimana para peserta melaksanakan salah satu model atau workshop spesifik berkenaan dengan isu lintas budaya
2.      “daerah konsentrasi”, dimana para peserta akan mulai berhadapan dengan kelompok etnis minoritas tertentu
3.      “interdisiplin”, dimana para peserta keluar dari program tersebut dan mengikuti modul atau pelatihan yang dilakukan oleh fakultas atau agensi eksternal
4.      Model “Integritas” yang menggambarkan kesadaran lintas kultural diarahkan dalam semua bagian dari program ketimbang hanya dikatagorikan sebagai opsi atau keluar dari kurikulum ini.
LaFramboise dan Foster ( 1992 ) mengamati bahwa dengan berasumsi integritas merepresentasikan nilai ideal keterbatasan sumber daya, dan kurangnya staf yang terlatih dengan baik, maka hal tersebut berarti adanya model lain yang digunakan lebih luas.
Harway (1979), Frazier dan Cohen ( 1992) menulis dari perspektif feminis menyarankan revisi terhadap pendidikan konselor yang ada dan membuat program tersebut lebih responsif terhadap kebutuhan konseling wanita. Model mereka adalah cara untuk mempromosikan kesadaran akan kebutuhan kelompok klien “minoritas” atau kurang beruntung. Mereka mnegusulkan hendaknya program  pendidikan tersebut :
§  Mempekerjakan staf minoritas dalam proporsi yang signifikan
§  Menerima murid dari kalangan minoritas dalam proporsi yang signifikan
§  Menyajikan program dan penempatan sesuai dengan tipe yang disebutkan oleh LaFramboise dan Foster ( 1992 )
§  Mendorong riset terhadap topik yang relevan dengan konseling terhadap kelompok minoritas
§  Menyediakan perpustakaan berkenaan dengan area pembahasan ini
§  Mensyaratkan sesi eksprensial bagi para staf dan peserta untuk memfasilitasi pengujian sikap stereotip
§  Mendorong para staf untuk menggunakan bahasa dan materi pelajaran yang mengandung kesadaran kultural.
Dalam Wanda ( 2007 : 42 – 45 ) Unlearning Rasisme adalah langkah pertama yang harus diambil oleh konselor dalam mengembangkan kesadaran budayanya. Ini melibatkan prevalensi rasisme budaya di Amerika Serikat dan kemudian dimulai untuk memahami prasangka sendiri terhadap orang – orang yang berada dalam cara budaya yang berbeda.Wilkins ( 1995) menegaskan bahwa “penolakan rasisme” jauh seperti penolakan yang menyertai kecanduan alkohol, obat – obatan atau perjudian.  Langkah pertama adalah menembus penolakan ini adalah proses emosional kognitif dan sering difasilitasi oleh pengalaman untuk meningkatkan kesadaran diri. Ketika konselor berhadapan dengan rasisme budaya mereka sendiri, mungkin menjadi pengalaman yang sangat mengganggu. Kebanyakan orang tidak sengaja mendiskriminasi orang lain. Perasaan marah, rasa bersalah, sedih, atau kebingungan tentang partisipasi pribadi dalam rasisme budaya untuk sementara sangat luar biasa. Namun, perasaan ini adalah tanda positif dalam banyak hal. Pertama, mereka adalah indikasi bahwa konselor tidak dalam penolakan efek rasisme budaya, bahwa belajarnya termasuk seluruh dirinya, dan itu bersamaan dengan perubahan kognitif emosional terjadi. Kedua, konselor mungkin dapat menggunakan perasaannya sendiri sebagai sumber empati baru atau diperbaharui untuk klien. Ketiga, efek rasisme budaya, idealnya, yang dialami oleh konselor dalam pengaturan yang lebih terkontrol, seperti lokakarya, kelas, atau sesi pelatihan, luar interaksi konseling, memastikan bahwa klien tidak terbebani dengan harus berurusan terhadap perasaan konselor.
Langkah kedua dalam mengembangkan kesadaran budaya adalah ketika konselor mulai meningkatkan penghargaannya terhadap perbedaan budaya. Allport (1954) berpendapat bahwa kontak dengan anggota kelompok minoritas yang menghasilkan peningkatan pengetahuan dan pemahaman menyebabkan lebih akurat dan keyakinan yang stabil tentang kelompok minoritas dan akhirnya mengurangi prasangka. Seorang konselor dapat mencari orang-orang dan pengalaman dalam dirinya atau kehidupan pribadinya yang meningkatkankan paparan kepada budaya lain. Arredondo (1999) merekomendasikan bahwa konselor menjadi peserta aktif diluar konseling untuk memperluas perspektif mereka tentang minoritas. Ini bisa melibatkan seluruh spektrum perilaku, seperti pergi ke film dan restoran, menjadi bagian dari acara komunitas dan perayaan, membaca novel, meningkatkan, dan mengembangkan persahabatan baru. Ini adalah masa perubahan pribadi dan eksplorasi konselor dan kepedulian harus diambil bahwa konselor tidak membawa hal baru ini terbangun dalam sesi konselingnya sebagai masalah kontra transferensi. Budaya klien yang berbeda dalam konseling untuk menerima bantuan, bukan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman konselor. Lebih tepat saat ini adalah untuk konselor mencari kegiatan profesional yang membangun , kursus, dan lokakarya dengan fokus budaya, dan berkonsultasi dengan rekan-rekan latar belakang budaya yang berbeda untuk profesional stimulasi. Sebuah ciri dari seorang konselor asyik dengan tingkat kesadaran budaya adalah bahwa pengalaman multikultural disambut sebagai lawan untuk dipaksa atau hanya ditoleransi. Ini berarti bahwa konselor di tahap ini bisa menerima pandangan dunia lain yang sah, bahkan saat tidak berhubungan dengan pandangan dunia tertentu.
7.         ETIKA KONSELING MULTIKULTURAL

Para konselor menyadari dan menghormati perbedaan peran, individu, dan budaya, termasuk yang berdasarkan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-faktor ini ketika bekerja dengan anggota kelompok tersebut. Konselor mencoba menghilangkan efeknya pada kecenderungan pekerjaan mereka berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan mereka tanpa sadar berpartisipasi atau membiarkan kegiatan lain berdasarkan prasangka tersebut.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi para profesional kesehatan mental adalah memahami peranan keragaman dan kesamaan budaya yang kompleks dalam pekerjaan mereka. Klien dan konselor menghasilkan berbagai macam sikap, nilai-nilai, asumsi yang dipelajari secara budaya, kecenderungan, keyakinan, dan perilaku pada hubungan terapeutik. Bekerja secara efektif dengan keragaman budaya dalam proses terapeutik merupakan kebutuhan dari praktik etis yang baik. Pack-Brown, Thomas, dan Seymour (2008) menekankan tanggung jawab etis konselor dalam memberikan layanan profesional yang menunjukkan rasa hormat terhadap pandangan dunia, nilai-nilai, dan tradisi budaya dari klien yang beragam secara kultural. Mereka berpendapat bahwa “isu-isu budaya memengaruhi semua aspek dari proses konseling, termasuk pertimbangan etis yang muncul dari waktu konselor pertama kali bertemu klien hingga berakhirnya upaya bantuan” (hal. 297). Karena masing-masing kita adalah unik, semua interaksi konseling dapat dilihat sebagai peristiwa multikultural.

Dari faktor-faktor perbedaan klien dan keragaman budaya dituangkan dalam kode etik dalam melaksankan konseling. Sebagian besar kode etik menyebutkan tanggung jawab praktisi untuk mengenali kebutuhan khusus dari beragam populasi klien. Watson, Herlihy, dan Pierce (2006) berpendapat bahwa konselor lambat untuk mengenali kaitan antara kompetensi multikultural dan perilaku etis. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa ketergantungan pada kode etik saja tidak menjamin kompetensi multikultural. Luangkan waktu untuk meninjau kode etik dari satu atau lebih organisasi profesional untuk menentukan sendiri sejauh mana aturan-aturan tersebut memperhitungkan dimensi multikultural. Kemudian pertimbangkan bagaimana Anda dapat meningkatkan kompetensi multikultural Anda melebihi apa yang disarankan oleh kode ini. Kotak Kode Etik yang berjudul “Mengatasi Keanekaragaman” memberikan gambaran tentang bagaimana berbagai kode dapat mengatasi masalah-masalah ini.
Kode Etik

Mengatasi Keanekaragaman

Kode etik Feminist Therapy Institute (2000) memiliki empat pedoman terpisah yang berkaitan dengan keragaman dan penindasan budaya:
A.  Seorang terapis feminis meningkatkan aksesibilitasnya pada dan untuk berbagai klien dari kelompoknya sendiri dan kelompok-kelompok yang teridentifikasi lainnya melalui pengadaan layanan yang fleksibel. Bila diperlukan, terapis feminis membimbing klien dalam mengakses layanan lain dan melakukan intervensi ketika hak klien dilanggar.
B.  Seorang terapis feminis menyadari makna dan dampak latar belakang etnis dan budaya, gender, kelas, usia, dan orientasi seksualnya sendiri, dan secara aktif mencoba menjadi lebih berpengetahuan tentang berbagai alternatif dari sumber-sumber selain kliennya. Dia secara aktif terlibat dalam memperluas pengetahuan tentang pengalaman etnis dan budaya, baik non-dominan ataupun dominan.
C.  Menyadari bahwa budaya dominan menentukan norma, tujuan terapis adalah untuk mengungkapkan dan menghormati perbedaan dan pengalaman budaya, termasuk yang didasarkan pada status pengungsi dan/atau imigrasi jangka panjang atau baru-baru ini.
D.  Seorang terapis feminis mengevaluasi interaksi yang sedang berlangsung dengan kliennya sebagai bukti kecenderungannya atau sikap dan praktik-praktik diskriminatif. Dia juga memantau beberapa interaksi lain, termasuk penyediaan layanan, mengajar, menulis, dan semua kegiatan profesional. Terapis feminis menerima tanggung jawab umengambil tindakan untuk menghadapi dan mengubah kecenderungan mencampuri, menekan, atau meremehkan kecenderungan yang dimilikinya.
Kode etik Canadian Counselling Association (2007) memerlukan anggota untuk menghormati keragaman.
Konselor secara aktif berupaya memahami latar belakang budaya klien yang beragam dengan siapa mereka bekerja, dan tidak membenarkan atau terlibat dalam diskriminasi berdasarkan usia, warna kulit, budaya, etnis, kecacatan, gender, agama, orientasi seksual, perkawinan, atau status sosial-ekonomi. (B.9.)
Kode Etik NAADAC (2008) membahas non-diskriminasi:
Saya menegaskan keragaman antara rekan atau klien tanpa memandang usia, gender, orientasi seksual, latar belakang etnis/ras, kepercayaan agama/spiritual, status perkawinan, kepercayaan politik, atau cacat fisik/mental.
Dalam Pembukaan Code of Professional Ethics for Rehabilitation Counselors (CRCC, 2010), pernyataan berikut mengakui nilai keanekaragaman:
Para konselor rehabilitasi berkomitmen untuk mempermudah kemandirian personal, sosial, dan ekonomi dari individu penyandang cacat. Dalam memenuhi komitmen ini, para konselor rehabilitasi mengenali keragaman dan menganut pendekatan budaya dalam mendukung nilai, martabat, potensi, dan keunikan individu penyandang cacat dalam konteks sosial dan budaya mereka. Mereka berpaling pada nilai-nilai profesional sebagai cara penting untuk menghidupi komitmen etis.
Ethical Standards for School Counselors atau Standar Etis untuk Konselor Sekolah (ASCA, 2004) membahas peran keanekaragaman dalam konseling sekolah dalam Bagian E.2: Konselor sekolah diharapkan menyadari sikap, nilai-nilai budaya, dan kecenderungan mereka sendiri yang dapat memengaruhi kompetensi budaya mereka. Mereka juga diharapkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan, rasisme, diskriminasi, dan stereotip memengaruhi mereka secara pribadi dan profesional.
Kode Etik dari Canadian Association of Social Workers (1994) memiliki standar non-diskriminasi berikut:
Seorang pekerja sosial dalam praktek pekerjaan sosial tidak mengadakan diskriminasi terhadap orang atas dasar ras, latar belakang etnis, bahasa, agama, status perkawinan, gender, orientasi seksual, usia, kemampuan, status sosial-ekonomi, afiliasi politik atau kebangsaan.
Kode etik APA (2002) menunjukkan bahwa bagian dari kompetensi menyiratkan keragaman pemahaman:
Apabila pengetahuan keilmuan atau profesional dalam disiplin psikologi menetapkan bahwa pemahaman tentang faktor-faktor yang terkait dengan usia, gender, identitas gender, ras, etnis, budaya, kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa, atau status sosial ekonomi sangat penting untuk pelaksanaan layanan atau penelitian mereka yang efektif, psikolog memiliki atau memperoleh pelatihan, pengalaman, konsultasi, atau pengawasan yang diperlukan untuk menjamin kompetensi jasa mereka, atau mereka membuat rujukan yang tepat.
Kode etik ACA (2005) menanamkan isu-isu multikulturalisme dan keragaman di seluruh dokumen itu, termasuk bagian-bagian yang berkaitan dengan hubungan konseling, izin yang diinformasikan, barter, penerimaan hadiah, kerahasiaan dan privasi, tanggung jawab profesional, penilaian dan diagnosis, pengawasan, dan program pendidikan dan pelatihan.
Pertimbangan multikultural/Keanekaragaman: Para konselor mempertahankan kesadaran dan sensitivitas tentang makna kerahasiaan dan privasi secara kultural. Konselor menghormati pandangan yang berbeda-beda terhadap pengungkapan informasi. Konselor mengadakan diskusi berkelanjutan dengan klien tentang bagaimana, kapan, dan dengan siapa informasi itu dibagikan.
Sensitivitas Budaya dan Diagnosis Gangguan Jiwa: Konselor mengenali budaya yang memengaruhi cara di mana masalah-masalah klien didefinisikan. Pengalaman sosial ekonomi dan budaya klien dipertimbangkan saat mendiagnosis gangguan mental.
Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam Penilaian: Konselor menggunakan dengan hati-hati teknik penilaian yang bernorma pada populasi selain klien. Konselor mengenali pengaruh usia, warna kulit, budaya, cacat, kelompok etnis, gender, ras, pilihan bahasa, agama, spiritualitas, orientasi seksual, dan status sosial ekonomi pada administrasi dan interpretasi tes, dan hasil menempatkan hasil-hasil tes dalam perspektif yang benar dengan faktor-faktor lain yang relevan .

Menurut Allen E Ivey dalam bukunya Intentional Interviewing & Counseling

Etika dalam Proses Bimbingan

Sangat penting untuk anda membaca dan memahami kode etik dari profesi anda. Jika anda berpraktik secara etis, anda dapat memprediksikan bagaimana klien mungkin merespons. Perhatikan deskripsi singkat dari perilaku etis dan beberapa prediksi yang dapat anda buat sebagai berikut:
Etika
Prediksi Hasil
Amati dan ikuti standar profesional, dan berpraktek secara etis. Terutama isu-isu penting bagi pewawancara pemula adalah kompetensi, persetujuan yang diinformasikan, kerahasiaan, kekuatan, dan keadilan sosial.
Kepercayaan dan pemahaman klien tentang proses wawancara akan meningkat. Klien akan merasa leluasa dalam sesi yang lebih egaliter. Ketika Anda bekerja ke arah keadilan sosial, Anda berkontribusi pada pencegahan masalah selain upaya penyembuhan dalam wawancara itu.
Semua profesi bimbingan utama di seluruh dunia memiliki aturan-aturan yang menguraikan secara singkat beberapa pedoman untuk praktek etis. “Peraturan itu meningkatkan pemberdayaan profesional dengan membantu para profesional dan profesional-dalam-pelatihan untuk: (a) mempertahankan praktik yang baik, (b) melindungi klien mereka, (c) menjaga otonomi mereka, dan (d) meningkatkan profesi itu” (Pack-Brown & Williams, 2003, hal. 4). Kode etik juga akan diringkas dengan kata-kata “Ingatkanlah akan kepentingan terbaik klien Anda; jangan melukai klien Anda; perlakukan mereka secara bertanggung jawab dengan penuh kesadaran akan konteks sosial bimbingan.”
Kotak 2-1 menyajikan situs-situs internet mengenai beberapa kode etik penting di daerah-daerah berbahasa Inggris di dunia ini. Semua kode berisi informasi tentang kompetensi, persetujuan yang diinformasikan, kerahasiaan, dan keragaman. Isu-isu tentang advokasi, kekuasaan, dan keadilan sosial bersifat implisit dalam semua kode, tetapi kebanyakan bersifat eksplisit dalam konseling, kerja sosial, dan pelayanan kemanusiaan. Kami sangat menyarankan agar Anda meninjau teks lengkap dari kode etik profesi yang Anda inginkan.
KOTAK 2-1 KODE ETIK PROFESIONAL DENGAN SITUS-SITUS WEB
Daftar di bawah ini adalah beberapa kode etik yang penting. Alamat situs web ini benar pada saat pencetakan, tetapi bisa berubah. Untuk pencarian Web kata kunci, gunakan nama asosiasi profesional dan kata-kata “ethics” atau “ethical code.”
Kode Etik American Association for Marriage and Family Therapy (AAMFT)
Kode Etik American Counseling Association (ACA)
Prinsip Etika Psikolog dan Kode Etik American Psychological Association (APA)
American School Counselor Association (ASCA)
Kode Etik Australian Psychological Society (APS)
Kerangka Etika British Association for Counselling and Psychotherapy (BACP)
Kode Etik Canadian Counselling Association (CCA)
Kode Etik National Association of Social Workers (NASW)
National Career Development Association (NCDA)
Kode Etik New Zealand Association of Counsellors (NZAC)
Ethics Updates menyediakan informasi terbaru tentang sastra saat ini, baik populer maupun profesional, yang berhubungan dengan etika.















1.      Kompetensi
Terlepas dari profesi pelayanan manusia yang Anda identifikasi, kompetensi adalah hal penting. Kompetensi telah didefinisikan sebagai “penggunaan komunikasi, pengetahuan, keterampilan teknis, penalaran klinis, emosi, nilai-nilai, dan refleksi menurut kebiasaan dan secara bijaksana dalam praktik sehari-hari demi kepentingan individu dan masyarakat yang dilayani” (Epstein & Hundert 2002, hal. 227).
 Batasan Kompetensi. Konselor berpraktik hanya dalam batas-batas kompetensi mereka, berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman yang diawasi, perizinan profesional negara bagian dan nasional, dan pengalaman profesional yang sesuai. Konselor akan menunjukkan komitmen untuk mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan keterampilan yang berkaitan dengan bekerja dengan beragam populasi klien.

2.      Informed Consent (Persetujuan yang Diinformasikan)

Informed consent (persetujuan yang diinformasikan) merupakan salah satu elemen yang paling penting dalam konseling. Konselor memberitahu klien tentang tujuan, prosedur, manfaat, dan risiko dari proses konseling, dan klien setuju dengan apa yang telah diuraikan. Bahkan sebagai seorang peserta didik, ketika Anda masuk ke dalam sesi-sesi permainan peran dan latihan, penting untuk menginformasikan “klien” sukarelawan Anda tentang hak-hak mereka, kompetensi Anda sendiri, dan apa yang mungkin terjadi.

Konseling adalah profesi internasional. Pendekatan Canadian Counselling Association (1999) terhadap persetujuan yang diinformasikan sangat jelas. Hak-hak klien dan Persetujuan yang Diinformasikan. Ketika konseling dimulai, dan selama proses konseling diperlukan, konselor memberitahu klien tentang tujuan, sasaran, teknik, prosedur, batasan, potensi risiko dan manfaat pelayanan yang akan dilakukan, dan informasi lainnya terkait hal tersebut. Konselor memastikan bahwa klien memahami implikasi dari diagnosis, biaya dan rencana pemungutan biaya, penyimpanan rekaman, dan batas-batas kerahasiaan. Klien memiliki hak untuk berpartisipasi dalam rencana konseling berkelanjutan, menolak pelayanan yang direkomendasikan, dan diberitahu tentang konsekuensi dari penolakan tersebut.

3.      Kerahasiaan

Sebagai seorang peserta didik atau profesional pemula, Anda biasanya tidak memiliki kerahasiaan hukum. Meskipun demikian, staf pengajar akademik mengharapkan Anda menghormati sifat rahasia dari komunikasi klien Anda. Ini berarti bahwa apa yang Anda dengar di permainan peran kelas atau apa yang dikatakan kepada Anda dalam sesi praktik harus disimpan untuk diri Anda sendiri. Kepercayaan dibangun atas dasar kemampuan Anda untuk menjaga kepercayaan. Sadarilah bahwa setiap negara bagian memiliki berbagai undang-undang tentang kerahasiaan.

Kode Etik American Counseling Association (2005) menyatakan: Bagian B: Pendahuluan. Konselor mengakui bahwa kepercayaan adalah hal terpenting dalam hubungan konseling. Konselor menginginkan untuk mendapat kepercayaan dari klien dengan menciptakan suatu kemitraan yang berkelanjutan, membangun dan menegakkan batasan-batasan yang tepat, dan menjaga kerahasiaan. Konselor mengkomunikasikan beberapa parameter kerahasiaan dengan cara yang kompeten secara budaya.

4.      Kekuatan

Jika [ras] tidak dibicarakan pada awalnya, maka hal itu menjadi masalah bagi orang yang tanpa kekuatan, sehingga mereka merasa tidak nyaman untuk membicarakannya.
Saya kembali kepada klien dan bertanya bagaimana rasanya bagi dia untuk berbicara dengan saya sebagai orang kulit putih. Jadi kami dapat memproses hubungan kami dan saya merasa sepertinya itulah intisari yang sangat berarti dalam sesi itu dan sepanjang terapi. (Gillen, Barton, Cane, Tomko, Fetherson, & Anderson, 2008)
National Organization for Human Service Education (2000) mengomentari kekuatan, masalah etika yang sering menerima perhatian yang tidak memadai atau diabaikan dalam sesi: Pernyataan 6. Para profesional pelayanan manusia menyadari bahwa dalam hubungan mereka dengan kekuatan dan status klien tidak sama. Oleh sebab itu, mereka mengakui bahwa hubungan ganda atau paralel mungkin meningkatkan risiko membahayakan, atau eksploitasi klien, dan dapat mengganggu penilaian profesional.
Tindakan bantuan memiliki implikasi kekuatan. Klien atau helpee (orang yang menerima bantuan) mengawali dalam posisi kekuatan lebih rendah dari konselor. Perbedaan kekuatan terjadi dalam masyarakat di mana hak istimewa sejalan dengan warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, atau dimensi multikultural lainnya. Kesadaran dan keterbukaan tentang isu-isu ini mempermudah pekerjaan menuju keseimbangan kekuatan dalam membantu setiap sesi. Sebagai contoh, jika Anda seorang laki-laki mengkonseling seorang wanita, Anda mungkin berkata, “Bagaimana rasanya, menjadi seorang wanita, membicarakan tentang masalah ini dengan saya?” Jika klien Anda atau Anda tidak nyaman, hal yang bijaksana untuk membahas masalah ini lebih lanjut. Rujukan mungkin diperlukan kadang-kadang.
Hubungan ganda—memiliki lebih dari satu hubungan dengan klien—dapat menimbulkan masalah. Jika klien adalah teman sekelas atau sahabat, Anda terlibat dalam hubungan ganda dalam sesi latihan Anda. Situasi ini dapat terjadi jika Anda bekerja di sebuah kota kecil dan mengkonseling anggota gereja atau komunitas sekolah Anda. Hubungan ganda bisa menjadi masalah yang kompleks dalam profesi bantuan, dan Anda akan berniat memeriksa masalah ini secara lebih rinci dalam kode etik.

5.      Keadilan Sosial dan Advokasi

Apakah masalah, perhatian, atau tantangan “dalam klien,” “disebabkan oleh lingkungan,” atau dalam beberapa keseimbangan dari keduanya? Konseling dan psikoterapi berfokus pada individu, tetapi juga penting untuk mempertimbangkan konteks sosial klien. Terlalu banyak pewawancara, konselor, dan terapis yang tidak mempertimbangkan isu-isu eksternal yang mungkin merupakan “penyebab” sesungguhnya dari masalah klien. Sebagai contoh, beberapa terapis mungkin akan memandang masalah Kendra dengan pelecehan bosnya secara berbeda. Beberapa terapis mungkin mengatakan, “Itu sering kali bagian dari pekerjaan—Anda hanya harus membiasakan diri dengan hal itu.” Terapis lain mungkin bertanya bagaimana cara dia berpakaian dan apakah dia terlibat dalam perilaku provokatif. Pendekatan-pendekatan negatif ini disebut “menyalahkan korban.” Hal ini berpotensi menyebabkan Kendra merasa bersalah dan berpikir bahwa dia telah melakukan sesuatu yang “salah.” Pelecehan adalah pelecehan! Tugas kita adalah mendukung klien.

Adalah tugas pewawancara selesai ketika sesi berakhir? Kode etik National Association of Social Workers (1999) menunjukkan bahwa kesadaran akan lingkungan dan tindakan di luar wawancara mungkin penting jika klien akan menyelesaikan masalah. Pendekatan keadilan sosial menuntut tindakan dari Anda untuk mencegah masalah dengan bertindak sebagai advokat bagi klien Anda. Apabila saatnya tepat dan dengan persetujuan klien, Anda berupaya untuk menyelidiki potensi hambatan dan kendala yang mencegah pertumbuhan dan perkembangan klien Anda pada tingkat individu, kelompok, atau masyarakat.                

8. PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR MULTIKULTURAL
... menjadi terampil secara kultural merupakan proses aktif, yang... berkelanjutan, dan itu ... adalah sebuah proses yang tidak pernah mencapai titik akhir.
(Sue & Sue, 1990, hal. 146)
Menurut Wanda M.L. Lee dalam bukunya Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals. Dalam konseling multikultural perlu mengembangkan kesadaran dan penghargaan terhadap kebutuhan akan pengetahuan spesifik budaya dalam proses konseling. Sementara kesadaran dan pengetahuan multikultural meningkat, keterampilan konseling multikultural dapat bertambah. Pengalaman praktis dan interaksi yang berkelanjutan dengan beragam klien sangat penting untuk pengembangan keterampilan multikultural. Mengembangkan keterampilan konseling multikultural merupakan kebutuhan pendidikan berkelanjutan secara terus-menerus yang diperlukan bagi para konselor di abad ke-21 sementara penduduk Amerika Serikat terus beragam, terutama dalam hal etnis dan usia. Untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan dengan pelatihan dalam konseling multicultural.

Pelatihan Multikultural

¢  Model-Model Pelatihan

Beberapa model telah diusulkan untuk pelatihan konseling multikultural programatik. Ridley, Mendoza, dan Kanitz (1994) menjelaskan lima kerangka kerja yang berbeda untuk pendekatan konseling multikultural:
a.      Sebuah kerangka kerja generik/umum atau etik berasumsi bahwa konseling secara universal berlaku tanpa justifikasi empiris atau modifikasi budaya.
b.      Sebuah kerangka kerja emik dapat mengajarkan proses umum untuk mengumpulkan dan menggabungkan informasi budaya tertentu dengan risiko meningkatkan stereotip.
c.       Sebuah kerangka idiografis menggunakan klien sebagai sumber data primer dan menekankan individualitas klien dalam hal budaya.
d.     Pendekatan autoplastik mensyaratkan bahwa klien mengubah diri mereka untuk masuk ke dalam lingkungan budaya mereka.
e.      Pendekatan autoplastik menekankan pengaruh lingkungan politik, sosial, dan ekonomi klien dalam memberikan kontribusi kepada masalahnya dan berfokus pada pemberdayaan dan dukungan kepada para klien dengan risiko korban.
Program-program pelatihan konselor sering mengambil pendekatan etik, idiografis, atau autoplastic pada pelatihan konseling multikultural, sedangkan penekanan sekarang di bidang ini adalah lebih ke arah pendekatan emik dan autoplastik. Pendekatan yang sebelumnya itu mengaburkan kebutuhan akan kurikulum khusus yang terkait dengan konseling multikultural karena pengaruh budaya dipandang tidak berbeda dari masalah khusus lainnya dalam kehidupan yang mungkin dihadapi seorang individu. Bukti penelitian dari waktu ke waktu telah mendokumentasikan beberapa perubahan positif tertentu yang dihasilkan dari pelatihan multikultural (Smith dkk., 2006).
Wehrly (1991) menjelaskan model perkembangan lima tahap untuk persiapan konselor multikultural yang didasarkan pada karya Carney dan Kahn (1984) dan Sabnani, Ponterotto, dan Borodovsky (1991). Tahap pertama memerlukan lingkungan pelatihan terstruktur dan suportif untuk mengurangi kecemasan mahasiswa, mendorong kesadaran diri melalui penulisan jurnal, dan memulai belajar pengetahuan budaya melalui pelaporan  etnis/budaya dan buku. Tahap kedua menekankan pencarian informasi tentang asal-usul budaya dan  nilai-nilai dominan pelajar sendiri serta meneliti budaya etnis yang berbeda, termasuk kondisi masuknya kelompok itu ke Amerika Serikat, penanganan (sebagai imigran, budak, dll), dan penyedia bantuan historis sepanjang sejarah mereka di negara ini. Tahap ketiga menggabungkan pemahaman yang lebih dalam dari keterlibatan pribadi mahasiswa dalam rasisme yang meresap di Amerika Serikat dan menekankan pentingnya konselor untuk mengatasi berbagai perbedaan ras/budaya antara konselor dan klien selama sesi konseling pertama. Tahap keempat dan kelima melibatkan pengalaman langsung bekerja sama dengan klien yang berbeda secara budaya dalam lingkungan praktikum dan masa magang di bawah para supervisor terlatih.
1.      Format Pelatihan
Dua format utama yang telah digunakan program pendidikan konselor untuk pelatihan multikultural adalah pendekatan kuliah tunggal dan penambahan kurikulum (Fouad, Manese, & Casas, 1992). Satu survei nasional mengungkapkan bahwa 89% dari program doktor dalam konseling membutuhkan setidaknya satu kuliah multikultural dan 58% menanamkan muatan multikultural di seluruh tugas kuliah mereka (Ponterotto, 1997).
Penanaman multikultural secara komprehensif ke dalam tugas kuliah dan pengalaman lapangan membutuhkan komitmen dan alokasi sumber daya kelembagaan yang tidak mau atau tidak mampu dipenuhi oleh banyak program pelatihan konselor (D’Andrea dkk., 1991). Asisten dan anggota staf pengajar tambahan kemungkinan akan bertanggung jawab dalam melaksanakan upaya-upaya pelatihan multikultural (Bell, Washington, Weinstein, & Love, 1997; Hills & Strozier, 1992). Staf pengajar di peringkat yang lebih rendah umumnya memiliki lebih sedikit pengetahuan tentang lembaga itu, kekuasaan yang lebih kecil, dan kurang berpengaruh dalam mendatangkan perubahan kurikuler.
Bahkan ketika sebuah program telah membuat komitmen lain untuk menyertakan pelatihan multikultural dalam semua tugas kuliahnya, kepatuhan dan hasil yang nyata sulit untuk dipantau. Inilah satu hal penting untuk menyertakan beberapa topik dan referensi multikultural dalam kuliah silabus dan yang lain agar benar-benar menggabungkan isu-isu dan perspektif multikultural ke dalam semua ceramah dan diskusi.
Ada cara-cara lain untuk mendapatkan pelatihan multikultural selain dari tugas kuliah formal. Selain pelatihan dalam hal kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan budaya, Preli dan Bernard (1993) memasukkan kaitan dengan budaya orang minoritas dan praktik konseling dengan klien minoritas. Namun, hanya 5,7% dari program magang pradoktoral pusat konseling universitas yang dipelajari wajib memiliki klien-klien etnis (Murphy, Wright, & Bellamy, 1995). Enns (1993) mencatat bahwa meskipun para terapis feminis selama 20 tahun terakhir telah mendidik diri mereka sendiri dengan mengambil kursus-kursus mengenai konseling perempuan atau terapi feminis, lebih banyak pembelajaran yang berlangsung dari studi dan penelitian pribadi, lokakarya profesional, percakapan informal dan kelompok belajar, dan pengalaman konseling yang sebenarnya dengan klien-klien wanita. Pelatihan multikultural adalah proses multifaset seumur hidup.
Selain manfaat potensial langsung dalam penanganan yang lebih efektif terhadap klien-klien multikultural yang mungkin timbul dari pelatihan multikultural dalam konseling, manfaat lain adalah bahwa mahasiswa menjadi lebih sadar akan isu-isu multikultural secara umum, mahasiswa mulai meyakini bahwa tidak tepat apabila mengabaikan perbedaan budaya, dan mahasiswa memiliki peluang untuk menangani perasaan mereka sendiri tentang isu-isu rasial dan bukan selama proses konseling sebagai reaksi kontra-transferensi (Jordan, 1993). Para konselor etnis minoritas memperoleh manfaat dari pelatihan multikultural karena tidak harus diasumsikan bahwa konselor dari kelompok minoritas budaya secara otomatis dapat berhubungan dengan para klien dari budaya dominan (Brown, 1996). Pelatihan dalam konseling multikultural juga merupakan persyaratan lisensi profesional untuk praktek mandiri setidaknya dalam satu negara bagian (DeAngelis, 1994). Pra-pasca pengujian dengan ukuran-ukuran penilaian kompetensi konseling multikultural menunjukkan bahwa pelatihan konseling multikultural program tunggal dan format lokakarya menghasilkan perubahan yang dirasakan oleh para peserta (D’Andrea dkk., 1991;. Pope-Davis & Dings, 1995). Namun, penelitian terhadap dampak-dampak jangka panjang dari pelatihan multikultural diperlukan (Jordan, 1993).

2.      Model Pelatihan Kurikulum Pelatihan

Walaupun ada variabilitas besar di antara program pelatihan multikultural, model kurikulum yang dijelaskan dalam hal kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan ditawarkan di sini yang menggabungkan rekomendasi dari beberapa sumber (Das, 1995; Enns, 1993; Fouad dkk., 1992;. Preli & Bernard, 1993; Ridley dkk., 1994) serta orang-orang dari kalangan penulis. Elemen-elemen model kurikulum diuraikan dalam kotak di halaman 28, Muatan Kurikulum Pelatihan Multikultural.
Beberapa elemen dari model kurikulum saat ini merupakan bagian dari sebagian besar program pendidikan konselor (misalnya, pengetahuan etika, mengatasi hambatan klien), banyak yang tidak (misalnya, kefasihan bahasa kedua, praktek penyembuhan tradisional), dan yang lain mengembangkan peran konselor (misalnya, isu-isu pencegahan, advokasi) dalam arahan non-tradisional. Ada sumber-sumber daya substansial yang dicatat dalam bidang kesadaran diri akan budaya (Katz, 2003; McIntosh, 1988) dan sejumlah besar literatur konseling multikultural memperhatikan pengetahuan budaya spesifik dan dampak potensialnya dalam konseling. Namun, tantangan terbesar dalam pelatihan konselor multikultural saat ini berada di bidang keterampilan: “Menunjukkan dengan tepat keterampilan konseling khusus yang akan membantu konselor dalam membuat pekerjaan mereka dengan klien individu budaya menjadi efektif” (Lee, 1996, hal. 2.).
Muatan Kurikulum Pelatihan Multikultural

Kesadaran
Kesadaran meningkat sehubungan dengan isu-isu rasisme, seksisme, homofobia, transgenderfobia, ageisme, dan ablisme
Kesadaran diri kultural akan latar belakang etnis konselor itu sendiri dan reaksi potensial klien dan beberapa implikasi lain selama konseling.
Kesadaran diri kultural akan jenis kelamin, orientasi seksual, identitas jenis kelamin, usia, dan kelas sosial konselor itu sendiri dan reaksi potensial klien dan beberapa implikasi lain selama konseling.
Kesadaran diri kultural akan cacat fisik dan mental konselor itu sendiri dan reaksi potensial klien dan beberapa implikasi lain selama konseling.
Menghormati perbedaan budaya

Pengetahuan

Konteks sosial politik dari konseling, termasuk penindasan, diskriminasi, dan rasisme, hambatan terhadap pelayanan, dan penyebab sosial dari tekanan psikologis.
Penyimpangan budaya dan rasial dalam pengujian isu-isu
Model-model pengembangan identitas budaya.
Isu-isu akulturasi.
Variasi budaya dalam peningkatan keluarga, pola-pola perkembangan, harapan klien, pandangan mengenai kesehatan dan penyakit
Kemampuan untuk mengkritik teori-teori yang sudah ada untuk relevansi budaya (pandangan dunia)
Kefasihan bahasa kedua
Pengetahuan budaya akan karakteristik normatif dari kelompok budaya tertentu
Pengetahuan budaya akan perbedaan dalam kelompok
Praktek penyembuhan tradisional
Peraturan imigrasi
Hukum-hukum mengenai pelecehan seksual, kejahatan kebencian, diskriminasi perumahan dan kerja
Pengetahuan dan praktik etika (misalnya, pedoman etis bagi penggunaan teknik-teknik tradisional)
Isu-isu pencegahan

Keterampilan
Keterampilan wawancara untuk berbicara tentang perbedaan budaya
Penilaian latar belakang dan isu-isu budaya
Pengembangan orientasi teoritis individualisasi
Menampilkan perilaku budaya responsif
Mengkomunikasikan empati dengan cara yang secara kultural diketahui oleh klien
Mengatasi hambatan klien
Keterampilan konsultasi untuk komunikasi dengan para tabib tradisional
Keterampilan manajemen kasus
Keterampilan advokasi untuk mempengaruhi organisasi
Penjangkauan masyarakat/keterampilan organisasi
Keterampilan resolusi konflik kelompok
Keterampilan mengajar untuk pendidikan masyarakat



            Sebuah program model pelatihan multikultural akan mempraktikkan muatan yang dijelaskan di atas dengan memberikan kesempatan untuk hubungan dalam program dan dalam masyarakat sekitar dengan orang-orang dari latar belakang budaya minoritas dan membutuhkan pengalaman praktikum dengan populasi budaya minoritas (McRae & Johnson, 1991; Preli & Bernard, 1993). Akses menuju pengawasan dan pengalaman magang yang relevan dengan beragam kasus telah dinilai sebagai pengalaman pelatihan multikultural yang paling efektif (Allison dkk., 1994).
3.        Metode dan Proses Pelatihan
Berbagai strategi pengajaran telah digunakan dalam pelatihan multikultural (Pedersen, 1977; Preli & Bernard, 1993;. Ridley dkk., 1994), termasuk latihan kesadaran diri berdasarkan pengalaman (lihat Bab 3 untuk beberapa contoh) dan beberapa permainan serta metode didaktik, menyaksikan video, bacaan, tugas tertulis, pembelajaran pemodelan/observasional, pelatihan dengan dibantu teknologi (misalnya, rekaman video dan peninjauan sesi-sesi konseling), dan praktik dan magang yang diawasi. Teknik pelatihan multikultural yang mungkin mendapat perhatian paling besar adalah model bermain peran yang dikembangkan oleh Pedersen (1977, 1978, 1994). Dalam latihan bermain peran ini, para peserta mengambil peran konselor, klien, dan masalah/anti-konselor dan mensimulasikan sesi konseling yang dapat membantu dalam mengungkapkan masalah-masalah budaya, mengantisipasi hambatan, mengurangi sikap defensif konselor, dan mengajarkan keterampilan pemulihan. Modifikasi dari latihan ini yang menggantikan pro-konselor untuk peran anti-konselor memberikan sekutu yang suportif kepada konselor dan mungkin lebih bermanfaat dengan konselor pemula (Neimeyer, Fukuyama, Bingham, Hall, & Mussenden, 1986) dan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan (Sue, 1979, dikutip dalam McRae & Johnson, 1991). Versi asli anti-konselor tampaknya lebih efektif untuk mengembangkan kepekaan dan kesadaran (Sue, 1979, dikutip dalam McRae & Johnson, 1991). Teknik pelatihan lainnya adalah genogram multikultural termasuk setidaknya tiga generasi sejarah keluarga, label budaya, dan pengalaman, dan persepsi keanekaragaman (Vasquez & Garcia-Vasquez, 2003).

Pelatihan konselor multikultural merupakan proses kompleks yang menggabungkan pertumbuhan pribadi dengan belajar muatan dan pengembangan keterampilan. Menurut Das (1995, hlm. 47), “Jarak kognitif antara penyedia layanan kesehatan mental dan para konsumen kelas bawah dan minoritas dapat dijembatani melalui instruksi didaktik, tetapi jarak sosial dan emosional dapat dikurangi hanya melalui program intensif pendidikan ulang konselor, satu ditujukan untuk mengubah sikap mereka.

Pelatihan multikultural yang efektif mensyaratkan pelatih untuk memiliki banyak sifat konselor yang baik serta guru yang baik. Kemampuan pelatih untuk mengungkapkan pengalaman perkembangannya sendiri dengan kesadaran multikultural telah ditekankan sebagai karakteristik penting dari pelatihan yang efektif (Ponterotto, 1998; Rooney dkk., 1998). Selain itu, para pelatih harus menyadari latar belakang perkembangan budaya individu mahasiswa mereka, karena tingkat perkembangan identitas budaya masing-masing mahasiswa mungkin berbeda sehubungan dengan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, usia, atau dimensi cacat (Rooney dkk., 1998).

Reynolds (1995) merekomendasikan pelatihan kemampuan konseling dalam muatan keragaman budaya mengenai kelompok budaya tertentu, bagaimana penindasan bekerja, kerja kelompok, bagaimana isu-isu multikultural mempengaruhi konseling, dan sebagainya. Ada beberapa alasan yang baik untuk lebih banyak staf pengajar kulit putih untuk menjadi pelatih multikultural (Kiselica, 1998). Staf pengajar kulit putih yang telah mengembangkan keahlian multikultural dapat menjadi panutan bagi para konselor kulit putih yang bergulat dengan pengembangan identitas budaya mereka sendiri. Lark dan Paul (1988) menyatakan bahwa beberapa kesamaan etnis atau budaya untuk pelatih adalah hal penting bagi kredibilitas dan pemodelan.




Daftar Pustaka

Allen E. Ivey & Mary Badford Ivey (2003). Intentional Interviewing and Counseling: facilitating Client Development in a Multicultural Society.USA: Brooks/Cole.
Gerard Corey, Marianne Schneider Corey, Patrick Callanan, (2011), Issues and Ethics in the
Helping Professions, United States of America:Brooks/Cole, Cengage Learning
Lago Collin ( 2006 ). Race, Culture and Counselling The Ongoing Challenge. England: McGraw-Hill House
McLeod John (2011).  An Introduction to Counseling. New York: McGraw Hill
Robert L.Gibson  & Marianne H. Mitchell (2008). Introduction to Counseling and Guidance. New Yersey: Pearson Prentice Hall.
Samuel T. Glading (2012). Counseling : A Comprehensive Profession. New Jersey: Pearson Education,Inc
Uwe P. Gielen, Juris G. Draguns, Jefferson M. Fish (2008) Principles of Multicultural Counseling and TherapyAn Introduction. New York: Taylor & Francis Group, LLC.
Wanda M.L. Lee, John A. Blando, Nathalie D. Mizelle, Graciela L. Orozco (2007) Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals. New York: Routledge Taylor & Francis Group.,)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar