Minggu, 19 Juni 2016

KONSEKUENSI MULTIKULTURAL ATAU LINTAS BUDAYA DALAM KONSELING




KONSEKUENSI MULTIKULTURAL ATAU LINTAS BUDAYA DALAM KONSELING



KONSEKUENSI MULTIKULTURAL ATAU LINTAS BUDAYA DALAM KONSELING

A.      Shok Budaya Atau Stres Akulturatif
Shok budaya atau culture shock diperkenalkan oleh Oberg (1960) untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustrasi dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Sementara Funham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tidak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Definisi ini menolak penyebutan bahwa culture shock sebagai gangguan yang sangat kuat dari rutinitas, ego dan self image indvidu.
Dengan demikian terjadinya culture shock baiasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini yaitu :
  1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gesture), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
  2. Putusnya komunikasi antar pribadi baik ada tingkat yang disadari maupun yang tidak disadari yang mengarahkan pada frustrasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.
  3. Krisis identitas, dengan pergi keluar negeri sesorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda. Mungkin ini dapat mengenai individu yang mengalami perpindahan dari suatu daerah ke daerah yang lainnya di dalam negeri sendiri sampai individu yang berpindah ke negeri yang lain. Dalam banyak kasus, culture shock akan dialami oleh individu yang hidup di luar negeri untuk periode waktu yang lama.
Pada awalnya definisi culture shock cenderung pada kondisi gangguan mental. Bowlby (1960) menggambarkan kondisi ini sama seperti dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan sehingga dapat dikaitkan mirip dengan kondisi seseorag ketika kehilangan orang yang dicintai. Bedanya dalam culture shock individu merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya kehilangan kulturnya.
Ide culture shock tersebut telah mengarahkan para peneliti untuk menyamakan dengan model “pseudo medical”, sehingga untuk menolong orang-orang yang mengalami culture shock tersebut adalah dengan cara membantunya untuk beradaptasi terhadap kultur yang baru. Ide-ide tentang teknik beradaptasi terhadap kultur baru ini memunculkan ide tentang bentuk kurve U. Teori ini berpendapat bahwa orang-orang yang menyeberang pada kultur lain akan mengalami tiga fase penyesuaian, yakni pada awalnya timbul kegembiraan dan optimisme, kemudian diikuti oleh frustrasi, depresi dan kebingungan, dan pada akhirnya muncul keadaan adaptasi atau penyesuaian diri. Ide ini menyarankan bahwa untuk mencegah culture shock harus dilakukan transformasi mental dalam pikiran individu, sehingga model ini menganggap bahwa satu kultur lebih unggul daripada kultur yang lain. Jika seseorang dapat dibujuk untuk membuang ide-ide lamanya dan beradaptasi terhadap ide-ide baru, maka semua masalah akan teratsi.
Pada perkembangan selanjutnya para peneliti mengembangkan ide baru tentang bagaimana menghadapi culture shock. Kemudian muncullah model “culture learning” yang digagas Funham dan Bochner yang mengemukakan bahwa individu hanya memerlukan untuk belajar dan beradaptasi terhadap sifat-sifat pokok dari masyarakat baru, sehingga pada saat menyesuaikan terhadap kultur/ budaya baru tersebut individu belajar bagaimana bertingkah laku dalam budaya baru itu dan setelahnya akan ada perubahan yang berarti dalam pikirannya.
Funham dan Bochner menyatakan bahwa untuk dapat menyesuaikan dengan budaya baru, individu tidak perlu menjadikan budaya baru tersebut sebagai bagian dari dirinya sehingga seolah-olah ia mengembangkan dua kultur/ budaya.
B.       Domain-Domain Dari Efektivitas Hubungan Antarbudaya
Para ahli telah mengajukan daftar secara beragam tentang ciri psikologis yang di anggap penting dalam menunjang kesuksesan adaptasi dalam hubungan antar budaya. Tetapi akhir-akhir ini, Hammer (1987) telah memadukan telaah yang berbeda itu dan menyimpulkan ada tiga domain ketrampilan dasar yang terlibat dalam kehidupan antar budaya yang efektif, yaitu:
1.    Memfokuskan pada intrapsikis dan melibatkan kemampuan untuk mentoleransi dan mengelola stress yang muncul dalam penampungan pada lingkungan fisik dan sosial yang baru.
2.    Domain ketrampilan yang melibatkan kemampuan untuk memantapkan dan memelihara hubungan dengan orang asing dari kebudayaan lain.
3.    Ketrampilan komunikasi yang efektif, seperti kemampuan untuk menyesuikan dengan kesalahan komunikasi, untuk memahami sudut pandang orang lain, dsb.
Domain-domain tersebut antara yang satu dengan yang lainnya saling independen dan memerlukan kemampuan psikologis yang berbeda. Domain-domain tersebut berakar pada budaya secara umum dan dapat diterapkan dari latar belakang budaya mana saja baik oleh pendatang maupun tuan rumah.
1.    Studi Tentang Hasil / Akibat Dari Kontak Antar Budaya
Hipotesis kontak menyatakan bahwa interaksi antar anggota kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka dan permusuhan antar kelompok. Tetapi hasil penelitian selanjutnya secara progresif mempersempit rentangan keadaan yang memungkinkan anggapan ini terjadi. Bahkan kontak juga belum tentu memajukan hubungan interpersonal (Stoebe, Lenkert, dan Jones, 1988). Pada tingkat interpersonal, hasil penelitian terdapat secara menyebar dalam tipe-tipe kontak yang berbeda. Misal penelitian Furnham dan Bochner (1986) menyimpulkan bahwa para pelajar asing tidak memiliki satupun sahabat karib dari tuan rumah, bahkan setelah bertahun-tahun bermukin di tempat itu, sehingga secara sosial sangat terisolasi dari masyarakat tuan rumah.
Triandis juga menemukan penghentian terlalu awal pada para eksekutif Amerika yang di tugaskan ke luar negri antara 25 sampai 40%. Temuan yang lain menunjukkan perceraian lebih banyak terjadi pada perkawinan antar budaya daripada perkawinan dari budaya yang sama. Penelitian pada perilaku menolong menunjukkan bahwa orang (lain) sebangsa lebih banyak mendapatkan pertolongan daripada orang asing. Dapat disimpulkan bahwa hubungan lintas budaya lebih sulit dikelola daripada hubungan dalam budaya yang sama (monokultur). Meskipun demikian, para ahli mengemukakan beberapa prediktor spesifik yang menentukan keberhasilan dalam hubungan antar budaya, yaitu:
a.    Prediktor Kultur
Orang yang terisolasi dalam budaya yang secara eksklusif kolektif akan lebih menderita ketika berada dalam kultur laindaripada mereka yang terisolasikan pada budaya yang cenderung mengarahkan pada pengembangan diri (self-direction)dan luwes interaksinya. Prediksi lain menyatakan bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke suatu negara/bangsa lain yang memilki perbedaan budaya yang sangat banyak akan lebih banyak mengalami kesulitan.
b.    Prediktor Demografi
Kelompok yang berasal dari status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan serta status pekerjaan yang lebih tinggi memiliki sikap yang positif terhadap kelompok yang berlainan budaya. Demikin pula, kelompok dari status budaya yang lebih tinggi mempunyai sikap antar budaya yang lebih positif.
2.    Pengaruh-pengaruh sosial
Stephen (1985) mengajukan 13 ciri/faktor sosial yang dapat meningkatkan keharmonisan antar kelompok, yaitu:
a.    Kerjasama dalam kelompok harus dimaksimalkan dan kompetisi antara dua kelompok harus diminimalkan.
b.    Anggota-anggota kelompok yang melakukan kontak (baik dalam maupun antar kelompok) harus memiliki status yang sama.
c.    Kesamaan dimensi non-status dari anggota kelompok (keyakinan, nilai, dan sebaginya) diperlukan.
d.   Perbedaan dalam kompetensi harus dihindarkan.
e.    Hasil/akibatnya harus positif.
f.     Dukungan normatif dan institusional yang kuat terhadap kontak yang dilakukan harus ada.
g.    Kontak antar kelompok harus memiliki potensi untuk berkembang dalam waktu segera.
h.    Individuasi anggota kelompok harus ditingkatkan.
i.      Kontak non-superfisial (mendalam) harus ditingkatkan.
j.      Kontak harus bersifat suka rela.
k.    Efek-efek positif berhubungan dengan lamanya kontak.
l.      Kontak harus terjadi dalam bermacam-macam konteks dengan berbagai anggota kelompok (baik in-group maupun out group).
m.  Jumlah anggota (in group dan out group) harus sama.
3.    Faktor-faktor Kepribadian
Ward dan Kennedy melakukan pendekatan melalui pembedaan dua bentuk adaptasi. Yang pertama, yaitu adaptasi psikologis yang menunjukkan kemampuan intrapsikis untuk menghadapi lingkungan baru yang dikehendaki. Yang kedua, yaitu adaptasi sosiokultural yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan negosiasi interaksi dengan anggota-anggota budaya tuan rumah yang baru.
Adaptasi psikologis dipengaruhi oleh pusat kendali internal, beberapa perubahan kehidupan, kontak dengan teman sebangsa yang lebih banyak untuk mendapatkan dukungan sosial, dan kesulitan yang lebih rendah dalam mengelola kontak sosial sehari-hari. Sedangkan adaptasi sosiokultural meningkat dengan adanya tingkat perbedaan yang lebih rendah antara budaya tuan rumah dan pendatang, interaksi yang lebih banyak dengan tuan rumah, ekstroversi, dan tingkat gangguan mood yang lebih rendah.
4.    Ketrampilan-ketrampilan (skills)
Argyle (1979) telah mengidentifikasikan tujuh ketrampilan sosial(social skills) yang dapat dikembangkan pada orang-orang, mencakup perspective taking, ekspresi, percakapan, assertiveness, emosionalitas, kontrol kecemasan, dan afiliasi. Sementara Berry dan Kim (1988) mencoba menemukan factor budaya dan psikologis yeng menentukanhubungan kontak antar budaya dengan kesehatan mental. Menurut mereka, akulturasi atau kontak antar budaya  kadang meningkatkan peluang hidup seseorang dan kesehatan mental, kadang-kadang merusak kemampuan seseorang untuk menghadapinya atau terjadinya stress akulturatif / culture shock. Konsepsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :







 








Fakor-faktor yang memerantarai hubungan antara akulturasi dan stress
Ø  Modus akulturasi : Integrasi, asimiliasi, Separasi, Marjinalisasi
Ø  Fase akulturasi : Kontak, konflik, krisis, adaptasi
Ø  Kebaradaan masyarakat yang lebih luas : Multikultural lawan asimilasionist, Prasangka dan diskkriminasi
Ø  Ciri-ciri kelompok yang berakulturasi : Usia, status, dukungan sosial
Ø  Ciri-ciri individu yang berakulturasi : Penilaian, pengatasan, sikap, kontak

5.    Kehilangan Budaya?
Pada tingkat individual, kehilangan identitas budaya bisa terjadi karena adanya kontak antar budaya. Namun, tidak semua kontak akan menyebabkan kehilangan akar budaya. Menurut Rosenthal dan Feldman (1992) identitas etnis merupakan suatu konsep yang multidimensional, yaitu meliputi :
a.       Evaluasi diri yang subjektif (sejauh mana orang menggambarkan diri melalui label etnis ?)
b.      Makna evaluative terhadap makna keanggotaan seseorang pada suatu kelompok etnis (positif  / negatif)
c.       Praktik-praktik budaya dari kelompok yang dimiliki seseorang  (pilihan persahabatan, penggunaan bahasa, kesukaan makanan dsb.)
d.      Pentingnya kelekatan pada praktik-praktik ini
Apabila aspek-aspek identitas tersebut tidak berkorelasi tinggi, maka kontak budaya hanya akan berpengaruh pada aspek-aspek tertentu saja dari etnis tersebut.
6.    Penambahan Budaya?
Kemungkinan yang lebih diharapkan dalam kontak antar budaya pada tingkat kelompok adalah adanya integrasi. Hal ini terjadi ketika kelompok-kelompok yang berbeda mempertahankan identitas budayanya dalam beberapa hal, tetapi memunculkan penghargaan yang lain pada aspek-aspek yang mengatasnamakan kelompok. (Bochner 1982). Integrasi ini adapat terjadi dalam konteks pekerjaan dan politik yang disokong oleh “ sikap-sikap akulturasi”, yaitu : a) memelihara hubungan dengan kelompok lain, b) mempertahankan identitas dan karakteristik budaya yang dimilikinya.
Sementara pada tingkat personal atau pribadi, respon terhadap suatu konteks sosial integrative merupakan seperangkat sikap terbuka yang memungkinkan seseorang untuk menyeleksi, mengkombinasi, dan mensintesiskan ciri-ciri yang pantas atau layak dari suatu system sosial yang berbeda tanpa kehilangan inti budayanya. Ia tidak chauvinistic tentang kebudayaannya sendiri, tetapi menyadari sepenuhnya kekuatan dari tiap kelompok budaya yang bermacam-macam yang ia hubungi.

C.      Bias Budaya Dan Teori-Teori Konseling
Di dalam proses konseling, konselor maupun klien membawa serta karakteristik-karakteristik psikologisnya, seperti kecerdasan, bakat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Di Indonesia kebanyakan hanya berfokus pada masalah psikologis tersebut tanpa memperhatikan unsur budaya yang dibawa oleh konselor maupun klien dimana hal tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku dan menentukan efektivitas proses konseling (Bolton-Brownlee, 1987).
Etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, bahasa verbal maupun non verbal serta bias-bias budaya berpengaruh dalam menentukan perilaku klien maupun konselor. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin banyak kesesuaian antara konselor dengan klien dalam hal-hal tersebut maka akan semakin besar kemungkinan konseling untuk dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, seorang konselor harus memahami dirinya sendiri termasuk bias-bias budaya yang ada pada dirinya. Kemampuan konselor untuk memahami dirinya merupakan titik awal kemampuan konselor untuk memahami dan membantu orang lain. Pemahaman konselor terhadap klien harus secara menyeluruh meliputi bias-bias budaya yang telah dikemukakan sebelumnya. Apabila konselor berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dengan klien maka konselor harus secara sadar dan cepat untuk melakukan penyesuaian agar respon-respon lebih efektif.
Apa yang dikemukakan diatas berkenaan dengan aspek yang memang sangat sentral dalam konseling, yaitu keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Dalam hal ini, teori konseling yang dianggap telah mapan dan diterima luas seklaipun tetap mengandung bias-bias budaya. Nathan Deen (1985) memberikan contoh model konseling  Client centered dari Carl Rogers mengandung bias budaya apabila diterapkan kepada semua orang tanpa kecuali. Konseling ini mengandalkan kemampuan klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara verbal dan artikulatif yang dengan itu hubungan konseling dibangun.
Berdasarkan penelitian di Negara-negara Barat sekalipun, kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh semua orang dari semua strata sosial. Oleh karena itu dalam konteks persekolahan, Deen mengemukakan bahwa untuk menjadi seorang penolong yang baik, suatu hal yang fundamental bahwasanya konselor perlu mengembangkan pemahaman yang empatik terhadap norma dan nilai dibalik pertanyaan helpee (orang yang membutuhkan pertolongan). Oleh karena itu, budaya empati memiliki arti penting bagi konselor yang bekerja di sekolah yang multicultural. Dari hasil penelitian Harrison (Athinson, 1985: 193) diketahui bahwa konseli / klien cenderung lebih menyukai konselor dari ras yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa ras dan etnis merupakan identitas dasar yang secara tidak disadari mengikat individu-individu dalam kelompok etnis/ras yang bersangkutan diamana menurut Jung disebut dengan ketidaksadaran kolektif.
Efektifitas proses konseling juga dipengaruhi oleh sifat-sifat psikologis yang terkait dengan latar belakang etnik/budaya konselor. Dipandang dari persepektif lintas budaya, situasi konseling adalah sebuah perjumpaan kultural antara konselor dengan klien. Dalam proses konseling terjadi proses belajar ternferensi dan counter-transferensi, dan saling menilai. Pada keduanya, juga terjadi saling meneraik inferensi. Bukan hanya konselor yang menarik inferensi tetapi klien juga melakukannya. Dalam inferensi terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi yaitu : “AKU seperti yang AKU persepsikan” vs “AKU seperti yang ENGKAU persepsikan”; dan “ENGKAU seperti yang ENGKAU persepsikan” vs “ENGKAU seperti yang AKU persepsikan”.
Dari segi konselor, ketepatan inferensi tergantung pada kemampuan pemahaman secara utuh terhadap diri klien. Sedangkan dari segi klien, ketepatan inferensi merujuk pada pole-pole perilaku yang dimiliki sebelumnya. Masalah akan timbul ketika terdapat inkongruensi antara persepsi dengan nilai-nilai yang menjadi referensi kedua belah pihak, dan sumber terjadinya distorsi yang sangat besar adalah ketidak pekaan konselor terhadap latar belakang budaya klien.

D.      Stereotipe, Prasangka, Dan Rasisme Dalam Konseling
E.       Kendala Dalam Konseling Multikultural 
F.       Isu-Isu Dalam Konseling Multikultural

G.      Meningkatkan Kontak Antarbudaya Dalam Konseling
1.    Pertimbangan-pertimbangan organisasional
Faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi sesorang bekerja lebih efektif melalui garis lintas budaya adalah sebagai berikut :
a.    Suatu kebijakan organisasi yang secara eksplisit mendukung pluralisme kultural.
b.    Manajemen puncak yang menyokong dan menjadi model (contoh) akomodasi budaya
c.    Adanya rekan-rekan dari budaya yang sama bagi pendatang baru di dalam atau di luar kerja yang dapat memberikan dukungan social
d.   Perhatian terhadap factor-faktor yang penting dalam penyesuaian pasangan, seperti berkonsultasi dengan mereka sebelum penugasan
e.    Pelatihan dalam menggunakan bahsa secara efektif yang bisa digunakan dalam organisasi baik bagi penutur asli ( naratif speaker) maupun tidak.
f.     Pelatihan secara mendalam pada budaya baru sebelum pemberangkatan seperti sifat-sifat atau kebiasaan lingkungan baru
g.    Adanya mediator kultural in-house untuk memberikan saran-saran dan konsultasi kepada pendatang baru mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penyesuaian kultural
h.    Penggunaan kriteria untuk evaluasi kinerja yang mencakup aspek-aspek efektifitas lintas budaya seperti kemampuan untuk mengatasi kesalah pahaman
i.      Pertimbangan problem pulang kembali seseorang setelah menjalani tugas di luar negeri, terutama memberikan jaminan bahwa tugas tersebut cocok bagi perkembangan karir pada masa mendatang.
2.    Seleksi Personil
Dalam seleksi personel, akan lebih bijaksana apabila mempertimbangkan juga latar belakang budaya yang hampir sama dengan budaya tuan rumah, menggunakan beberapa skema seperti pemetaan nilai-nilai untuk memasangkan budaya pendatang dan budaya local. Skill yang relevan secara kultural, seperti bahasa atau pengetahuan tentang sejarah dan literatur budaya tuan rumah perlu dipertimbangkan juga. Akhirnya catatan keberhasilan lintas budaya sebelumnya sangat diperlukan bagi tugas-tugas yang akan datang.
3.    Program Pelatihan Lintas Budaya
Tujuan utama dari program pelatihan lintas budaya adalah untuk memberikan skill dan strategi yang akan membantu mereka yang akan di tugaskan ke luar negri melalui proses penyesuaian. Tujuan lainnya adalah memberi informasi factual tentang hal-hal pokok atau spesifik dari kultur yang akan di datanginya, mengembangkan skill untuk negosiasi dan interaksi antar kultur dan mempelajari tentang kulturnya dan persepsi yang telah terbentuk sebelumnya tentang orang lain. Program pelatihan apa yang akan diberikan sebenarnya tergantung dengan kebutuhan-kebutuhan individual, misalnya berapa lama orang akan tinggal ke luar negri atau sejauhmana kesamaan budaya asalnya dengan budaya tuan rumahnya, dsb.
Rosalie Tung sesudah melakukan survey terhadap para manager di Eropa, Jepang, dan Amerika menemukan ada 5 tipe program pelatihan antar budaya, yaitu:
a.    Area studies program (program studi wilayah) meliputi pemberian informasi factual tentang lingkungan dan lokasi negara tuan rumah seprti geografi, iklim, perumahan dan sekolah (environmental briefings) serta orientasi budaya yang meliputi institusi budaya dan sistem nilai dari negara tuan rumah kepada mereka yang akan ditugaskan ke luar negri dan keluarga.
b.    Cultural assimilator (assimilator budaya) menggunakan pendekatan belajar yang terprogram yang didesain untuk memberikan pengalaman-pengalaman antar budaya (biasanya permasalahan-permasalahan dalam hubungan dengan budaya lain) kepada mereka yang akan ditugaskan ke luar negri dengan mengekspos beberapa konsep-konsep dasar, sikap-sikap, persepsi, peranan, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai dari budaya lain.
c.    Language training (pelatihan bahasa) memberikan pelajaran bagaimana berbicara, membaca dan menulis dengan bahasa tuan rumah.
d.   Sensitivity trainina (pelatihan kepekaan) didesain untuk mengembangkan sikap fleksibilitas dengan memfokuskan pada belajar tingkat afektif dan dengan penghayatan seksama yang selanjutnya akan diikuti oleh tahap dimana individu menjadi sadar dan menerima perbedaan perilaku dan sistem nilai dari tuan rumah.
e.    Field experience (pengalaman lapangan) mencakup perjalanan singkat ke lokasi tuan rumah atau suatu omicro culture lokal sehingga mereka akan mendapatkan pengalaman secara langsung tentang kultur baru itu sebelum mereka di tugaskan ke luar negri. Temuan-temuan atau permasalahan-permasalahn yang dialaminya secara langsung dari kehidupannya dan bekerja dengan orang-orang dari budaya yang berbeda itu akan memberikan kerangka acuan untuk diterapkan selama mereka bertugas ke luar negeri.

H.      Perlunya Konselor  Peka Budaya Dalam Konseling
Perhatian terhadap perlunya konseling untuk secara sengaja memperhitungkan aspek-aspek budaya merupakan hal-hal yang relative baru (Pedersen, 1986). Hal tersebut menunjukkan perlunya konselor untuk memiliki kepekaan budaya atau biasa disebut dengan konselor peka budaya untuk dapat memahami dan membantu klien. Konselor yang demikian adalah konselor yang menyadari benar bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan membawa  serta karakteristik tersebut ke dalam proses konseling. Dengan kesadaran budaya ini maka konselor akan terhindar dari kecenderungan untuk memukul rata semua individu yang ditanganinya dimana notabene berasal dari lingkungan sosial budaya yang berbeda. Dalam menerapkan teknik-teknik konseling, konselor peka budaya akan secara kritis menguji manakah teknik-teknik konseling yang cocok terhadap suatu budaya “Culturally unique and universally applicable” . Ia juga selalu berusaha menghindar dari perangkap “Counseling as usual” yang didasari sikap tidak peka budaya.
Untuk memiliki kepekaan budaya, konselor dituntuk untuk mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya di luar budayanya sendiri utamanya budaya kliennya. Namun, hal tersebut bukan berarti konselor harus memahami semua budaya. Untuk menjadi sadar akan berbagai nilai dan pola perilaku masyarakat dan individu yaitu belajar sebanyak mungkin tentang kelompok-kelompok tertentu yang merupakan klien mereka. (Klineberg, 1985). Pendapat tersebut bermakna bahwa yang diperlukan bagi seorang konselor yaitu belajar sebanyak mungkin tentang klien-kliennya termasuk budaya yang dianutnya.
Usaha untuk menumbuhkan kepekaan budaya pada konselor bukanlah sesuatu yang mudah. Di samping bias-bias budaya yang telah diuraikan sebelumnya adalah masih kuatnya asumsi atau kepercayaan bahwa pengalaman yang secara kultural berakar pada budaya pengamat (observer)  dianggap sebagai pegangan dalam memahami apa yang berlaku secara universal. Penfsiran perilaku klien dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di luar konteks budayanya akan menjadi pangkal kesulitan dalam membangun relasi konseling yang efektif. Hal itu biasa disebut dengan enkapsulasi konselor.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan enkapsulasi konselor, yaitu : pertama, konselor mendefinisikan realitas berdasarkan suatu perangkat asumsi monokultural dan stereotype yang kemudian dianggap lebih penting dari apa yang sebenarnya ada dalam kenyataan. Kedua, adanya ketidak pekaan terhadap keragaman budaya individu dan secara tidak disadari konselor berasumsi bahwa pandangannya terhadap realitas mencerminkan realitas yang sebenarnya (padahal tidak selalu). Ketiga, konselor dan siapapun yang bergerak dalam profesi bantuan diliputi asumsi untuk menerima pandangan terhadap realitas tanpa pengujian terlebih dahulu. Keempat, teknik-teknik konseling yang sangat kuat berorientasi pada pemecahan masalah turut melenggangkan terjadinya enkapsulasi pada konselor.
Fenomena ketidakpekaan budaya tersebut sebenarnya berakar pada proses pendidikan calon konselor. Di banyak negara (termasuk Indonesia), kurikulum pendidikan konselor tidak memberikan perhatian yang selayaknya terhadap pengenalan budaya para calon konselor dan semikian juga dalam praktik-praktik yang dijalaninya.


DAFTAR PUSTAKA

Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang).

Anak Agung Ngurah Adhiputra (2013). Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

1 komentar:

  1. If you're attempting to lose fat then you need to start using this brand new custom keto diet.

    To create this keto diet service, licenced nutritionists, personal trainers, and professional cooks joined together to develop keto meal plans that are efficient, suitable, price-efficient, and delightful.

    Since their grand opening in early 2019, 1000's of individuals have already completely transformed their body and health with the benefits a good keto diet can offer.

    Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones offered by the keto diet.

    BalasHapus