Minggu, 19 Juni 2016

Konseling dan Terapi Multikultural: Dasar Perubahan di Lapangan



Konseling dan Terapi Multikultural: Dasar Perubahan di Lapangan




























BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Perubahan sosial yang pesat berupa akulturasi budaya sebagai akibat globalisasi meningkatkan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih, transportasi, telekomunikasi, diversifikasi, dan migrasi penduduk secara besar-besaran. Pertukaran informasi yang sangat cepat menyebabkan banyak masalah psikologis dimasyarakat yang akhirnya menuntut para konselor dan terapis mengembangkan model konseling/terapi berbasis multicultural. Pengembangan terapi ini diharapkan mampu menjadi teknik yang dapat diterima secara universal di masyarakat global saat ini. Salah satu teknik yang dikembangkan pada pembahasan ini adalah Cognitif-Behavior Terapi berbasis praktik empiris dan penggunaan meta-analisis dalam penerapannya pada masalah-masalah masyarakat yang disesuaikan dengan koteks budaya yang dianut klien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik terapi kognitif-behavior yang disesuaikan dengan konteks budaya masyarakat memberikan fungi terapis yang menyembuhkan.
Adanya perubahan sosial yang sangat pesat, menjadi bagian yang penting bagi perkembangan konseling multicultural dan terapi multicultural dalam 25 tahun terakhir Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan sosial berupa globalisasi dan peningkatan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih transportasi dan telekomunikasi. Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh dunia melalui migrasi.
B.Rumusan Masalah
1 Bagaimana kerangka acuan konseling dan terapi Multikultural?
2 Bagaimana pandangan dunia tentang Multikultural?
3 Bagaimana Konstruksi utama konseling dan terapi Multikultural?
4 Bagaimana praktik konseling dan terapi Multikultural?
5 Bagaimana Keterbatasan dan Implikasi Konseling dalam terapi Multikultural?
c. Tujuan
1 Untuk mengetahui bagaimana kerangka acuan konseling dan terapi Multikultural.
2  Untuk mengetahui  bagaimana pandangan dunia tentang Multikultural.
3 Untuk Mengetahui bagaimana Konstruksi utama konseling dan terapi Multikultural.
4  Untuk mengetahui  bagaimana praktik konseling dan terapi Multikultural.
5  Untuk Mengetahui bagaimana Keterbatasan dan Implikasi Konseling dalam terapi Multikultural.




















Bab II
Pembahasan

A.Kerangka acuan konseling dan terapi Multikultural
Multikulturalisme di Amerika
Diversifikasi meningkatnya masyarakat AS telah menciptakan tantangan bagi konselor pada umumnya dan konselor dalam prakteknya, masyarakat AS dalam kelompok ras dan etnis (VREGs : Visible racial and ethnic group). Konselor yang dimaksud adalah konselor dengan kompetensi multikultural, dengan semua pengetahuan dan pemahaman serta kepekaan yang masuk dan bekerja secara efektif dengan masyarakat dari budaya yang berbeda, mereka harus memiliki kemampuan untuk mempertahankan dan mempengaruhi struktur sosial yang memberikan hak istimewa. Sehingga dinamika multikulturalisme ini merupakan faktor penting dalam masyarakat.
1.          Keragaman : Keadaan Manusia
Konselor harus memahami perbedaan kekuasaan dalam masyarakat dan dimensi sociohistorical ras dari mana mereka berasal. Bagaimana diferensial kekuasaan dimainkan, tidak hanya dalam proses konseling tetapi juga dalam sistem pemerintahan, sehingga memiliki konsekuensi penting bagi konselor multicultural..
Salah satu sumber utama perbedaan budaya dalam kelompok adalah akuisisi kedua ketika orang-orang dari budaya yang dominan datang ke dalam kontak berkelanjutan dengan orang dari budaya yang dominan, mereka mengalami proses adaptasi budaya kehidupan bermasyarakat dalam budaya yang berbeda.
Konselor multikultural yang bekerja dengan anak dan keluarganya adalah pemahaman tentang proses dan kesadaran bahwa anak-anak dan orang tua mereka mungkin memiliki sangat berbeda, bahkan bertentangan bentuk adaptasi budaya. Masuknya VREG dimasyarakat adalah kesempatan untuk memperkaya pengalaman dari semua jenis budaya yang berbeda dengan budaya mereka. Bentuk-bentuk dari adaptasi budaya, antara lain : Asimilasi, Integrasi, Bikulturalisme (pergantian), Penolakan, Marjinalitas.
2.      Multikultural konseling kelompok rasial
Konseling multikultural adalah satu lagi istilah yang memicu perdebatan Di bidang konseling. Beberapa sarjana percaya bahwa istilah harus disediakan untuk bekerja dengan orang kulit berwarna saja (lihat, misalnya, Locke, 1997). Kami percaya bahwa konseling multikultural menganggap serius dan sensitif semua aspek keragaman manusia tapi, diberikannya status khusus untuk balapan, yaitu ras adalah penentu utama dari budaya.
Pada bagian ini kita meneliti pola-pola budaya dan implikasinya untuk konseling dari White Amerika, Afrika Amerika, Hispaisic Amerika, Asia Amerika, dan penduduk asli Amerika. Organisasi bagian ini tidak dirancang untuk mengecualikan grup manapun. Namun, yang dimaksudkan untuk menyoroti keunggulan ras dalam konseling multikultural.
3.   Amerika Affrika
Kelompok ras Afrika Amerika sangatlah beragam dalam hal kelas sosial ekonomi, pendidikan, ras-identitas status (hubungan dengan White culture), dan struktur keluarga. Sekitar 35 persen orang Amerika Afrika kelas menengah atau lebih tinggi (DW Sue & Sue, 2003). Hal ini penting karena status sosial ekonomi merupakan variabel penting dalam menentukan tingkat asimilasi ke dalam White culture (Hildebrand, Phenice, Gray, & Hines, 1996). Namun Afrika Amerika terus memegang status minoritas di negeri ini. Sebagai bukti, Sue dan Sue arahkan ke berikut.
  1. Tingkat Amerika Afrika hidup dalam kemiskinan adalah tiga kali lebih tinggi dari Putih Amerika.
  2. Tingkat pengangguran adalah dua kali lebih tinggi di antara Afrika Amerika.
  3. Sekitar sepertiga dari pria Afrika Amerika di usia dua puluhan adalah di penjara, masa percobaan atau bersyarat
  4. Kehidupan di Afrika Amerika adalah lima sampai tujuh tahun lebih pendek dari orang kulit Putih Amerika.
Multikulturalisme di Indonesia
Indonesia termasuk Negara besar di kawasan Asia Tenggara yang terdiri atas ratusan pulau memiliki beragam etnik (suku) yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir corak budaya bebeda satu sam lain. Kemajemukan budaya atau multibudaya dalam pandangan postmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme.
Paham multikulturalisme diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh ahli Sosiologi Kanada, yaitu Charles Hobart. Sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari kolektifitas kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat majemuk. Dari segi etnitasnya terdapat 656 suku bangsa (Hidayat, 1997) dengan tidak kurang dari 300 jenis bahasa-bahasa daerah, dan di Irian Jaya saja lebih 200 bahasa-bahasa sukubangsa (Koentjaraningrat,1993). Penduduknya sudah mencapai 200 juta, yang menempatkan Indonesia pada urutan keempat dunia.
Tatanan dan sejarah pembentukannya memiliki arti strategik, dilihat dari geopolitik perkembangan bangsa-bangsa di dunia, khususnya Asia Tenggara. Salah sati ciri benua maritim Indonesia, lautannya mengandng suber daya alam yang kaya. Demikian juga wilayah pesisirnya, dimana hgaris pentainya sepanjang 81.000 km itu beranekaragam dan sangat besarpotensi budidaya laut. Geografi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki keunikan budaya, terlebih jika dikaitkan dengan letah dalam peta dunia.
Wilayah lingkungan utama kehidupannya juga memperlihatkan variasi yang berbeda-beda. Ada komunitas yang mengandalkan pada laut sebagai sumber kehidupannya seperti orang Bajo. Orang-orang Bugis-Makasar, Bawean, dan Melayu dikenal sebagai masyarakat pesisir; serta terdapat pula komunitas-komunitas pedalaman, antara lain orang Gayo di Aceh, Tengger di Jawa Timur, Toraja di Sulawesi Selatan, Dayak di Kalimantan, dan lain sebagainya. Karakter pluralistik itu ditambah lagi dengan perbedaan-perbedaan tipe masyarakatnya. Sesung-guhnya multikultural tersebut sebagai suatu keadaan obyektif yang dimiliki bangsa Indonesia. Tetapi kemajemukan itu tidak menghalangi keinginan untuk bersatu! Paling tidak, beberapa daerah yang tergolong “termaginalkan” yang sempat kami kunjungi pada rentang tahun 1999 – 2002 untuk proses pendi-dikan masyarakatnya, adanya suatu harapan untuk berpikir maju, walaupun dengan tataran yang masih sederhana.
Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui ari simbol “Bhineka Tunggal Ika” yaitu “berbeda-beda dalam kesatuan” pada lambang negara Indonesia.
Struktur masyarakat Indonesia sebagaimana telah kita ketahui dapat menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi pada tingkat nasional. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis mencoba untuk menelaah kembali beberapa kharakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasikun yakni; 1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain; 2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat dasar; 3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar; 4) secara relatif seringkali terjadi konflik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; 5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta 6) adanya dominasi politik suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Dalam pandangan fungsionalisme struktural untuk mewujudkan sistem sosial itu dapat terintegrasi dari berbagai multikultural terdapat 2 landasan pokok, yakni pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus diantara sebagian anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyara-katan yang bersifat fundamental. Kedua, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliations). Oleh karena itu setiap konflik yang terjadi diantara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan sosial yang lain segera akan dinetralisir oleh adanya masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
Pada tingkat tertentu keduanya mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Oleh karena tanpa keduanya suatu masyarakat bagaimanapun tidak mungkin terjadi. (Nasikun, 2000). Akan tetapi sifat-sifat masyarakat majemuk sebagaimana yang kita uraikan di atas, telah menyebabkan landasan terjadinya integrasi sosial. Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam konflik yang mungkin dapat terjadi yakni; 1) konflik di dalam tingkatannya yang bersifat ideologis, dan 2) konflik di dalam tingkatannya yang bersifat politis. Pada tingkatan ideologis bentuk konfliknya adanya pertentangan sistem nilai yang dianut di dalam masyarakat tersebut. Sedangkan tingkatan politis bentuk konfliknya berupa pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat.
Sedangkan konflik horisontal rentan terjadi ketika dalam interaksi sosial, antar kelompok yang berbeda tersebut dihinggapi semangat superrioritas. Yakni semangat yang menilai bahwa kelompok (insider) nya adalah paling benar, paling baik, paling unggul serta paling sempurna. Sementara kelompok lain (outsider) tidak lain hanyalah sebagai pelengkap (komplemeter) dalam hidup ini. Untuk itu, outsider layak untuk dihina, dilecehnya dan dipandang kurang berarti.
Puncak dari semangat egosentrisme etnostrisme chauvisme tersebut adalah muculnya klaim-klaim kebenaran. Klaim kebenaran ini tidak lain adalah  kelainan jiwa yang disebut narsisme. Dimana seseorang atau kelompok-kelompok masyarakat menganggap bahwa  dirinya paling sempurna dibanding yang lain. Dalam relasi sosial,  gesekan klaim kebenaran  ini kemudian melahirkan standar ganda.
Bisa dibayangkan, bagaimana kelompok-kelompok yang dihingapi narsisme ini kemudian berinterasi dalam domain sosial. Maka yang muncul adalah konflik-konflik bernuansa SARA. Tidak disangsikan, sejarah bangsa telah membuktikan itu. Mulai pertengahan dekade 90-an  sampai dekade 2000-an, kita disuguhi aneka tragedi kenuansaan bernuansa SARA. Tragedi Poso, Sambas Banyuwangi, Sitobundo, Madura, serta Aceh adalah fakta yang tak terbantahkan bagaimana dalam lingkaran sosial bangsa indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentris. Bahkan fakta paling mutakhir adalah bergolaknya konflik bernuansa Agama di ambon.
Di dalam situasi konflik akibat multikultural tersebut, pada umumnya setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas di antara sesama anggotanya. Dalam kaitan dengan sejarah, ternyata para kaum penjajah sengaja mempertantangkan perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam budaya masyarakat Indonesia, sebagai upaya untuk mengikiskan persatuan dan kesatuan dari berbagai daerah. Jika tidak bersatu dan selalu dipertentangan pada demensi multikultural, maka negara penjajah akan mudah untuk mendikte bangsa Indonesia.
Dalam pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perlu diperhatikan komponen-komponen perbedaan budaya. Apalagi Indonesia dikenal dengan keragaman yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis, adat-istiadat, maupun latar budayanya. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknya dikembangkan dimensi wawasan kebhinnekaannya dalam kerangka penegasan karakteristik keikaan yang kuat.
B.Pandangan dunia tentang Multikultural         
Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat.
Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat dari beberapa fakta berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri atas 13.667 pulau (meskipun tidak seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358 suku bangsa dan 200 subsuku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang menurut statistik: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1% (dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang tidak termasuk agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut diri sebagai pemeluk agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai macam pengaruh budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen, dan juga Barat modern.
Yang umumnya dikenal oleh masyarakat awam adalah multikultural-isme dalam bentuk deskriptif, yakni menggambarkan realitas multikultural di tengah masyarakat (Heywood, 2007).
Parekh (1997) membedakan lima model multikulturalisme:
1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing (Azra, 2007).
Selain multikulturalisme deskriptif, sebetulnya ada lagi multikulturalisme normatif, yakni suatu sokongan positif, bahkan perayaan atas keragaman komunal, yang secara tipikal didasarkan entah atas hak dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui, atau atas keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh lewat tatanan masyarakat yang lebih luas keragaman moral dan kulturalnya (Heywood, 2007: 313). Multikulturalisme normatif melibatkan kebijakan sadar, terarah, dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat untuk mewujudkan multikulturalisme.
Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.
Setidaknya ada tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi realitas pluralitas kebudayaan. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.
Sampai saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menentukan secara normatif model multikulturalisme macam apa yang harus diterapkan di negeri ini. Selain membutuhkan kajian-kajian antropologis yang lebih mendalam, tampaknya juga diperlukan kajian filosofis terhadap multikulturalisme itu sendiri sebagai sebuah ideologi. Berbeda dari yang dipahami orang awam, ternyata multikulturalisme mengandung asumsi-asumsi problematis yang harus sebaiknya dikenali, diakui sepenuhnya atau direvisi sesuai realitas khas setiap negeri, sebelum pemerintah dan masyarakat dapat memutuskan apakah akan memeluk ideologi multikulturalisme dan selanjutnya menormatifkannya.
C. Konstruksi utama konseling dan terapi Multikultural
1.Globalisasi, Difersifikasi, Konseling dan Terapi Multikultural
Adanya perubahan sosial yang sangat pesat, menjadi bagian yang penting bagi perkembangan konseling multicultural dan terapi multicultural dalam 25 tahun terakhir Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan sosial berupa globalisasi dan peningkatan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih transportasi dan telekomunikasi. Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh dunia melalui migrasi.
 Contohnya imigrasi skala besar terjadi di Amerika Serikat dimana imigram dari Amerika Latin dan Asia telah berkontribusi terhadap keragaman etnis, penduduk minoritas tumbuh 11 kali secepat penduduk Putih  Non-Hispanik antara 1980 sampai 2000, peningkatan persentase dalam populasi Asia dan Kepulauan Pasifik adalah 204% dan untuk populasi Hispanik, 142%.
 Akibatnya, di Amerika Serikat, penduduk minoritas meningkat dengan penurunan nilai pada populasi non-Hispanik Putih. Sifat multikultural masyarakat menjadi fitur permanen dimana budaya dunia telah mendapatkan kompleksitas. Keanekaragaman telah menjadi kata sehari-hari untuk mengkarakterisasi dunia hari ini.
Menurut Mansella (1998) pengembangan psikologi komunitas global bertujuan untuk mengenali, mengakui, dan keragaman dengan mengutamakan analisis budaya tindakan manusia. Pendukung psikologi global yang bekerja pada teori, penelitian, intervensi, dan pedagogi dari kedua perspektif universal dan adat untuk mempromosikan visi global konseling psikologi dengan tujuan mengembangkan model konseling multikultural dengan pandangan dunia yang fleksibel.
Sehingga di era globalisasi ini, ada peningkatan kebutuhan pelatihan konselor dan terapis budaya yang kompeten untuk memberikan konseling dan terapi budaya dan didukung secara empiris baik di dalam maupun di luar negara asal mereka (Hall, 2006). Keragaman, globalisasi, dan pengembangan kompetensi budaya menjadi aspek mendorong seseorang harus memiliki keterampilan beradaptasi untuk sukses dalam lingkungannya (Sternberg & Grigorenko, 2004; Sue, 1998).  Sehingga  profesi konselor maupun psikolog memiliki kewajiban mengembangkan kompetensi kesadaran multikultural. Kompetensi multikultural harus generik untuk semua bentuk konseling dan terapi, hal mencakup kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang berkontribusi terhadap pengembangan "konseling berpusat budaya" (Pedersen , 1997).
Globalisasi dan diversifikasi memfasilitasi penyebaran informasi yang memperoleh manfaat dari pengetahuan. Salah satu terapi cognitif-behavior telah dipraktekkan di berbagai belahan Asia. (Qian & Wang, 2005) menganalisis konsistensi konseptual terapi perilaku, terapi cognitif-behavior, dan filsafat Taoisme China yang selanjutnya, pada tahun 2006, Konfrensi Asia Cognitive Behavior Therapy (CBT) menghasilkan penilaian berbasis bukti, teori, dan praktek di negara-negara Asia (Jepang, Korea, Cina, Thailand, Singapura, dll).
Hasil konfrensi tersebut menganjurkan terapi berbasis bukti sebagai standar untuk praktek klinis. Praktek terapi cognitif-behavior telah diperpanjang jauh melampaui batas-batas budaya asal-usul perkembangan mereka di Amerika Utara dan Eropa. Pada saat yang sama program-program Konfrensi Asia Cognitive Behavior Therapy menghasilkan prosedur berorientasi Timur seperti meditasi dan kesadaran. Selain itu, integrasi praktek Timur sebagai bagian integral dari terapi cognitif-behavior di negara-negara Asia merupakan adaptasi budaya terapi perilaku kognitif yang secara spesifik berisi tentang aspek universal dan budaya tertentu dari prosedur CBT. 
Salah satu adaptasi  Jepang tentang terapi CBT adalah terapi komitmen (ACT) yang dikembangkan oleh Hayes. Peningkatan dalam pelatihan keterampilan sosial (SST) untuk anak-anak sebagai bagian dari kegiatan kelas reguler diadaptasi dan dikembangkan pedoman SST. Penyebaran terbaru dari terapi kognitif-behavior untuk negara-negara non-Barat menunjukkan minat mereka dalam pendekatan berbasis bukti dalam pelayanan kesehatan mental, intervensi sekolah, dan konsultasi.
Evaluasi terapi kognitif-behavior menggunakan analisis fungsional sebagai alat pengumpulan data yang sistematis untuk menganalisis interaksi perilaku sasaran dan peristiwa lingkungan, termasuk tanggapan dari lingkungan sosial, dan mengembangkan hipotesis tentang target penyebab dan pemeliharaan perilaku yang dipilih (Sturmcy, 1996). Analisis fungsional menekankan pendekatan ideografik untuk penilaian dalam lingkungan budaya langsung individu. Contohnya untuk menggambarkan, gejala serangan panik (seperti, mual, sakit kepala, pusing, mati rasa). Terapis menilai keterkaitan antara tiga unsur urutan anteseden-perilaku-consecuence dan mengembangkan hipotesa tentang faktor-faktor lingkungan mempertahankan gejala somatik dari serangan panik dan perilaku menghindar. Meskipun analisis fungsional akan mengungkapkan hubungan sistematis antara isyarat lingkungan yang terkait dengan gejala somatik, klien dapat menggunakan penjelasan alternatif dari pengalaman menyedihkan yang sama berdasarkan keyakinan budaya tentang kesehatan dan perilaku penyakit.
Dua domain yang tumbuh dalam psikoterapi yaitu psikoterapi multikultural dan psikoterapi didukung secara empiris (Chambless & Ollendick, 2001) dengan fokus pada terapi kognitif-behavior. Perspektif multikultural yang nyata diperlukan untuk memberikan budaya responsif terapi cognitif-behavior kepada orang lain dari latar belakang budaya yang beragam, baik nasional maupun internasional (Hays & Ivvamasa, 2006; Tanaka-Maisumi, Higginbotham, & Chang, 2002) yang bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif multikultural dengan pendekatan fungsional untuk terapi kognitif-behavior.

2.  Psikoterapi : Memprediksi Pertumbuhan Terapi Kognitif Behavior dan Terapi Sensitif-Budaya
Menurut Draguns (1975) psikoterapi yang berorientasi budaya adalah prosedur yang berakhir pada sosiokultural dan interpersonal dalam kemampuannya. Hal tersebut terjadi antara dua atau lebih individu dan dalam konteks lebih luas, kurang terlihat, konteks budaya kurang nyata dengan pembelajaran sosial bersama, menyimpan makna, simbol, dan asumsi implisit tentang sifat kehidupan sosial.
Menurut Draguns (2004, 2007) kriteria untuk menentukan psikoterapi kontekstual  dan meninjau status intervensi psikoterapi untuk psikologi global.  Konksistensi keragaman sistem terapi yang berada dari budaya yang berbeda, berupa terapi adat (seperti Morka dan terapi Naikan Jepang) untuk psikoanalisis modern, dan terapi cognitif-behavior di seluruh dunia. Berbagai praktik psikoterapi budaya dalam beragam bentuk mencerminkan pandangan masyarakat adat, kesehatan dan penyakit dengan cara untuk membantu individu yang mengalami masalah.
Globalisasi telah mengubah cara pandang dan bagaimana kita melaksanakan tugas profesi kita. Dalam dekade terakhir upaya mengumpulkan informasi dengan cepat pada terapi empiris didukung untuk masalah tertentu seperti kecemasan dan gangguan suasana hati. Mayoritas terapi empiris didukung secara luas dan diklasifikasikan sebagai terapi kognitif-behavior. Kolaborasi sumber daya dan hasil penelitian didasarkan pada definisi ilmiah dan  efektivitas terapi dimana dikumpulkan dari studi terkontrol melalui meta analisis dalam rangka untuk memperoleh pengaruh terapi untuk gangguan/masalat tertentu (Lambert & Archer, 2006; Lipsey & Wilson, 1993). Selain itu, para profesional dan konsumen memiliki akses informasi yang sama di Internet. Seiring waktu klien akan belajar untuk mengharapkan "terapi terbaik yang tersedia" yang sesuai dengan budaya mereka di era teknologi informasi.
Terapi cognitif-behavior telah membuat langkah besar dalam 30 tahun terakhir.  Dalam survei yang dilakukan setiap 10 tahun dengan menggunakan metodologi Delphi, sebuah panel dari 62 ahli psikoterapi di Amerika Serikat memperkirakan trend psikoterapi menuju 2010. Para ahli memperkirakan bahwa terapi cognitif-behavior, terapi sensitive budaya/multicultural, kognitif (Beckian), terapi antarpribadi (IPT), dan teknis eklektisisme akan menjadi lima orientasi teoretis yang paling berpengaruh atas dalam psikoterapi Sebaliknya, psikoanalisis klasik, implosive terapi, analisis transaksional, dan terapi Adlerian diperkirakan menurun. Peneliti memperkirakan bahwa 18 dari 38 model intervensi akan meningkat pada tahun 2010. Peneliti menyebutkan terdapat 4 skenario intervensi yang sering digunakan meliputi: (a) lisensi wajib di tingkat master, (b) diperlukan penggunaan psikoterapi berbasis bukti oleh sistem perawatan kesehatan; (c) kebutuhan untuk memberikan terapi berbasis bukti untuk gangguan tertentu di fasilitas pelayanan kesehatan, dan (d) penggunaan pedoman praktek sebagai bagian dari praktek klinis standar. Prediksi ini konsisten dengan saat ini, meningkatnya permintaan terapi sensitive budaya dan psikoterapi yang efektif khususnya untuk kelompok etnis minoritas di Amerika Serikat (Hall, 2001;. Miranda et al, 2005).

3.   Praktik Berbasis Fakta, Akulturasi, dan Akomodasi Budaya
Praktik berbasis fakta dalam psikologi (EBPP) adalah integrasi dari penelitian terbaik dengan keahlian klinis dalam konteks karakteristik klien, budaya, dan preferensi.  Pertimbangan keanekaragaman telah mendapatkan momentum, yang mencakup referensi eksplisit budaya dan preferensi individu. Implikasi dari definisi ini mengadopsi praktek berbasis literatur (misalnya, Goodheart, Kazdin, & Sternberg, 2006; Hunsiey, 2007). Satu pertanyaan penting menyangkut ketersediaan dan akses ke praktik terbaik yang tersedia dalam masyarakat budaya yang beragam.
Secara khusus, kompetensi yang diperlukan untuk melakukan EBPP, diidentifikasi delapan kompetensi, yang masing-masing sangat relevan dengan praktek penilaian budaya responsif dan psikoterapi. Delapan kompetensi adalah (a) penilaian, penilaian diagnostik, formulasi kasus sistematis, dan perencanaan terapi, (b) pengambilan keputusan klinis, terapi dan pemantauan kemajuan; (c) keahlian interpersonal, (d) refleksi diri dan keterampilan penerimaan; (e) evaluasi empiris dan penelitian; (f) memahami pengaruh perbedaan individu dan budaya terapi (g) mencari sumber daya yang tersedia, dan (h) memiliki alasan kuat untuk strategi klinis.
Delapan kompetensi tersebut dihubungkan oleh empirisme dan perspektif multikultural. Keragaman demografi karena masuknya imigran dan pendatang menciptakan tantangan bagi konselor profesional dan terapis.  Peningkatan diversifikasi contohnya masyarakat AS, membuat Amerika Serikat salah satu terbesar negara pemukiman pengungsi di dunia. Secara luas bahwa pengungsi adalah populasi dengan risiko tinggi untuk mengembangkan masalah psikologis yang parah karena sifat ganda dan trauma yang telah mereka alami. Trauma pra-migrasi termasuk perampasan kebutuhan dasar, cedera fisik dan penyiksaan, penahanan, camp pendidikan ulang, penyiksaan dan pembunuhan (Bemak & Chung, 2002). Pengungsi 'post-migrasi dengan mudah dapat menghasilkan masalah tambahan dari pemukiman dan akulturasi stres.
Jurnal Kognitif  Behavior menfokuskan seluruh masalah dengan adaptasi budaya pada pengungsi di Asia Tenggara dengan gangguan stres pasca-traumatik. Bahwa budaya benar-benar membentuk dan menentukan persepsi, penalaran secara mendalam. Hal ini adalah arah yang penting untuk diteliti di masa depan, dimana penelitian saat ini hanya melaporkan komposisi etnis sampel penelitian. Mengakui dan menggabungkan budaya dalam proses terapi yang didukung secara empiris memungkinkan untuk mengembangkan komponen terapi yang efektif yang temukan dalam satu budaya ke budaya lain, (Hoffmann, 2006)
Sehingga, terapis kognitif-behavior dihadapkan dengan proses terapi pada klien yang beragam, dengan adanya adaptasi budaya, praktek terapi perilaku kognitif konvensional mungkin gagal untuk memenuhi kebutuhan mereka, Dengan berbasis empiris, praktek klinis perlu diperiksa untuk kesesuaian dalam konteks multikultural.
Selain itu, Penilaian empiris akulturasi harus menjadi bagian integral dari penilaian berbasis bukti. Bahkan, ada peningkatan kebutuhan dari proses akulturasi yang dibuktikan dalam publikasi yang komprehensif baru pada psikologi akulturasi (Sam & Berry, 2006). 
Redfield, Linton, dan Herskovirs (1936) mendefinisikan akulturasi sebagai fenomena-fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda datang secara berkelanjutan pada kontak pertama, dengan perubahan berikutnya dalam pola budaya asli salah satu atau kedua kelompok, tingkat individu, akulturasi didefinisikan sebagai proses adaptasi psikologis mempengaruhi pendatang, imigran, dan pengungsi (Berry & Sam, 1997; Ward, Bochner, & Furnham, 2001). 
Hasil Akulturasi mengacu pada tingkat keberhasilan proses akulturasi. Vijver dan Matsumi membedakan tiga jenis hasil akulturasi yaitu
1.       Penyesuaian psikologis dan melibatkan kondisi psikologis yang disebabkan oleh akulturasi dan biasanya berhubungan dengan kesejahteraan dan kesehatan mental.
2.      Kompetensi sosiokultural dalam domain yang besar dan melibatkan pengetahuan tentang bahasa dan budaya dari domain asal. 
3.      Hasil ketiga adalah kompetensi sosial budaya dalam budaya asal (misalnya, pemeliharaan keterampilan linguistik dalam warisan budaya) dan perubahan kompetensi ini sebagai variabel hasil.
Stres akulturatif mengacu pada stres yang disebabkan oleh akulturasi. Jarak budaya yang dirasakan mungkin adalah prediktor terbaik dari stres akulturatif. Hal ini juga relevan dengan hubungan terapis-klien dalam terapi dan konseling multikultural (Comaz-Diaz, 2006; Muran, 2006). Orientasi Akulturasi juga relevan untuk menangani berpengalaman stress klien. Sebuah strategi integrasi bicultural atau multikultural cenderung negatif terkait dengan stres. Sebaliknya, marginalisasi sering dikaitkan dengan tingkat stres yang tinggi (Arredondo, 2002). 

4.  Efektifitas Ilmiah dan Efektifitas Klinis : Diseminasi Empirik Yang Mendukung Terapi
Dalam dekade terakhir, para peneliti psikoterapi telah melakukan investigasi aktif  antara bukti penelitian dan bukti klinis. Masalah ini menyangkut persamaan dan perbedaan dalam kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi hasil dalam penelitian dan praktek yang ditarik melalui efektifitas terapi, ada dua kriteria untuk mengevaluasi efektivitas psikoterapi yaitu kemanjuran terapi mengacu pada hasil yang diperoleh dalam penelitian eksperimental dan efektivitas terapi mengacu pada hasil dalam pengaturan naturalistik praktek klinis.
Terapi empiris didukung secara ilmiah dan internal berlaku untuk kelompok tertentu dari klien. Terapi secara empiris didefinisikan menurut beberapa kriteria (Chambless & Ollendick, 2001). Selain percobaan terkontrol acak sebagai kriteria untuk mengevaluasi terapi ilmiah, pengembangan terapis manual, deskripsi rinci dari peserta penelitian psikoterapi, dan setidaknya dua studi ilmiah independen dengan hasil yang signifikan yang diperlukan untuk membangun bukti untuk efektivitas terapi. 
Secara khusus, jika terapis menggunakan terapi empiris didukung dari luar batas-batas budaya klien, mereka harus memasukkan fitur akomodasi budaya yang relevan ke dalam terapi standar. Upaya untuk menyebarkan terapi ke masyarakat dan setiap klien akan tergantung pada akomodasi budaya dan adaptasi budaya dengan kelompok klien yang beragam. Membangun hubungan antara efektivitas terapi dan efektivitas klinis dengan kelompok klien beragam budaya merupakan tujuan penelitian yang mendesak (Bernal, Bonilla, & Bellido, 1995; Hall, 2001).
Banyak terapi empiris menggunakan teknik terapi cognitif-behavior, Contohnya pada seseorang yang mengalami depresi berat, gangguan panik, fobia sosial, bulimia, gangguan stres pasca-trauma, serta masalah psikofisik seperti sakit kepala ketegangan dan rheumatoid arthritis dari latar belakang budaya yang beragam termasuk Puerto Rico, Afrika Amerika, dan Latin di Amerika Serikat. Tinjauan ini menunjukkan bahwa efektivitas terapi empiris didukung tergantung pada penilaian tertentu dan bukan pada kategori etnis klien atau status minoritas seseorang
Evaluasi yang sistematis mencakup lima langkah dalam praktek klinis: (a) spesifikasi dan penilaian dari tujuan terapi eksplisit; (b) spesifikasi dan penilaian terhadap prosedur dan proses; (c) Pemilihan langkah-langkah, (d) penilaian berkelanjutan pada beberapa kesempatan untuk melacak jalannya terapi, dan (e) evaluasi data. Penilaian lengkap kasus individu memiliki keuntungan dari pengumpulan data secara sistematis tanpa bergantung pada kelompok data, yang tidak benar-benar mencerminkan individu tertentu dalam terapi. Wacana ini hadir pada pro dan kontra dari desain studi pengaruh dan efektif menginformasikan kepada kita tentang perlunya untuk melacak perubahan klien untuk melakukan penilaian klinis terbaik. Penilaian multikultural dapat dilakukan dalam data menghasilkan cara yang sama.





D. Praktik konseling dan terapi Multikultural
a.       .Hakekat konseling Multikultural
Konseling lintas budaya merupakan hal baru. Ia baru popular kira-kira duapuluh tahun belakangan ini ( Padersen et al..,1981). Locke (dalam Brown et al, 1988) mendefinisikan konseling Multikultur sebagai bidang praktik yang (1) menekankan pentingnya dan keunikan (kekhasan)individu, (2) mengaku bahwa konselor membawa nilai-nilai pribadi yang berasal dari lingkungan kebudayaannya ke dalam setting konseling, dan (3) selanjudnya mengakui bahwa klien-klien yang berasal dari kelompok ras dan suku minoritas membawa nilai-nilai dan sikap yang mencerminkan latar belakang budaya mereka.
Dengan perkataan lain, ada tiga hal pokok yang menyangkut pengertian konseling multicultural. Pertama, individu itu penting dan has (unik), Kedua, waktu menjalankan konseling, konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya. Ketiga, klien dari kelompok minoritas etnik dan ras datang menemui konselor membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan latar belakang budayanya.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa konseling multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling
.
Konsep dasar konseling Multikultural Kajian menyangkut keragaman budaya dikenal beberapa istilah seperti cross cultur ( lintas budaya), intercultur ( antar budaya) dan multicultur ( multibudaya). Dalam konseling istilah multicultural atau multibudaya lebih sering digunakan karena mencerminkan kesetaraan dari masing-masing budaya dan menafikan keunggulan satu budaya pada budaya lain, (Pedersen,1988). Sebuah proses konseling dianggap sebagai konseling multicultural jika memenuhi situasi-situasi sebagai berikut :
– Apabila konselor dan konseli merupakan individu yang berbeda latar budayanya.
Konselor dan konseli dapat berasal dari satu ras yang sama, namun memiliki perbedaan dalam : jenis kelamin, usia, orientasi seksual, reregius, social ekonomi dan lain-lain, ( Sue et el, 1982) .
Draguns (1989), menawarkan point kunci dalam pelaksanaan konseling
multicultural yaitu :
1. Teknik konseling harus dimodifikasi jika terjadi proses yang melibatkan latar belakang budaya yang berbeda.
2. Konselor harus mempersiapkan diri dalam memahami kesenjangan yang makin meningkat antara budayanya dengan budaya konseli pada saat proses konseling berlangsung.
3. Konsepsi menolong atau membantu harus berdasarkan pada perspektif budaya konseli, dan konselor dituntut memiliki kemampuan mengkomunikasikan bantuannya serta memahami distrees dan kesusahan konseli.
4. Konselor dituntut memahami perbedaan gejala dan cara menyampaikan keluhan masing-masing kelompok budaya yang berbeda.
5. Konselor harus memahami harapan dan norma yang mungkin
berbeda antara dirinya dengan konseli. Kelima aspek tersebut menunjukkan konselor sebagai actor utama dalam proses dituttut memiliki kemampuan dalam memodifikasi teknik konseling dan memahami aspek-aspek budaya dari konselinya serta memahami kesenjangan dan perbedaan antara budayannya dengan budaya konseli.
b. Prinsip-prinsip Dasar Konseling multikultural.
Dalam melaksanakan konseling Multikultur pendapat beberapa prinsif yang harus dijalankan secara sinergis oleh konselor, konseli, dan proses konseling yang melibatkan kedua pihak secara timbal balik. Sebagai inisiator dan pihak yang membantu, konselor wajib memahami prinsip-prinsip tersebut dan mengaplikasikannya, dalam proses konseling. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dimaksut adalah sebagai berikut :
1. Untuk konselor
, Kesadaran terhadap pengalaman dan sejarah dalam kelompok budayanya.
ü  Kesadaran tentang pengalaman diri dalam lingkungan arus besar kulturnya.
ü  Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri dan nilai-nilai yang dimilikinya.
2. Untuk pemahaman konseli
ü  Kesadaran dan pengertian/pemahaman tentang sejarah dan pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
ü  Kesadaran perceptual akan pemahaman dan pengalaman dalam lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
ü  Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri konseli dan nilai-nilainya.
3. Untuk proses konseling
ü  Hati-hati dalam mendengarkan secara aktif, konselor harus dapat menunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal bahwa ia memahami yang dibicarakan konseli, dan dapat mengkomunikasikan tanggapannya dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
ü  Memperhatikan konseli dan situasinya seperti konselor memperhatikan dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan dorongan optimisme dalam menemukan solusi yang realistis.
ü  Mempersiapkan mental dan kewaspadaan jika tidak memahami pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu memintak penjelasan. Dengan tetap memelihara sikap sabar dan optimis.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
c.Karakteristik konselor multikultural
Untuk dapat melaksanakan proses konseling multikultural secara efektif, konselor multikultural dituntut memiliki beberapa kemampuan atau kopetensi.( Sue , 1978), menyebutkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh konselor multicultural sebagai berikut
1)      Mengenali nilai dan asumsi tentang perilaku yang diinginkan dan tidak diingikan.
2)      Memahami karakteristik umum tentang konseling
3)      Tanpa menghilangkan peranan utamanya sebagai konselor ia harus dapat berbagi pandangan dengan konselinya.
4)      Dapat melaksanakan proses konseling secara efektif.

Selain ke empat aspek tersebut, dalam artikelnya 1981, Sue menambahkan beberapa kompetensi yang harus dimiliki konselor multicultural sebagai berikut :
1.      Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap budayanya.
2.      Menyadari perbedaan budaya antara dirinya dengan konseli serta mengurangi efek negative dari perbedaan atau kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
3.      Merasa nyaman dengan perbedaan antara konselor dengan konseli baik menyangkut ras maupun kepercayaan.
4.      Memiliki informasi yang cukup tentang cirri-ciri khusus dari kelompok atau budaya konseli yang akan ditangani.
5.      Memiliki pemahamn dan keterampilan tentang konseling dan psikoterapi.
6.      Mampu memberikan respon yang tepat baik secara verbal maupun non verbal.
7.      Harus dapat menerima dan menyampaikan pesan secara teliti dan tepat baik verbal maupun non verbal.
Sebelas kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti dikemukakaan Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu : Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang konselor multicultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan social budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan dalam memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya yang berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami cirri-ciri khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Selain memiliki keanegaragaman budaya dan kepercayaan dalam masyarakat Indonesia terdapat beberapa kelompok khusus lainnya. Salah satu kelompok yang dimaksud adalah kelompok penyandang cacat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, kelompok ini memerlukan ruang dan pemberian kesempatan untuk dapat hidup wajar bersama masyarakat lainnya. Namun demikian , keunikan perilaku yang mereka tunjukkan, kendala yang mereka hadapi, dan diskriminasi yang mereka peroleh, menyebabkan kelompok penyandang cacat dinilai sebagai kelompok marjinal dan beban masyarakat.
Untuk menangulangi masalah tersebut, konseling dan multicultural dapat menjadi salah satu solusi. Oleh karena itu konselor multicultural perlu memiliki empati dan kompetensi dalam memberikan bantuan kelompok penyandang cacat sehingga dapat mendorong mereka berkiprah secara wajar ditengah masyarakatnya.

E.Keterbatasan dan Implikasi Konseling dalam terapi Multikultural
Saat ini pusat-pusat layananan konseling memiliki tingkat pemanfaatan yang rendah, ini dikarenakan:
1.      Munculnya stereotip di beberapa kalangan bahwa  pusat konseling tidak peduli tentang siswa dengan budaya yang beragam, yang tidak memiliki pemahaman tentang gaya hidup dan dinilai tidak memiliki pengalaman, dan tidak ada upaya mendorong ke arah partisipasi yang asli dan tulus. Benar atau salah, banyak siswa mengasumsikan bahwa konselor tidak akan mampu berhubungan dengan pengalaman kelompok minoritas mahasiswa dan, memang, bahwa representasi minoritas menjadi rendah akibat kebijakan rasis dan praktik yang mendiskriminasikan mempekerjakan staf minoritas.
2.      Adanya pemahaman dalam diri konselor bahwa dirinya hanyalah konselor tradisional, yang melayani klien dengan cara one- on – one, dan klienlah yang harus datang menemui konselor. Seharusnya daripada konselor menuntut bahwa klien harus beradaptasi dengan budaya konselor, mungkin lebih baik bagi konselor untuk menyesuaikan dan bekerja di dalam budaya klien. Dengan kata lain, peran alternatif ini melibatkan konselor lebih aktif dalam pengalaman hidup klien dari apa yang kita secara tradisional telah dilatih untuk melakukannya. Ketika konselor keluar dari kantor mereka ke dalam lingkungan klien mereka,disini konselor menunjukkan komitmen dan kepentingan individu. Menurut pandangan nontradisional, konseling tidak hanya duduk dan berbicara dengan klien, tetapi mungkin melibatkan diri dalam kegiatan dengan klien dalam lingkungan rumah nya, bermain biliard dengan klien, dan bekerja dalam situasi di mana individu minoritas ditemukan. Sayangnya, kebanyakan pelatihan dalam konseling dan psikologi klinis tidak memberikan pengalaman yang cukup dengan jenis program penjangkauan agen perubahan. Memang, konselor sering kecewa dengan klien pada pertemuan di tempat klien karena itu dianggap "tidak profesional" dan bukan bagian dari peran konselor.
3.      Seringkali, konselor lebih tertarik dengan permasalahan personal-emosional (kejiwaan) dibandingkan dengan masalah pendidikan atau kejuruan. Namun tampaknya banyak orang itu jauh lebih peduli dengan tujuan-tujuan mereka yaitu kejuruan, pendidikan, dan karier. Contoh kasus disini terjadi pada budaya Asia Amerika bahwa siswa hanya dituntut ketuntasan akademik tanpa memberikan gambaran tentang karir apa yang akan diambil ke depan oleh siswa tersebut. Sedangkan konselor cenderung untuk melihat konseling pendidikan-kejuruan kurang bergengsi, maka sangatlah mungkin bahwa ini dikomunikasikan kepada populasi siswa.
   
Berdasarkan contoh kasus pada seorang klien bernama Fernando dengan latar belakang budaya Amerika Selatan yang secara kasat mata terlihat mengalami gangguan kecemasan akut, terlihat disini konselor mengahadapi berbagai hambatan ketika proses konseling diantaranya:
1.      Bahasa yang digunakan antara konselor dengan klien berbeda
2.      Diikutsertakannya penerjemah dalam proses konseling yang apa pada awalnya bertujuan untuk membantu konselor memahami maksud klien, namun karena penerjemah itu bagian dari anggota keluarga klien,maka muncul bias.
3.      Saratnya nilai-nilai budaya keluarga pada diri klien
4.      Munculnya stereotip tentang beberapa hal terkait dengan pribadi klien yang dihubungkan dengan persepsi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda.
5.      Kesulitan pemberian alternatif penyelesaian masalah dikarenakan benturan nilai budaya
Profesi konselor telah dinilai gagal untuk memberikan kontribusi pada perbaikan keanekaragaman kelompok budaya di Amerika. Program pelatihan Psikologi telah mendapatkan gambaran yang keliru tentang klien minoritas, baik dalam literatur  popular dan literatur ilmiah. Gambaran yang tidak tepat itu antara lain adalah: (a) asumsi monokultur kesehatan mental, (b) stereotip negatif patologi untuk gaya hidup minoritas, dan (c) ketidak efektifan,  ketidak pantasan dimana pendekatan konseling dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh minoritas.
Di daerah Amerika Serikat dan beberapa negara, konseling dan  psikoterapi digunakan terutama di dalam wilayah penduduk kelas menengah dan kelas atas . Hal ini mengakibatkan, keberagaman nilai-nilai dan karakteristik budaya klien tidak terlihat di kedua tujuan dan proses terapi. Schofield (1964) telah mencatat bahwa terapis cenderung lebih suka klien yang menunjukkan sindrom YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent, and Succesfull) muda, menarik, verbal, cerdas, dan sukses. Pandangan ini cenderung mendiskriminasikan orang dari kelompok minoritas yang berbeda atau mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah. Hal ini telah membuat Sundberg (1981) menunjukkan diskriminasi bagi terapi QUOID (Quiet, Ugly, Old, Indigent, and Dissimilar Culturally): diam, jelek, tua, miskin, dan berbeda budaya.
Hambatan-hambatan yang menjadi tidak efetifnya proses konseling yang terkait dengan budaya klien dan konselor adalah:
1.      Nilai budaya. Seperti kasus Fernando di atas, dia berekasi paranoid dan penuh kecurigaan, disini seorang terapis profesional harus mempertimbangkan apakah ada alasan-alasan sosial politik, budaya, atau biologis untuk gejala- gejalanya yang melatar belakangi perilaku Fernando tersebut. Dalam beberapa studi ditemukan bahwa nilai budaya membuat seseorang lebih diterima untuk beberapa populasi, misalnya jika kita datang ke sebuah tempat dengan budaya yang berbeda namun kita tidak bisa menyesuaikan diri maka kita akan sulit diterima. American Psychiatric Association's Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders (2000) mengakui bahwa tidak semua budaya memiliki kesulitan dalam penyesuaiannya, hanya beberapa budaya saja yang memiliki kultur budaya sangat spesifik yang sulit disesuaikan dengan kultur pribadi seseorang. Sedangkan kebanyakan konselor hanya mempertimbangkan aspek-aspek internal dari klien saja tetapi mengabaikan beberapa aspek eksternal klien salah satunya nilai budaya yang dianut klien. Nilai budaya seseorang sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonominya, hal ini juga yang menjadi salah satu hambatan dalam proses konseling, dalam kasus diatas dicontohkan masalah transportasi. Klien yang status sosial ekonominya kurang dan dia tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan akan mengalami kesulitan dalam perjalanannya menuju tempat terapi yang berada di perkotaan. Sebagai konselor seharusnya dapat melakukan kunjungan rumah, namun banyak konselor yang merasa segan, takut dan tidak nyaman karena dalam pandangannya klienlah yang membutuhkan konselor sehingga dia yang harus datang pada konselor.
2.      Bahasa. Dengan begitu beragamnya bahasa, dianggap akan menyulitkan proses konseling, karena di dalamnya membutuhkan verbalisasi pikiran dan perasaan supaya klien dapat menerima bantuan yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan teknik pendekatan psikoanalisis oleh Frued tentang terapi bicara, dimana klien harus mengungkapkan apa yang ada di pikirannya melalui bicara. Hal ini juga menjadi kendala jika klien tidak dapat berbahasa nasional, dan hanya menguasai bahasa daerahnya sendiri. Namun kendala ini dapat diminimalisir dengan adanya seorang penerjemah, namun diharapkan yang mampu memberikan terjemahan yang akurat, (tidak semua bahasa memiliki makna yang sama meskipun dari wilayah daerah yang sama) dan juga diharapkan proses wawacara yang dilakukan konselor tidak menyalahi aturan keluarga klien misalnya ada garis patriarkis yang sangat kuat pada budaya keluarga tersebut.
3.      Isu budaya. Dalam proses konseling, konselor harus berhati-hati dalam interaksinya dengan klien, karena banyak isu-isu budaya yang dijunjung tinggi oleh klien dan itu berpengaruh pada lingkungan klien. Sebagai contoh klien dengan budaya patriarkis yang sangat kuat, akan sangat  menyinggung atau membuat salah paham pada salah seorang kepala keluarga karena konselor hanya akrab dengan anaknya yang mampu berbahasa nasional. Ini dinilai ”lancang” atau “pamali” karena melangkahi otoritas kepala keluarga.
4.      Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan. (Pedersesn, Lonner dan Draguns dalam Carter, 1991).
5.      Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, dan variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai.
Karakteristik dari konseling dan psikoterapi, yang dapat memicu konflik bagi kelompok budaya yang beragam, telah diidentifikasi pada awal tahun 1970 (DW Sue & Sue D., 1972).
1.      Terapis cenderung menuntut klien mereka untuk menunjukkan sikap keterbukaan diri. Kebanyakan teori membantu menempatkan premi yang tinggi pada kemampuan  ekspresi verbal, emosional, dan perilaku. Hal  ini adalah sebagai salah satu tujuan akhir dari terapi yang dilakukan.
2.      Terapi secara tradisional cenderung  mendorong klien untuk berbicara tentang aspek yang paling intim dari kehidupan mereka. Individu yang gagal atau menolak pengungkapan diri dapat dilihat sebagai seorang yang kaku, defensif, atau dangkal.
3.      Situasi konseling atau terapi ini sering bersifat ambigu.  Dimana klien didorong untuk mendiskusikan masalah saat konselor mendengarkan dan merespon. Sementara situasi terapi terstruktur dan kekuatan klien menjadi peserta aktif utama. Dengan pola komunikasi umumnya dari klien dengan terapis.
4.      Faktor lain yang  diidentifikasi sebagai karakteristik umum dari terapi adalah (a) orientasi satu bahasa, (b) penekanan pada tujuan jangka panjang, (c) penekanan perbedaan antara mental dan kesejahteraan fisik dan (d)  hubungan sebab-akibat. Lagi pula umumnya sejak terapi terisolasi dari lingkungan dan kontak yang singkat dengan klien (50 menit, seminggu sekali), secara alamiah mengarah pada pencarian tujuan  dan solusi jangka panjang.
Faktor lain yang penting dan sering diabaikan dalam terapi adalah adanya asumsi bahwa perbedaan yang jelas dapat terjadi antara kesehatan mental, penyakit fisik, ini terjadi pada pandangan Barat, sedangkan pada beberapa budaya lain  tidak dapat dibedakan secara jelas antara keduanya. Pemisahan tersebut mungkin membingungkan untuk beberapa klien yang beragam budaya sehingga menyebabkan masalah dalam terapi.
Ornstein's (1972), mengidentifikasi fungsi ganda otak, yang memiliki implikasi menarik untuk kegiatan terapi. Belahan otak kiri terlibat dengan proses linier, rasional, dan kognitif, sedangkan bagian otak kanan cenderung intuitif, perasaan. Bila kedua belahan otak beroperasi dalam model saling interdependen, maka mereka memfasilitasi fungsi kita sebagai manusia. bahwa  /linier logis / analitik / mode verbal otak kiri mendominasi pemikiran Barat. Sedangkan / holistik / kreatif intuitif / fungsi nonverbal dari otak kanan telah diabaikan dalam budaya Barat dan dipandang sebagai modus kurang sah berekspresi.
Implikasi Konseling
Helms (1984) mendefinisikan empat kemungkinan jenis hubungan antara konselor berkulit Putih dan klien kulit Hitam (atau sebaliknya); paralel, progresif, regresif, dan disilangkan. Hubungan paralel adalah satu di mana konselor dan klien berada pada tingkat yang sama ras-identitas pembangunan. Dalam hubungan yang progresif, konselor setidaknya satu tingkat lebih tinggi dari klien. Dalam hubungan regresif, konselor setidaknya satu tingkat lebih rendah dari klien. Akhirnya, dalam hubungan disilangkan, konselor dan klien memiliki sikap yang saling bertentangan.

 ASIA AMERIKA
Asia Amerika adalah kelompok minoritas yang paling cepat berkembang 20,6 juta penduduk di negara-negara Serikat. Asia Amerika adalah kelompok  yang sangat heterogen, dengan tersebar sedikitnya  di 29 negara di Asia dan Kepulauan Pasifik, semua menggunakan dengan bahasa mereka sendiri, adat istiadat, dan agama (D. Sue1998).
Pola budaya, Meskipun banyak perbedaan yang ada antara Amerika Asia, pada beberapa pola budaya yang luas telah diidentifikasi.
a)      Ketaatan atau kepatuhan kepada orang tua.
b)      Familial Interdependensi
c)      Sistem patriarchal
d)      Menahan Emosi
e)      Komunikasi Konteks Tinggi
Helms dan Model cook (1999) dapat digunakan dengan Asia Amerika. Selain itu, Atkinson et al. (1998) mengusulkan pengembangan Minority Identity Development (MID) model yang dapat berguna dalam memahami hubungan kelompok Amerika Asia mereka itu sendiri dan budaya yang dominan. Model MID ini mendefinisikan sikap responden tidak hanya terhadap kelompok dominan tetapi juga terhadap kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Konsultasi dengan Guru
Hubungan konselor dan guru selalu penting ketika seorang siswa yang mengalami masalah akademis. Hal ini bahkan lebih penting ketika siswa adalah anggota dari kelompok minoritas. Ada dasar bahwa budaya untuk belajar dan sekolah kepribadian Negara Selors harus peka terhadap konflik antara gaya mengajar Eurocentric tradisional dan cara siswa dari budaya lain belajar. Vazquez (1998) menyarankan tiga langkah prosedur untuk mengadaptasi instruksi untuk ciri-ciri budaya. Konselor sekolah dapat memainkan peran dalam setiap langkah prosedur, khususnya dengan membantu guru mengidentifikasi ciri-ciri budaya siswa dan kemudian membantu mereka untuk beradaptasi.
Konseling Siswa
Catatan sekolah merupakan sumber informasi berharga tidak hanya pada prestasi, tetapi juga pada latar belakang keluarga, hasil tes psikologis, dan penilaian guru pada para pelaja.
Berkonsultasi dengan Orangtua
Berkonsultasi dengan orang tua memberikan informasi berharga tentang sejarah psikososial anak; lebih penting, ia melibatkan orang tua dalam pendidikan anak mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua terlibat dalam pendidikan anak mereka, penciptaan lingkungan belajar di rumah, dan harapan akademik positif memiliki dampak yang signifikan terhadap prestasi siswa (Henderson, 1987).Tetapi ketika orang tua imigran, miskin, atau orang kulit berwarna, membuat mereka terlibat dalam sebuah kolaborasi dengan sekolah dapat menantang.
Memperkenalkan Kesadaran Multikultural
Konselor sekolah, karena dari pelatihan mereka dan kepekaan terhadap isu-isu keragaman, terutama dilengkapi dengan baik untuk meningkatkan kesadaran multikultural di sekolah. Seringkali proses ini yang tidak resmi, hanya memperkenalkan isu-isu ras dan budaya ke dalam percakapan dengan guru dan anggota staf lain. Kuncinya adalah memiliki pengetahuan tetapi tidak mengancam. Tapi lebih penting dari kesempatan yang diberikan oleh pertemuan individu adalah peluang untuk mengembangkan program untuk meningkatkan multikulturalisme di seluruh sekolah.
L.S. Johnson (1995) mengusulkan bahwa konselor sekolah membantu mendirikan sebuah dewan penasehat multikultural dalam sistem sekolah untuk bertanggung jawab mengidentifikasi isu-isu keragaman. Dewan harus mewakili bagian-lintas dari kelompok ras dan etnis dan fungsi (administrator, guru, orang tua, mahasiswa, dan tokoh masyarakat). Setelah dewan mengidentifikasi bidang keprihatinan, para anggota dapat mulai menetapkan tujuan dan sasaran dan rencana kegiatan pertemuan mereka. Misalnya, dewan prihatin kesadaran multikultural di antara anggota staf sekolah. Dewan mungkin merekomendasikan serangkaian lokakarya pengembangan staf yang dipimpin oleh otoritas pada multikulturalisme. Lokakarya ini bisa memiliki tujuan dua dimensi, pengetahuan diri dan orang lain. Melalui rasial identitas latihan, guru dan anggota staf lain dapat memahami dinamika diferensial kekuasaan di antara ras dan etnis.
Persiapan Postsecondary
Persiapan postsecondary siswa dari latar belakang budaya minoritas merupakan tantangan khusus. Seringkali para siswa kekurangan peran model dan pemahaman yang kuat tentang bagaimana mempersiapkan untuk kehidupan setelah SMA. Konselor sekolah dapat memainkan peran penting dengan siswa ini dengan menyediakan mereka dengan informasi yang akurat dan menunjukkan kepada mereka bagaimana aspirasi mereka dapat menjadi kenyataan.
Kebutuhan Informasi yang Akurat
Realitas memiliki banyak hubungannya dengan mempersiapkan siswa dari berpenghasilan rendah dan minoritas kelompok untuk kehidupan setelah SMA. Sangat penting, bahwa konselor sekolah, khususnya di sekolah dasar, mengekspos siswa minoritas untuk orang-orang yang nyata melakukan berbagai pekerjaan nyata. Sama penting adalah kunjungan ke sebuah kampus, di mana anak-anak dapat berbicara dengan mahasiswa dan seorang professor.
Konselor sekolah bekerja sama dengan siswa dari budaya minoritas harus membangkitkan para siswa tentang peluang karier mereka dan menyediakan mereka dengan informasi yang akurat tentang pekerjaan yang terlibat dalam membuat peluang tersebut menjadi kenyataan.
Sekolah untuk Masa Peralihan Kerja
Sejumlah besar siswa minoritas tidak melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus. Konselor sekolah harus yakin bahwa siswa ini meninggalkan sekolah tinggi dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk bekerja pada pekerjaan yang baik. Jika seorang siswa mengatakan dengan serius bahwa dia ingin pergi ke perguruan tinggi, konselor sekolah dan sekolah harus melakukan yang terbaik untuk membuat itu terjadi. Tapi konselor sekolah dan sekolah juga memiliki tanggung jawab untuk mereka yang tidak kuliah yang terikat.
Isu-isu Etis dan Hukum
Sebagian besar materi dalam bab ini dirancang untuk membantu konselor sekolah memahami sosialisasi budaya mereka sendiri dan bahwa dari kelompok ras atau etnis utama di Amerika Serikat. Pemahaman ini bukanlah pilihan, ini adalah tanggung jawab etis.
Konselor sekolah profesional memahami latar belakang budaya yang beragam dari konseli dengan siapa laki-laki/perempuan bekerja. Ini mencakup, namun tidak terbatas pada, belajar bagaimana konselor sekolah sendiri memiliki dampak  identitas budaya/etnis atau nilai-nilainya dan keyakinan tentang proses konseling. (American School Counselor Association, 1998)

           

















Bab III
Penutup
A.    Kesimpulan
1.Konseling multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling.
2. Untuk dapat memberikan konseling multicultural secara efektif, konselor multicultural harus dapat memahami karakterbudaya dari konselingnya, serta merancang segala tindakan dalam perspektif budaya konseling.
3. Beberapa prinsip dasar yang harus disadari konselor dalam melaksanakan konseling multicultural antara lain :
a.Kesadaran tentang kemampuan konselor
b.Kesadaran tentang memahami konseli dan nilai-nilainya.
ssc. Kesadaran tentang kemampuan melaksanakan proses konseling yang mampu mendorong optimisme dan menemukan sulusi yang realistis.

















Pustaka
Wanda M.L. Lee, John A. Blando, Nathalie D. Mizelle, Graciela L. Orozco (2007) Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals. New York: Routledge Taylor & Francis Group.)
               Colin Lago (2006). Race, Culture and Counselling. England: McGraw-Hill House;Tracy L.Robinson-Wood (2009). The Convergence of  Race, Ethnicity, and Gender : Multiple Identities in Counseling. New Jersey: Pearson Education.Inc.
Allen E. Evey, Mary Bradford Counseling and Psychoterapy A Multicultural Perspective. Boston: Allyn and Bacon.Ivey & Lynn Simek-Morgan (1993).
Allen E. Ivey & Mary Badford Ivey (2003). Intentional Interviewing and Counseling: facilitating Client Development in a Multicultural Society.USA: Brooks/Cole.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar